Read More >>"> Crosaiden (Pengendali Elemental) (Bagian 2 Gerbang Arkara) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Crosaiden (Pengendali Elemental)
MENU
About Us  

BAGIAN 2 GERBANG ARKARA

        Ketika malam menjelang, Kakek Renzo tampak sedang menatap sebuah rak buku yang terletak di sudut ruang kamarnya, rak buku itu terlihat kuno namun masih terawat dengan baik, ornamen berbentuk ukiran pada bagian tepinya membuat rak itu tampak unik. Kakek Ren dengan teliti memilah-milah berbagai buku pada rak tersebut, hingga beberapa  saat kemudian,

“Ini dia, akhirnya ketemu juga, hmm… sudah lama aku tidak membuka buku Arkara ini”  gumam Kakek Ren seraya mengambil sebuah buku yang cukup tebal bersampul kulit binatang berwarna hitam, ia lalu berjalan ke arah sebuah kursi dan meja yang biasanya ia gunakan untuk menghabiskan waktu dengan membaca. Setelah meminum seteguk kopi di  meja  itu, ia mulai membuka-buka tiap halaman dalam buku Arkara tersebut untuk menemukan suatu hal yang membuatnya penasaran, 

“Nagastra…, Darah Akral…,  di bagian mana ya…, dan juga simbol itu…, aku yakin pasti ada di buku ini” gumamnya sambil terus mengamati dan membuka tiap lembaran dalam buku itu. “Nagastra…, tidak  ada keterangan tentang Nagastra pada buku ini, dan simbol itu… mmmm…, nah akhirnya…” tatapan mata Kakek Ren tiba-tiba terpusat pada sebuah gambar unik berwarna merah pada buku itu,

“sepertinya simbol ini persis dengan simbol yang digambarkan oleh Mahesa, tetapi…, dalam buku ini cuma dituliskan bahwa simbol itu bernama simbol crosaiden, simbol penghubung antara dunia bawah dan dunia atas, dunia yang terikat dengan serangkaian mantra dewa, simbol yang menjadi segel pada gerbang Arkara, hanya pewaris darah Akral yang berhak memilikinya, “darah Akral…, kata ini dulu yang tidak begitu aku pahami, dan sekarang Mahesa telah meminum darah Akral itu, jika memang benar…, berarti gerbang Arkara yang selama ratusan tahun tidak pernah ada orang yang mampu membukanya, kemungkinan besar akan dapat terbuka, rahasia di balik gerbang Arkara itu akan segera dapat kuketahui, dan itu berarti Nagastra adalah seorang dewa” gumamnya sambil meminum habis sisa kopi di dalam gelas, “baiklah tidak ada salahnya untuk dicoba” ucap Kakek Ren dalam hati, ia lalu beranjak dari tempat duduknya dan meletakkan kembali buku tersebut ke dalam rak buku, dengan wajah masih diliputi rasa penasaran dia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, matanya menerawang memperkirakan sebenarnya apa yang tersimpan di balik gerbang Arkara selama ini. Seiring dengan berjalannya malam, sang Kakek pun mulai tertidur pulas, meskipun rasa penasaran masih menyelimuti hatinya.

Keesokan hari pada saat matahari pagi menebarkan cahayanya hingga membuat langit tampak semakin cerah, Mahesa dan Kakek  Ren berjalan beriringan melewati jalan setapak menuju ke puncak bukit Bhadrasana.

“Kita akan kemana Kek?”

“Ke puncak bukit ini Mahesa”

“Memang ada apa disana?”

“Nanti kau lihat saja sendiri, “apa sekarang kau bisa mendengar suara aliran air? ”

“Iya Kek, aku  mendengarnya, semakin lama semakin kencang”

“Itu berarti kita sudah dekat dengan puncak Bukit Bhadrasana, ayo bersemangatlah cucuku”

“Baiik Kek”

Akhirnya setelah kurang lebih sepuluh menit menyusuri jalan setapak yang menanjak, mereka pun sampai di puncak Bukit Bhadrasana. Mata Mahesa langsung terbelalak lebar, karena dihadapannya terpampang pemandangan yang sangat indah sekali.

“Wow…, ini pemandangan yang sangat menakjubkan kek, baru kali ini aku melihat tempat yang sangat mengagumkan seperti ini”

“Kau memang benar cucuku, lihatlah di depanmu itu, ada tujuh Air terjun Bhadrasana yang terletak berjajar, tingginya mungkin sekitar dua puluh lima meter, dan lihatlah di sekitarnya…, mengalir sebuah sungai besar dan sangat jernih bagaikan kaca, selain itu di tepian sungai kau dapat menyaksikan rimbunnya pepohonan yang cukup besar dan rindang, “bagaimana…, terasa sejuk dan damaikan?”

“Iya kek, terasa segar dan juga tenang sekali di puncak bukit ini” jawab Mahesa, ia lalu menarik napas panjang beberapa kali untuk merasakan kesegaran udara pada puncak bukit itu, pandangan matanya kembali menatap kagum setiap air terjun yang mengalir turun menyusuri sungai besar di sekitar air terjun tersebut.

“Ayo kita dekati air terjun itu, ada sesuatu yang ingin aku perlihatkan kepadamu”

“Wah…, kelihatannya serius sekali Kek”

“Ha… ha… boleh dibilang begitu”

Sambil berbincang mereka berjalan mendekati ketujuh air terjun Bhadrasana, setelah melewati jembatan yang ada di sungai tersebut, mereka pun tiba di depan sebuah gerbang baja yang cukup besar dan tinggi.

“Wow… gerbang apa ini kek? besar dan kokoh sekali, pasti kuncinya juga besar” tanya Mahesa sembari tangan kanannya memukul-mukul pintu gerbang itu.

“Kau benar, gerbang ini memang sangat kuat, maka itu dinamakan gerbang Arkara, umurnya juga sudah mencapai ratusan tahun, mungkin delapan ratusan tahun”

“Benarkah…, tua sekali…, termasuk benda  bersejarah kalau begitu, darimana Kakek tahu kalau Gerbang Arkara ini telah berumur ratusan tahun?”

“Tentu saja aku tahu cucuku, karena secara turun temurun keluarga kita dari Bangsa Amoga menjadi penjaga dari Gerbang Arkara ini, dan  Kakek adalah generasi ketujuh, dan selanjutnya kaulah generasi ke delapan penjaga Gerbang Arkara”

“Oo… jadi tugas yang diwariskan secara turun temurun rupanya”

“Ya… begitulah…”

“Lalu kenapa kita harus repot-repot menjaga gerbang ini, bukankah gerbang ini sudah sangat kuat sekali, memang apa yang ada di balik gerbang Arkara ini Kek?”

“Kakek sendiri juga belum tahu Mahesa, sebab dari generasi pertama sampai sekarang tidak ada yang mampu membukanya, asal-usul gerbang Arkara ini juga sebagian masih menjadi misteri bagi kakek, “dan hari ini…, kita berdua akan  mencoba membukanya untuk mengetahui apa yang ada di balik Gerbang Arkara”

“Bagaimana caranya Kek?”

“Bukankah kemarin kau cerita telah bertemu Nagastra dan meminum darah Akral”

“Benar kek, aku kemarin juga telah menggambarkan simbol yang diberikan oleh tuan Nagastra, apa Kakek ingat?”

“Tentu saja, tapi sekarang coba kau lihat simbol di tengah Gerbang Arkara itu, apa sama dengan simbol yang kamu gambar kemarin?” tanya kakek. Mahesa  lalu mundur beberapa langkah ke belakang, ia dengan teliti mengamati gambar simbol yang terdapat pada bagian tengah Gerbang tersebut.

“Benar kek, gambar simbol itu mirip sekali, hanya saja bentuknya cukup besar, sehingga tidak begitu jelas jika dilihat dari dekat, “dan keempat lubang pada Gerbang Arkara itu bentuknya seperti empat titik pada gambar simbol yang aku gambar”

“Begitu ya, sekarang coba kau munculkan kembali sihir elementalmu dan jadikan keempat lubang itu sebagai sasaran tembaknya, kurasa akan dapat membuka gerbang tersebut, bagaimana apa kau bisa Mahesa”

“Baik…, akan kucoba Kek” sahut Mahesa, ia segera berkonsentrasi, dan sekejap kemudian empat elemen alam dalam bentuk bola telah muncul di atas telapak tangannya.

“Mahesa semakin cepat memunculkan kekuatan sihir elemental, sepertinya dia mulai terbiasa, meskipun terlihat masih sangat menguras tenaganya” gumam Kakek Ren.

“Bagaimana Kek apa bisa aku lemparkan sekarang”

“Kapan pun kau siap lemparkan saja cucuku, tapi jangan sampai meleset ya…!”

“Itu mudah Kek, lihatlah…, huakkkh…!” teriak Mahesa sambil mengayunkan  tangan kanannya kuat-kuat, bersamaan dengan itu empat bola elemental melesat sangat cepat dan masuk ke dalam lubang pada gambar simbol di  Gerbang Arkara.  Akibat bola elemental dari Mahesa, membuat simbol pada gerbang itu bercahaya kuning keemasan, namun hanya tampak pada bagian ujung bawah simbol itu saja, dan lima detik kemudian cahaya itu menghilang kembali.

“Hah! huft… huft…, sepertinya tidak berpengaruh apa-apa Kek, bergerak pun tidak, padahal lebih dari setengah tenaga devastraku telah habis”

“Kau salah bocah, apa kau lihat cahaya keemasan di ujung  bawah simbol itu tadi?”

“Iya kek, aku melihatnya sekilas, cuma sedikit sekali, mungkin sekitar sepuluh persen dari  gambar simbol itu”

“Itu pasti karena tenaga yang kau gunakan kurang besar Mahesa, jadi Gerbang Arkara tidak terbuka,  kita perlu tenaga yang lebih besar untuk membuat seluruh simbol itu menjadi seratus persen berwarna keemasan”

“Hah…, berarti aku harus meningkatkan tenagaku sepuluh kali lipat lagi Kek?” tanya Mahesa

“Tepat sekali cucuku, kau harus sepuluh kali lipat lebih kuat untuk membuatnya menjadi berwarna kuning keemasan”

“Huiiih…, sepertinya tidak mungkin Kek” sahut Mahesa sembari terduduk di rerumputan sambil memandang simbol besar di hadapannya, “itu tadi hampir delapan puluh persen tenaga devastraku, “lagi pula simbol apa itu kek, besar sekali!” ucap  Mahesa.

“Berdasarkan Buku Arkara yang aku baca, simbol itu bernama simbol Crosaiden, simbol dari kekuatan elemental, dan Nagastra yang kau temui itu kemungkinan adalah seorang dewa”

“Hah…, benarkah dia seorang dewa”

“Kemungkinan besar begitu Mahesa”

“Pantas saja naga besar itu sangat patuh sekali padanya, selain itu dia juga bisa datang dan pergi dengan sangat cepat”

“Mungkin begitulah gaya dari seorang dewa, kau sangat beruntung bisa bertemu dengan Nagastra, jadi gunakanlah kekuatan pemberiannya dengan baik”

“Tentu kek, lalu bagaimana dengan simbol crosaiden itu” jawab Mahesa seraya menunjuk simbol besar pada Gerbang Arkara.

“Kita akan membuatnya menjadi seratus persen”

“Ba-bagaimana caranya Kek, aku belum memiliki kekuatan sebesar itu”

“Cucuku, kau jangan mudah menyerah pada suatu keadaan, masih ada satu cara lagi”

“Benarkah…, bagaimana caranya Kek?” Mahesa beranjak dari tempat duduknya dan berjalan mendekati sang kakek.

“Lihatlah kembali simbol itu dan berkonsentrasilah untuk memunculkan kembali kekuatan elementalmu” pinta Kakek Ren  sembari menempelkan telapak tangannya ke punggung Mahesa.

“Apa yang akan Kakek lakukan?”

“Kita bekerja sama cucuku, aku akan menyalurkan tenaga devastraku ke tubuhmu, gunakanlah untuk membuat simbol itu menjadi seratus persen berwarna keemasan, apa kau paham rencana kakek?”

“Yaapp… aku paham Kek, ayooo… kita lakukan lagi” sahut Mahesa penuh semangat, dia pun mulai berkonsentrasi kembali, beberapa saat kemudian, “aku merasakannya, tenaga devastra kakek mulai menjalar dalam tubuhku, terasa sangat kuat…,  benar-benar kuat” gumam Mahesa, dan dalam waktu singkat muncullah kembali keempat elemen alam yang sepuluh kali lipat lebih besar dari  sebelumnya, hingga menimbulkan hembusan angin yang cukup kencang, membuat rambut merah sang bocah itu terurai bebas.

“Bagaimana cucuku apa kau bisa mengendalikannya?”

“Eghr… Kekuatan Kakek sangat luar biasa,  aku akan berusaha mengendalikannya kek”

“Ha… ha…, ini baru dua persen kekuatan Kakek, sekarang lemparkan kembali  bola elemental itu Mahesa”

“Baiiik Kek…, Huakkkkh!” teriak Mahesa sambil  mengayunkan tangan kanannya, empat bola elemental yang berukuran cukup  besar kembali melesat masuk ke dalam simbol pada gerbang Arkara.

“Pertahankan terus bola elementalnya Mahesa, kendalikan tenaga devastranya sampai simbol crosaiden itu berubah menjadi berwarna keemasan, semoga saja bisa membuka gerbang itu”

“Ba-baik Kek, Egrrhhhhh…” sahut Mahesa. Bocah itu tampak tetap berusaha mengarahkan telapak tangannya ke arah empat bola elemental yakni bola api, angin, petir, dan air yang berada di dalam lubang pada simbol di Gerbang Arkara. Mahesa berusaha keras mengendalikan keempat bola itu agar kekuatannya semakin membesar. 

“Bagus cucuku, gunakan kekuatan Kakek untuk meningkatkan tenaga bola itu”

Dan beberapa saat kemudian, simbol crosaiden pada Gerbang Arkara terlihat bersinar terang, warna kuning keemasaannya begitu menyilaukan mata. Mahesa dan Kakek Ren pun sedikit mengernyitkan matanya karena merasa silau terkena cahaya tersebut. Lalu bersamaan dengan munculnya cahaya keemasan itu Gerbang Arkara yang sangat besar dan kokoh menjadi bergetar hebat, secara perlahan  gerbang itu tampak sedikit demi sedikit mulai bergerak ke atas, hingga beberapa detik kemudian gerbang misterius itu pun terlihat telah terbuka lebar, dan tampaklah sebuah lorong yang besar dan berwarna kebiruan,

“Kek…, gerbang itu telah terbuka”

“Kalau begitu tunggu apa lagi, ayo kita masuk, kita cari tahu sebenarnya apa yang ada di balik Gerbang Arkara” Ajak Kakek Ren sambil berjalan masuk ke dalam lorong tersebut.

“Baikk… Kek”

“Tapi tetaplah waspada, siapa tau ada jebakan di dalam lorong ini”

“Hah…, apa benar seperti itu”

“Ya…, bisa juga, jadi jangan sentuh apa pun secara sembarangan, kau mengerti Mahesa”

“Baikk Kek, aku akan berhati-hati”—Mahesa mengamati sekelilingnya dengan cermat—“tapi sepertinya  di lorong ini tidak ada barang apa pun Kek” ucap Mahesa sembari celingukan ke kanan dan kiri, sesekali bocah itu mengusap-usap dinding tersebut.

“Benar juga…, maksud kakek jangan sentuh dindingnya, mungkin bisa juga itu jebakan”

“Menyentuh dinding pun tidak boleh, huft…”

“Sudah jangan rewel, kita  jalan saja”

Setelah berjalan sekitar sepuluh meter, akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan yang cukup terang, ruangan berbentuk lingkaran itu memiliki atap yang cukup tinggi, hingga kesan luas tampak dalam ruangan tersebut.

“Wow…, ruangan ini terang sekali Kek, bagaimana bisa, padahal tidak ada lampunya sama sekali”

“Kau lihatlah lantai, dinding, dan atapnya yang tinggi itu, semuanya berwarna kebiruan, mungkin cahaya ini bersumber dari itu semua”

“Benar juga Kek, dari luar tadi juga sudah terlihat warna kebiruannya, “lagi pula disini bersih sekali dan semuanya tampak berkilau”

“Kau benar cucuku…, kenapa tidak ada satu barang pun ya?, aneh sekali” Kakek Ren mulai menatap setiap bagian dari ruangan tersebut. Ia lalu berjalan mengelilingi ruangan itu dan menatap tiap dinding ataupun lantai dengan sangat teliti. “Hmmm…, tidak ada apa-apa, disini juga tidak ada apa-apa…, apa ada yang salah ya?” Gumam Kakek Ren sambil terus berjalan mengitari ruangan itu, sesekali tangannya meraba lantai dan dinding ruangan.

“Kek, Kakek!” Teriak Mahesa

“Ada apa Mahesa, jangan berisik” Sahut Kakek

“Apa yang Kakek lakukan?”

“Kakek sedang mencari sesuatu, barangkali ada pintu rahasia pada dinding atau lantainya”

“Lalu bagaimana?” tanya Mahesa sambil melompat-lompat di tengah ruangan

“Tidak ada apa-apa, bersih sekali ruangan ini Mahesa”

“Kalau  begitu selama ratusan tahun keluarga kita cuma menjaga ruangan kosong begini ya Kek, untung saja sekarang aku tidak perlu melakukan tugas itu?” ucap Mahesa sambil berlarian kesana-kemari tak tentu arah dalam ruangan itu, “tapi luas juga ruangannya” lanjutnya.

“Huiih…, apa yang kau katakan bocah, tidak mungkin selama ratusan tahun cuma menjaga ruangan kosong, pasti ada sesuatu di dalam sini”

“Sudahlah Kek, lihatlah…, sebutir kerikil pun aku tidak melihatnya, ruangan ini benar-benar bersih sekali, seperti disapu setiap hari”

“Hmmm…, aku benci mengakuinya, tapi sepertinya kau memang benar cucuku, tidak ada benda apapun di sini, sebuah hiasan  kecil pun juga tidak ada”

“Lalu siapa yang menyapu  ruangan ini Kek, sampai berkilau begini?”

“Mana aku tahu Mahesa, pertanyaanmu semakin ngelantur saja, lagi pula apa yang kau lakukan sejak tadi?”

“Aku mencoba ruangan ini Kek, kalau kosong begini enak sekali digunakan untuk berlatih bela diri” Jawab Mahesa sembari melompat, bersalto, dan melakukan beberapa gerakan bela diri”

“Akh…, baguslah kalau begitu, lakukan saja sesukamu, setidaknya ruangan kosong ini ada manfaatnya”

“Baiklah…, kalau begitu setiap hari aku akan berlatih di sini saja”

“Hoiii! Bocah…, ayo kita pulang, apa kau masih mau berada di sini?”

“Baik Kek, besok saja aku ke tempat ini lagi” jawab Mahesa, bocah kecil itu lalu berjalan mendekati sang Kakek sambil menatap ke atas ruangan, dan tiba-tiba saja (Zlaappp…) di atas ruangan itu muncul kilatan cahaya  berwarna keemasan.

“Hah…, Kakek apa Kakek melihat kilatan cahaya tadi”

“Tentu saja, meskipun sekilas aku juga melihatnya” jawab sang Kakek seraya menatap ke atas, “apa yang kau lakukan bocah?”

“Tidak tahu, tiba-tiba saja rasanya ingin mendongak ke atas dan membaca tulisan itu” jawab Mahesa sembari menunjuk ke bagian atas ruangan.

“Tulisan  apa Mahesa…?—Kakek Ren menoleh ke berbagai arah— “… mana? tidak ada tulisan sama sekali”

“Itu kek…, di bagian tengah atas”

“Bagian tengah…, Kakek tidak melihat tulisan apa pun, Cuma terlihat warna biru polos saja”

“Benarkah kek..., tulisan berwarna kuning sebesar itu Kakek  tidak bisa melihatnya, huft…, mungkin Kakek harus segera menghubungi  dokter mata”

“Kau jangan bercanda bocah, kakek benar-benar tidak melihat tulisan apa pun” Kakek Ren kembali mengamati bagian atas dengan semakin  cermat, namun dia tetap tidak melihat tulisan walau satu huruf pun, “sepertinya anak ini benar-benar melihat tulisan di bagian atas ruangan ini, tulisan apa ya?” tanya Kakek Ren dalam hatinya, “Kalau begitu coba kau  baca lagi Mahesa, tapi yang agak keras, Kakek ingin mendengarnya” pinta Kakek Ren,

“Baik Kek…, tapi tulisan itu ada tanda pengulangan tiga kali, apa aku harus mengulanginya sampai tiga kali”

“Iya…, lakukan saja yang diperintahkan tulisan itu”

“Bagaimana jika itu jebakan Kek?”

“Kau jangan mengada-ada cucuku, tidak ada jebakan dalam bentuk tulisan, percayalah sama Kakek”

“Apa benar seperti itu?”

“Kau tidak perlu khawatir, jadi lakukan saja, Kakek sudah sangat penasaran ada apa sebenarnya dengan ruangan ini”

“Baik…, akan kubaca kalau begitu, dengarkan baik-baik Kek”

Lalu Mahesa menengadahkan kepalanya lagi, ia menatap dengan serius langit-langit pada ruangan itu, beberapa saat kemudian dari mulutnya terdengar sebuah kalimat mantra menggunakan bahasa yang  aneh, bahasa yang tidak dipahami sama sekali oleh Kakek Ren.

“Bahasa apa yang diucapkan bocah ini, aku belum pernah mendengarnya…,  jika memang benar ini kalimat mantra pasti akan ada sesuatu yang akan terjadi, entah itu hal baik atau buruk…, aku  harus tetap waspada, sebab aku sendiri tidak begitu mengetahui tentang Gerbang Arkara ini, “kalau diamati sepertinya setiap Mahesa selesai mengucapkan satu kalimat mantra ada kilatan yang muncul dari atap  itu, dan sudah dua kali kilatan itu muncul, jika begitu tinggal sekali lagi…, karena menurut bocah itu kalimat mantranya harus diulang sebanyak tiga kali…, “ergh… apa sebenarnya yang akan terjadi…, kenapa aku jadi merasa bingung begini?” Gumam Kakek Ren, tatapan matanya hampir tak berkedip dan hanya tertuju pada atap ruangan itu. Dan… akhirnya satu kalimat mantra terakhir telah diucapkan oleh Mahesa, 

“Kek… aku telah mengulangnya tiga kali”

“Apa yang bisa kau lihat sekarang”

“Sepertinya tulisan itu bergerak memutar Kek…, dan berkumpul jadi satu”

“Benarkah seperti itu?” tanya Kakek Ren sambil tetap menatap ke arah atas, namun tiba-tiba saja (zlaappp), kilatan cahaya kembali terlihat  lebih terang, Mereka secara spontan menutup mata menggunakan tangan kanannya, sesaat kemudian, Mahesa kembali menatap ke atas.

“Hah… sekarang tulisan itu sudah berubah menjadi simbol seperti yang ada pada Gerbang Arkara Kek” ucap Mahesa dengan sedikit terkejut

“Kau benar bocah, sekarang aku bisa melihat simbol berwarna kuning keemasan itu”

Belum sempat mereka berpikir tentang simbol tersebut, tiba-tiba saja simbol itu menyorotkan sinar panjang dari atas hingga menyentuh lantai ruangan. Bersamaan dengan itu, angin yang cukup besar pun berhembus, kobaran api dan kilatan-kilatan petir serta air menyertai munculnya cahaya tersebut.

“Wow… apa yang terjadi Kek, apa ini jebakan?”

“Sepertinya bukan, kita lihat saja dulu, karena selama ratusan tahun hal inilah yang ingin kuketahui, dan aku lebih beruntung dari generasi sebelumnya jika bisa mengetahui hal apa yang tersimpan di dalam Gerbang Arkara ini”

“Ya…, baiklah Kek…, setidaknya aku juga beruntung karena tidak perlu lagi menjaga Gerbang Arkara, karena gerbangnya telah terbuka dan rahasianya sudah  diketahui” sahut Mahesa

“Wah…, sepertinya kau tidak  mau menerima tugas warisan keluarga cucuku”

“Ha ha…, karena sepertinya tugas menjaga gerbang sangat membosankan Kek”

“Dasar bocah, tapi kau hebat juga bisa membuka dan membaca mantra itu, “jangan lupa tetaplah waspada” Ucap Kakek Ren memperingatkan Mahesa.

“Baik Kek”

Beberapa detik kemudian  ketika pancaran cahaya yang berasal dari simbol pada langit ruangan itu mulai berangsur-angsur menghilang, maka tampaklah sesosok makhluk besar setinggi  kurang lebih tiga meter, sepasang sorot mata merah menatap tajam ke arah Mahesa dan Kakek Ren yang berdiri tepat di hadapannya, semakin menghilang cahaya dari simbol itu maka semakin tampak jelaslah wujud makhluk besar tersebut. Tubuh besarnya terlihat kokoh mengenakan sebuah armor berwarna keemasan yang dihiasi ukiran-ukiran unik pada bagian dada dan lengan, wajahnya tak terlihat sedikit pun karena tertutup rapat oleh sebuah topeng besi, hanya sorot matanya saja yang tampak menyala, selain itu kilatan-kilatan cahaya juga sesekali muncul di sekitar tubuhnya, terkadang berganti menjadi api, lalu berubah menjadi air, beralih menjadi angin yang selalu silih berganti mengitari tubuh besarnya, sepasang tanduk yang terdapat pada bagian pundak  dan sikunya membuat tampilannya terlihat semakin garang. Makhluk tersebut berdiri dengan tegap, ekornya yang panjang dan runcing dikibaskannya ke kanan dan ke kiri.  Mahesa dan Kakek Ren pun hanya terdiam dan terpaku melihat sosok misterius dihadapannya itu.

“Siapa yang telah membuka Gerbang Arkara dan memanggilku keluar?” Tanya makhluk besar itu, suara yang begitu berat terdengar menggema di ruangan tersebut.

“A-aku yang telah membuka dan membaca mantranya” Jawab Mahesa sedikit tergagap.

“Benarkah kau yang melakukan hal itu bocah?” Tanya makhluk misterius tersebut sambil berjalan mendekati Mahesa,

“Hah… dia mendekatiku, ta-tapi kenapa tubuhku rasanya sulit sekali digerakkan” gumam Mahesa seraya menoleh ke arah kakeknya, “sepertinya kakek Ren juga tidak bisa bergerak sama sekali, “apa yang terjadi sebenarnya, kenapa tiba-tiba bisa begini, egrhh… Makhluk itu sekarang sudah semakin dekat, apa yang harus kulakukan” pikir Mahesa dalam hati. Sementara itu Kakek Ren juga mengalami hal yang sama dengan Mahesa, Ia hanya mampu menatap sosok makhluk besar yang sedang berjalan mendekati cucunya.

“Ada apa ini, kenapa aku tidak bisa bergerak sama sekali, bahkan aku tidak bisa memanggil Mahesa, makhluk apa dia ini sebenarnya, ini pasti pengaruh dari tatapan matanya tadi, kurang ajar… apa yang akan dia lakukan, “Mahesa sepertinya mengalami hal yang sama, tapi dia masih bisa berbicara dengan makhluk itu” Kakek Ren hanya terdiam karena tidak mampu melakukan apapun.

“Benar, memang akulah yang melakukannya” Jawab Mahesa dengan tegas.

“Apakah kau  telah meminum darah Akral?”

“Iya…, dan aku telah menghabiskan semuanya, “jika kau menginginkan minuman itu mintalah pada Tuan Nagastra, tapi sayang sekali yang aku minum itu adalah satu-satunya darah Akral yang ada, jadi… persediaan telah habis tuan raksasa”

“Jangan panggil aku raksasa, namaku adalah Garcora” Ucap makhluk itu sambil menjulurkan tangan kanannya yang begitu besar ke arah Mahesa, “Hah… apa yang akan dia lakukan, apa dia marah karena kupanggil raksasa, apa dia akan membunuhku dengan kukunya itu, sial… benar-benar sial… aku tidak bisa bergerak sama sekali” Gerutu Mahesa dalam hati, lalu beberapa saat kemudian ujung jari telunjuk Garcora yang berkuku runcing menyentuh tepat pada bagian dada Mahesa, dan secara perlahan membuat baju Mahesa perlahan melebur menjadi butiran debu. Kini sentuhan jari Garcora juga tampak disertai dengan  sambaran  api, hembusan angin, kilatan petir, serta aliran air yang silih berganti bermunculan merambat dari lengan Garcora hingga mengenai tubuh  Mahesa,

“Heakhhh…,  A-ada apa ini, hegh…, kenapa  terasa aneh begini, seperti ada yang merasuk ke dalam dadaku, apa yang dilakukan makhluk besar ini, hegrhhh...” Gumam Mahesa. Sementara Kakek Ren yang juga tidak dapat bergerak sama sekali hanya mampu menatap Mahesa dengan rasa bingung dan khawatir.

“Apa yang dilakukan oleh makhluk itu kepada Mahesa, kenapa aku masih tidak bisa bergerak,  kekuatan sihirnya kuat sekali, egrhhh… tidak salah lagi, pasti dia melakukannya melalui tatapan matanya tadi, “kurang ajar… heghh, padahal aku sudah sangat berhati-hati tapi… hal ini… diluar dugaanku” Gerutu Kakek Ren sambil mengerahkan selurubh tenaganya untuk lepas dari pengaruh sihir yang membuatnya kaku dan tidak bisa bergerak sama sekali, namun tatapan matanya tidak lepas dari Mahesa yang berada di depannya.

Secara perlahan tubuh Mahesa pun terlihat mulai terangkat mengikuti arah gerakan tangan Garcora hingga setinggi satu meter, dan beberapa saat kemudian Garcora menarik ujung jarinya dari dada Mahesa, membuat bocah itu langsung jatuh terduduk di lantai ruangan. Kilatan-kilatan cahaya masih menjalar di sekitar dadanya, selain itu kini terlihat sebuah simbol keemasan yang tergambar jelas pada bagian dada sang bocah, simbol yang sama dengan simbol pada Gerbang Arkara.

“Heghh…, a-apa yang telah kau lakukan padaku Garcora?” tanya Mahesa sembari berdiri.

“Aku hanya membuktikan saja, apa benar kau telah meminum darah Akral, dan ternyata benar, kau memang telah meminum darah itu, simbol di dadamu yang menjadi buktinya”

“Hah…, si-simbol,”¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬ ucap Mahesa dengan sedikit rasa bingung, ia lalu menunduk melihat bagian dadanya, “benar juga ada simbol berwarna keemasan di dadaku,”—Mahesa mengusap-usap simbol crosaiden yang muncul di dadanya —“Huiiih…, kenapa tidak bisa hilang, apa simbol ini memang tidak bisa hilang Garcora?” Tanya Mahesa sambil tetap mengusap-usap simbol itu.

“Memang tidak akan bisa hilang bocah, selamanya simbol itu akan menempel kepadamu”¬¬¬

“Hah… ke-kenapa bisa seperti itu?”

“Karena itu  bukan hanya sekedar simbol saja, melainkan itu adalah sebuah armor perang dan sebilah pedang”

“Armor perang dan pedang, dengan bentuk cuma sebuah simbol begini, apa benar, “lalu bagaimana cara menggunakannya?”

“Itulah yang harus kau pelajari bocah, tapi ingatlah senjata hanya sebagai pelengkap, jiwa sang pemilik senjatalah yang paling utama” Jawab Garcora sembari membalikkan  telapak tangan kanannya. Sedetik kemudian, dari telapak tangan makhluk itu tampak cahaya keemasan menyorot ke atas, lalu dalam sekejap muncullah sebuah buku tebal di atas telapak tangan tersebut. Terlihat sebuah simbol crosaiden menghiasi  sampul depan buku tersebut, sampulnya yang berwarna kehitaman semakin menampakkan kemisteriusan buku di telapak tangan Garcora, “ambillah buku  crosaiden ini, dan pahamilah baik-baik”

“Hah…, tebal sekali, butuh waktu berapa lama untuk memelajarinya”

“Jika kau memang bocah yang cerdas, tidak akan membutuhkan waktu lama untuk memahami sihir elemental dalam buku itu, mungkin cuma butuh waktu  sepuluh tahun saja”

“Hah… a-a-apa, se-sepuluh tahun, apa kau tidak bercanda Garcora” jawab Mahesa dengan sedikit terperanjat.

“Semua hal ada prosesnya bocah, butuh latihan yang lama dan berulang-ulang, “sudah jangan banyak tanya, cepat ambil saja buku ini, karena setelah kau menguasai semua pengetahuan dalam buku ini maka aku akan mengambilnya lagi”

“Baik” Jawab Mahesa singkat, ia lalu berjalan mendekati Garcora dan mengambil buku Crosaiden yang berada di atas telapak tangan Makhluk itu. Mahesa menatap sejenak buku bersampul hitam itu, rasa penasaran mulai muncul dalam hatinya, namun suara Garcora kembali mengagetkan lamunannya,

“Siapa namamu bocah?”

“Mahesa…, namaku Mahesa Engka”

“Mahesa, sekarang coba kau pegang simbol crosaiden pada dadamu, lalu ucapkan Aciraba sebanyak tiga kali, dan pada kalimat yang terakhir  sebutkan aciraba cora”

“Untuk apa aku melakukan itu?”

“Jika kau ingin tahu lakukan saja”

“Huih…, baiklah”—Mahesa meletakkan telapak tangan kanannya pada simbol di dadanya, meskipun sedikit was-was ia pun membaca tiga kata tersebut dengan perlahan—“aciraba…, aciraba…, aciraba cora”

Dan sedetik kemudian tampak tubuh Garcora serta tubuh bocah itu diselimuti cahaya keemasan dan... (Zlaaapppp!) langsung melesat ke atas, masuk ke dalam simbol crosaiden yang berada di langit-langit ruangan itu. Kakek Ren tersentak kaget, tubuhnya kini kembali pulih, dia langsung melompat ke arah simbol pada langit ruangan, 

“Mahesaaaa…, jangan gegabah!” teriaknya dengan kencang, namun terlambat cucunya telah terlanjur masuk ke dalam simbol tersebut bersama Garcora.

“A-apa yang terjadi, ke mana mereka pergi, egrhhh…, apa yang harus kulakukan sekarang?” gumam kakek Ren, rasa bingung merasuki hatinya, ia terduduk lesu di tengah ruangan tersebut, namun otaknya berpikir keras mencari cara untuk mengembalikan Mahesa.

Sementara itu di tempat lain, terlihat Mahesa sedang berdiri dengan wajah yang kebingungan, tidak jauh darinya terlihat Garcora dengan wujudnya yang garang.

“Heii…, dimana ini Garcora, sepertinya ini bukan di dalam gerbang Arkara lagi”

“Kau benar bocah, tempat ini bernama Aciraba, tempat untuk berlatih dan menempa diri”

“Aciraba…,”—Mahesa memandang sekelilingnya—“tempat ini terlihat aneh seperti namanya, aku hanya bisa melihat hamparan rerumputan berwarna biru saja, apa tidak ada benda lain di tempat ini Garcora”

“Seperti yang kau lihat, hanya itulah yang ada”

“Wah…, repot juga jika tinggal di sini”

“Memang begitu, karena Aciraba dibuat sebagai tempat untuk berlatih, jadi kekuatan Aciraba ini sepuluh kali lipat dari Ordeus tempatmu tinggal”

“Hah…, sepuluh kali lipat, maksudnya seperti apa itu tuan Garcora”

“Sederhananya jika benda di ordeus itu beratnya seratus kilogram, maka jika berada di tempat ini maka hanya akan menjadi 10 kilogram”

“Oo… jadi seperti itu”

“Sekarang cobalah berlari sekuat tenagamu, maka kau akan lebih paham”

“Begitukah, baiklah… aku ingin mencobanya” jawab Mahesa sambil berlari sangat cepat, ia kerahkan semua tenaganya, hingga satu menit kemudian bocah itu memghentikan larinya dan terduduk di rerumputan karena merasa sangat kelelahan.

“Cuma seperti itu kemampuanmu bocah, kau hanya berlari sejauh dua ratus meter saja” 

“Hah…” Suara Garcora yang tiba-tiba muncul dibelakangnya mengagetkan istirahat bocah itu, ia pun sontak menoleh ke arah belakang,

“Garcora…, cepat sekali kau tiba di sini”

“Tentu saja, itu hal yang mudah buatku”

“Tempat ini benar-bear aneh, padahal di Ordeus aku mampu berlari lebih cepat dan lebih jauh dari lariku tadi, di Ordeus aku bisa berlari sejauh 2500 meter, bagaimana bisa Garcora”

“Sudah kubilang padamu, tempat ini sepuluh kali lipat lebih kuat dari Ordeus, jadi biasakanlah bocah”

“Kalau begitu aku akan sering-sering pergi ke tempat ini” ucap Mahesa, namun tiba-tiba ia menyadari sesuatu, “Tuan Garcora bagaimana caranya aku kembali ke bukit Bhadrasana, Kakekku sendirian disana?”

“Mudah saja, letakkan telapak tanganmu pada simbol di dadamu dan ucapkan Arkara sebanyak tiga kali, kata yang terakhir ucapkan Arkaraseta”

“Cuma begitu saja”

“Iya, memang cuma begitu”

“Sederhana sekali”

“Tapi ingat Mahesa, kau bisa pergi ke Aciraba ini jika berada di dalam Gerbang Arkara, di luar gerbang mantra itu tidak akan berlaku”

“Kenapa seperti itu”

“Karena ruangan dan simbol pada langit-langit gerbang Arkara adalah portal masuk ke Aciraba, tentu saja dengan membaca mantra sebagai kuncinya”

“Oo... begitu ya, seperti password saja mantranya”

“Ya..., kau boleh menyebutnya seperti itu”

“Apa kau selalu berada di sini Garcora”

“Heiii... apa kau kira aku tidak punya kesibukan bocah, banyak hal yang harus kulakukan, tapi di sinilah rumahku, kenapa kau bertanya seperti itu?”

“Setidaknya jika tempat ini kosong, aku sudah ijin kepadamu tuan Garcora, jadi jangan bilang aku tidak mengerti sopan-santun”

“Wah... kau bocah yang cerdas, mengerti etika, aku suka gayamu, datanglah kemari sesuka hatimu Mahesa”

“Tapi masalahnya tenagaku masih belum cukup untuk membuka gerbang Arkara”

“Apa maksudmu bocah, bukankah kau bilang kau yang telah membukanya?”

“Iya benar tuan Garcora, tapi aku meminjam tenaga devastra kakek Ren untuk membukanya”

“Oo… jadi seperti itu, berarti kau masih lemah sekali”—Garcora menunjuk simbol pada dada Mahesa—“Tapi sekarang kau telah memiliki simbol ini, letakkan saja telapak tanganmu pada gerbang Arkara, pasti gerbang itu akan terbuka”

“Seperti pemindai sidik jari?”

“Tidak secanggih itu bocah”

“Lalu kenapa bisa terbuka?”

“Ini sihir bocah, sihir pada gerbang itu akan mendeteksi simbol pada dadamu”

“Oo… berarti simbol ini seperti kunci masuk?”

“Terserah apa katamu saja bocah, tapi intinya karena kau telah memiliki simbol crosaiden di dadamu, untuk membuka gerbang Arkara kau cukup meletakkan telapak tanganmu saja pada gerbang itu”

“Syukurlah, jadi tidak perlu keluar banyak tenaga”

“Tentu saja, karena kau cuma menempelkan telapak tanganmu,”

“Kalau begitu terima kasih banyak tuan Garcora, aku akan sering berlatih di tempat ini” 

“Datanglah sesuka hatimu bocah” Jawab Garcora. Mahesa lalu memegang simbol pada dadanya sembari membaca mantra,

“Arkara... Arkara... Arkaraseta” 

dan sedetik kemudian…, (Zlaaapppp!) bocah itu melesat menjadi kilatan cahaya, dalam sekejap ia telah kembali ke dalam gerbang Arkara,

“Aku telah kembali, benar-benar menakjubkan, ada tempat lain di dalam gerbang ini” pikir bocah itu sembari mengamati sekelilingnya, lalu tatapan matanya langsung tertuju kepada kakek Ren yang sedang terduduk lesu di tengah ruangan.

“Kakek..., kenapa kakek diam saja di situ, apa kakek masih belum bisa bergerak?” tanya Mahesa sambil berjalan mendekati kakeknya,

“Hah..., Mahesa..., akhirnya kau telah kembali cucuku, dari mana saja kau?

“Kakek tidak perlu mendramatisir begitu, aku hanya pergi sebentar ke suatu tempat bernama Aciraba”

“Aciraba..., tempat seperti apa itu?”

“Tempat yang kurang menyenangkan, karena cuma ada padang rumput saja, tetapi sangat cocok untuk berlatih”

“Kelihatannya kau sendirian, di mana makhluk itu?”

“Garcora maksud kakek?”

“Jadi namanya Garcora”

“Benar kek, sekarang dia masih berada di Aciraba, karena tempat itu adalah rumahnya, siapa sebenarnya makhluk itu Kek, apa dia juga dewa seperti Tuan Nagastra?

“Kakek sendiri juga tidak tahu Mahesa, karena baru sekarang gerbang ini bisa terbuka, coba nanti kakek cari tahu tentang Garcora, semoga saja ada petunjuk tentangnya”

“Jadi Kakek juga tidak tahu”—Mahesa mengambil sebuah buku tebal dari dalam bajunya—“lihatlah kek dia juga memberiku buku tebal  bersampul hitam ini” Mahesa kemudian menyodorkan buku hitam tersebut kepada Kakek Ren.

“Wah… tebal juga, buku apa  ini Mahesa?” Tanya sang Kakek sambil membolak balikkan tiap halaman pada buku tersebut.

“Menurut Garcora itu namanya buku Crosaiden, berisi sihir elemental”

“Kalau memang itu isinya, buku ini cocok sekali untukmu,  tapi apa kau bisa membacanya, semua tulisannya aneh begini, di Ordeus sepertinya tidak ada huruf model begini, coba amatilah baik-baik,” Pinta Kakek, ia lalu menyodorkan kembali buku hitam tersebut ke Mahesa. Setelah membuka beberapa lembar dari buku itu Mahesa tersenyum kecil dan menjawab,

“Tentu saja aku bisa kek,  huruf ini sama dengan bentuk  huruf yang  berada di atas langit-langit ruangan ini”

“Ooo…, benarkah, darimana kau bisa membaca bentuk huruf aneh seperti itu, siapa yang mengajarimu?”

“Entahlah…, Ayah dan Ibu dulu cuma mengajariku membaca bentuk huruf yang digunakan di Ordeus, tetapi tidak pernah mengajariku membaca bentuk huruf seperti yang digunakan pada buku ini, “tapi…, ketika melihat bentuk huruf ini, aku bisa membacanya seperti membaca huruf di Ordeus yang telah kupelajari”

“Hmmm… memang benar-benar aneh sekali hal ini, tidak pernah dipelajari tapi bisa membaca, bagaimana bisa?” Ucap Kakek Ren sambil menggaruk-garuk kepalanya, “sudahlah, tidak usah dipikirkan lagi, yang penting kau bisa membacanya dengan benar dan memahami isinya, jadi pelajarilah baik-baik buku itu supaya kau cepat menguasainya”

“Tapi… kata Garcora paling cepat untuk menguasai buku ini butuh waktu sepuluh tahunan”

“Wah... lumayan lama juga, kalau begitu rajin-rajinlah belajar cucuku, gunakan waktu sepuluh tahunmu dengan baik”

“Puiih…, semoga buku ini tidak membosankan” keluh Mahesa

“Ha… ha… sudahlah jangan menggerutu saja, sekarang lebih baik kita makan dulu, akan Kakek tunjukkan rumah makan yang terenak di Desa Amreta” Ajak Kakek Ren sambil berjalan keluar dari dalam ruangan itu, Melihat kakeknya melangkah pergi, Mahesa pun bergegas mengikutinya.

“Wah… benarkah Kek, apa ada banyak kue di rumah makan itu?”

“Huiih, tentu saja tidak ada Mahesa, itu bukan toko makanan anak-anak, tapi restoran yang menyajikan hidangan suuuangat leezaat” jelas Kakek Ren sembari mengusap mulutnya, sepertinya Kakek itu tengah membayangkan berbagai makanan yang lezat. Mahesa hanya terbengong-bengong menatap kelakuan sang Kakek, ia tidak memahami makanan apa yang dibayangkan oleh Kakeknya itu.

“Baiklah Kek, terserah kakek saja, yang penting aku bisa menikmati makanan yang luuezat” Sahut Mahesa sembari menenteng buku tebal di tangan kanannya, mereka berdua lalu berjalan beriringan keluar dari dalam Gerbang Arkara, beberapa saat kemudian gerbang besar itu pun perlahan mulai menutup kembali. Akhirnya misteri di dalam gerbang Arkara telah mereka ketahui, namun misteri tentang isi buku Crosaiden dan Makhluk Garcora masih menjadi tanda tanya bagi mereka berdua.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Love Each Other
304      246     1     
Romance
Sepuluh tahun tidak bertemu, pertemuan pertama Liora dengan Darren justru berada di salah satu bar di Jakarta. Pertemuan pertama itu akhirnya membuat Liora kembali secara terus menerus dengan Darren. Pertemuan itu juga berhasil mengubah hidup Liora yang tenang dan damai.
Ketika Kita Berdua
30714      4259     38     
Romance
Raya, seorang penulis yang telah puluhan kali ditolak naskahnya oleh penerbit, tiba-tiba mendapat tawaran menulis buku dengan tenggat waktu 3 bulan dari penerbit baru yang dipimpin oleh Aldo, dengan syarat dirinya harus fokus pada proyek ini dan tinggal sementara di mess kantor penerbitan. Dia harus meninggalkan bisnis miliknya dan melupakan perasaannya pada Radit yang ketahuan bermesraan dengan ...
HARMONI : Antara Padam, Sulut dan Terang
1041      457     5     
Romance
HARMONI adalah Padam, yang seketika jadikan gelap sebuah ruangan. Meski semula terang benderang. HARMONI adalah Sulut, yang memberikan harapan akan datangnya sinar tuk cerahkan ruang yang gelap. HARMONI adalah Terang, yang menjadikan ruang yang tersembunyi menampakkan segala isinya. Dan HARMONI yang sesungguhnya adalah masa di mana ketiga bagian dari Padam, Sulut dan Terang saling bertuk...
Nocturnal
6061      1457     4     
Action
Di masa teknologi sangat maju, manusia telah berhasil membuat peradaban bersama alien. Namun, masih terdapat monster dari berbagai alam di planet lain yang berbahaya. Dengan desakan bahaya, muncul organisasi untuk melindungi semua spesies yang hidup.
Premium
The Devil Soul of Maria [18+]
8899      2904     3     
Inspirational
Ambisi besar Meira nyaris tercapai namun halangan mengesalkan datang dan membuatnya terhenti sejenak Di saat tak berdaya itu seorang pria menawarkan kesepakatan gila padanya Melihat adanya peluang Meira pun akhirnya masuk dalam permainan menarik kehidupan
ALUSI
8143      1999     3     
Romance
Banyak orang memberikan identitas "bodoh" pada orang-orang yang rela tidak dicintai balik oleh orang yang mereka cintai. Jika seperti itu adanya lalu, identitas macam apa yang cocok untuk seseorang seperti Nhaya yang tidak hanya rela tidak dicintai, tetapi juga harus berjuang menghidupi orang yang ia cintai? Goblok? Idiot?! Gila?! Pada nyatanya ada banyak alur aneh tentang cinta yang t...
Cinta Wanita S2
3687      1152     0     
Romance
Cut Inong pulang kampung ke Kampung Pesisir setelah menempuh pendidikan megister di Amerika Serikat. Di usia 25 tahun Inong memilih menjadi dosen muda di salah satu kampus di Kota Pesisir Barat. Inong terlahir sebagai bungsu dari empat bersaudara, ketiga abangnya, Bang Mul, Bang Muis, dan Bang Mus sudah menjadi orang sukses. Lahir dan besar dalam keluarga kaya, Inong tidak merasa kekurangan suatu...
Shinta
5414      1663     2     
Fantasy
Shinta pergi kota untuk hidup bersama manusia lainnya. ia mencoba mengenyam bangku sekolah, berbicara dengan manusia lain. sampai ikut merasakan perasaan orang lain.