BAGIAN 3 PENEMPAAN DIRI
Setelah peristiwa terbukanya Gerbang Arkara, waktu berjalan sesuai dengan ritmenya, hari-hari terus berganti, bulan dan tahun pun ikut mengiringi perjalanan sang waktu. Hingga sepuluh tahun telah berlalu. Selama masa itu pula Mahesa dilatih dan didik oleh Kakek Ren dengan berbagai pengetahuan tentang ilmu sihir, selain itu dia juga belajar dengan keras agar mampu memahami isi dari buku Crosaiden yang diterimanya dari Garcora, sosok makhluk misterius yang berasal dari Gerbang Arkara.
Semenjak tinggal di Bukit Bhadrasana, Mahesa kerap kali mengikuti Kakeknya untuk membantu masyarakat di berbagai desa mengusir atau bahkan membasmi bermacam-macam monster yang ada. Kakek Ren selalu mengajak Mahesa, karena dia ingin menempa dan menguji semua hal yang telah dipelajari oleh cucunya itu secara langsung. Di wilayah Ordeus, monster memang bukanlah makhluk yang asing bagi penduduk wilayah tersebut, sebab monster selalu datang silih berganti serta terkadang mengusik ketentraman hidup mereka. Dan selama ini Kakek Ren diakui sebagai salah seorang ahli sihir pembasmi monster, banyak sekali monster yang telah dihabisinya, reputasinya itu membuat dia banyak dikenal dan disegani oleh penduduk Amoga.
Semua pertarungan yang dilakukannya itu semakin menumbuhkan sifat berani serta mengasah kemampuan dan keahlian bocah tersebut dalam menguasai sihir elemental, yakni kekuatan sihir yang diperolehnya dari darah akral, sebuah ramuan pemberian Nagastra yang telah diminumnya saat masih berusia sepuluh tahun.
Kini Mahesa telah berusia 20 tahun, sang bocah kecil itu telah beranjak menjadi seorang remaja. Selama sepuluh tahun itu, Mahesa telah menempa hari-harinya dengan berbagai latihan dan pembelajaran untuk mengasah kemampuannya, meskipun semua dilaluinya dengan sangat berat, namun dia tetap gigih berusaha untuk mewujudkan prinsip orang tuanya.
Sore hampir menjelang, angin yang berhembus saat itu terasa tidak begitu kencang, di hari yang sedikit mendung itu, tiba-tiba datang seorang laki-laki setengah baya dengan membawa sebuah tombak panjang bermata ganda, senjata yang menjadi ciri khas Desa Tarigan, sebuah desa di bagian barat wilayah Amoga, meskipun sudah setengah baya, namun orang itu masih memiliki badan yang kekar. Orang dari Desa Tarigan tersebut datang dengan beberapa luka cakar yang tergores cukup dalam di tubuhnya. Baju perang yang dikenakannya pun sebagian besar telah hancur, sepertinya dia telah melakukan pertarungan yang cukup hebat, tampak dari berbagai luka yang ada pada tubuhnya. Dengan menggunakan tombaknya sebagai penyanggah, dia berjalan tertatih-tatih menghampiri Kakek Renzo yang sedang duduk lesehan di beranda rumah bersama Mahesa. Melihat kedatangan orang Tarigan yang tampak lemah tersebut, Kakek Ren segera meminta Mahesa untuk membantunya.
“Mahesa, cepat kau bantu orang itu, sepertinya dia ingin kemari!” pinta sang kakek, sambil menunjuk seseorang yang berjalan lemah disebabkan beberapa luka di tubuhnya. “kakek akan mengambil beberapa obat dan perban, dia pasti terluka parah sampai tidak mampu berjalan seperti itu”
Kakek Ren lalu segera beranjak masuk ke dalam rumah untuk mengambil obat-obatan.
“Baik Kek,” jawab Mahesa singkat, tanpa menunggu lama ia pun segera berlari menghampiri orang tersebut dan menuntunnya berjalan sampai di pelataran rumah.
“Baringkan di sudut ruangan itu Mahesa, akan Kakek obati dulu lukanya” Pinta kakek sembari keluar dari rumah dengan membawa beberapa obat-obatan dan segulung perban besar di tangan kanannya.
Lalu secara perlahan Mahesa membaringkan orang tersebut di lantai ruangan yang beralaskan karpet berwarna kebiruan, orang itu sesekali mengerang menahan rasa sakit di tubuhnya. Tombak yang digunakan sebagai penopang untuk berjalan segera diambil oleh Mahesa, pandangan matanya secara spontan menatap darah yang telah mengering di ujung tombak itu, tombak berbilah ganda tersebut hampir setengah mata tombaknya telah tertutup noda darah yang telah bercampur dengan tanah, “hmm… apa mungkin sedang ada peperangan di desanya,—gumam Mahesa sembari meletakkan tombak itu di luar pelataran rumah —”hal inilah yang paling tidak kusukai, akan ada pembantaian di mana-mana” ucapnya dalam hati sambil berjalan masuk ke teras rumah. Tak selang berapa lama Kakek Ren mengoleskan dan meminumkan beberapa obat pemulih luka,
“Lukanya kelihatan lumayan parah kek, seperti bekas sabetan senjata yang cukup besar, apa dia sedang melawan monster?” tanya Mahesa, sambil mulai membantu Kakek membalut luka pada tubuh, kaki, dan tangan orang asing tersebut menggunakan perban khusus yang telah ditaburi serbuk obat penghilang rasa sakit untuk mempercepat pemulihan lukanya.
“Kau benar, memang lumayan parah, tapi kupastikan dia tidak menghadapi monster, “jika dia telah bertarung melawan monster aku bisa melihat dari aura tenaga yang muncul dari luka di tubuh orang ini, sebab aura tenaga monster dengan aura tenaga manusia sangat berbeda, suatu saat kau akan mampu membedakannya”
“Oo.. begitu”
“Lagi pula, darah pada tombaknya berwarna merah, jika dia bertarung dengan monster maka akan terlihat noda darah berwarna hijau, bukankah kau sudah sering melihat darah monster”
“Benar juga Kek, apa mungkin telah terjadi peperangan lagi?”
“Entahlah Mahesa, sekarang biarkan dia istirahat dulu, nanti kita tanyakan langsung pada orangnya” Jawab sang Kakek sembari menyelesaikan pengobatannya. Dan beberapa saat kemudian, orang itu pun mulai tertidur pulas karena pengaruh dari obat-obatan yang telah diberikan oleh Kakek Ren. Obat itu mulai bekerja disetiap syaraf dan luka-luka pada tubuh orang tersebut.
“Mahesa kau siapkan makanan untuk orang ini, untuk sementara dia akan tertidur selama lima jam”
“Wah…, lama juga, kalau begitu aku akan ke desa Amreta untuk membeli makanan”
“Ingat jaga penampilanmu, jangan sampai rambut merahmu itu mengundang perhatian prajurit Amoga” saran kakek sembari melemparkan sebuah topi biru terbuat dari kain lembut yang terlihat tebal. Mahesa pun langsung menyambar topi itu dan mengenakannya untuk menutupi rambut merahnya, dia mengerti bahwa rambut merah adalah ciri dari bangsa Asura, sedangkan antara bangsa Amoga dan Asura sudah lama terlibat pertikaian disebabkan masalah ras dan sebuah buku Gora yang masih misterius keberadaannya.
“Terima kasih kek” balas Mahesa seraya mengangkat tangannya, ia lalu berjalan menuju garasi di samping rumah. Dalam waktu singkat, terdengar raungan suara mesin kendaraan, dan sekejap kemudian tampak ia telah melesat mengendarai sebuah sepeda motor hitam yang terlihat cukup futuristik, sepasang roda besar membuat kendaraan itu dengan mudah menyusuri jalanan kecil dan berliku di Bukit Bhadarasana tanpa hambatan sedikitpun. Selain itu, bentuknya yang memiliki body tajam dan agak besar, menandakan bahwa kendaraan itu memang dirancang untuk melewati jalan-jalan sempit di Bukit tersebut. Tidak sampai satu menit bayangan Mahesa pun sudah tidak tampak lagi, hanya meninggalkan suara mesin yang terdengar semakin lama semakin jauh, menggema di bukit Bhadrasana.
“Hmm… sepertinya dia mulai mahir mengendarai kendaraan itu, padahal dulu sering sekali menabrak pohon, tapi tetap saja tidak ada kapoknya, dasar bocah” Gumam Kakek Ren, pandangan matanya pun beralih ke sosok laki-laki yang terluka di sampingnya, melihat balutan luka pada tubuh orang tersebut pikirannya mulai mengkhawatirkan sesuatu, bayangan wajah Mahesa tiba-tiba saja terlintas di benaknya, “apa benar dugaan bocah itu, apa memang telah terjadi peperangan lagi, jika memang terjadi… hmmm… Mahesa bisa kembali menjadi liar seperti dulu, sebab di dalam hatinya rasa dendam masih belum bisa hilang sepenuhnya, perasaan itu dapat muncul sewaktu-waktu, jika itu terjadi… huffftt“—Kakek Ren menghela napas panjang dan dalam —“anak itu bisa tumbuh menjadi seorang pembunuh yang sangat brutal dan tanpa ampun, apalagi dia telah meminum darah akral dan selama sepuluh tahun terakhir ini dia juga berhasil mempelajari buku Crosaiden, sekarang ia telah memiliki kekuatan yang cukup besar, jika dia terus berlatih, pasti Mahesa akan sulit ditandingi. Aku harus mampu membimbing emosi anak itu, aku tidak mau bocah itu tenggelam dalam dendam karena peperangan yang selama ini dia alami, aku tidak mau kekuatan besarnya bisa menjadi malapetaka untuk dirinya sendiri dan semua orang di sekitarnya” dengan pikiran masih kacau dan rasa khawatir yang mulai merasuki hatinya Kakek Ren kemudian membaringkan tubuhnya di sebuah balai-balai di depan rumah. Balai-balai yang terbuat dari anyaman bambu berwarna kecoklatan itu tepat berada di bawah sebuah pohon rindang, menjadikan suasana teduh, ditambah semilir angin sore yang berhembus pelan membuat sang Kakek perlahan mulai tertidur, hembusan angin dan irama gesekan dedaunan mengantarkannya memasuki dunia mimpi.
Sementara itu, Mahesa masih memacu sepeda motornya dengan cepat menyusuri jalanan menuju Desa Amreta, dalam waktu sepuluh menit saja ia telah sampai di pinggiran Desa Amreta. Memasuki jalanan halus di desa tersebut dia mulai mengurangi laju kendraan, dan segera menuju ke sebuah rumah makan yang menjadi langganannya, sebuah rumah makan berukuran tidak begitu besar namun terlihat rapi dan bersih.
Hari ini rumah makan itu terasa begitu berbeda bagi Mahesa, dalam benaknya tiba-tiba muncul perasaan yang agak aneh, karena hanya terlihat beberapa pelanggan saja yang sedang makan di dalam ruangan itu, suasana yang dilihatnya memang berbeda dengan hari-hari biasanya. Setelah memarkir sepeda motornya di halaman depan rumah makan tersebut, ia lalu berjalan masuk ke dalam rumah makan. Orang-orang terlihat santai menikmati hidangan mereka masing-masing, tiga orang di pojok ruangan sedang mengobrol serius hingga tidak menghiraukan sekelilingnya, tiga buah gelas besar dan beberapa botol minuman tampak tertata acak di meja mereka. Mahesa dengan akrab menyapa seorang wanita setengah baya yang sedang membersihkan sebuah meja, celemek berwarna putih bersih yang dikenakannya menandakan bahwa wanita inilah pemilik rumah makan tersebut.
“Nyonya Veer, tumben sepi, tidak seperti biasanya?” Tanya Mahesa
“Rupanya kau Mahesa,” jawab wanita itu seraya menoleh ke arah Mahesa yang sedang berdiri di sampingnya, “ya... begitulah...,”— Wanita itu menghela napas sejenak dan mengambil piring-piring kotor serta beberapa gelas di meja tersebut, —“ini karena ada beberapa prajurit elit dari kerajaan pusat yang datang kemari, sepertinya mereka sedang memburu seseorang”
“Benarkah?” Raut wajah mahesa menampakkan rasa terkejut, ia menengok ke kanan dan kiri “lalu kemana para prajurit itu sekarang nyonya?”
“Mungkin mereka sedang berada di pusat desa, karena diperkirakan orang yang diburu masih berada di sekitar sini, tapi..., sudahlah... biarkan saja, yang penting tidak ada peperangan besar,”—wanita itu menjelaskan singkat, tangan kanannya bergerak cepat meletakkan serbet putih di pundak, —“Oya... mau pesan apa kau hari ini?” lanjut wanita pemilik rumah makan itu sambil berjalan menuju ke tempat sajian makanan.
“Seperti biasanya saja nyonya, tiga kotak nasi dengan ayam goreng, jangan lupa tiga botol minuman dinginnya” jawab Mahesa
“Biasanya kan cuma dua, apa selera makanmu mulai naik sekarang ini?”
“Ha...ha..., begitulah nyonya, maklum masa pertumbuhan” jawab Mahesa sambil tertawa ringan. Tanpa banyak tanya lagi wanita itu dengan cekatan menyiapkan pesanan Mahesa, dalam waktu singkat semuanya telah terbungkus rapi.
“Ini..., makanan dan minuman sudah ada di dalam kantong plastik ini” Dengan penuh keramahan dan disertai senyuman wanita yang sudah berumur setengah baya namun masih terlihat cantik itu memberikan kantong plastik besar yang berisi makanan.
“Wah, cepat sekali Nyonya veer, seperti mesin saja” jawab Mahesa sembari menerima pesanannya.
“Tentu saja, sudah dua puluh tahun aku menekuni bisnis ini, jadi kau tidak usah kagum begitu, “awas… hati-hati membawanya”
“Baik nyonya, terima kasih banyak” sahut Mahesa, ia lalu menyerahkan dua lembar uang kepada pemilik rumah makan tersebut. Tanpa berbasa-basi lagi Mahesa bergegas pergi meninggalkan rumah makan tersebut, namun pikirannya mulai mengarah pada orang yang telah ditolong kakeknya di Bukit Bhadrasana, “Kira-kira siapa yang diburu oleh pasukan elit dari kerajaan pusat, apa mungkin orang itu, kalau memang benar, siapa dia sebenarnya sampai menjadi buruan pasukan elit, menurut kakek pasukan elit dikerahkan hanya jika memburu orang yang dianggap sangat penting, kuat, dan membahayakan negara, “karena satu orang pasukan elit setara kekuatannya dengan lima puluh orang prajurit biasa” Mahesa segera mengendarai sepeda motornya, kedatangan pasukan elit di desa tersebut sangat mengusik hatinya, dia jadi merasa penasaran dengan seseorang yang telah ditolong oleh kakeknya. Baru beberapa menit Mahesa berkendara, ketika sampai di perbatasan desa, tiba-tiba ia dihentikan oleh dua orang prajurit berpakaian biru tua, armor berwarna keperakan pada bagian dada dan lengannya memperkuat tampilan prajurit itu, helm baja yang dikenakan tampak hampir menutupi seluruh wajahnya, dan hanya menyisakan bagian hidung serta mulut sang prajurit, selembar kain putih panjang sepunggung bergambar simbol burung phoenix menghiasi bagian belakang helm tersebut. Simbol itu juga terlihat jelas pada bagian dada armor sang prajurit. Sepertinya simbol itu menjadi penanda bahwa mereka adalah prajurit elit dari kerajaan pusat. Salah seorang dari mereka lalu berjalan mendekati Mahesa. Satu orang lagi menatap dengan penuh kewaspadaan. Tangannya menghunuskan sebilah pedang besar untuk berjaga-jaga, sementara senapan laras panjang masih tetap tergantung di punggungnya.
“Benar juga kata Nyonya Veer, para prajurit elit masih berada di desa ini, aku tidak boleh memicu perhatiannya, karena itu pesan Kakek Ren” Melihat acungan tangan seorang prajurit yang mulai mendekat, Mahesa berusaha tetap tenang dan menahan gejolak emosi di dada, dia pun segera beranjak dari sepeda motor dan berjalan menghampiri prajurit elit tersebut. Emosi dalam dirinya selalu muncul ketika melihat penampilan dari prajurit Amoga atau pun prajurit Asura, karena hal itu membuat dia teringat kembali pada masa lalu kelam ketika selalu diburu oleh kedua bangsa tersebut, hingga ia harus kehilangan kedua orang tua yang sangat disayanginya, ingatan itulah yang tidak bisa hilang dan memicu kembali dendam kesumat di hati Mahesa. Tanpa dikehendaki serta secara otomatis hatinya akan langsung terasa seperti terbakar dan meledak-ledak diiringi keinginan untuk membantai setiap prajurit yang ia lihat. Namun karena masih mengingat nasihat dari sang kakek, ia berusaha sekuat tenaga menahan emosi dan rasa dendam, sehingga membuat tangannya selalu mengepal dan bergetar menahan semua perasaan dalam hati yang sulit dikendalikan.
“Mau kemana kau bocah?” Suara tegas dan tatapan tajam penuh curiga mengarah ke wajah Mahesa, prajurit itu menatap secara detail setiap inchi penampilan Mahesa.
“Tentu saja aku mau pulang, apa ada hal aneh tuan prajurit” Jawab Mahesa tanpa ragu
“Dimana rumahmu?”
“Bukit Bhadrasana, sekitar sepuluh menit dari sini, apa kalian mau mampir?”
“Oo… begitu ya,”—Prajurit itu berjalan perlahan mendekati sepeda motor Mahesa yang terparkir tidak begitu jauh, pandangannya tertuju pada kantong plastik yang tergantung di bagian kemudi kendaraan tersebut—“apa isi bungkusan ini bocah, kelihatan besar sekali?”
Mendengar pertanyaan itu Mahesa berjalan pelan mendekati sepeda motor dan menjawabnya tanpa rasa takut,
“Cuma makanan, kau boleh melihatnya tuan prajurit, silahkan saja”
“Begitukah…, baiklah,”—prajurit itu lalu membuka kantong plastik besar milik Mahesa—“sepertinya ini untuk tiga orang, memangnya kau tinggal dengan siapa saja?”
“Bersama Ayah dan Ibuku”
“Baguslah jika masih bersama orang tua”— prajurit itu masih mengamati setiap gerak gerik Mahesa—“Ngomong-ngomong topi yang bagus bocah, tapi terlihat aneh bagiku, apa kau menyimpan sesuatu di kepalamu?”
“Aku memakainya supaya tidak terasa dingin ketika berkendara, hal yang wajar saja prajurit” Jawab Mahesa, dadanya terasa semakin bergejolak, membuat tatapannya menjadi semakin tajam
“Kalau begitu, coba bukalah…! aku ingin tahu apa hanya untuk menghilangkan dingin atau memang ada yang kau sembunyikan” prajurit itu menegaskan permintaannya.
Mahesa terdiam sesaat, dia menatap prajurit di hadapannya tanpa berkedip, tangan kanannya bergerak perlahan memegang topi yang menutupi kepalanya,
“Kakek Ren maafkan aku, sepertinya aku harus menghabisi kedua prajurit Amoga ini, aku benar-benar terpaksa melakukannya kek…” Ucap Mahesa dalam hati, muncul rasa penyesalan dalam dirinya karena akan melanggar nasihat kakeknya. “Apa benar kau ingin aku membuka topi ini prajurit” tanya Mahesa sekali lagi. Tangan kanan bocah itu telah memegang bagian atas topi, sedangkan tangan kirinya ia sembunyikan di balik punggung. Tampak kobaran api mulai muncul menyelimuti kepalan tangan kiri Mahesa, tanda bahwa dia telah siap untuk melakukan suatu serangan menggunakan elemen api, namun kedua prajurit yang berada di tempat tersebut masih belum menyadari hal apa yang akan dilakukan oleh Mahesa.
“Tentu saja, cepat bukalah! Kau tunggu apalagi bocah!” perintah prajurit itu dengan suara lebih keras dan tegas.
“Jika itu permintaanmu... baiklah, lihatlah baik-baik tuan prajurit”
Belum sempat Mahesa membuka topinya, tiba-tiba terdengar teriakan dari seberang jalan.
“Hoiii…, Sarga! Sekarang Komandan ingin kita segera berkumpul di alun-alun, sudah lepaskan saja pemuda itu, kita sudah tidak punya waktu lagi” Prajurit tersebut berteriak keras sambil menyarungkan pedang dan langsung bergegas lari menuju ke sebuah mobil yang terparkir di dekatnya.
“Kau beruntung bocah, pulanglah dan sampaikan salam untuk kedua orang tuamu” Ucap prajurit yang sedang menghadang Mahesa, “Baik…, tunggu sebentar Torda, kenapa tiba-tiba sekali” keluh prajurit itu, ia pun langsung berlari menyusul rekannya yang telah berada di dalam kendaraan.
Mahesa lalu melepaskan pegangan tangannya dari topi yang ia kenakan, bara api pada tangan kiri perlahan mulai menghilang, ia menatap kepergian kedua prajurit itu dengan perasaan lega, “Syukurlah…, tidak terjadi pertarungan yang sia-sia lagi” Gumam Mahesa sambil merapikan kembali makanannya ke dalam kantong plastik. Ia pun segera melanjutkan perjalanan menuju ke Bukit Bhadrasana.
Malam mulai menjelang, suara-suara binatang malam terdengar silih berganti saling bersaing, bulan purnama bertengger dengan pancaran cahaya yang teduh. Di pelataran rumah tampak tiga orang sedang duduk lesehan, mereka terlihat santai sambil menikmati makanan dan minuman yang terkesan sederhana. Seseorang yang telah diobati oleh Kakek Ren mulai tampak pulih dan mampu duduk dengan tegak, beda sekali ketika dia datang dengan tertatih-tatih menggunakan tombaknya sebagai penyanggah. Sesekali terdengar tawa lepas dari mereka bertiga mengisi suasana malam di Bukit Bhadrasana, meskipun baru bertemu namun keakraban diantara mereka sudah terjalin begitu baik.
“Aku ucapkan terima kasih banyak atas pertolonganmu Tuan Renzo, maaf banyak merepotkan tuan hari ini” ucap orang asing itu sambil sedikit membungkukkan badannya yang sedang dalam posisi duduk bersila.
“Ha… ha… sudahlah tidak usah terlalu dipikirkan, kita sama-sama tinggal di Ordeus, jadi sudah selayaknya saling membantu” Jawab Kakek Ren sambil tertawa lebar.
“Jika para raja di Ordeus berpikir seperti anda, pasti tidak akan ada peperangan seperti sekarang ini”
“Wah… Tuan Sora terlalu melebih-lebihkan, kalau aku jadi raja, yang pasti justru aku akan memiliki permaisuri yang banyak” sahut Kakek Ren sambil meneguk kopi di gelas besarnya.
“Ha… ha… mata keranjang juga kau Tuan Renzo”
“Ya… memang itulah nama baik Kakekku di Desa Amreta” Sahut Mahesa sembari tersenyum.
“Ingat Mahesa kau pasti akan mewarisi sifat baikku ini ha… ha…”
“Kakek… sejak kapan mata keranjang menjadi sifat baik, itu cuma dalam sudut pandang kakek sendiri saja”
“Kau akan menyadarinya jika kau bertemu seorang wanita yang mengagumkan Mahesa, jadi berhati-hatilah”
“Kelihatannya kalian kakek dan cucu akrab sekali, sungguh membuatku merasa iri”
“Memang begitulah kelakuan cucuku, jadi tolong tuan maklumi saja, “Oya apa tuan Sora memiliki seorang anak atau cucu?” Tanya kakek Ren sembari menuangkan kopi untuk orang asing yang ternyata bernama Sora. Mendapat pertanyaan dari kakek Ren orang itu sedikit terdiam, seperti ada sesuatu yang begitu membuatnya merasa bimbang, dia lalu mengambil minuman yang dituangkan oleh Kakek Ren dan meminumnya seteguk sebelum mulai menjawab,
“Aku tidak memiliki cucu atau anak, tapi aku memiliki seorang murid yang aku besarkan, aku didik, dan aku anggap seperti anakku sendiri”
“Lalu di mana dia sekarang Tuan Sora?” Tanya Mahesa
“Dia sudah menjadi seorang komandan pasukan elit di Kerajaan Conra”
“Wah…, hebat sekali murid tuan Sora bisa menjadi komandan pasukan elit, tadi sore sewaktu di Desa Amreta aku juga melihat ada pasukan elit yang sedang memburu seseorang, menurut Nyonya Veer ada cukup banyak prajurit elit yang datang ke Desa Amreta”
“Jadi pasukan elit itu sudah berada di desa ini?” Tanya Sora dengan raut wajah serius
“Benar tuan Sora, mereka juga mengahadangku waktu di perbatasan desa, memang ada apa, sepertinya ada yang Tuan Sora khawatirkan”
“Benar sekali Mahesa, sekali lagi aku mohon maaf, karena yang mereka buru sebenarnya adalah aku”
“Hah… apa benar yang kau katakan Tuan Sora, sebenarnya siapa sebenarnya tuan ini, sebab pasukan elit hanya dikerahkan untuk menghadapi orang-orang yang memiliki kekuatan luar biasa dan dianggap berbahaya oleh Kerajaan Conra” Kakek Ren juga mulai bertanya penuh keseriusan. Tuan Sora kembali meneguk minuman kopi yang dihidangkan, ia lalu meletakkan gelas besar di tangannya dan berkata.
“Akan kuceritakan semua pada kalian”—Tuan Sora mengeluarkan sebuah gulungan dari balik jubah putihnya—“coba lihatlah tuan Renzo” Tanpa keraguan ia menyerahkan gulungan terbuat dari kulit binatang berwarna coklat muda itu kepada Kakek Ren. Mahesa hanya mengamati dan menyimak pembicaraan mereka, karena dia tahu bahwa pembicaraan kali ini merupakan pembicaraan yang sangat serius.
“Gulungan apa ini?”
“Bukalah Tuan Renzo, aku yakin kau akan mengerti”
“Baiklah, kalau kau sudah mengijinkan” jawab Kakek Ren, secara perlahan gulungan kertas itu mulai dibuka. Pandangan Mahesa tidak lepas dari gulungan kertas yang berada di tangan kakeknya, ia sangat penasaran sekali sebenarnya apa yang ada pada gulungan coklat itu. Sesaat kemudian gulungan itu pun telah terbuka, Kakek Ren mengamati dengan detail tiap tulisan dan gambar sketsa yang tertera dalam gulungan berukuran 25 x 50 centimeter itu. Sang Kakek mengernyitkan dahinya seperti berusaha memahami sesuatu,
“Tuan Sora kalau saya tidak salah terka, sepertinya ini adalah petunjuk untuk membuat suatu benda, yaitu logam baja yang mungkin akan memiki karakteristik khusus yang berbeda dengan baja pada umumnya”
“Kau benar Tuan Renzo, itu memang gulungan berisi petunjuk untuk menciptakan suatu baja terkuat yang bernama baja Bayanaka,
“Hah… baja Bayanaka, sepertinya aku belum pernah mendengarnnya”
“Memang jenis baja ini belum pernah dibuat secara umum, karena jika baja ini digunakan untuk membuat senjata maka akan mampu melipatgandakan tenaga yang dikeluarkan oleh penggunanya, dan jika digunakan untuk armor maka dapat meningkatkan dua kali lipat tenaga orang yang mengenakannya, karena baja bayanaka ini memiliki karakteristik untuk menyerap tenaga yang keluar, menyimpan, dan melipatgandakannya”
“Benar-benar jenis baja yang luar biasa”
“Ya… begitulah karena baja ini dibuat dengan menggabungkan unsur-unsur terbaik dari empat jenis baja yang ada di Ordeus, maka itu para prajurit elit memburuku untuk mendapatkan gulungan baja bayanaka ini”
“Jadi begitu rupanya, memang apa yang mereka rencanakan Tuan Sora?”
“Pemberontakan”
“Hah… pemberontakan, apa sebenarnya yang kau maksudkan”
“Komandan pasukan elit itu sebenarnya adalah muridku Tuan Renzo, dia ingin menggunakan baja bayanaka untuk membuat berbagai senjata dan baju perang agar dapat menciptakan suatu pasukan yang tangguh dan kuat, “dengan pasukan yang dipersenjatai dari bahan dasar baja Bayanaka maka ia akan dapat mengalahkan para panglima dari kerajaan Sakarya dan merebut pasukan besarnya untuk memberontak” Sora terdiam sejenak, dia kembali meneguk kopi yang tinggal setengah di gelasnya, tatapan matanya menerawang, seperti muncul sebuah penyesalan yang besar, “Muridku itu sudah menjadi haus kekuasaan, dia ingin menjadi penguasa bangsa Amoga”
“Hmmm… jadi seperti itu, lalu kenapa kau tidak mengalahkannya saja Tuan Sora”
“Dia yang sekarang berbeda dengan yang dulu, kekuatannya hampir setara denganku, apalagi dia dibantu oleh 300 prajurit elit yang menjadi pasukannya, jadi… kau bisa melihat keadaanku tadi kan”
“Ya… benar juga, kau dibuatnya terluka parah, jika manusia biasa yang mengalami luka seperti itu, pasti telah tewas saat pertarungan”
“Ha… ha… bisa saja kau tuan Renzo, maka itu aku datang kemari, karena sudah lama aku mendengar kemampuan cucumu dalam membasmi monster di tiap desa”
“Wah… wah… ternyata kau sudah terkenal Mahesa, itu karena kakekmu ini yang sangat familiar”
“Benarkah seperti itu, lalu apa hubungannya denganku tuan Sora” tanya Mahesa.
“Muridku itu seorang sakarog, yakni penyihir yang menguasai teknik sakaroga, teknik pemanggil makhluk dalam diri kita, aku yakin kau sudah mengenal teknik ini tuan Renzo”
“Ya… aku pernah melihatnya, karena aku pernah beberapa kali bertarung dengan seorang sakarog, dan memang sangat menyusahkan sekali, karena makhluk sakaroga bisa memiliki kekuatan dua kali lipat dari penggunanya”
Mahesa hanya garuk-garuk kepala saja mendengarkan pembicaraan kakeknya, karena dia tidak mengerti sama sekali tentang teknik sakaroga.
“Kakek Ren apa kau bisa menggunakan teknik sakaroga itu?” Tanya Mahesa sambil menatap kakeknya penuh harap.
“Sayang sekali aku tidak bisa Mahesa, itu bukan sebuah teknik sihir yang dapat dikuasai oleh semua orang”
“Benarkah begitu”—Mahesa memandang ke arah tuan Sora—“tuan bisakah kau menjelaskan lebih rinci tentang teknik Sakaroga ini, aku sangat penasaran sekali, sepertinya ini teknik yang menakjubkan”
“Bisa saja Mahesa, tapi sayang sekali aku tidak suka berteori, tapi akan kupraktikkan langsung teknik ini dihadapanmu, jadi perhatikanlah baik-baik” Jawab Tuan Sora sambil berjalan ke depan rumah mencari tempat yang sedikit lapang. Mahesa dan kakek pun mengikuti langkah tuan Sora menuju keluar rumah.
“Sepertinya akan ada pertunjukan kecil-kecilan Mahesa”
“Yaaa… aku benar-benar tidak sabar ingin melihat teknik itu”
“Baiklah… tuan Renzo, Mahesa, aku mungkin tidak bisa lama-lama menggunakan teknik ini, karena tenagaku belum seratus persen pulih, tapi ini bisa sedikit menjelaskan kepadamu Mahesa, Huaaarkhhhhh….!” Tuan Sora mengerahkan segenap kekuatannya, cahaya kebiruan terang mulai menyelimuti tubuhnya, daun-daun disekitarnya berhamburan terkena kekuatan devastra yang dikerahkan oleh tuan Sora.
“Wow… devastra tingkat dua, tapi seperti apa tekniknya” gumam Mahesa, dia tidak melewatkan sedikitpun gerakan yang dilakukan oleh Tuan Sora, dadanya sedikit berdegup kencang, rasa ingin tahu membuatnya merasa tidak sabaran. Dalam diamnya dia berpikir keras untuk dapat memahami tiap hal yang dilakukan Tuan Sora, dan tiba-tiba saja…,
“Sakaroga!” teriakan Tuan Sora memecah keheningan malam di bukit Bhadrasana, bersamaan dengan teriakannya itu ia menyatukan kedua tangannya di depan dada, telapak tangan kanannya tampak mengepal, dan tangan kirinya terlihat terbuka lebar. Di saat kepalan tangan kanannya menyatu dengan telapak tangan kiri, maka (Wuungg!) dalam sekejap di belakangnya muncul sebuah lingkaran cahaya kebiruan, cahaya itu berbentuk seperti sebuah simbol lingkaran yang cukup besar dihiasi dengan bentuk-bentuk unik yang memgitari lingkaran tersebut.
“Sebuah simbol sihir, apa yang dia lakukan dengan simbol lingkaran itu” Pikir Mahesa dalam hati, lalu sedetik kemudian pertanyaannya pun terjawab.
“Agrasora!” Sebuah kata mantra kembali diucapkan cukup keras oleh Sora, membuat lingkaran cahaya itu langsung berputar sangat cepat, dalam waktu lima detik saja cahaya tersebut telah berubah menjadi sesosok makhluk raksasa setinggi kira-kira empat meter yang berdiri tegap di belakang Sora, cahaya rembulan yang terang di tambah cahaya merah yang menyelimuti tubuh makhluk itu semakin memperjelas wujudnya. Armor berwarna keperakan dengan beberapa ukiran klasik tampak kokoh membalut kulit dan melindungi tubuh kekar sang makhluk, tangan kanannya menggenggam erat sebuah palu besar yang dipanggul pada pundak bagian kanan. Tampilannya itu membuatnya tampak bagaikan seorang ksatria raksasa yang garang. Sebuah helm baja berhias sepasang tanduk panjang melingkar sampai bagian belakang kepala melengkapi armor peraknya, pandangan mata makhluk itu sangat tajam, tampak sebuah seringai sinis muncul dari balik senyumannya, memberikan kesan misterius makhluk tersebut. Kulit berwarna coklat gelap sedikit terlihat dari bagian wajahnya yang tidak tertutup oleh armor baja.
“Hah…, makhluk itu seperti monster, tapi terlihat berbeda dengan Monster, karena tidak ada monster yang menggunakan devastra serta memakai armor selengkap itu, “a-apa sebenarnya makhluk itu Tuan Sora, kenapa kau bisa memunculkan makhluk segarang itu secara tiba-tiba” tanya Mahesa dengan menatap keheranan makhluk di depannya.
“Perkenalkan makhluk di belakangku ini, dia bernama Agrasora, inilah yang dinamakan teknik Sakaroga, yakni teknik untuk memanggil makhluk dalam diri kita” Jawab tuan Sora penuh kebanggaan, “wujud makhluk ini menggambarkan karakterku yang sebenarnya, karena memang makhluk itu dibuat berdasarkan karakter dalam diriku.
“Ja-jadi itu teknik sakaroga, aku paham sekarang, “tapi bagaimana kekuatannya, apa benar bisa dua kali lipat dari sang penggunanya?”
“Jika ingin tahu, kau boleh mencobanya” Jawab Tuan Sora singkat sembari menoleh ke belakang menatap makhluk besar yang dimunculkannya, “Agrasora, temani anak itu bermain sebentar, tapi jangan terlalu serius” Pinta Sora pada makhluk besarnya.
“Baik, dengan senang hati” Jawab makhluk tersebut, suaranya yang besar dan menggetarkan terdengar begitu jelas. Tanpa menunggu lama, Agrasora langsung melompat tinggi menuju tempat yang lebih lapang.
“Woow…, di-dia juga bisa berbicara, menakjubkan sekali teknik ini”
“Kau tunggu apa lagi bocah, bermainlah dengan Agrasora, ingat hanya lima menit saja, tenagaku masih belum pulih untuk mengendalikannya lama-lama”
“Baiiiikkkk!” Mahesa kemudian melompat tinggi dan berlari menuju Makhluk besar yang sedang menunggunya, tanpa banyak bicara dia langsung menyarangkan beberapa pukulan dan tendangan kepada makhluk besar itu. Kilatan-kilatan cahaya muncul ketika serangannya mengenai tubuh sang Makhluk tersebut. Namun makhluk besar itu hanya diam seperti tidak merasakan apapun.
“Wah… agresif juga cucumu Tuan Renzo, dia menyerang tanpa henti, aku bisa merasakan kekuatannya ketika pukulan dan tendangannya mengenai tubuh Agrasora, meskipun hanya serangan iseng saja, sepertinya dia telah menguasai devastra tingkat sagtra tahap empat, sebanding dengan muridku yang akan memberontak”
“Ya kau benar… untunglah makhlukmu itu dua kali lipat lebih kuat darimu, jadi bisa menjadi temannnya berlatih”
Kakek Ren dan Tuan Sora mengamati pertarungan antara Mahesa dengan Agrasora dari jarak yang cukup jauh. Sementara Mahesa yang berusaha keras mengalahkan Agrasora mulai meningkatkan tenaganya. Karena berbagai serangan fisik yang dilancarkan ternyata tidak mempengaruhi makhluk itu sedikit pun, bahkan bergeserpun tidak, Agrasora tetap berdiri kokoh bagaikan patung baja.
“Apa yang kau lakukan bocah, seranganmu itu rasanya seperti pijatan di tubuhku, nyaman sekali, he... he...” ucap makhluk besar itu sambil tertawa ringan.
“Egrhh... kau benar-benar meremehkanku kulit coklat, akan kubuat kau hangus terbakar” jawab Mahesa penuh kekesalan, ia menghentikan serangannya dan mundur tiga meter dari makhluk tersebut. “Egrhhh... memang benar, aku akui kuat sekali makhluk ini, bahkan dia belum melakukan serangan sama sekali” Ucap Mahesa dalam hati,
“Kenapa kau berhenti, apa sudah waktunya tidur bocah, kalau begitu jangan lupa cuci kaki dan berdoa dulu sebelum tidur”
“Puiihh... nasihat yang bagus, kau memang cocok menjadi seorang guru taman kanak-kanak, “tapi sayang sekali, aku akan pergi tidur setelah membuatmu hangus terbakar”
Mahesa kemudian mulai memunculkan teknik elemental yang telah dipelajari selama ini dari buku Crosaiden, “kalau begitu, sedikit tambahan api mungkin akan dapat menyakitinya” Gumam Mahesa seraya kembali mengepalkan kedua tangannya yang diselimuti kobaran api cukup besar. Ia pun kembali melakukan berbagai serangan ke arah Agrasora, kini setiap pukulan dan tendangannya terlihat lebih kuat dan membara karena disertai kobaran api di setiap gerakan yang dilakukan.
“Ha... ha... Api sebesar itu hanya bisa untuk merebus air anak muda, buatlah yang lebih besar”
“Wah... keterlaluan sekali, kau benar-benar meremehkanku makhluk bongsor, baiklah jika itu yang kau minta” akhirnya, Mahesa kembali melompat menjauhi makhluk tersebut, lalu pada jarak sekitar lima meter, Mahesa berkonsentrasi sejenak, lalu lima detik kemudian…
“Aruna Bastra!” Mahesa berteriak keras, dibarengi dengan munculnya sepuluh bara api cukup besar berbentuk kepala naga dari tubuhnya (bwoooshhh!), bara api itu tampak berjajar di samping kanan dan kirinya, hawa panas langsung terasa di sekitar tempat itu. Sekali kibasan tangan, semua bara api itu melesat cepat menghujam keras secara beruntun ke tubuh Agrasora, tubuh besarnya dengan telak terkena serangan api yang dilancarkan secara bertubi-tubi, serangan api bebentuk kepala naga itu ternyata mampu membuat Agrasora terdorong hingga empat meter ke belakang, armor yang dikenakannya pun sebagian menjadi hangus terbakar terkena sihir Aruna Bastra.
“Huft… huft…, jurus dari buku crosaiden ternyata kuat juga, rasakan itu makhluk kulit merah, pasti kulitmu bertambah matang sekarang” Belum sempat Mahesa mengatur napasnya, tiba-tiba saja…
“Huaarghhhh…!” Makhluk itu melompat dengan cepat, sisa kobaran api yang masih sedikit menyala membakar armor di bagian pundak kanannya seperti tidak dihiraukan, dia menggenggam erat senjatanya dan melakukan sebuah serangan kuat dengan menghujamkan palu besar itu ke arah Mahesa,
“Hah…, dia menyerang, “Perisai angin!” dengan cepat Mahesa merapatkan kedua tangannya untuk menutupi bagian wajah dan dada, (bweeeashh...) dari pergelangan tangannya muncul pusaran angin yang sangat kuat membentuk sebuah perisai besar menghalangi hantaman palu Agrasora, lalu tak dapat di elakkan lagi (Jduaaggg!), benturan keras pun terjadi, karena kuatnya pukulan sang makhluk raksasa, membuat Mahesa terdorong ke belakang hingga menabrak sebuah pohon besar (Bruuak!)
“Puih…, kurang ajar kauuuu!” Mahesa segera bangkit, dan mengepalkan kedua tangannya sambil berlari ke arah Agrasora, ia dengan cepat melakukan serangan balasan, “Naga Bajra!” tampak kedua kepalan tangannya kini muncul kilatan petir yang secara cepat membentuk seekor naga berukuran cukup besar. Naga yang terbentuk dari kilatan petir itu terlihat memutari tubuh Mahesa, sekejap kemudian ia melompat tinggi hingga tepat di atas Agrasora, sebuah pukulan kuat mengantarkan naga petir itu melesat menuju ke arah Makhluk besar yang menjadi lawannya, namun secara reflek Agrasora memutarkan palunya sangat cepat sekali bagaikan baling-baling,
“Lingkaran Api!” teriak makhluk itu, dan dari putaran palunya itu terbentuklah kobaran api yang sangat besar sehingga naga petir Mahesa menghujam keras menghantam kobaran api Agrasora (Bhluuaarrrr!), ledakan besar pun tidak terhindarkan, membuat mereka berdua terpental cukup jauh,
“Eggrhh… huft, huft, rupanya kau bisa sihir elemental juga, baiklah akan kutunjukkan lagi yang lebih hebat” Dengan napas yang masih tersengal-sengal Mahesa mulai bangkit, dia membersihkan debu-debu yang menempel pada tubuhnya, luka bakar pada bagian dada kiri dan lengan kanannya akibat ledakan itu pun kembali pulih dengan cepat, ia kembali berdiri tegak dan menatap makhluk besar di depannya, pandangan anak muda itu sangat serius, menggambarkan semangat bertarungnya yang semakin kuat. Kini dari kepalan kedua tangannya terbentuk seekor naga dari elemen air sepanjang sepuluh meter yang bergerak mengitari tubuhnya. Agrasora hanya menyeringai sinis sambil memanggul palu besar, sepertinya makhluk berkulit coklat itu tetap meremehkan kekuatan Mahesa. Tetapi Mahesa tidak mempedulikan hal itu, dia merasakan hal yang berbeda, karena dia tahu bahwa lawannya adalah makhluk yang kuat, hal itu membuat jantungnya berdegup kencang, ada perasaan senang dan tertantang yang muncul secara bersamaan,
“Baiklah..., api melawan air, kita lihat siapa yang lebih kuat” ucap Mahesa sambil berjalan pelan, namun baru beberapa langkah ia berjalan tiba-tiba saja (wuuuiiiingg!)
“Hah… kemana makhluk itu, kenapa tiba-tiba menghilang” Gumam Mahesa dalam hati, ia menengok ke kanan dan kiri, mencari keberadaan makhluk besar berkulit coklat tersebut, namun yang terlihat hanya pepohonan dan bebatuan yang ada disekitarnya.
“Hooiii...! Agrasora dimana kau, kita masih belum selesai, keluarlah! akan kubuat kulitmu yang berwarna coklat itu menjadi semakin cerah, aku jamin kau akan kelihatan lebih gagah” Teriak Mahesa, ia berjalan perlahan, kewaspadaannya tetap terlihat dari tiap langkah yang ia lakukan. Naga dari elemen air tampak masih mengitari tubuhnya, ia benar-benar telah siap untuk melakukan serangan yang lebih kuat lagi. “Agrasora, keluarlah, kita tidak sedang bermain petak umpet, kita lanjutkan pertandingan kita” Teriak Mahesa sembari tetap mencari keberadaan makhluk itu.
“Mahesa! Apa yang kau lakukan, cepat kembali kemari, permainannya sudah selesai” terdengar teriakan Kakek Ren mengagetkan kewaspadaan Mahesa. Seketika itu juga elemen air berbentuk seekor naga mulai menghilang dari tubuhnya.
“Hah, apa benar itu?” Mahesa memandang ke arah Kakek Ren dan Tuan Sora yang berdiri agak jauh darinya.
“Iya benar Mahesa, huft... huft..., tenaga devastraku sudah hampir habis, apa kau kira mengendalikan makhluk itu tidak membutuhkan tenaga tambahan, aku ingin istirahat sebentar” Jawab Tuan Sora sambil berjalan perlahan dengan nafas sedikit terengah-engah, Kakek Ren kemudian juga berjalan mengikutinya menuju ke serambi rumah untuk beristirahat.
“Oo... Jadi seperti itu, sedikit merepotkan kalau begitu” Jawab Mahesa, ia pun segera berlari kembali ke rumahnya. Mereka bertiga kembali beristirahat sambil mencicipi makanan yang masih tersisia, Mahesa dan Tuan Sora terlihat langsung meneguk air putih dingin untuk menghilangkan rasa hausnya.
“Akhh... segar sekali rasanya” ucap Mahesa seraya mengusap mulutnya yang terkena tetesan sisa air minum, “Kakek Ren kenapa kakek tidak mampu menguasai teknik sakaroga” tanya Mahesa. Mendengar pertanyaan dari cucunya Kakek Ren hanya tersenyum, sambil menuangkan kopi ke dalam gelas Kakek Ren menjawabnya dengan santai,
“Itu bukan sebuah teknik yang bisa dikuasai semua orang Amoga Mahesa, setiap suku bangsa di Amoga memiliki tekniknya sendiri-sendiri”
“Lalu apa teknik yang menjadi suku bangsa kita kek”
“Kau sudah mempelajarinya, teknik andalan kita adalah Gardamostra yakni mengubah tenaga devastra menjadi sebuah bentuk senjata atau sebuah makhluk yang mampu memperkuat serangan, seperti kau mengubah aura api menjadi bentuk kepala naga, itu adalah teknik Gardamostra”
“Oo... seperti ketika kakek mengeluarkan meteor besar untuk melawan monster Algor dulu”
“Wah... benar sekali, ternyata kau masih ingat cucuku”
“Lalu apa bedanya antara teknik Sakaroga dan Gardamostra kek”
“Pembedanya sederhana Mahesa, teknik Gardamostra untuk menciptakan makhluk atau senjata yang dibentuk dari tenaga devastra, sedangkan teknik Sakaroga adalah teknik pemanggil untuk memunculkan makhluk dari dalam diri pengguna yang sesuai dengan karakter penggunanya.
“Hmmm..., benar juga, aku membuat bentuk naga karena mengalirkan tenaga devastra, semakin besar aku mengeluarkan tenaga devastra, semakin besar bentuk naga yang aku munculkan, “itu berarti aku tidak bisa menguasai teknik sakaroga, padahal teknik itu sangat kuat, sayang sekali” ucap Mahesa sembari merebahkan tubuhnya, ia tampak sangat kecewa, karena dalam benaknya masih terbayang teknik Sakaroga yang baru saja dia hadapi.
“Kenapa kau lesu begitu anak muda, tentu saja kau bisa melakukan teknik sakaroga ini, bahkan mungkin lebih kuat lagi” Ucap Tuan Sora dengan tenang, perkataanya yang singkat itu bagaikan petir yang menyambar telinga Mahesa, hingga membuatnya langsung terbangun dan menatap Tuan Sora penuh keseriusan.
“Kenapa kau menatapku seperti itu, apa ada yang salah, “Kau juga Tuan Renzo kenapa menjadi tegang begitu”
“Apa yang kau katakan Tuan Sora, apa benar Mahesa mampu menguasai teknik Sakaroga, bukankah itu teknik sihir khusus dari suku bangsamu, dan bangsa lain pasti tidak mampu menguasainya, bukankah tiap penyihir di Ordeus memiliki tekniknya sendiri-sendiri”
“Tentu saja aku serius tuan Renzo, karena aku lihat Mahesa mampu menggunakan sihir elemental untuk melakukan serangan, bahkan empat elemen secara langsung, dan luka bakar di tubuhnya bisa kembali pulih dengan sangat cepat, itu hal yang aneh di dunia sihir, “ternyata desas-desus tentang pembasmi monster pengguna empat elemen alam memang bukan cerita bohong, tidak sia-sia aku datang kemari”
“Kau benar tuan Sora cucuku memang menguasai empat elemen alam dan mampu pulih dengan cepat, itu karena darah akral yang dulu diminumnya"
“Darah akral, ramuan dari dewa, kau benar-benar beruntung anak muda”
“Tuan Sora mengetahui tentang darah Akral?”
“Ya... sedikit, di suku bangsaku, bangsa Sakarya cerita tentang darah Akral seperti mitos yang sulit dipercaya, tapi ternyata kau telah meminumnya”
“Oo… begitu ya, aku tidak menyangka ternyata darah akral adalah sebuah legenda” sahut Mahesa.
“Tapi kau harus pahami ini dulu Mahesa, teknik Sakaroga merupakan teknik yang didasarkan dari elemen alam yang ada dalam diri manusia, dan tiap suku bangsa yang menguasai sihir elemental pasti mampu menguasai teknik Sakaroga, “tetapi tiap penyihir hanya mampu menguasai satu elemen alam, seperti diriku ini, kau telah melihatnya sendiri, aku hanya menguasai elemen api, “sedangkan kau Mahesa, kau mampu menguasai empat elemen secara langsung, maka itu aku katakan kau akan mampu lebih kuat lagi”
“Jadi syarat utamanya kita harus menguasai sihir elemental dulu?”
“ya... benar sekali, maka itu Kakek Ren tidak dapat melakukan teknik Sakaroga”
“Lalu bagaimana cara menguasai teknik itu?” tanya Mahesa, dia sangat bersemangat sekali ingin memelajari teknik Sakaroga.
“Aku akan mengajarimu Mahesa”
“Benarkah..., Yeahhhhkkkh!..., ini baru hebat namanya” teriak Mahesa seraya mengangkat tangannya ke atas.
“Hoiii... jangan senang dulu, tapi ada syaratnya, untuk itulah aku jauh-jauh datang menemuimu dan Tuan Renzo, karena aku telah mendengar tentang semua kemampuanmu itu”
“Hah... ada syaratnya, huihh... memang tidak ada yang gratis di dunia ini” ucap Mahesa
“Ha... ha... bersemangatlah anak muda, itu baik untuk anak seusiamu” Jawab Sora, ia tertawa lepas melihat tingkah Mahesa
“Apa kau serius tuan Sora, apa syarat yang kau minta?”
“Tentu saja aku serius tuan Renzo, karena masalah yang aku hadapi juga sangat serius, dan satu-satunya harapanku adalah cucumu ini”
“Memang apa yang terjadi?” tanya Kakek Ren
“Pertama, masalah ini bersumber dari muridku sendiri, jika dia mendapatkan gulungan baja bayanaka ini”—tuan Sora menunjukkan gulungan berwarna coklat yang berisi pengetahuan untuk membuat baja Bayanaka —“maka dia akan dapat menciptakan pasukan dengan persenjataan dan baju perang yang sangat kuat, “mungkin boleh dibilang itu adalah pasukan super elit, karena dia adalah komadan dari pasukan elit, jika itu terjadi huuuffttt…”—Tuan Sora menarik napas panjang sejenak untuk meringankan pikirannya,—“maka pemberontakan besar akan dilakukan, itu berarti perang besar akan terjadi, dan pastinya akan menimbulkan korban yang tidak sedikit, “hal itulah yang aku takutkan tuan Renzo, aku telah mendidik seseorang yang lebih ganas dari seekor monster”—tuan Sora membungkukkan badannya,—“maka itu aku mohon bantulah aku menghentikan muridku yang telah haus kekuasaan, bantulah aku menghentikan sebuah perang besar yang akan terjadi di suku bangsaku yakni bangsa Sakarya, aku yakin kau pasti mengerti tuan Renzo, kini muridku telah menjadi komandan pasukan elit Kerajaan Sakarya dan ia juga mendapat bantuan dari kerajaan Conra, kerajaan bangsa Amoga, salah satu kerajaan besar di Ordeus, dengan bantuan dari kerajaan Conra dan persenjataan yang kuat dari baja Bayanaka maka sudah dipastikan bangsa Sakarya akan dapat dengan mudah dikuasi olehnya” jelas tuan Sora, ia tampak tulus memohon bantuan kepada Kakek Ren, suaranya terdengar bergetar, ada rasa penyesalan dan ketakutan yang menyusup di setiap kata-katanya. Kakek Ren menatap tuan Sora yang sedang membungkukkan badan dihadapannya, dia pun dapat memahami beban dan tanggung jawab yang diemban oleh tuan Sora sebagai seorang guru, rasa bersalah dalam dirinya terlihat begitu dalam.
“Kenapa kerajaan Conra mau membantu muridmu memberontak pada bangsanya sendiri, bangsa Sakarya?”
“Karena sebuah perjanjian Tuan Renzo, muridku berjanji pada Kerajaan Conra, jika mau membantunya untuk menguasai bangsa Sakarya, maka bangsa Sakarya akan bersedia menjadi bagian dari kerajaan Conra, itu artinya wilayah kekuasaan kerajaan Conra akan lebih luas dan semakin memperkuat posisinya di Ordeus, sebab yang bisa menandingi kebesaran kerajaan Conra hanya kerajaan Ogura kerajaan milik bangsa Asura”
“Hmm… jadi seperti itu”—Kakek Ren memegang pundak Tuan Sora—“Bangunlah tuan Sora, aku memahaminya, aku pasti akan membantumu, “Jadi cuma itu syarat yang kau minta untuk teknik Sakaroga?” Mendengar jawaban dari Kakek Ren, tuan Sora merasa lega, ia menjadi tidak sia-sia datang ke bukit Bhadrasana, ia pun menegakkan kembali badannya dan menjawab,
“Aku rasa itu saja, akan kuajarkan teknik Sakaroga kepada Mahesa, dan aku mohon kau kalahkan muridku, ambillah senjata kapak dan armor yang digunakannya, karena semua benda itu adalah milikku yang dicurinya, dan kedua senjata itu kubuat dari baja bayanaka. Dengan menggunakan dua senjata itu maka muridku bisa menjadi jauh lebih kuat dari kemampuan dasarnya, hingga membuatnya liar dan tak terkendali”
“Kau tidak perlu khawatir tuan Sora, jika aku menguasai teknik itu, akan kukalahkan muridmu” sahut Mahesa dengan bersemangat, namun tiba-tiba ia terdiam sejenak seperti memahami sesuatu,
“Kenapa anak muda, kenapa kau tiba-tiba diam, apa kakimu digigit semut, he… he…”
“Bukan tuan Sora, tapi yang kupikirkan jika muridmu itu menggunakan senjata dan armor terbuat dari baja bayanaka, baja yang kau katakan tadi mampu melipatgandakan kekuatan penggunanya, maka meskipun aku menguasai teknik Sakaroga, kurasa aku masih belum mampu mengalahkannya”
“Kau cermat juga bocah, senjata dari baja Bayanaka memang mampu melipatgandakan kekuatan serangan yang dilakukan, tapi kita memiliki ini” jawab Sora sambil menunjukkan gulungan dari kulit berwarna coklat.
“Apa kau ingin membuat baja bayanaka juga Tuan Sora”
“Tentu saja tidak, karena pembuatan baja Bayanaka membutuhkan beberapa proses dan itu akan memakan waktu cukup lama, yang akan kulakukan adalah membuat sebuah pertandingan secara adil dengan dia, karena muridku itu suka sekali berduel untuk mengukur kekuatan yang ia miliki”
“Maksud tuan Sora bagaimana?” Tanya mahesa karena belum memahami apa yang direncanakan oleh tuan Sora.
“Muridku itu sangat menginginkan gulungan ini, jadi aku akan menawarkan pada dia untuk berduel melawanmu Mahesa, namun dengan sebuah syarat, dia tidak boleh menggunakan senjata dari baja Bayanaka, jika dia menang maka aku akan memberikan gulungan ini, tetapi jika kau yang menang, maka aku akan mengambil kembali senjata dan armornya. Aku yakin tanpa dua senjata itu dia tidak akan dapat melakukan pemberontakannya, dan yang terpenting tidak ada saling bunuh dalam duel ini”
“Rencana yang bagus Tuan Sora, aku pasti akan berjuang untukmu”
“Baguslah..., kalau begitu aku akan mengajarkanmu untuk menjadi lebih kuat Mahesa, ingat peperangan yang akan terjadi tergantung dari pertarunganmu nanti, dan aku percaya kau pasti mampu mengalahkannya”—Tuan Sora menepuk bahu Mahesa yang duduk tak jauh darinya—“karena setelah mendengar tentang pembasmi monster dari bangsa Amoga yang mampu mengendalikan empat elemen, beberapa minggu ini aku selalu mencari dan mengamati setiap pertarunganmu ketika melawan para monster di beberapa desa”
“Percayalah tuan Sora, akan kudapatkan kembali semua senjatamu, dan peperangan di Sakarya tidak akan pernah terjadi, karena aku sangat membenci peperangan yang tidak ada gunanya ini” Nada suara Mahesa sedikit meninggi, ada rasa amarah terselip di dadanya ketika mendengar tentang peperangan.
“Tapi menurutku biarkan saja muridmu itu memakai senjata dan armornya Tuan Sora” Sahut Kakek Ren menyela pembicaraan.
“Hah... apa kau serius tuan Renzo, jika dia menggunakan senjata dari baja Bayanaka maka kekuatannya akan meningkat dua kali lipat, dan Mahesa tidak akan memiliki peluang untuk menang, meskipun ia telah menguasai teknik Sakaroga, “karena yang aku inginkan adalah duel dengan menggunakan makhluk dari teknik Sakaroga” Jawab tuan Sora menegaskan rencananya.
“Aku serius Tuan Sora, karena aku mempunyai sebuah senjata yang akan dapat menandingi kekuatan baja Bayanaka”
“A-apa, menandingi baja bayanaka, senjata apa itu, lalu bagaimana kau yakin senjatamu mampu menandingi baja Bayanaka yang memiliki tiap unsur terbaik dari empat baja di Ordeus?” tuan Sora sangat terkejut dengan jawaban Kakek Ren yang di luar dugaannya.
“Aku yakin karena aku telah membaca gulunganmu itu, dan aku rasa sekarang memang waktu yang tepat untuk memberikan senjata itu kepada Mahesa, karena memang senjata ini aku rancang bersama ayah dan ibunya untuk digunakan oleh Mahesa suatu saat kelak”
“Benarkah itu Kek?” tanya Mahesa singkat.
“Benar Mahesa, kau tunggulah sebentar disini” Ucap kakek Ren sembari beranjak dari tempat duduknya, ia lalu berjalan masuk ke dalam rumah. Mahesa dan Tuan Sora hanya terdiam mendengar ucapan Kakek Ren, rasa penasaran telah mengganggu pikiran mereka, hingga menimbulkan rasa tidak sabar untuk melihat senjata seperti apa yang dimaksud oleh Kakek Ren.
“Sebenarnya senjata apa yang dia buat, apa benar mampu sebanding dengan baja Bayanaka, “jika memang benar, senjata itu bisa menjadi incaran semua prajurit di Ordeus” Pikir Tuan Sora dalam hati, dia benar-benar merasa penasaran dengan senjata yang dikatakan oleh Kakek Ren. Beberapa saat kemudian, kekalutan pikirannya akan segera terjawab, sebab Kakek Ren telah keluar dari dalam rumah dengan membawa sebuah kotak kecil berukuran 15 x 15 cm, kotak itu terlihat berkilau karena berbahan kaca hitam yang terlihat begitu bersih. Pandangan mata Mahesa dan Tuan Sora tidak lepas dari kotak kaca hitam yang dipegang Kakek Ren. Lalu setelah duduk kembali diantara mereka, Kakek Ren mulai berbicara.
“Senjata itu ada di dalam kotak ini, ambillah Mahesa” ucap Kakek Ren seraya menyodorkan kotak kaca hitam kepada Mahesa.
“Baik Kek” Jawab Mahesa singkat, sesaat ia menatap kotak hitam di tangan kakeknya, lalu ia pun mengambil kotak itu dan mengamatinya lebih detail lagi.
“Kek kenapa tidak ada tutupnya, kotak ini seperti kubus saja, bagaimana cara membuka benda ini” Mahesa sedikit kebingungan melihak kotak hitam yang berbentuk polos itu.
“Gunakan bandul kalung pemberian ibumu dan tempelkan pada bagian tengah kotak itu, letakkan tepat pada lingkaran merah kecil yang terdapat pada bagian atas kotak”
“Baik Kek,” ucap Mahesa, sembari meletakkan kotak hitam di lantai, tangan kanannya meraih sebuah kalung berbandul unik yang selama ini selalu ia pakai, karena benda itu adalah satu-satunya peninggalan dari ibunya, maka itu Mahesa selalu menjaga kalung tersebut. Dengan hati-hati Mahesa meletakkan bandul kalung tersebut di atas kotak hitam seperti yang diperintahkan oleh Kakek Ren, dan ketika bandul kalung itu telah berada tepat di atas kotak hitam, (Wuuung…) terlihat cahaya biru berbentuk garis-garis yang menyala mengelilingi kotak hitam itu, dan dalam waktu singkat kotak itu pun terbuka. Mahesa dan Tuan Sora terperanjat melihat isi dari kotak tersebut, mata mereka menatap nanar ke arah benda di dalam kotak,
“Hah... sebuah kelereng hitam!” Teriak Mahesa secara spontan,
“Benar kau Mahesa, kenapa isinya hanya sebuah kelereng hitam, Cuma sedikit lebih besar saja” sahut Tuan Sora, namun Kakek Ren hanya tersenyum melihat mereka,
“Kalian boleh menyebutnya kelereng hitam, tapi benda itu sebenarnya bernama Pancaloka”
“Pancaloka, apa benar ini sebuah senjata, kenapa bentuknya hanya bulat begini” tanya Tuan sora penuh rasa kebingungan melihat benda bulat di depannya.
“Kalau begitu akan kutunjukkan senjata apa Panacaloka sebenarnya, “senjata ini terbuat dari bahan dasar sebuah meteor yang bernama meteor Handaru yang dikombinasikan dengan tujuh baja terbaik di Ordeus, hingga menghasilkan sebuah baja yang bernama Adhigana”
“Baja Adhigana, aku baru mendengarnya”
“Memang kami tidak membuatnya dalam jumlah banyak, seperti baja Bayanakamu, yang hanya kau buat untuk beberapa senjata saja, aku setuju dengan pemikiranmu tuan Sora, aku juga tidak mau baja Adhigana ini digunakan untuk peperangan di Ordeus, maka itu aku ingin membantumu”
“Jadi begitu,”—jawab tuan Sora singkat, lalu ia meneguk kembali kopi yang masih tersisa—“Berapa banyak senjata yang kau buat dengan baja Adhigana itu”
“Cuma Pancaloka saja, karena memang bahan yang dihasilkan hanya sedikit, jadi Pancaloka satu-satunya senjata yang menggunakan baja Adhigana”
“Hmm... berarti tidak perlu khawatir untuk disalahgunakan”
“Ya... begitulah, semakin kuat senjata maka semakin besar bahaya yang ditimbulkan”
“Tuan Renzo kalau boleh tahu, apa karakteristik baja Adhigana ini, kenapa kau mengatakan bahwa senjata Pancaloka sebanding dengan senjata yang menggunakan baja bayanaka?”
“Karakteristiknya sama tuan Sora, baja itu mampu menyerap, menyimpan, dan melipatgandakan kekuatan penggunanya, tetapi satu lagi karakteristik baja Adghigana”
“Apa itu tuan Renzo, tolong beritahu aku”
“Baiklah, akan kutunjukkan keunggulan baja Adhigana ini, “Mahesa tolong kau berikan beberapa tetes darahmu di atas Pancaloka”
“Da-darahku kek, apa tidak salah” Mahesa merasa sedikit ragu dengan permintaan kakeknya.
“Tentu saja tidak, jadi lakukan saja, bukankah lukamu bisa cepat pulih”
“Iya, baiklah kalau begitu” Mahesa menjawab singkat, ia kemudian meraih pisau kecil di depannya yang digunakan untuk mengupas kulit apel. Tanpa rasa ragu sedikit pun ia lalu menggoreskan pisau sepanjang 10 centimeter itu ke telapak tangannya.
“Egrh...” Mahesa merapatkan gigi erat-erat, menahan sedikit rasa perih di tangan kirinya. Darah segarpun keluar dari telapak tangannya, ia buru-buru meneteskan darah itu pada bola Pancaloka. Sekejap kemudian luka di telapak tangannya pun pulih kembali, darah berhenti mengalir, namun tatapan matanya tetap tertuju pada bola hitam di dalam kotak. Darah yang diteteskan Mahesa diserap dengan cepat oleh bola hitam itu, dan membuat bola itu mengeluarkan cahaya merah menyala selama beberapa detik, sebelum akhirnya cahaya itu menghilang.
“Hah... Kakek sepertinya bola hitam ini menyerap darahku, apa perlu aku tambahkan lagi darahnya”
“Tidak perlu Mahesa, senjata itu dibuat dengan menggabungkan kecanggihan teknologi dan keajaiban ilmu sihir, “Ayahmulah yang menemukan baja Adhigana ini, sementara aku dan ibumu melengkapinya dengan tenaga sihir, “bola hitam itu tadi bersinar karena menganalisa DNA darahmu dan telah menyatu dengan darahmu”
“Lalu apa manfaatnya darahku di dalam bola hitam itu Kek?”
“Untuk mengetahuinya, sekarang coba keluarkan sedikit tenaga devastramu, gunakan untuk menggerakkan dan mengendalikan bola hitam itu”
“Baik akan kucoba” Jawab Mahesa sembari mengarahkan telapak tangan ke arah bola hitam di depannya, ia berkonsentrasi sejenak dan terlihat cahaya merah tipis menyelimuti telapak tangannya, diikuti dengan bola hitam yang tiba-tiba melayang naik setinggi telapak tangan Mahesa, bocah itu pun terkejut melihatnya,
“Hah..., bo-bola ini mengikuti gerakan tanganku” ucap Mahesa sambil menggerakkan tangannya ke kanan dan ke kiri, dan bola itu pun melayang mengikuti gerakan tangannya.
“Kau benar mahesa, DNA mu menjadi seperti magnet di dalam bola hitam, jadi hanya kau yang bisa mengendalikan Pancaloka itu, “bawalah keluar, berlatihlah sebentar dengan bola hitam itu”
“Baik Kek,” Mahesa bergegas keluar dengan bola hitam yang bergerak secara simultan mengelilingi tubuhnya,
“Hoi… ingat bola hitam itu namanya Pancaloka, jadi jangan disebut bola hitam atau kelereng lagi”
“Akan kuingat itu Kek” jawab Mahesa singkat, Ia pun langsung bergerak ke berbagai arah dengan mengendalikan Pancaloka, kadang melompat di beberapa pohon, kadang berlari cepat mengelilingi pohon, sesekali ia melepaskan Pancaloka seperi sebuah peluru hingga mampu menembus sebuah batang pohon yang cukup besar. Kakek Ren bersama Tuan Sora mengamati setiap gerakan Mahesa dengan cermat dan menganalisa kekuatan tenaga yang dikeluarkan oleh anak muda itu.
“Kau memiliki cucu yang kuat tuan Renzo”
“Tapi dia masih perlu banyak bimbingan tuan Sora, karena bocah itu dibesarkan dalam masa peperangan, jadi masih sedikit liar”
“Tapi aku yakin dia mampu menghentikan peperangan di Ordeus ini”
“Ya... memang itulah yang sangat kuharapkan tuan Sora, juga harapan kedua orang tuanya”
“Tuan Renzo, kalau aku amati apakah senjata Pancaloka itu memang di desain sebagai peluru, karena kulihat Mahesa mengendalikan senjata itu seperti sebuah peluru, dia kadang menembakkan bola hitam itu melalui gerakan tangannya hingga mampu menembus tiga buah pohon besar sekaligus, memang kekuatan yang luar biasa, jika seorang prajurit mengenakan armor lengkap, pasti dengan mudah dapat ditembusnya”
“Ha… ha… analisamu cermat juga tuan Sora, tapi masih ada yang belum kau ketahui dari pancaloka”
“Hah! ada lagi, apa itu tuan Renzo?” tanya Tuan Sora, dia secara reflek semakin menajamkan pandangannya ke arah senjata Pancaloka yang dikendalikan Mahesa dengan bebas di halaman rumah. Tuan Sora berusaha memahami sesuatu dari senjata bulat bernama Pancaloka, namun dia tetap tidak dapat memahami apa pun dari benda itu, selain seperti sebuah peluru bulat yang dikendalikan dan ditembakkan oleh Mahesa melalui gerakannya.
“Baja Adhigana mampu memiliki dua bentuk yang berbeda, yang kau lihat itu adalah bentuk pertamanya”
“Dua bentuk, apa maksudmu tuan Renzo”
“Daripada kau penasaran, lihatlah baik-baik tuan Sora” Jawab Kakek Renzo sambil beranjak pergi menuju ke depan rumah, tangan kanannya mengambil segelas kopi di dekat meja yang dilewatinya. Tuan Sora pun tidak tinggal diam, ia bergegas mengikuti Kakek Ren yang telah berjalan lebih dulu. Setelah meneguk segelas kopi di tangannya, Kakek Ren memanggil Mahesa yang sedang berlatih menggunakan senjata Pancaloaka.
“Mahesa! Kemarilah sebentar” Pinta sang Kakek,
“Ada apa Kek, senjata yang lumayan juga meskipun bentuknya bulat begini” Mahesa segera bergegas menghampiri sang Kakek sambil mengendalikan bola hitam yang memutari tubuhnya.
“Kelihatannya meskipun sebentar kau sudah terbiasa dengan senjata itu”
“Ya... begitulah, senjata Pancaloka ini seperti bagian dari tubuhku sendiri, ternyata aku bisa mengendalikannya dengan menggunakan pikiranku juga”
“Hmmm... baguslah, kalau begitu aku ajarkan tahap selanjutnya”
“Tahap selanjutnya, apa maksud Kakek?”
“Kau ikuti saja perintah Kakek, kau pegang bola hitam itu, dan sebutkan namanya, jangan lupa salurkan tenaga devastramu”
“Baik Kek” jawab Mahesa, hanya dengan satu jentikan jari, bola hitam itu melesat ke arah telapak tangan Mahesa, bocah itu pun langsung menggenggamnya erat dan...
“Pancaloka!”
dengan tegas Mahesa menyebutkan nama benda tersebut, dalam sekejap saja benda ditangannya itu tiba-tiba menjadi lentur seperti membentuk suatu benda lain,
“A-apa yang terjadi dengan benda ini” pikir Mahesa dalam hati, dan sedetik kemudian, bola pancaloka telah berubah menjadi sebuah pedang yang cukup besar. Pedang sepanjang kira-kira satu meter itu memiliki warna hitam berkilau yang dipadu dengan warna keperakan pada bagian mata pedang serta beberapa bagian lainnya. Bentuknya yang artistik dengan beberapa ukiran menghiasi mulai gagang hingga bagian tengahnya membuat pedang tersebut menjadi terlihat unik. Pada bagian punggung pedang juga tampak meruncing berhiaskan empat kelereng berwarna perak berkilau. Tuan Sora pun menjadi tersentak kaget melihat perubahan senjata itu.
“Wow... be-bentuk kedua Pancaloka ternyata sebuah pedang besar” ucap Mahesa sambil memegang erat gagang pedang itu menggunakan kedua tangannya. Ia mengamatinya tanpa berkedip, rasa terkejut masih menguasai hati bocah itu. Tetapi bukan Mahesa saja, Tuan Sora juga tak habis pikir dengan perubahan benda yang begitu cepat, belum pernah ia menyaksikan baja yang mampu memiliki dua bentuk.
“Jadi itu bentuk keduanya tuan Renzo, sebuah pedang besar, benar-benar sebuah karya yang menakjubkan”
“Maaf tuan Sora aku ingin meralat kata-katamu, itu bukan sebuah pedang”
“Hah..., apa yang kau maksudkan?”
“Perhatikan lagi dengan baik Tuan Sora”—Kakek Ren kembali meneguk kopinya,—“Mahesa apa kau lihat empat kelereng berwarna perak pada punggung pedang itu”
“Iya Kek, aku melihatnya sangat jelas, karena ukurannya juga cukup besar, hiasan yang bagus untuk sebuah pedang”
“Hoiii... apa yang kau katakan anak muda, enak saja kau bilang itu hiasan”
“Lalu kalau bukan hiasan apa namanya kek, benda itu cuma menempel pada punggung pedang besar ini” Jawab Mahesa sambil mencoba menyabetkan pedang besar ditangannya ke kanan dan ke kiri.
“Lakukan hal yang sama, pada kelereng merah itu, salurkan tenaga devastramu dan sebutkan nama dari benda itu”
“Baikkk” Mahesa lalu menggenggam erat pedang pancaloka dan menancapkannya ke tanah, dalam waktu singkat cahaya merah yang berasal dari tangan Mahesa mulai terlihat menyelimuti pedang teraebut. Namun Mahesa hanya terdiam seperti memikirkan sesuatu,
“Hoi... cucuku, kenapa kau diam saja, apa yang kau tunggu”
“Kakek, apa nama ke empat kelereng merah ini?” Tanya Mahesa, dahinya berkerut karena memikirkan nama dari kelereng merah tersebut.
“Ha... ha... maaf aku dan orang tuamu lupa memberikan nama pada keempat benda itu” jawab kakek Ren sembari tertawa lepas.
“Hah... kenapa bisa begitu, lalu bagaimana ini kek”
“Terserah kau saja, berikan nama sesuka hatimu”
“Apa bisa seperti itu”
“Kau coba saja, jangan lupa gunakan juga pikiranmu untuk mengendalikannya”
“Baguslah kalau begitu, aku mulai dari yang paling atas, kau kunamakan Bajraaa!” bersamaan dengan ucapan nama dari Mahesa, kelereng perak paling atas tiba-tiba melesat dan berubah bentuk menjadi sebuah pedang berwarna keperakan dipadu dengan warna hitam, pedang berukuran lebih kecil beberapa centimeter dari pedang Pancaloka itu tampak memiliki ukiran yang hampir sama dengan pedang pancaloka, pedang bernama Bajra itu melayang di dekat pundak kanan Mahesa. “Wah... ternyata berhasil, bentuknya sebuah pedang juga” gumam Mahesa sembari melirik pedang perak disamping kirinya, “kalau begitu langsung saja ketiga-tiganya” Mahesa kembali berkonsentrasi dan menatap ketiga kelereng perak pada punggung pedang itu, lalu ia mengucapkan tiga nama secara beruntun.
“Nama kaliaaaan..., Pawana, Udaka, Agni!” dalam waktu singkat ketiga kelereng perak tersebut langsung melesat terbang dan berubah menjadi tiga buah pedang yang melayang diantara tubuh Mahesa. Kini di sekitar tubuhnya telah ada empat buah pedang berwarna keperakan yang melayang sesuai dengan kehendaknya. Tuan Sora sontak berdiri menyaksikan perubahan senjata yang digunakan Mahesa.
“Ternyata masih ada empat pedang lagi, jadi pedang pancaloka berfungsi sebagai induknya, cara yang unik untuk sebuah senjata” ucap tuan Sora dalam hati.
“Mahesa sekarang berlatihlah mengendalikan lima buah pedang itu, supaya kau semakin terbiasa”
“Baiiik kek, akan kukuasai senjata ini dengan cepat” Jawab Mahesa, tanpa menunggu lama anak muda itu dengan gesit melakukan berbagai gerakan yang ia kombinasikan dengan keempat pedang di sekitarnya, melalui tenaga dan pikirannya ia mengendalikan semua pedang yang melayang itu ke berbagai arah, terkadang ia mengubah kembali wujud pedang itu menjadi sebuah kelereng, dan dalam waktu singkat ia telah mengubahnya lagi menjadi lima buah pedang. Tuan Sora menyaksikan senjata yang digunakan Mahesa sambil berdecak kagum.
“Benar-benar karya yang menakjubkan Tuan Renzo”
“Ya... begitulah, satu lagi karakteristik dari baja Adhigana, yakni jika senjata itu patah atau pun hancur, maka baja Adhigana dapat menyatu kembali menjadi bentuk yang utuh, itulah keunggulan gabungan antara ilmu teknologi dan sihir, “kami melakukan penelitian tentang baja ini hingga bisa membuatnya menjadi sebuah senjata membutuhkan waktu sekitar tujuh tahun, dan waktu itu Mahesa masih belum lahir”
“Waktu yang cukup lama, tetapi kau tidak melakukan hal yang sia-sia karena mampu menghasilkan senjata yang luar biasa, aku jadi bertambah yakin, bocah itu dengan kelima pedang dan teknik Sakoraga yang akan kuajarkan padanya, pasti ia mampu mengalahkan muridku dan mencegah peperangan”
“Ya... semoga saja tuan Sora, kita tetap harus waspada, karena segala kemungkinan dalam pertempuran bisa saja terjadi dan membalikkan keadaan”
“Kau benar, semua hal bisa saja terjadi di luar rencana, jadi kita jangan sampai lengah”— tuan Sora kembali meneguk kopinya—“kalau boleh besok aku akan mulai mengajarkan teknik Sakaroga kepadanya”
“Tentu saja, mohon bantuannya tuan Sora”
“Pasti, percayakan cucumu kepadaku”
“Kalau begitu mari kita istirahat dulu, malam sudah sangat larut, lagi pula, luka-luka di tubuhmu biar bisa segera pulih kembali”
“Terima kasih banyak tuan Renzo, kalau begitu aku istirahat dulu”
“Silahkan tuan Sora, aku juga akan segera beristirahat”
Tuan Sora lalu berjalan memasuki rumah Kakek Ren, sementara sang Kakek juga mulai beranjak berdiri dari tempat duduknya,
“Mahesa, sudah cukup latihannya, kita istirahat dulu, sudah terlalu malam”
“Baik Kek” Jawab Mahesa singkat, anak muda itu pun berjalan sambil mengubah kembali kelima pedangnya menjadi sebuah bola hitam. Senjata Pancaloka itu lalu disimpannya dengan baik di balik baju merahnya.
“Bagaimana Mahesa”
“Masih perlu adaptasi untuk mengendalikannya kek”
“Santai saja cucuku, kau akan cepat menguasainya, sekarang istirahatlah dan bersiaplah untuk besok, karena tuan Sora akan mulai mengajarimu teknik Sakaroga”
“Benarkah Kek, pasti akan kupelajari dengan baik teknik itu”
“Ha... ha... semangat yang bagus cucuku”
Akhirnya mereka berdua pun juga beristirahat, malam yang semakin larut membuat mata mereka menjadi terasa semakin berat. Malam itu mahesa menemukan dua hal baru yang sangat berpengaruh untuknya, yakni pedang Pancaloka dan teknik Sakaroga yang akan segera dia pelajari.
Keesokan harinya, saat sinar matahari masih terasa hangat menyentuh kulit, tampak Mahesa dan Tuan Sora telah berdiri di dataran yang cukup lapang, dan sesaat kemudian Kakek Ren pun telah terlihat berjalan mendekati mereka berdua.
“Wah… pagi-pagi sekali sudah akan dimulai latihannya, bagaimana luka-lukamu Tuan Sora?”
“Lumayan, sudah mulai pulih, ramuan obatmu sungguh luar biasa Kakek Ren, jika obat normal mungkin butuh waktu satu bulan baru bisa pulih 70%, tapi menggunakan obat dan ramuanmu ini hanya butuh waktu satu hari saja”
“Ha... ha... bisa saja kau Tuan Sora, itu juga karena kekuatan devastramu yang membuatnya cepat pulih, aku tahu setiap penyihir pasti menguasai teknik sihir regenerasi yang mampu membuatnya pulih lebih cepat 50 persen dari manusia norma”
“Kau memang sangat cermat Tuan Renzo, tapi tanpa obat-obatanmu tetap saja butuh waktu setidaknya tiga minggu untuk bisa pulih 100%, “oh ya..., maaf aku membersihkan rumput dan mencoret-coret tanah lapangmu ini”
“Tidak apa-apa, lakukan saja yang perlu kau lakukan” Jawab Kakek Ren singkat, “gambar simbol apa ini Tuan Sora, artistik sekali, setiap sudut dan ukurannya terlihat sangat presisi?
“Inilah simbol teknik Sakaroga yang akan kugunakan untuk memunculkan makhluk dalam diri Mahesa, lihatlah tuan Renzo” jelas Tuan Sora sembari menunjuk ke arah simbol yang digambarkan di atas tanah lapang, “ada dua gambar lingkaran, tiap lingkaran pada bagian tengahnya terdapat kombinasi beberapa segitiga. Kedua gambar itu memiliki bentuk yang sama cuma ukurannya yang berbeda”
“Kenapa ukurannya dibuat berbeda Tuan Sora? sepertinya jarak antara lingkaran yang kecil dengan yang besar sekitar lima meter serta terhubung dengan dua buah garis lurus”
“Benar tuan Renzo, perhitunganmu tepat sekali”—Tuan Sora berjalan pelan ke arah simbol yang dibuatnya—“jarak dua lingkaran ini memang lima meter, lingkaran yang kecil ini tempat Mahesa bersemedi, sedangkan lingkaran yang dua kali lipat lebih besar ini akan menjadi tempat munculnya makhluk sakaroga dari dalam diri mahesa, “itu jika ritual pemanggilannya berhasil”
“Mmm... jadi seperti itu” Jawab Kakek Ren sambil duduk jongkok di dekat gambar simbol, tangan kanannya terlihat mengusap lembut garis tebal pada gambar tersebut, “Serbuk apa yang kau gunakan untuk menggambar simbol ini tuan Sora, teksturnya sangat lemut, namun memiliki bobot yang lebih berat dari pasir biasa”
“Itu dinamakan serbuk Roga, di buat dari beberapa tanaman khusus di wilayah Sakarya, serbuk berwarna merah itu memang khusus digunakan untuk teknik awal pemanggil makhluk Sakaroga”
“Oo... jadi makhluk itu bernama sakaroga?” sahut Mahesa secara tiba-tiba
“Benar Mahesa, secara umum semua makhluk yang dimunculkan dari teknik sakaroga dinamakan makhluk sakaroga, tapi tiap pengguna akan memberikan nama sendiri untuk makhluk yang dikendalikannya”
“Berarti aku juga harus menyiapkan sebuah nama”
“Ya… memang begitulah aturannya, nama itu nanti menjadi mantra pemanggil untuk memunculkan makhluk sakaroga, apa kau sudah memikirkan sebuah nama yang keren untuk makhluk sakarogamu?”
“Tentu saja tuan Sora, aku paling cepat kalau menentukan sebuah nama, kau tidak perlu khawatir”
“Baguslah kalau begitu, jadi kau jangan sampai lupa nama yang kau berikan untuk makhluk itu”
“Baik tuan Sora, lalu sekarang apa yang harus kulakukan?”
“Pertanyaan yang bagus anak muda, dengarkan baik-baik, nanti kau duduklah di tengah lingkaran yang berukuran kecil itu,” jelas tuan Sora sambil menunjuk sebuah lingkaran “lalu bersemedilah menghadap lingkaran yang besar, apa kau paham yang kumaksudkan?” Tanya tuan sora sembari mengeluarkan sebuah alat berbentuk tabung kecil dari balik bajunya, tabung itu memiliki ujung lancip sepanjang satu centimeter, dan sebuah tombol merah kecil di bagian atasnya.
“Aku paham tuan Sora”
“Baguslah, sekarang bolehkah aku meminta sedikit darahmu untuk kugunakan sebagai bagian dari ritual sakaroga?”
“Hah… darah lagi, mulai kemarin laris sekali darahku ini” ucap Mahesa sedikit terkejut, “tentu saja boleh Tuan Sora, berapa banyak yang kau butuhkan?”
“Sebanyak 100 mililiter, tancapkan tabung ini ke lenganmu dan tekan tombol atasnya, maka secara otomatis alat ini akan menghisap darahmu, isilah sampai penuh” ucap Tuan Sora sambil memberikan sebuah tabung kecil kepada Mahesa, “kalau sudah selesai tuangkan darahmu ke cawan kecil yang ada pada bagian tengah lingkaran besar itu”
“Baik tuan Sora” Jawab Mahesa, ia lalu menerima tabung itu dan segera menancapkannya ke lengan bagian kiri. “untunglah tabungnya kecil, jika besar bisa kehabisan darah aku hari ini” Ucap Mahesa dalam hati. Beberapa saat kemudian, tabung yang dipegang Mahesa telah terisi penuh dengan darahnya, “ Ini tuan Sora, tabungnya telah terisi penuh 100 mililiter”
“Sekarang cepat tuangkan darahnya pada cawan itu dan bersemedilah, akan segera kumulai ritual pemanggilan makhluk sakaroga dalam dirimu”
“Baik tuan Sora” Jawab Mahesa, dia pun segera berlari ke sebuah lingkaran yang berukuran besar, perasaannya sedikit berdebar, saat menuangkan darahnya ke tengah lingkaran, karena ada sedikit kekhawatiran apa bisa makhluk dalam dirinya dimunculkan, kalau memang bisa, seperti apa wujud makhluk itu nantinya, dengan berbagai rasa khawatir dan penasaran yang berkecamuk ia pun segera melakulan semua instruksi yang telah dijelaskan oleh Tuan Sora. Sementara Kakek Ren dan Tuan Sora masih berdiri tidak jauh dari simbol sakaroga, mereka berdua mengamati setiap tindakan yang dilakukan oleh Mahesa.
“Apa menurutmu dia akan berhasil Tuan Sora?”
“Semoga saja begitu, karena dia mampu menguasai sihir elemen alam seperti orang dari bangsaku”
“Berarti tidak akan ada masalah yang serius”
“Masalahnya adalah ketika makhluk itu muncul, karena kekuatannya dua kali lipat dari penggunanya”
“Lalu bagaimana caranya supaya Mahesa mampu mengendalikan makhluk sakaroga, seperti waktu kau memunculkan Agrasora, makhluk itu sangat patuh seperti anakmu sendiri”
“Ha… ha… apa kelihatannya seperti itu, untuk dapat mengendalikan makhluk sakaroga mudah saja, Mahesa harus mampu menyentuh dahinya dan menyebutkan nama yang telah dia buat, maka makhluk itu akan langsung dalam kendalinya”
“Sepertinya mudah sekali, seperti memberi password pada suatu benda”
“Ya… memang begitulah prosesnya ha… ha…” Jawab Tuan Sora sambil tertawa lepas “Kurasa Mahesa telah siap, aku akan kesana sekarang” ucap tuan Sora, ia pun berjalan tenang ke arah Mahesa.
“Mohon bantuannya tuan Sora”
“Pasti ruan Renzo, percayakan dia padaku” jawab tuan Sora seraya mengangkat tangan kanannya. Setelah berjalan beberapa langkah tuan Sora telah berada di depan Mahesa yang sedang bersila di tengah gambar simbol berbentuk lingkaran kecil berukuran sekitar dua meter.
“Bagaimana Mahesa, kau sudah menuangkan darahmu ke bagian tengah simbol besar itu?”
“Sudah tuan Sora, lalu apa yang harus kulakukan sekarang”
“Dengarkan baik-baik Mahesa, hilangkan semua keraguanmu, yakinlah kau dapat memunculkan makhluk itu, “dan yang terpenting jika makhluk sakaroga itu muncul kau harus mampu memegang dahinya dan menyebutkan nama yang telah kau buat untuknya”
“Begitu saja tuan Sora?”
“Ya, cuma itu saja, sekarang berikan kedua telapak tanganmu, akan kugambarkan simbol pengendali pada telapak tanganmu”
Tanpa menjawab Mahesa segera menyodorkan kedua telapak tangannya, dengan cekatan dan cepat Tuan Sora menggambar sebuah simbol pada tiap telapak tangan Mahesa, dia menggunakan sebuah tinta berwarna emas.
“Tinta apa ini, rasanya dingin sekali ketika menyentuh kulit, serasa memegang bongkahan es, gambar simbol ini juga berbentuk lingkaran, hampir sama dengan simbol yang tergambar di atas tanah” gumam Mahesa dalam hati. Ia hanya mengamati gerakan tangan tuan Sora yang membuat berbagai goresan untuk membentuk suatu simbol, dan beberapa saat kemudian,
“Sudah selesai, sekarang bersemedilah, mungkin proses ini akan memakan waktu satu sampai dua jam, jadi bertahanlah”
“Baik Tuan Sora, mohon bimbingannya” Jawab Mahesa, ia pun segera duduk bersila menghadap lingkaran yang berukuran lebih besar, matanya perlahan tertutup rapat, ia mengosongkan pikiran dan mengatur aliran napas dalam tubuhnya. Mahesa tampak sangat tenang, setenang hembusan angin pagi yang berhembus pelan di bukit Bhadrasana. Beberapa detik kemudian aura berwarna merah mulai terlihat disekitar tubuhnya, hingga membuat gambar simbol di bawahnya juga ikut menyala berwarna merah. Tuan Sora yang menyaksikan hal itu lalu berjalan dan duduk bersila tepat di belakang tubuh Mahesa, tangan kanannya lurus ke depan memegang punggung anak muda itu, ia pun ikut bersemedi untuk memulai teknik pemanggilan makhluk sakaroga. Lima detik kemudian muncullah sinar biru berbentuk lingkaran dari sentuhan telapak tangan Tuan Sora yang berada di punggung Mahesa, sebuah sinar biru yang bentuknya sama persis dengan bentuk simbol lingkaran ketika tuan Sora memunculkan Agrasora. Dalam semedinya tiba-tiba Mahesa merasa dirinya kembali ke masa kecilnya, hal itu sangat terasa nyata sekali, saat dia bersama ayah dan ibunya yang selalu bertempur melawan para prajurit Asura atau pun Amoga, dia bersama orang tuanya berusaha mempertahankan diri dari buruan mereka.
“Kurang ajar, kenapa pasukan itu masih berada di hadapanku, para prajurit sialan, Ayah dan Ibuku juga masih bertempur dan terus melakukan perlawanan, aku harus segera menolong mereka” Ucap Mahesa dalam halusinasi semedinya, “Ayooo...! Majulah kalian semua prajurit Asura, Amoga, seberapa banyak pun kalian aku akan mampu lmengahabisi kalian semuaa!” Dalam semedinya seolah-olah Mahesa merasa masih bertempur melawan pasukan Asura dan Amoga, dia berjuang bersama ayah dan ibunya. Karena pertempuran itu emosinya meningkat sangat tinggi, tidak ada belas kasih, yang ada hanya dendam dalam dirinya, maka itu dalam halusinasi semedinya ia bertarung sangat brutal, dengan menggunakan pedang besar miliknya ia menghabisi para prajurit Asura dan Amoga tanpa ampun. Tatapan matanya sangat tajam seperti sorot mata seorang monster yang ganas. Tiba-tiba saja di tengah pertarungan itu dia melihat sosok orang tua yang mendekatinya,
“Siapa dia, aku seperti mengenalnya” Pikir Mahesa, makin lama secara perlahan sosok orang tua itu mulai tampak semakin jelas, dan dengan pandangan mata yang penuh kasih sayang ia memegang pergelangan tangan Mahesa yang masih menggenggam erat sebuah pedang besar penuh percikan darah. Secara tiba-tiba semua pasukan yang melawannya hilang tak berbekas seperti terbawa hembusan angin, bahkan dia juga tidak melihat orang tuanya lagi, yang ada hanya dia dan orang tua itu. Pegangan tangan orang tua tersebut terasa hangat dan nyaman, suatu kehangatan yang sangat berbeda, hingga secara tak sadar Mahesa menjatuhkan pedang besarnya. “Kakek Ren, kaukah itu” Tanya Mahesa dalam semedinya
“Benar cucuku, sudah waktunya menjadi lebih baik lagi, kaulah yang harus melakukannya, untuk orang tuamu dan untuk semuanya”
Di saat itu pula Mahesa melihat sesosok makhluk bersungut dengan mengenakan baju perang keemasan layaknya seorang dewa, makhluk misterius itu terlihat berdiri dengan gagah di atas kepala seekor naga merah raksasa yang sedang membentangkan sayapnya lebar-lebar, makhluk yang mungkin adalah dewa itu memberikan senyuman hingga membuat hati Mahesa merasa dingin serta tentram. Kini hatinya merasa tidak ada lagi emosi dan dendam, justru ada perasaan senang dan tenang ketika melihat mereka, seperti ada kekuatan baru yang merasuk dalam tiap sel-sel tubuhnya. Dan sekejap kemudian naga itu terbang cepat melintas di atasnya, badannya yang besar, serta kepakan sayapnya yang lebar membuat hembusan angin yang sangat besar, mengakibatkan debu-debu beterbangan bagaikan asap tebal hingga menutupi pandangan mata, yang terdengar hanya raungan sang naga yang sangat keras dan menggetarkan dadanya.
Sementara itu Kakek Ren mengamati ritual pemanggilan sakaroga dengan begitu santai, karena dia percaya pada kemampuan Tuan Sora.
“Sudah satu jam, tapi kelihatannya tenang-tenang saja, seperti menjaga bayi yang sedang tidur, tidak ada keributan sama sekali” Ucap Kakek Ren dalam hati sambil memakan bekal makanan yang ia bawa, “untung saja aku tadi membawa bekal, meskipun hanya beberapa potong roti dan kopi panas tapi bermanfaat juga menghilangkan rasa bosan” dengan tenang Kakek Ren menuangkan kopi ke dalam gelasnya. Namun baru saja seteguk dia meminum kopinya, tiba-tiba tanah disekitarnya sedikit terasa bergetar, sontak saja ia langsung berdiri,
“Apa yang terjadi, ini bukan getaran dari gempa bumi karena pohon di sana tidak bergerak sama sekali, sepertinya hanya di daerah sini saja” pikir Kakek Ren sembari melihat situasi di sekitarnya, dan pandangan matanya terhenti pada sosok Mahesa dan Tuan Sora yang sedang bersemedi,
“Aura tenaga Mahesa meningkat, kurasa dalam semedinya ia mengalami sesuatu yang memengaruhi emosinya, cahaya merah itu juga perlahan mulai berubah menjadi biru dan berjalan merambat melalui dua garis yang menghubungkan kedua simbol tersebut, apa yang akan terjadi?”
Kakek Ren hanya mampu menebak-nebak peristiwa yang dilihatnya. Dalam waktu singkat cahaya biru telah merambat dan membuat lingkaran besar di depan Mahesa ikut bersinar terang, kilatan-kilatan cahaya merah juga menyertai cahaya biru dari simbol tersebut, hingga terlihat sebuah bentuk cahaya merah berbentuk bola berukuran cukup besar yang melayang di tengah simbol lingkaran besar tersebut.
“Hah…, Bola merah…, sepertinya bola itu terbentuk dari darah Mahesa yang tadi dituangkannya pada simbol tersebut, apa ini proses pemunculan makhluk Sakaroga”
Kali ini tebakan Kakek Renzo benar, cahaya merah itu terbentuk dari darah mahesa yang telah dipengaruhi oleh kekuatan sihir sakaroga, semakin lama cahaya merah itu semakin membesar dan terus bertambah besar karena menyerap cahaya biru yang berasal dari tubuh Mahesa.
“Cahaya bola merah itu sekarang menjadi besar sekali, hampir setinggi tiga meter, mungkin karena terus menyerap tenaga devastra milik Mahesa,”—Kakek Ren mengerutkan dahinya, ada hal aneh yang dia rasakan—“egrhh… tapi sepertinya tidak menyerap, tapi bola itu menduplikat tenaga devastra Mahesa, dan meningkatkannya, karena tenaga devastra milik Mahesa terasa tidak berkurang sedikit pun ” pikir Kakek Ren dalam hati sembari meneguk kembali kopinya, namun tiba-tiba saja... Bhluaarr! Bola merah itu meledak sangat keras, menimbukan hembusan angin yang besar dan menghempaskan bebatuan kecil di sekitar tempat itu.
“Ini dia yang kutunggu-tunggu, kelihatannya mereka berhasil, makhluk sakaroga seperti apa yang muncul dari dalam tubuh Mahesa” Gumam Kakek Ren dalam hati. Sementara itu Tuan Sora yang berada di belakang Mahesa langsung menepuk punggung anak muda tersebut, dan simbol biru dari telapak tangannya itu pun menghilang,
“Bangunlah Mahesa, sekarang waktunya kau menghadapi makhluk itu” Bersamaan dengan ucapan tuan Sora, Mahesa pun langsung terbangun dari semedinya, “lihatlah kedua telapak tanganmu” Pinta tuan Sora
Secara reflek Mahesa pun membuka kedua telapak tangannya.
“Hah... si-simbol yang Tuan Sora gambarkan menyala terang sekali”
“Itu tandanya kita telah berhasil memunculkan makhluk sakaroga, sekarang lihatlah di depanmu itu, kau harus segera menempelkan salah satu telapak tanganmu ke dahi makhluk tersebut, dan jangan lupa sebutkan nama yang akan kau berikan untuknya” Jelas tuan Sora singkat, Mahesa pun menajamkan matanya untuk melihat lebih jelas makhluk di depannya yang masih tertutup oleh kepulan debu akibat ledakan yang terjadi karena kemunculannya. Perlahan-lahan dengan semakin menghilangnya debu karena terkena hembusan angin, semakin terlihat jelas makhluk sakaroga itu. Kini di depan Mahesa telah berdiri Makhluk besar setinggi empat meter dengan mengenakan armor berwarna hitam kelam dengan beberapa warna perak dan garis tipis merah pada bagian lengan, dada, kaki, dan punggungnya. Simbol crosaiden kuning keemasan terlihat menyala di tengah dadanya, sebuah simbol yang sama dengan simbol pada dada Mahesa. Sebilah pedang besar yang memiliki dua sisi tajam dan sebuah perisai besar berbentuk lengkung segitiga melengkapi penampilan makhluk itu. Wajahnya tertutup penuh sebuah helm baja berbentuk unik yang dihiasi dua buah sungut panjang menjuntai pada bagian dahinya, sungut merah itu terlihat meliuk-liuk bebas tertiup hembusan angin. Beberapa bentuk meruncing terlihat pada bagian pinggang, pundak, dan pergelangan tangan armor makhluk itu. Kilatan-kilatan cahaya merah masih terlihat di sekitar tubuhnya. Mahesa, Kakek Ren, dan Tuan Sora sejenak terperangah melihat bentuk makhluk yang muncul dari tubuh Mahesa.
“Makhluk itu... menyeramkan juga, apa aku memang memiliki karakter semenakutkan itu, dan simbol di dadanya, sangat mirip dengan simbol di dadaku ini”—Mahesa mengusap simbol yang terdapat pada dadanya—“dia benar-benar berasal dari dalam diriku” Gumam Mahesa dalam hati.
“Mahesa kau tunggu apa lagi, cepat kau pegang dahinya, sebelum dia menyerang kita”
“Hah... Ba-baiik!” Mahesa tersentak kaget mendengar kata-kata tuan Sora, ia lalu segera berlari dan melompat ke arah kepala makhluk Sakaroga.
“Proses akhir yang menentukan sudah dimulai, semoga kau berhasil mengendalikan makhluk itu cucuku” Ucap Kakek Ren dalam hati.
“Jangan lupa sebutkan namanya!” teriak Tuan Sora sambil melompat tinggi ke arah Kakek Renzo
“Akan kuingat itu tuan Sora” jawab Mahesa singkat. Kini jaraknya dengan Makhluk sakaroga sangat dekat, hanya sejauh satu meter saja, Mahesa langsung mengulurkan telapak tangannya untuk menyentuh dahi makhluk besar tersebut, “Ayoo... jadilah temanku makhluk sakaroga, karena kau berasal dari dalam diriku” Gumam Mahesa dalam hati. Namun belum sempat Mahesa menyentuh dahinya, tiba-tiba makhluk itu membuka kedua matanya,
“Wah... kau sudah bangun rupanya” ucap Mahesa singkat, sorot mata makhluk sakaroga yang terlihat berwarna merah menyala, mengagetkan Mahesa yang tepat berada di depannya, lalu sedetik kemudian sebuah kibasan perisai besar menghantam tubuh Mahesa dengan sangat telak, mengakibatkan ia terlempar cukup jauh hingga ke tengah tanah lapang.
“Huarghhh...!” Makhluk itu berteriak sangat kencang, membuat burung-burung di bukit Bhadrasana beterbangan tanpa tentu arah. Dada Mahesa pun menjadi terasa bergetar mendengar raungan makhluk itu.
“Puiihhh... Rupanya kau harus diajari sopan santun lebih dulu, baiklah... jika itu yang kau minta” Mahesa segera bangkit dan berlari ke arah makhluk sakaroga, ia mengucapkan sebuah kata dengan cukup kencang, “Pancaloka!” secara tiba-tiba sebuah kelereng hitam keluar dari saku bajunya, dalam sekejap benda itu telah berubah menjadi sebuah pedang besar yang tergenggam erat di tangan kanannya. Mahesa secepat kilat menyabetkan pedang itu ke arah dada makhluk tersebut, namun sekali lagi sebuah perisai besar menghalangi serangannya, pedang pancaloka hanya membentur perisai milik makhluk sakaroga, (Jduuuanggg!), dentuman keras kedua senjata itu mengawali pertarungan antara Mahesa dan makhluk sakaroga. Sekejap kemudian sambaran pedang makhluk tersebut melesat ke arah tubuh Mahesa.
“Wow, mulai menyerang rupanya” Namun Mahesa menyadari adanya serangan itu, ia pun langsung mengarahkan telapak tangannya ke arah pedang besar yang akan menebas dirinya, bersamaan dengan gerakan tangannya, kelereng perak yang berada pada pedang Pancaloka melesat mengikuti gerakan tangan Mahesa, dalam waktu singkat keempat kelereng perak itu telah berubah menjadi empat bilah pedang yang dengan sangat kuat menahan dan menghalau pedang besar milik makhluk Sakaroga. Kini dengan menggunakan tambahan keempat pedangnya yang telah dialiri tiap elemen alam Mahesa melakukan berbagai kombinasi serangan untuk dapat menembus perisai besar milik makhluk Sakoraga. kobaran api, kilatan petir, hembusan angin, dan semburan air yang kuat menyertai setiap serangan yang dilakukannya. Tetapi makhluk itu pun selalu menangkis dan membalas serangan Mahesa dengan elemen yang sama, bahkan lebih kuat lagi sehingga membuat mahesa beberapa kali terpental dan terluka, namun tiap luka karena serangan elemen alam dan tebasan pedang yang dilancarkan oleh makhluk tersebut dapat pulih kembali dengan cepat, dan Mahesa pun tanpa kenal menyerah kembali berlari, melompat untuk melakukan berbagai serangan balasan terhadap makhluk besar yang menjadi lawannya.
Sementara itu Kakek Ren dan Tuan Sora menyaksikan pertarungan Mahesa melawan makhluk Sakaroga dengan sangat cermat, sepertinya mereka berusaha untuk menemukan titik lemah makhluk besar tersebut.
“Tuan Sora bagaimana caramu dulu mengalahkan Agrasora hingga bisa patuh kepadamu?”
“Dulu pada saat bertarung melawan Agrasora usiaku sudah mencapai 25 tahun, dan hanya ada guruku yang menyaksikan pertarunganku saat itu, “hampir dua jam aku melawan makhluk tersebut, hingga serasa tenaga devastraku habis semua, tetapi Agrasora masih tetap menyerangku bertubi-tubi. Pikiranku sangat kacau, karena seperti tidak ada cara untuk mengalahkannya, hingga akhirnya dewi keberuntungan berpihak kepadaku, palu besar Agrasora yang digunakan untuk menghantam tubuhku berhasil aku hindari, dan karena kerasnya pukulan membuat palu tersebut menjadi tertanam di dalam tanah serta terjepit erat pada dua buah bongkahan batu besar. Aku lihat Agrasora kesulitan menarik kembali palu besarnya, dan kesempatan singkat itu aku manfaatkan baik-baik. Sebelum dia berhasil menarik palunya, dengan sedikit tenaga fisikku yang tersisa, aku berlari di atas gagang palu Agrasora yang panjang, aku bergegas melompat ke atas kepalanya, saat itu rasa was-was sangat menguasai hatiku, karena inilah satu-satunya kesempatanku, hingga akhirnya tangan kananku berhasil meraih dahinya dan aku berikan sebuah nama untuknya, yakni Agrasora. Begitulah caraku dapat mengalahkan makhluk sakaroga itu tuan Renzo.
“Pertarungan yang sangat lama, memang sangat tidak mungkin kita mengalahkan makhluk yang dua kali lipat lebih kuat dari kita jika berduel satu lawan satu, kecuali suatu keberuntungan memihak pada kita, lalu seberapa lama Mahesa harus bertarung melawan makhluk sakaroga”
“Selama Mahesa masih memiliki kesadaran, jika Mahesa sampai kehilangan kesadarannya karena pingsan, maka makhluk itu juga akan menghilang, karena pada dasarnya makhluk itu adalah perwujudan dari dirinya”
“Kalau begitu akan kubuat Mahesa pingsan, lalu kita pikirkan cara untuk mengalahkan makhluk itu lain waktu jika memang benar-benar siap”
“Kau tidak boleh melalukan hal itu tuan Renzo”
“Hah... Kenapa tidak boleh tuan Sora”
“Karena jika makhluk itu menghilang karena penggunanya pingsan dan belum sempat menyentuh dahi serta memberikan nama pada makhluknya, maka selamanya makhluk itu tidak bisa dimunculkan kembali”
“Berarti ini satu-satunya kesempatan Mahesa untuk menguasai teknik Sakaroga”
“Tepat sekali tuan Renzo”
“Kalau begitu aku akan membantunya bertarung melawan makhluk itu, karena tidak mungkin dia mengalahkan makhluk sakaroga itu, perbandingan kekuatannya sangat jauh”
“Jangan Tuan Renzo, jika kau melakukan hal itu maka Mahesa tidak akan mendapatkan apa-apa, memang Mahesa akan menang, tetapi makhluk itu tidak akan muncul lagi, karena ada campur tangan dari orang lain dalam pertarungan”
“Berarti kita hanya mampu menyaksikannya saja tuan Sora”
“Benar, maka itu jarang sekali orang dari suku bangsaku yang menguasai teknik ini, hanya mereka-mereka saja yang ditakdirkan melalui keberuntungan yang menyertai mereka, “kita berharap Mahesa memiliki keberuntungan itu”
“Teknik yang diperoleh melalui takdir dan keberuntungan, benar-benar teknik yang langka”
“Lalu bagaimana bisa muridmu menguasai teknik ini”
“Boleh dibilang dia juga memiliki suatu keberuntungan, karena setelah dua jam lebih bertarung, ia terkena pukulan keras dari makhluk sakaroganya, ia pun terlempar jauh ke atas, tetapi justru dia jatuh tepat di atas kepala makhluk tersebut, dan kesempatan itulah yang ia gunakan untuk menyentuh dahi makhluk sakaroga dan memberinya sebuah nama”
“Hmmm... memang beruntung juga muridmu itu”
“Ya... begitulah tuan Renzo” Jawab tuan Sora sambil tetap memerhatikan pertarungan yang dilakukan oleh Mahesa. Sudah hampir satu jam setengah Mahesa melakukan pertarungan, sebagian besar tenaganya telah habis, namun dia belum mampu menyentuh dahi makhluk sakaroganya. Setiap mendekati wajah makhluk itu, dengan cepat tebasan pedang dan hantaman perisai selalu mementalkan tubuhnya.
“Huft... Huft... Benar-benar sulit sekali menyentuh dahinya, sepertinya dia bisa membaca setiap gerakanku, bagaimana cara mengalahkannya” Pikir Mahesa dalam hati, keempat pedang masih mengitari tubuhnya, sementara pedang Pancaloka tergenggam erat di tangan kanan. “Apa yang harus kulakukan, jika seperti ini terus lama-lama aku bisa dikalahkannya, aku harus segera menemukan cara untuk menyentuh dahi makhluk itu” Mahesa berpikir keras, dia benar-benar tidak menemukan cara sedikit pun, pikirannya sangat kalut. Di saat rasa bingung mengganggu pikirannya, pandangan matanya tiba-tiba tertuju pada sebongkah batu kecil di depannya yang masih terbakar. “Kalau tidak salah api yang membakar batu ini berasal dari serangan makhluk Sakoraga, karena masih terlihat warna biru pada bara api ini, “aku masih belum mampu melakukan hal itu, benar-benar kekuatan yang luar biasa” Gumam Mahesa dalam hati sambil mengarahkan telapak tangannya ke arah bongkahan batu, ia dapat merasakan panasnya api itu melalui telapak tangannya, “rasa panas yang berbeda, terasa lebih kuat dan sulit dipadamkan, Hah... tidak salah lagi, cara ini mungkin bisa mengalahkan makhluk Sakaroga itu” Mahesa tersenyum tipis, ia seperti menyadari sesuatu secara tiba-tiba, “tidak ada salahnya dicoba” Anak muda itu pun kembali bangkit, ia menggerakkan tangan kirinya secara horisontal, dan keempat pedang yang mengitari dirinya langsung berubah menjadi bola perak dan secara cepat kembali terpasang pada pedang Pancaloka. Mahesa tetap menggenggam gagang pedang Pancaloka menggunakan kedua tangannya, ia mengarahkan ujung pedang tersebut ke tanah, tepat diantara kedua kaki.
“Tuan Renzo kenapa cucumu sekarang malah hanya menggunakan sebuah pedang saja, apa hal itu tidak mengurangi sistem pertahanannya?”
“Entahlah, aku sendiri tidak memahami apa yang akan dia lakukan, tapi sepertinya dia telah memahami suatu hal, kita lihat saja tuan Sora”
Kakek Ren dan Tuan Sora sama sekali tidak memahami apa yang akan dilakukan oleh Mahesa. Makhluk Sakaroga terlihat berdiri tegap dengan sebilah pedang dan perisai besarnya, sementara sekitar dua puluh meter dari makhluk itu mahesa tampak mulai bersiap dengan sebuah pedang Pancaloka yang semakin tergenggam erat, dadanya terasa berdegup kencang, keringat dingin terlihat di dahinya, tetapi ia berusaha mengendalikan perasaannya itu, dia berusaha untuk tetap yakin akan dapat mengalahkan makhluk tersebut, karena Mahesa mengerti, jika dia ragu-ragu justru akan merugikan dirinya, ia lalu menarik napas panjang, dan menghembuskannya perlahan, bola matanya yang berwarna kuning menatap tajam makhluk besar di depannya, menandakan suatu kewaspadaan yang luar biasa.
“Hoiiii... bukankah kau selalu menirukan gerakanku, sekarang cobalah kau tiru teknikku yang satu ini, boleh dibilang ini adalah salah satu jurus andalanku” Teriak Mahesa kepada makhluk tersebut, untuk sejenak kedua matanya terpejam, ia mengerahkan semua tenaga devastranya yang tersisa, beberapa detik kemudian, “Agnigara” bersamaan dengan satu kata itu, ia membuka matanya, dan dalam sekejab sebuah bara api yang sangat besar berbentuk kepala naga muncul di depannya, kobaran api itu menimbulkan hawa panas di sekitar tempat pertarungan, “Bagaimana makhluk Sakaroga, apa kau bisa melakukannya?”
“Huarggghhhh...!” Makhluk itu berteriak keras sembari mengarahkan ujung pedangnya ke tanah, persis seperti yang dilakukan Mahesa, perisainya tiba-tiba berubah mengecil, hanya seukuran pergelangan tangan, ia lalu menggenggam erat pedang besar itu menggunakan kedua tangannya, sejenak matanya yang berwarna merah menyala terpejam dan...
“Agnigara!” Makhluk itu mengucapkan kata yang sama persis dengan ucapan Mahesa, suaranya sangat besar dan terdengar berat. Ketika matanya terbuka, sebuah bara api yang dua kali lipat jauh lebih besar dan jauh lebih panas dari bara api milik Mahesa muncul tepat di depan tubuhnya, api biru itu juga berkobar sangat kuat serta menimbulkan hawa panas yang terasa lebih menyengat kulit. Kakek Ren dan Tuan Sora mengamati pertarungan itu dengan rasa khawatir yang mulai menghinggapi perasaan mereka.
“Dasar ceroboh, apa yang dilakukan bocah itu, makhluk itu mengeluarkan api yang jauh lebih panas, dan lebih besar, membuatku sampai merasa gerah begini, apa dia ingin bunuh diri dengan mengadu kekuatan secara langsung begitu, aku akan menghentikannya sekarang” ucap Kakek Ren sambil bergerak maju,
“Tuan Renzo, hentikan niatmu itu, percayalah pada cucumu, biarkan ia melakukan apa yang telah ia rencanakan”
“Tapi Tuan Sora, jika mereka saling melepaskan kekuatannya, bocah itu pasti terpanggang, “kau lihat sendiri api biru milik makhluk sakaroga, dua kali lipat lebih kuat, hal yang mustahil untuk mengalahkannya”
“Memang benar, mustahil mengalahkan makhluk itu dengan kekuatan mahesa yang hanya setengahnya, tapi sekarang waktunya kita lihat apakah cucumu memang ditakdirkan menguasai teknik sakaroga, atau dia memiliki sebuah keberuntungan”
“Kau benar juga tuan Sora, semoga saja benar-benar ada keberuntungan untuknya, karena mustahil bisa mengalahkan makhluk itu”
Diantara keraguan yang muncul di hati Kakek Ren dan Tuan Sora, justru Mahesa terkagum-kagum melihat bara api yang dimunculkan oleh lawannya. Sepertinya dia tidak menyadari bahaya yang sedang mengancam dirinya.
“Wow... di-dia bisa melakukan teknik Agnigara, bara api yang dikeluarkannya juga sangat panas sekali, melampaui elemen api yang aku munculkan, selain itu bentuknya sama persis dengan yang aku buat” Gumam Mahesa dalam hati. “Sepertinya kau telah siap, kalau begitu ayo kita lakukan, Heeakkkkh...!” dengan cepat Mahesa menyabetkan pedang pancaloka secara vertikal, dan bara api berbentuk kepala naga di depannya langsung melesat ke arah Makhluk sakaroga, membuat tanah yang dilintasinya menjadi ikut terbakar.
“Huarghhhh...!” Makhluk itu pun tidak tinggal diam, sekali lagi ia melakukan hal yang sama persis dengan yang dilakukan oleh Mahesa, Bara api biru miliknya pun melesat lebih cepat dan membakar tanah lebih luas. Mahesa menatap tajam tanpa berkedip kedua bara api yang akan saling bertabrakan itu, dan ketika jarak kedua api semakin dekat ia langsung menancapkan pedang Pancaloka ke tanah, Mahesa lalu menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada, dan...
“Sudah saatnya..., Penyatuan” Ia lalu mengarahkan kedua telapak tangannya ke arah kedua bara api yang akan bertabrakan, secara ajaib kedua api itu justru bergabung menjadi sebuah bara api yang lebih besar, warna biru api itu semakin terang dan terasa lebih panas. Mahesa dengan cepat menyambar pedang Pancalokanya dan kembali menyabetkannya ke atas sambil berteriak keras “Naga Agni!” Bara api yang telah bergabung menjadi satu itu melesat ke atas dan berubah bentuknya menjadi seekor naga yang sangat besar, hampir sepanjang dua puluh meter. Sedetik kemudian Mahesa kembali menyabetkan pedangnya ke bawah, “Habislah kau Makhluk Sakaroga, terima kasih telah memberika api birumu” Naga api yang terbentuk dari penyatuan api milik Mahesa dengan api milik makhluk sakaroga langsung melesat turun dan menghujam keras dada makhluk tersebut, hingga menimbulkan sebuah ledakan yang sangat besar dan menggetarkan tanah disekitarnya, (Bhluaarrr!). Mendapatkan serangan yang melebihi kekuatannya akhirnya membuat makhluk sakaroga itu tumbang menghujam bumi.
“Huft… huft… akhirnya roboh juga kau” ucap Mahesa sambil melompat tinggi ke arah tubuh lawannya yang telah tergeletak tidak berdaya, Mahesa mendarat tepat di atas dada makhluk tersebut, sebagian tubuh makhluk itu tampak masih terbakar oleh api biru. Mahesa menatap sejenak makhluk tersebut dengan penuh rasa kagum, ia lalu duduk berjongkok di atas dada makhluk yang telah dikalahkannya sambil mengubah pedang pancaloka menjadi kelereng hitam dan menyimpannya dalam saku bajunya. Secara perlahan dan penuh kewaspadaan Mahesa kemudian mengulurkan telapak tangannya untuk menyentuh dahi makhluk Sakaroga,
“Kau memang sangat luar biasa, mulai sekarang mari kita bekerja sama, kunamakan kau sebagai…”—Mahesa menempelkan telapak tangannya tepat pada dahi sakaroga—“Aksatriya!” ucap Mahesa dengan tegas, bersamaan dengan akhir kata yang diucapkannya, tiba-tiba tubuh makhluk itu menyala, cahaya biru terang terpancar dari seluruh tubuhnya, dan secara perlahan masuk ke dalam telapak tangan Mahesa yang menyentuh dahi sakaroga. Setelah semua cahaya itu mengilang, Mahesa berdiri dengan tegap, ia memandang telapak tangannya sambil bergumam “Akhirnya aku berhasil juga menyentuh dahinya, benar-benar merepotkan sekali” cahaya di telapak tangannya perlahan juga mulai menghilang. Rasa senang dan puas tergambar jelas melalui wajahnya yang masih dipenuhi oleh peluh keringat akibat pertarungan yang telah dilakukan. Beberapa bekas tebasan pedang terlihat telah merobek bajunya di beberapa bagian, dan sebagian lagi telah habis terbakar. Mahesa lalu berjalan mendekati Kakek Ren dan Tuan Sora yang berdiri di pinggir tanah lapang.
“Tuan Renzo, cucumu bukan hanya berhasil menyentuh dahi makhluk itu, tetapi dia juga berhasil menumbangkannya, “dia menjadi satu-satunya sakarog yang berhasil mengalahkan makhluk sakaroganya sendiri”
“Aku sendiri juga tidak menduganya Tuan Sora, itu semua juga berkat bimbinganmu, terima kasih banyak”
“Ha... ha... kau terlalu melebih-lebihkan tuan Renzo”
Beberapa saat kemudian, Mahesa telah sampai di dekat mereka,
“Tuan Sora, Kakek, aku berhasil mengalahkannya”
“Kau memang luar biasa Mahesa, sekarang kita coba memanggil makhluk sakaroga itu”
“Hah... memanggilnya lagi, apa aku harus bertarung ulang dengannya? Tanya Mahesa dengan raut wajah terkejut.
“Tentu saja tidak Mahesa, kau sudah mengalahkannya, makhluk itu sudah dalam kendalimu sekarang”
“Hufft..., syukurlah, bertarung dengannya sekali saja membuatku compang-camping semacam ini, apalagi jika harus dua kali, lalu untuk apa kita memunculkan makhluk itu lagi tuan Sora”
“Untuk melatihmu supaya bisa memanggil dan belajar mengendalikan makhluk tersebut”
“Benar juga..., lalu bagaimana caranya?” tanya Mahesa dengan serius,
“Sekarang ayo kita kembali ke tanah lapang itu” ajak Tuan Sora, mereka berdua kemudian berjalan beriringan menuju ke tengah tanah lapang, dalam waktu singkat mereka telah berada di tengah tanah lapang. Mahesa pun berdiri tepat di depan Tuan Sora,
“Aku akan menjawab pertanyaanmu Mahesa, caranya mudah saja, konsentrasikan tenaga devastramu pada telapak tangan, seperti ini” Lalu Tuan Sora mempraktikkan teknik pemanggil Sakaroga kepada Mahesa, telapak tangannya pun mengeluarkan gambar simbol berwarna kuning keemasan. Mahesa memperhatikan dengan cermat apa yang ditunjukkan oleh Tuan Sora, “jika telapak tanganmu telah bercahaya seperti ini, kau tinggal mengarahkannya kemana kau ingin memunculkan makhluk itu”—tuan Sora meluruskan lengannya ke depan, telapak tangannya nampak terbuka lebar—“dan ucapkan mantranya, “Sakaroga!” tiba-tiba saja dari telapak tangan yang terbuka lebar itu melesat secercah cahaya biru membentuk suatu simbol yang besar, “kini kau tinggal memanggil makhluk sakaroga tersebut, tutuplah telapak tanganmu dan sebutkan namanya, “Agrasora!” dalam sekejap cahaya biru itu berputar cepat dan berubah menjadi sesosok makhluk besar,
“Wow... ma-makhluk yang kemarin malam bertarung denganku muncul lagi” sahut Mahesa seraya membuka matanya lebar-lebar, “lalu bagaimana kita menghilangkannya kembali tuan Sora”
“Pertanyaan yang bagus, tapi apa kau tidak mau melawannya dulu, mumpung dia lagi mengaggur, lihatlah ha... ha...!”
“Ha... ha... aku rasa tidak perlu tuan Sora, tenagaku sudah habis semua, mungkin lain waktu saja” Jawab Mahesa seraya tertawa sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Kalau kau ingin menghilangkannya mudah saja, konsentrasikan devastramu pada telapak tangan seperti langkah awal tadi, ketika sudah bersinar keemasan arahkan pada makhluk tersebut dan ucapkan mantranya “Anaroga!” Sekejab kemudian makhluk besar bernama Agrasora tiba-tiba berubah menjadi cahaya biru, dan melesat masuk kembali ke dalam telapak tangan tuan Sora. “bagaimana, kau mau mencobanya bocah?”
“Tentu saja tuan Sora”
“Kalau begitu lakukan seperti yang aku tunjukkan tadi”
“Baik” Jawab Mahesa singkat dan penuh semangat, ia pun segera melakukan gerakan sama persis dengan yang diajarkan oleh tuan Sora, setelah mencoba beberapa kali dibawah bimbingan tuan Sora Akhirnya...
“Aksatriya!” teriak Mahesa, dan sesosok makhluk besar dengan cepat muncul di hadapannya, makhluk itu berdiri tegap dengan balutan Armor yang sangat kuat dan kokoh “huft... huft... aku berhasil memunculkannya tuan Sora” ucap Mahesa dengan napas yang terengah-engah,
“Sekarang hilangkan Mahkluk itu” pinta tuan Sora,
“Baik” tanpa menunggu lama Mahesa segera melakukan instruksi dari tuan Sora, “Anaroga!” dan makhluk besar bernama Aksatriya itu pun kembali menjadi cahaya dan melesat masuk ke dalam telapak tangan Mahesa, dengan menghilangnya makhluk itu, cahaya keemasan pada telapak tangan Mahesa juga perlahan menghilang.
“Sekarang kau telah benar-benar menguasai teknik Sakaroga Mahesa, besok kau berlatihlah mengendalikan makhluk itu, supaya ikatan emosi antara dirimu dengan Aksatriya semakin kuat”
“Terima kasih banyak tuan Sora, karena telah mengajariku teknik menakjubkan ini” ucap Mahesa sembari membungkukkan badan untuk menunjukkan rasa terima kasihnya.
“Ha... ha... biasa saja, sekarang mari kita istirahat, hari mulai sore, lagi pula kakekmu juga sudah terlihat bosan duduk terus mengamati kita berlatih”
“Baiklah tuan Sora, kalau begitu ayo kita istirahat di rumah, akan kusiapkan makanan untuk tuan Sora dan Kakek”
“Jangan lupa minuman kesukaanku Mahesa” pinta kakek dari kejauhan,
“Wah..., ternyata kau bisa mendengarkan pembicaraan dalam jarak sejauh ini kek, seperti telinga kelinci saja ha... ha...” Jawab Mahesa sambil tertawa gembira,
“Tentu saja, masih banyak hal hebat yang belum kau ketahui cucuku”
“Aku rasa aku telah mengetahui semua tentangmu kek, termasuk gelar kegenitanmu di desa Amreta”
“Wah…, tuan Renzo, ternyata kau penggoda wanita, sungguh reputasi yang baik ha… ha…”
Akhirnya mereka bertiga pun pulang kembali ke rumah untuk beristirahat, melonggarkan otot-otot yang tegang serta menghilangkan dahaga dan lapar karena telah seharian berlatih di bukit Bhadrasana.
Malam mulai menjelang, di serambi rumah tampak mereka bertiga duduk lesehan beralaskan karpet tebal berwarna biru yang berhiaskan gambar batik di pada tepian karpet tersebut. Beberapa makanan dan minuman telah terhidang menemani pembicaraan santai yang sedang mereka lakukan.
“Mahesa bagaimana keadaan di desa Amreta, apa masih ada para prajurit elit berkeliaran di sana?”
“Benar kek, sewaktu aku membeli makanan ada beberapa prajurit elit di rumah makan tersebut”
“Berarti kemungkinan besar mereka tahu aku masih berada di daerah sini,” Sahut Tuan Sora
“Bagaimana mereka seyakin itu tuan Sora?” tanya Kakek Ren
“Pasti karena pesawat kecil yang aku sembunyikan di pinggiran desa telah mereka temukan”
“Pesawat kecil?”
“Waktu itu aku terluka parah tuan Renzo, jadi aku mencuri sebuah pesawat milik seorang prajurit dari bangsa Sakarya untuk kugunakan kemari, dan aku menyembunyikannya di perbatasan desa”
“Oo... jadi itu sebabnya kemarin aku dihadang oleh dua prajurit elit di perbatasan” Sahut Mahesa
“Kau benar bocah, mereka akan selalu berjaga di setiap perbatasan untuk menghalangi aku keluar dari desa ini”
“Lalu apa yang harus kita lakukan tuan Sora?” lanjut Mahesa
“Cepat atau lambat mereka akan menemukan tempat ini, sebelum mereka mengacaukan bukit Bhadrasana yang begitu alami ini, kita temui mereka, kita laksanakan duel seperti yang aku sampaikan kemarin, bagaimana menurutmu tuan Renzo?”
“Aku rasa Mahesa yang harus menjawab pertanyaan itu tuan Sora”—Kakek Ren meminum kopinya sejenak dan memandang Mahesa—“bagaimana cucuku, apa kau siap untuk berduel”
Mendengar pertanyaan itu, Mahesa lalu mengambil kelereng hitam dan menatapnya dengan tajam,
“Aku telah memiliki pedang Pancaloka dan teknik Sakaroga, aku akan berduel dengan sekuat tenagaku Kek”—Mahesa menggenggam erat kelereng hitam Pancalokanya— “jadi mari kita lakukan duel itu besok pagi” Jawab Mahesa dengan tegas, tidak ada keraguan dan rasa takut sedikitpun di hatinya, semuanya tergambar jelas melalui tatapan mata dan ucapannya yang penuh keyakinan.
“Kau sudah dengar sendiri tuan Sora” ucap Kakek Ren seraya menatap Tuan Sora.
“Baguslah anak muda, semua aku percayakan padamu, kalahkan muridku, ambil armor serta senjatanya, dan itu akan mencegah terjadinya perang besar”
“Baiikkkk..., pasti akan kuhentikan semua peperangan di Ordeus ini” Jawab Mahesa sambil mengangkat tangannya penuh semangat.
Mereka bertiga pun terus berbincang, membicarakan berbagai hal yang ada di Ordeus, sesekali terdengar tawa gembira yang meramaikan suasana malam di Bukit Bhadrasana. Hingga tak terasa malam semakin larut, membuat mereka tak kuasa menahan kantuk yang mulai menyerang, dan akhirnya merekapun tertidur di tengah heningnya suasana malam, diiringi dengan beberapa suara binatang malam yang silih berganti bagaikan irama musik alam yang abadi.
Keesokan harinya, diantara sela-sela pepohonan, sebuah kendaraan melesat cepat dari Bukit Bhadrasana, terlihat Mahesa yang duduk di bagian belakang sedang memainkan kelereng hitam pancaloka, sesekali ia mengubah benda itu menjadi sebuah pedang, dan kemudian memgembalikannya lagi menjadi sebuah kelereng hitam, dia berusaha membiasakan diri menggunakan senjata barunya itu. Sedangkan di bagian kemudi Kakek Ren dengan sangat lihai mengendalikan pesawat tersebut melintasi pepohonan yang tinggi.
“Kemana kau akan mendaratkan pesawat ini?” Tanya Tuan Sora.
“Di parkiran desa, disana ada tempat untuk berbagai kendaraan, jadi kita bisa langsung menuju ke pusat desa”
“Lumayan juga kalau begitu sarana prasarana di desa ini”
“Desa Amreta memang tergolong desa kecil tuan Sora, tetapi fasilitas di desa ini sudah hampir menyamai kota”
“Desa yang modern kalau begitu” puji tuan Sora seraya mengamati sekitarnya.
Setelah sekitar tiga menit mengendarai pesawat kecil, akhirnya mereka tiba di parkiran desa Amreta. Di tempat itu terlihat beberapa pasukan elit dari kerajaan Sakarya masih berpatroli. Seusai memarkirkan kendaraannya, Mahesa, Kakek Ren, dan tuan Sora berjalan dengan penuh kehati-hatian.
“Rupanya pasukan kerjaan Conra telah meninggalkan tempat ini, karena yang terlihat hanya pasukan elit dari kerajaan Bangsa Sakarya” Ucap tuan Sora.
“Kau memang teliti juga tuan Sora”
“Itulah keistimewaanku tuan Renzo, ha... ha...” jawab tuna Sora sembari tertawa lebar. “Kalian tunggu sebentar, aku akan bernegosiasi dengan mereka” ucap Tuan Sora, ia pun berjalan mendekati dua orang prajurit yang sedang berdiri tegap di parkiran desa tersebut, sepertinya mereka mengamati tiap orang yang berlalu lalang dengan sangat cermat.
“Tuan Prajurit, apa kau mengingatku, pasti komandanmu sudah menyebarkan foto wajahku yang keren ini” ucap tuan Sora dengan tenang. Dua prajurit elit itu pun tersentak kaget, mereka langsung menatap tuan Sora, senjata laras panjang segera mengarah ke kepala tuan Sora”
“Tentu saja, wajahmu sudah tidak asing lagi, karena kau adalah buronan kami, “Akhirnya kau muncul juga, lebih baik kau menyerah saja sekarang?”
“Sayang sekali, sepertinya aku tidak mau melalukan hal itu, lebih baik kalian lihat ini”—tuan Sora menunjukkan gulungan coklat dari kulit yang berisi petunjuk pembuatan baja Bayanaka—“inilah benda yang diinginkan komandan kalian, jadi beritahu dia, jika menginginkan gulungan ini datanglah ke rumah makan di seberang jalan itu”
“Kalau begitu kami akan merebutnya darimu” ucap Prajurit itu sambil menembakkan senjatanya ke arah tuan Sora, namun dengan gesit Tuan sora langsung memutar tombaknya, dengan beberapa gerakan saja dia dapat menangkis semua tembakan tersebut,
“Sepertinya pembicaraan baik-baik tidak berlaku untuk kalian” ucap tuan Sora, Ia lalu menebaskan tombaknya dengan cepat ke arah kedua prajurit elit itu, (Craaank!) hingga membuat kedua prajurit tersebut terlempar cukup jauh, baju perang mereka pun pecah berantakan terkena sabetan tombak tuan Sora.
“Cepat kau beritahukan komandanmu, sebelum aku habisi kalian di tempat ini” Ucap tuan Sora sambil berjalan meninggalkan prajurit yang tergeletak tidak berdaya.
“Engrhhh... memang pantas kalau dia menjadi guru komandan kita, terkena tebasan tombaknya rasanya seperti dihantam batang pohon yang besar, egrhh... benar-benar kuat sekali, napasku jadi terasa sedikit sesak” ucap salah seorang prajurit sambil berusaha bangkit, ia mengusap-usap dadanya yang terkena tebasan tombak tuan Sora, begitu pula dengan temannya yang menyeringai kesakitan.
“Egrhh.. kau benar, semoga tulang-tulangku tidak ada yang patah, ayo kita segera temui komandan, tidak ada manfaatnya melawan tuan Sora”
Lalu kedua prajurit itu bergegas pergi meninggalkan tempat tersebut untuk menemui komandan mereka. Sementara itu Tuan Sora beserta Kakek Ren dan Mahesa terlihat telah memasuki sebuah rumah makan di seberang jalan. Mereka pun memilih tempat di pojok ruangan, suasana rumah makan cukup ramai, setidaknya ada tujuh prajurit elit juga terlihat makan dengan santai di rumah makan tersebut, dua diantaranya cuma minum-minum sambil bersandar di tembok ruangan.
“Apa tempat ini cocok tuan Sora”
“Aku rasa ini tempat yang cocok, kau tidak usah khawatir tuan Renzo, aku sudah memperhitungkan semuanya”
“Kakek, lihatlah dua orang prajurit yang di pojok ruangan itu, mereka terus memperhatikan tuan Sora”
“Biarkan saja Mahesa, sebentar lagi mereka pasti ke sini” jawab tuan Sora dengan tenang.
Apa yang diperkirakan tuan Sora ternyata benar, setelah mengamati dengan cermat gambar yang dibawanya, prajurit itu langsung menghunuskan pedang dan berjalan ke arah tuan Sora,
“Tuan Sora lebih baik kau ikut kami,” Ucap seorang prajurit sambil meletakkan gambar wajah tuan Sora di atas meja makan, (Bruaag!) suara gebrakan meja terdengar keras, “lihatlah di sini banyak prajurit elit yang sedang bersantai, sewaktu-waktu mereka bisa mengepungmu”
“Begitukah,” jawab tuan Sora dengan tenang, ia lalu menoleh ke arah Mahesa yang duduk di sampingnya, “Mahesa, apa kau bisa menggunakan Pancaloka untuk membuat mereka semua diam”
“Tentu saja tuan Sora” Jawab Mahesa sambil tersenyum, ia memahami hal yang dimaksudkan oleh tuan Sora, lantas Mahesa dengan tenang menurunkan tangan kanannya dari atas meja serta memasukkannya ke dalam saku baju, matanya menatap ke arah tiap prajurit elit yang berada di ruangan itu, lima detik kemudian,
“Tuan prajurit pernahkah dahimu terbentur kelereng seperti ini?” tanya Mahesa sembari mengeluarkan tangan kanannya dari dalam saku, di atas telapak tangannya kelereng pancaloka terlihat sedikit melayang sekitar satu centimeter.
“Apa maksudmu, apa kau ingin memberi pertunjukan sulap” jawab sang Prajurit dengan nada bengis,
“Tidak, aku hanya ingin kau merasakan ini” ucap Mahesa sambil mengibaskan tangannya, dan secepat kilat kelereng hitam di telapak tangannya melesat lalu menghantam dahi dua orang prajurit di dekatnya, membuat kedua prajurit itu terpelanting hingga langsung pingsan di lantai rumah makan. Sontak saja kejadian itu mengagetkan para prajurit lainnya,
“Hoiii... apa yang kalian lakukan pada teman kami!” teriak seorang prajurit berbadan kekar seraya langsung berdiri dan menghunuskan pedangnya, diikuti enam prajurit lainnya. “Ayoo... tangkap mereka bertiga!” Secara serentak semua prajurit itu bergerak untuk menyerang Mahesa, Kakek Ren, dan Tuan Sora yang sedang duduk dengan santai, namun belum sempat para prajurit itu melakukan serangannya, sekali lagi Mahesa mengibaskan tangannya ke berbagai arah, dan kelereng pancaloka itu pun ikut bergerak sangat cepat mengikuti arah gerakan tangan Mahesa, karena cepatnya lesatan kelereng pancaloka, hanya dalam waktu lima detik, benda itu telah menghantam keras pada dahi tiap prajurit elit hingga membuat mereka semua terjungkal menghantam beberapa meja dan kursi di ruangan itu, semua prajurit elit itu dibuat pingsan hanya dengan sekali serangan. Kejadian yang tiba-tiba itu membuat para pengunjung yang lain hanya terpaku memyaksikannya.
“Sudah selesai tuan Sora” ucap Mahesa sembari menarik kelereng pancaloka dan memasukkannya kembali ke dalam saku. Tuan Sora lalu berdiri sambil membungkukkan badannya,
“Maaf kami telah menganggu kenyamanan anda semua, silahkan dilanjutkan lagi menikmati hidangannya” ucap tuan sora kepada seluruh pengunjung di tempat itu,
“Ada apa ini tuan?” tanya pemilik rumah makan
“Maaf telah membuat rumah makanmu berantakan, nanti akan kami ganti rugi semuanya”
“Baiklah kalau begitu, saya percaya kepada anda tuan” ucap pemilik rumah makan itu, laki-laki berbadan sedikit tambun, dan berusia setengah baya tersebut lalu merapikan kembali beberapa barang yang pecah karena terbentur badan para prajurit elit ketika jatuh terjungkal.
“Oya... anda ingin memesan apa tuan?”
“Berikan saja seperti makanan yang ada di gambar itu” Jawab tuan Sora sambil menunjuk gambar makanan yang terpampang pada dinding ruangan. “tolong pesan tiga porsi saja”
“Baik..., segera saya siapkan”
Pemilik rumah makan itu pun bergegas menuju ke dapur untuk menyiapkan pesanan. Sambil menunggu hidangannya siap, tuan Sora duduk sambil membaca surat kabar yang tersedia di tempat tersebut, namun konsentrasi membacanya terganggu dengan sesosok orang yang masuk ke dalam rumah makan. Orang berbadan tegap berusia sekitar 45 an itu terlihat tenang, armor berwarna keperakan dan sebuah kapak besar yang terselip di punggungnya membuat pengunjung lain langsung menatapnya dengan sedikit was-was.
“Wah... berantakan sekali tempat ini” ucapnya sambil menyambar begitu saja sebotol minuman milik pengunjung yang dilewatinya.
“Kau sudah datang rupanya Komandan Ordanata, silahkan duduk aku sudah agak lama menunggumu”
“Guru Sora, akhirnya kau muncul juga, kemana saja Guru tiga hari belakangan ini” Jawab orang itu sembari mengambil tempat duduk di depan tuan Sora, Mahesa dan Kakek Ren hanya diam saja mengamati pembicaraan mereka berdua.
“Aku di sekitar sini saja, mengunjungi teman lama, perkenalkanlah, orang tua yang mengenakan jubah merah serta terlihat masih gagah ini bernama Kakek Ren, sementara bocah remaja dengan topi biru yang menutupi kepalanya ini bernama Mahesa”
“Hmm... aku sering mendengar nama mereka, sang pembasmi monster dari Bukit Bhadrasana, senang bisa bertemu kalian” ucap Komandan Ordanata seraya mengangkat botol minumannya.
“Wah... tidak kusangka aku sampai setenar itu” jawab Kakek Ren, “Kau memanggil tuan Sora dengan sebutan guru, pasti kau murid dari tuan Sora, sepertinya ini reuni yang mengharukan antara guru dan murid”
“Ha... ha...”—Komandan Ordanata tertawa keras lalu meneguk minumannya—“itu dulu, enam tahun yang lalu, tapi setidaknya aku tetap menganggapnya sebagai guru”
“Kau sudah gila dengan kekuasaan Ordanata, sadarlah sebelum terlambat”
“Guru Sora, kau sudah sering berkata seperti itu padaku, aku telah menentukan pilihanku, dan inilah yang aku pilih” ucapnya dengan nada bicara yang tegas, ia lalu memandang ke sekelilingnya, “sepertinya kalian telah membuat prajurit elitku menjadi tidak berdaya”
“Bukan kami, tapi Mahesa yang melakukannya” jawab tuan Sora
“Anak muda bertopi biru, hebat juga kau ternyata” ucapnya seraya mengacungkan jempolnya ke arah Mahesa, namun Mahesa hanya diam dan menatap Komandan Ordanata tanpa rasa takut, “kenapa guru mengundangku kemari, apa guru ingin menyerahkan gulungan baja bayanaka kepadaku?”
“Tentu saja akan kuberikan, tapi ada syaratnya”
“Katakan saja, syaratnya Guru?”
“Kau harus berduel teknik sakaroga melawan Mahesa”
“Hah..., apa yang kau katakan Guru, anak muda itu menguasai teknik Sakaroga” jawab sang Komandan sambil menatap Mahesa dengan pandangan yang penuh ketidakpercayaan.
“Memang begitulah, jika kau menang akan kuberikan gulungan baja bayanaka ini”—Tuan Sora menunjukkan gulungan coklat di tangan kanannya—“tapi jika kau kalah, kembalikan kapak dan armor yang kau gunakan itu, karena ternyata kau tidak layak mengenakannya Ordanata”
“Ha... ha... baiklah, aku terima tantanganmu itu guru, akan kubakar habis anak muda itu” jawab Ordanata sambil memukul meja makan, ia lalu mengangkat telapak tangannya, dan tiba-tiba saja di atas telapak tangan sang komandan itu muncul kobaran api yang cukup besar. Mahesa menatap tajam kobaran api itu, dan bola mata kuningnya terlihat melebar serta menyala terang, ia lalu mengarahkan telapak tangannya ke arah bara api milik Komandan Ordanata,
“Bara api yang cukup panas komandan”—Mahesa lalu menarik tangannya, dan dalam sekejap bara api di atas telapak tangan Komandan Ordanata langsung berpindah tempat ke atas telapak tangan kanan Mahesa yang terbuka lebar—“tapi…, api seperti ini sangat mudah dipadamkan” ucap Mahesa singkat sembari telunjuk tangan kirinya menyentuh bara api itu, dan bersamaan dengan sentuhannya, bara api pada telapak tangannya langsung membeku menjadi bongkahan es,
“Jadi akulah yang akan membakar habis dirimu komandan” jawab Mahesa sambil menatap mata sang komandan, ia lalu mengepalkan tangan kanannya, (kraazss!) sehingga bara api yang telah beku menjadi es itu pecah berantakan, Mahesa membalas gertakan komandan tersebut dengan penuh keberanian. Tuan Sora dan Komandan Ordanata pun terbelalak kaget melihat hal itu,
“Ba-bagaimana kau bisa mengendalikan apiku bocah” tanya sang komandan penuh keheranan
“Mudah saja, karena aku menguasai sihir elemental, bukankah kau juga menguasainya komandan”
“Memang begitu Mahesa, penyihir dari bangsa Sakarya pasti menguasai satu elemen alam, tetapi tiap penyihir disana hanya mampu mengendalikan elemen alam yang ia ciptakan sendiri, tidak mampu mengendalikan elemen alam yang di keluarkan oleh penyihir lain” jelas Tuan Sora.
“Ooo... berarti kau hanya mampu mengendalikan api dalam dirimu saja komandan, dan kau tidak mampu mengendalikan api yang dikeluarkan oleh penyihir lain, kalau begitu habislah kau” Jawab Mahesa sambil bersandar di kursi.
“Egrhhh... kurang ajar kau bocah, meskipun begitu jangan harap kau bisa menang dariku” jawab sang Komandan dengan sinis.
“Sudahlah jangan berdebat lagi Ordanata, karena masih ada satu syarat lagi” ucap Tuan Sora menengahi pembicaraan
“Hah... apa lagi syaratnya Guru Sora?”
Tuan Sora lalu berdiri sambil mengangkat tangannya ke arah pemilik rumah makan.
“Tuan...!, kemarilah sebentar!” teriak Tuan Sora memanggil pemilik rumah makan, tanpa banyak tanya pemilik rumah makan itu pun langsung bergegas mendekat.
“Mau pesan apalagi tuan?”
“Tidak ada, aku cuma ingin tanya, berapa kerugianmu akibat dari prajurit yang bergelimpangan itu?”
“Sekitar 3800 shura tuan”
“Aku tepati janjiku”—tuan sora memandang ke arah komandan Ordanata dan berkata dengan tenang—“Ordanata berikan ganti rugi kepada pemilik rumah makan ini, tempat ini jadi berantakan karena ulah semua prajuritmu”
“Egrhh... kenapa bisa aku yang ganti rugi Guru”
“Karena kau adalah pimpinannya, lagi pula sebagai komandan kau memiliki gaji yang besar bukan, uang segitu tidak ada artinya buatmu”
“Baiklah aku tidak mau berdebat masalah ini” ucap komandan itu seraya mengeluarkan sejumlah uang dari dalam sakunya, dan memberikannya kepada pemilik rumah makan tersebut, “Ini 4000 shura, dan bangunkan semua prajuritku”
“Baiiikk..., terimaksih banyak Komandan Ordanata” jawab pemilik rumah makan itu, ia pun segera bergegas pergi ke arah para prajurit yang bergelimpangan tak beraturan di lantai dan juga di atas meja, terlihat sebagian dari mereka telah tersadar.
“Guru Sora, persiapkan anak muda itu dengan baik, besok pagi jam 9 tepat kutunggu di perbatasan desa Amreta sebelah utara, ingat jangan sampai terlambat” ucap komandan Ordanata sembari langsung beranjak pergi, diikuti oleh semua prajurit elitnya yang telah tersadar kembali.
“Mereka sudah pergi, ayo kita nikmati makanan ini lagi” Ajak tuan Sora
“Baguslah, perutku sudah terasa lapar sekali” sahut Mahesa, namun ketika ia mau menikmati makanannya, “Hah..., kenapa piringnya jadi kosong begini”
“Kalian terlambat, aku sudah menghabiskan semuanya”
“Hah..., kau sungguh keterlaluan Kek, kenapa kau tidak menyisakan sedikitpun untukku,” ucap Mahesa, ia celingukan melihat sisa-sisa makanan yang ada di tiap piring, “Benar-benar habis semua, jadi selama kami berbicara dengan komandan itu, kakek makan semuanya”
“Ya... begitulah cucuku, karena mendengar pembicaraan kalian, perutku jadi semakin lapar, “Sudahlah tidak usah terlalu dipikirkan, lebih baik kau segera pesan lagi makanannya, itu juga untuk kebaikanmu sendiri”
“Huiiih, baiklah” keluh Mahesa sambil beranjak pergi untuk memesan makanan.
“Hoii... Mahesa pesankan aku juga sama persis dengan punyamu!” teriak tuan Sora
“Baik tuan Sora” jawab Mahesa singkat.
“Tuan Sora, kalau aku lihat muridmu tadi, dia sepertinya cukup temperamen juga, dan tenaga devastranya kurasa seimbang dengan Mahesa, jika dia bertindak jujur ini akan menjadi pertandingan yang adil”
“Kau benar Tuan Sora, dia orang yang mudah terbakar emosi, tetapi dia seorang pejuang yang gigih, tapi aku yakin pada kemampuan Mahesa, karena itu aku pertaruhkan semuanya kepada cucumu itu, termasuk perdamaian di Sakarya”
“Sebenarnya Mahesa juga memiliki sifat temperamen, tetapi sifatnya itu karena dipicu oleh dendam yang masih ada di dalam hatinya, jika ada orang yang kembali memicu dendamnya, maka aku yakin dia akan bertarung dengan brutal dan menghabisi lawannya tanpa ampun, itulah yang selama ini aku khawatirkan padanya tuan Sora”
“Hmm... sepertinya cucumu itu pernah mengalami hal yang berat pada masa kecilnya, tapi jika bersamamu kurasa dia akan dapat melupakan dendamnya”
“Ya... semoga saja tuan Sora” jawab Kakek Ren seraya meneguk kembali minumannya yang tersisa di gelas. Beberapa saat kemudian Mahesapun telah kembali sambil membawa beberapa makanan dan nimuman di atas sebuah nampan.
“Ini makanannya tuan Sora, silahkan” ucap Mahesa di tengah pembicaraan, ia dengan sopan menyajikan makanan di hadapan tuan Sora.
“Hmmm... lezat sekali kelihatannya, terimakasih banyak anak muda” Jawab tuan Sora, tanpa memunggu lama ia langsung menyantap makanan yang ada dihadapannya. Mereka bertiga pun kembali menikmati makanan tersebut sambil berbincang santai seperti tidak ada permasalahan sedikit pun. Beberapa saat kemudian,
“Kakek Ren hari sudah agak siang, ayo kita kembali, aku ingin mencoba berlatih lagi mengendalikan Pancaloka dan Sakaroga, untuk persiapan mengahadapi komandan itu besok pagi”
“Ya... baiklah, lagi pula sudah tidak ada gadis cantik lagi yang makan disini, pemandangannya jadi terasa hambar”
“Ha... ha... rupanya dari tadi kau betah di sini karena memandangi gadis cantik, ternyata benar, genit juga kau tuan Renzo” sahut tuan Sora sambil tertawa keras
“Itu memang reputasi Kakekku sejak muda tuan Sora”
“Sudahlah, jangan membuatku mengingat kesuksesanku di waktu muda, ayo kita pulang saja” Kakek Ren lalu beranjak pergi, diikuti oleh Mahesa dan Tuan Sora yang masih tertawa lepas mendengar gurauan kakek Ren tersebut.
Keesokan harinya, waktu yang telah ditentukan pun tiba. Pagi itu udara berhembus pelan, daun-daun pepohonan hanya bergerak lembut mengikuti alur angin, kehangatan sinar matahari pagi menebar rata di tengah tanah lapang, mengeringkan embun pagi pada rerumputan yang tumbuh menghijau di tempat tersebut.
Mahesa tampak telah berdiri tegap berhadapan dengan komandan Ordanata. Dari jarak sekitar 20 meter mereka saling menatap tajam tanpa bergerak sedikit pun. Tangan kanan Mahesa telah menggenggam erat kelereng hitam Pancaloka, armor keperakan yang melindungi bagian dada serta lengannya berkilau terang terkena sinar matahari. Begitu juga sang Komandan, dengan Kapak yang telah terhunus dan armor biru yang membalut tubuhnya, membuat dirinya terlihat lebih garang. Para prajurit elit bersenjata pedang dan perisai berdiri tegap mengelilingi tempat lapang itu bagaikan pagar baja yang sulit di tembus. Sementara Kakek Ren dan Tuan Sora lebih memilih duduk di sebuah batu besar yang tak jauh dari arena pertarungan. Ketegangan tampak menghiasi setiap wajah orang yang hadir di tempat itu, karena pertarungan yang akan dilakukan juga memertaruhkan kedamaian untuk bangsa Sakarya. Dhuuuangg...! Tiba-tiba saja di tengah keheningan yang mencekam itu, terdengar suara genderang besar yang dipukul sangat keras sebagai penanda dimulainya pertarungan. Suaranya menggelegar mengagetkan dan menggetarkan suasana di area pertarungan. Sedetik kemudian Mahesa dan Komandan Ordanata serentak memunculkan makhluk sakaroganya.
“Aksatriya!” Teriak Mahesa, yang kemudian diikuti oleh Komandan Ordanata,
“Andakara!”
Bersamaan dengan mantra pemanggil yang mereka ucapkan, muncullah makhluk besar setinggi empat meter di depan mereka. Aksatriya milik Mahesa dengan armor berwarna hitam dan perak berdiri tegap sembari memegang erat pedang serta perisai besar, sedangkan Andakara milik sang komandan, tampak buas dengan tanduk besar dan panjang di atas kepala, tampangnya yang ditutupi helm baja hanya menyisakan bagian mulut, sementara bagian mata hanya terlihat melalui lubang tipis horisontal bercahaya kebiruan. Armor yang juga biru gelap memperkokoh tiap inchi bagain tubuh makhluk itu, pada bagian pundak dan lengannya dihiasi beberapa duri lancip, tidak ketinggalan sebuah kapak besar dengan bilah ganda tergenggam erat di tangan kanannya.
“Hmmm... jadi itu makhluk sakarogamu anak muda”
“Ya... seperti yang kau lihat komandan”—Mahesa mengubah kelereng hitamnya menjadi pedang Pancaloka —“makhlukmu terlihat kuat juga”
“Terlihat katamu” ucap komandan Ordanata dengan nada tinggi, “kalau begitu kita lihat siapa yang benar-benar kuat”—Organata mengangkat kapaknya—“Andakara sudah waktunya, habisi Aksatriya itu” teriaknya seraya mengarahkan kapaknya ke arah makhluk sakaroga milik Mahesa, dan sedetik kemudian Andakara pun melompat tinggi untuk melakukan serangan.
“Aksatriya ini duelmu yang pertama, hancurkan makhluk berduri itu” ucap Mahesa diikuti oleh lompatan tinggi sang Aksatriya menyambut serangan dari Andakara. Benturan dua senjata di udara pun tak terelakan, (Dhuuaangg!), menimbulkan suara yang menggelegar dan hembusan angin yang cukup kencang, beberapa batang pohon kering menjadi beterbangan ke berbagai arah terkena hempasan angin. Menyaksikan hal itu, para prajurit elit yang berdiri tegap di lapangan langsung berhamburan mencari tempat berlindung yang lebih aman, karena mereka tidak mau menjadi korban dari duel makhluk raksasa tersebut. Sedangkan Kakek Ren dan Tuan Sora terlihat serius sekali menatap pertarungan itu, hingga tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka, ketegangan jelas semakin terasa di pagi yang cerah hari itu. Kedua makhluk sakaroga saling melancarkan serangan untuk berusaha melumpuhkan lawannya. Tebasan kapak dan sabetan pedang besar mewarnai tiap serangan mereka, kobaran api besar pun sesekali terlihat di sela-sela serangan yang mereka lancarkan. Setelah hampir lima belas menit bertarung hasilnya masih terlihat seimbang, terkadang Aksatriya terlempar karena tebasan kapak Andakara, dan di waktu lain Andakara pun beberapa kali terpental jauh karena tebasan pedang Aksatriya. Sang pengendali makhluk itu yakni Mahesa dan Komandan Ordanata tetap berdiri berkonsentrasi mengendalikan makhluknya masing-masing.
“Tinggal lima belas menit lagi makhluk sakaroga akan hilang, karena batas kekuatan pengguna sakaroga hanya mampu setengah jam saja, sebab teknik itu sangat menguras tenaga” ucap tuan Sora,
“Hmm... jadi seperti itu, kelihatannya mereka masih berimbang, tidak terlihat siapa yang lebih unggul” jawab Kakek Ren dengan tetap mengamati pertarungan yang masih berlangsung di hadapannya.
Beberapa menit telah berlalu, hal itu membuat sang komandan terlihat mulai gusar, ia berpikir keras berusaha mencari celah kelemahan Mahesa.
“Batasku tinggal lima menit lagi, tapi aku belum menemukan cara untuk mengalahkannya, perisai Aksatriya itu selalu menghalangi seranganku, aku terlalu meremehkan anak muda itu, tidak ada pilihan lain kugunakan saja teknik terakhir, semoga bisa menumbangkannya, karena sudah tidak ada waktu lagi” pikir komandan dalam hati, lalu sedetik kemudian terlihat Andakara mengangkat kapaknya tinggi-tinggi, dalam sekejap tubuh makhluk sakaroga itu tampak diselimuti bara api yang sangat besar, hingga sampai ke ujung kapaknya.
“Akhirnya dia akan melakukan serangan besar-besaran, ini yang aku tunggu sejak tadi” Gumam Mahesa dalam hati, bola matanya pun tiba-tiba melebar dan menyala terang.
“Hmm... ternyata dugaanku tepat, bola mata kuningnya menyala lagi seperti waktu di rumah makan kemarin, mata makhluk sakaroganya juga ikut menyala, berarti dia akan mengendalikan apiku, baguslah..., itu akan menjadi senjata makan tuan buatnya, mengendalikan api besar butuh konsentrasi yang tinggi, disaat dia mulai mengambil alih apiku, maka akan kulemparkan kapak Andakara, karena pasti dia akan sedikit lengah” Ucap komadan Ordanata dalam hati sembari tersenyum sinis. Sementara Aksatriya mengubah perisainya menjadi kecil, hanya seukuran pergelangan tangannya, lalu ia menggenggam erat pedang besar berbilah ganda dengan erat menggunakan kedua tangannya, ia pun mengangkat pedang besar itu secara vertikal di depan dada.
“Anak muda..., sudah kubilang aku akan membakar habis dirimu, lihatlah api yang menyelimuti tubuh Andakara, inilah yang disebut sihir Agnikara, sihir kobaran api yang sangat besar dan panas, “Rasakanlaahhh...!” Teriak komandan Ordanata, bersamaan dengan itu, Andakara langsung menebaskan kapaknya, hingga membuat kobaran api besar dari tubuhnya melesat cepat ke arah Aksatriya. Kobaran api itu pun membakar habis rerumputan dan ranting pohon yang dilewatinya, saking besarnya hingga terlihat bagaikan gelombang api.
“Sudah dimulai” Ucap Mahesa sambil menancapkan pedang Pancalokanya ke tanah, setelah itu dengan cepat mengarahkan kedua telapak tangannya ke arah api besar yang akan menghantam Aksatriya,
“Terima kasih komandan, aku terima kirimanmu!” teriak Mahesa, bersamaan dengan ucapannya, pedang besar milik Aksatriya juga memunculkan kobaran api berwarna kebiruan, dengan cepat Aksatriya mengibaskan pedangnya ke kanan sambil memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat, sehingga membuat bara api dari Andakara yang akan membakar tubuhnya tiba-tiba ikut bergerak berputar mengitari dan menutupi seluruh tubuh Aksatriya.
“Sekarang Andakara, lemparkan kapakmu!” mendengar ucapan pengendalinya memberikan perintah, makhluk besar Andakara langsung melemparkan kapak besar yang menjadi senjata andalannya ke arah Aksatriya, kapak besar itu pun melesat sangat cepat,
“Habislah kau anak muda” Gumam Komandan Ordanata dengan senyum kemenangan.
Melihat serangan yang mendadak secara beruntun ke arah Mahesa, membuat Kakek Ren merasa khawatir, dan berpikir keras dalam hatinya,
“Sepertinya Aksatriya tidak akan dapat menghindar lagi, karena dia berkonsentrasi mengendalikan api milik Andakara, apa yang dipikirkan Mahesa, dia sangat ceroboh kali ini” Gumam Kakek Ren,
“Ayo Mahesa..., tunjukkan hal yang lebih baik, ingatlah perdamaian bangsa Sakarya tergantung darimu” ucap tuan Sora dalam hati. Kakek Ren dan Tuan Sora mulai merasa was-was dengan posisi Mahesa yang terlihat kurang menguntungkan dan terancam.
Akhirnya, dalam waktu singkat kapak besar Andakara pun menembus kobaran api yang mengitari tubuh Aksatriya, namun kapak itu ternyata hanya menembus bara api itu saja dan akhirnya menancap pada sebongkah batu besar.
“Dasar bodoh kau Komandan” ucap Mahesa seraya mengepalkan tangannya, dan kobaran api besar itu pun menghilang begitu saja.
“Hah...ke-ke-kemana makhluk sakarogamu, kenapa tidak ada di dalam bara api itu”
“Pertanyaan yang bagus, lihatlah di atasmu”
Secara spontan, Komandan Ordanata langsung mendongak ke atas, matanya terbelalak karena sangat terkejut, sebab semua di luar perkiraannya,
“Hah... Aksatriya, dia sudah berada di atas, ke-kenapa aku tidak melihat dia melompat ke atas, lalu bagaimana dia bisa terbang?”
“Itulah yang dinamakan gerakan kilat tuan komandan, dan dia terbang karena aku gunakan pengendalian angin” ucap Mahesa sambil tersenyum, “dan sekarang giliranku untuk membalasmu, “Tebasan kilaaatt!” teriak Mahesa,
“Hah... Aksatriaya menghilang, kemana dia?” belum sempat komandan Ordanata menyadari keberadaan Aksatriya, tiba-tiba saja makhluk sakaroga milik Mahesa itu telah berada di depan Andakara dan langsung menebaskan pedang besarnya yang diselimuti bara api biru. Serangan itu pun dengan telak menghantam bagian dada Andakara (Craaaang!) sehingga membuat makhluk besar itu langsung terhempas jauh dan terbakar dengan sebagian armornya yang pecah berantakan. Baru saja Andakara jatuh menghempas bumi, Aksatriya melesat lagi dengan cepat dan menghunuskan pedang besarnya ke leher Andakara, kobaran api pada pedang tersebut membuat Andakara menyeringai kesakitan, dia sudah terlihat tak berdaya karena terkena tebasan pedang Aksatriya.
“Bagaimana komandan, makhluk sakarogamu sudah tidak berdaya, akuilah kekalahanmu”
“Kurang ajar kau..., aku tidak akan kalah dengan anak muda ingusan sepertimu!” teriak sang komandan dengan emosi yang meluap-luap, ia berlari cepat untuk melakukan serangan ke arah Mahesa. Menyadari hal itu Mahesa langsung menyambar pedang Pancalokanya yang tertancap di tanah,
“Baiklah kalau itu yang kau minta” Jawab Mahesa sambil berlari ke arah Ordanata. Kini mereka berdua sudah siap melancarkan serangannya, beberapa detik kemudian tebasan kapak sang komandan dan sabetan pedang Mahesa tak dapat dihindarkan lagi, (bhluuarr...!) ledakan besar pun terjadi akibat benturan dua senjata itu.
“Aku yang akan membakarmu secara langsung anak muda” ucap sang komandan sambil melancarkan serangan bertubi-tubi menggunakan kobaran api di setiap tebasan senjatanya.
“Jangan banyak bicara komandan, karena orang yang banyak bicara justru yang akan terbakar lebih dulu” Sahut Mahesa sambil menangkis tiap serangan Komandan Ordanata. Sekarang mereka berdua yang berduel, mereka saling menyerang dengan segala kemampuan, hingga akhirnya Komandan Ordanata mengerahkan sihir pamungkasnya, tubuhnya diselimuti oleh bara api yang sangat besar,
“Agnikaraa!” teriak sang komadan sembari menebaskan kapaknya, kobaran api pun kembali melesat ke arah Mahesa,
“Teknik yang sama lagi, apa kau tidak memiliki teknik lain komandan” ucap Mahesa sambil menebaskan pedangnya ke atas, bara api besar itu pun ikut naik ke atas mengikuti gerakan pedangnya “Ini aku kembalikan lagi” bersamaan dengan gerakan pedang pancaloka, bara api milik komadan itu pun melesat balik menyambar tubuh sang komandan Ordanata, tapi komandan itu justru tertawa dengan keras,
“Ha... Ha... dasar bodoh, mana bisa kau membakarku dengan api milikku sendiri, apa kau sudah kehabisan bara api anak muda”
“Tentu saja tidak komandan, lihatlah ujung kapakmu itu”
“Hah..., kenapa ada api biru di ujung kapakku” ucap sang komandan seraya menatap ujung kapaknya,
“Aku telah menyusupkan sedikit apiku di dalam bara api besarmu tadi”
“Ha… ha…, kau jangan bercanda bocah, api sekecil ini hanya bisa untuk menyalakan lilin ulang tahun”
“Kalau begitu kau yang akan menjadi kue ulang tahunnya”—Mahesa tersenyum, ia lalu menebaskan pedang pancalokanya ke atas—“Naga Agni” dalam sekejap bara api kecil di ujung kapak komandan itu pun tiba-tiba membesar dan berubah wujud menjadi seekor naga besar sepanjang sepuluh meter,
“Ha... Ba-bagaimana bisa?”
“Simpan kata-katamu komandan,” Mahesa kembali menebaskan pedangnya, dan bara api biru yang berbentuk naga itu langsung menghujam keras ke arah Komandan Ordanata, dan tanpa dapat dihindari lagi, akhirnya naga api biru tersebut dengan telak menghantam dadanya dengan keras, (Bhluuuarrr...!), membuat sang komandan tumbang dan tergeletak di atas rerumputan yang terbakar,
“Engrhhh..., huft... huft... ku-kurang ajar, kau”
“huft... huft... Sudahlah komandan, akui saja kekalahanmu, kita sudah banyak kehilangan tenaga, para makhluk Sakaroga juga telah kembali ke tubuh kita” ucap Mahesa sembari mengatur napasnya.
“Egrhh..., huft... huft... tidak akan pernah, heaakkkhhh!” teriak sang komadan, dengan sisa-sisa tenaganya ia menebaskan kapaknya ke arah Mahesa, namun dengan cekatan Mahesa juga menebaskan pedangnya untuk menahan serangan kapak sang komandan dan..., (Ctang...!) benturan keras kembali terjadi, membuat kapak sang komadan terbelah jadi dua bagian terkena tebasan pedang pancaloka,
“Hah…, ka-kapak dari baja bayanaku patah” di saat komandan menjadi lengah karena kapaknya telah patah, Mahesa langsung memanfaatkan kesempatan itu, dengan sekuat tenaga ia kembali menebaskan pedang pancalokanya ke arah dada komandan Ordanata, serangan itu pun mengakibatkan armor sang komandan pecah berantakan serta meninggalkan bekas sayatan sepanjang dadanya secara menyilang. Serangan itu pun juga membuat komandan Ordanata terpental cukup jauh hingga menghantam sebuah batu besar di tanah lapang tersebut, tebasan pedang pancaloka mengakhiri perlawanannya di pagi itu, dan membuat sang komandan pasukan elit tergeletak tak sadarkan diri.
“Puiihh... akhirnya kau tumbang juga Komandan” Gumam Mahesa sambil berjalan pelan meninggalkan rerumputan dan bebatuan yang hancur berantakan akibat pertarungan yang telah dilakukan. “Hoii... para prajurit elit, pergilah kalian dari sini, jika lima detik aku lihat kalian masih tetap disini maka aku akan memanggang kalian juga” Mahesa dengan tegas memberi peringatan kepada prajurit sembari memunculkan bara api keseluruh tubuhnya selama beberapa detik, hal itu pun membuat nyali para prajurit elit menciut, dalam sekejap saja mereka semua telah berhamburan meninggalkan tempat itu.
“Akhirnya kau berhasil Mahesa, kau melakukan pertarungan yang luar biasa”
“Ha... ha... biasa saja tuan Sora, aku melakukannya sesuai insting di kepalaku, “dia masih pingsan, bagaimana dengan senjatanya, sepertinya telah hancur?”
“Tidak apa-apa Mahesa, aku bisa memperbaikinya, sekarang biar aku yang urus muridku, aku akan mengambil semua senjatanya dan membawanya pulang ke desa Tarigan, dia membutuhkan bimbingan ulang”
“Jaga dia baik-baik tuan Sora, kekuatannya akan sangat bermanfaat jika digunakan untuk kebaikan”
“Kau tidak usah khawatir tuan Renzo, aku sudah punya cara untuk mengendalikan emosi dan mengembalikan karakter baiknya”
“Baguslah kalau begitu, kau memang guru yang teladan”
“Ha... ha... lain kali belajarlah dariku, “oya... baja adhiganamu ternyata lebih tangguh, aku akui itu”
“Ha... ha... kalau begitu buatlah yang lebih kuat lagi tuan Sora”
“Itu pasti Tuan Renzo, “kalau begitu aku pulang dulu, terima kasih banyak atas bantuannya”—tuan Sora menjabat erat tangan kakek Ren—“suatu saat aku pasti akan membalas pertolonganmu”
“Sudahlah, tidak usah terlalu dipikirkan, kalau ada waktu mampirlah dan traktir aku makan, itu sudah lebih dari cukup” jawab Kakek Ren.
“Anak muda, berlatihlah yang keras, aku yakin kau akan melampaui para raja di Ordeus”
“Terima kasih banyak tuan Sora, kau telah mengajariku teknik Sakaroga, selamanya kau adalah guruku”
“Ha... ha... sudah kewajibanku, aku akan berkunjung lain waktu, jadi siapkan makanan yang lebih baik” ucap tuan Sora sambil berjalan pergi meninggalkan Mahesa dan Kakek Ren.
“Pasti tuan Sora, jaga muridmu baik-baik, jangan sampai dia bikin onar lagi”
“Kalau dia mengacau lagi aku akan menghubungimu lagi tuan Renzo” jawab Tuan Sora seraya mengangkat tangannya, ia lalu mengambil salah satu kendaraan para prajurit elit yang tergeletak di tempat itu untuk membawa pulang muridnya. Matahari telah beranjak naik mengantarkan mereka kembali ke desa Tarigan, dan dengan tumbangnya Ordanata, peperangan di Sakarya tidak akan terjadi, Sakarya masih tetap menjadi tempat yang aman dan damai.