BAGIAN 1 DARAH AKRAL DAN BUKIT BHADRASANA
Alam semesta sangatlah luas, banyak dunia yang ada tetapi belum diketahui oleh umat manusia. Seperti halnya tempat bernama Antargata, suatu tempat yang keberadaannya belum diketahui oleh siapapun. Antargata memiliki keindahan yang luar biasa, padang rumput luas berwarna kebiruan membentang sepanjang mata memandang, dari kejauhan padang rumput ini tampak bagaikan lautan yang tenang. Selain itu, terdapat sebuah bukit yang bernama Bukit Anaga, nama ini diberikan karena memang bukit ini bentuknya menyerupai seekor naga yang hendak naik ke langit, kedua kakinya mencengkeram tanah dan kepalanya tegak menjulang ke angkasa. Hal lain yang istimewa dari tempat ini adalah ketika malam hari suasana terlihat cukup terang dan menakjubkan, sebab selain memiliki berbagai bintang yang bercahaya terang, langit pada saat malam juga dihiasi oleh tiga buah bulan yang selalu memancarkan kelembutan sinarnya.
Konon Antargata dihuni oleh seseorang bernama Nagastra, tidak diketahui apakah dia seorang raja ataukah dewa. Secara fisik Nagastra merupakan sosok makhluk yang memiliki badan tegap setinggi manusia pada umumnya, diperkirakan mungkin sekitar 180 cm, yang menjadikannya aneh karena dia memiliki sepasang bola mata berwarna merah menyala dan juga dua sungut keperakan di dahinya yang selalu meliuk-liuk seperti mengikuti hembusan angin. Bukan itu saja, mahkota emas yang ia kenakan terlihat indah dengan hiasan ukiran berbentuk kepala naga pada bagian depan, penampilannya semakin sempurna dengan baju yang ia pakai, karena mirip sekali dengan sebuah baju perang berwarna keemasan. Sebuah jubah merah bergambar simbol kepala naga pada bagian belakang, melengkapi penampilannya tersebut.
Ketika matahari pagi mulai menebarkan sinar yang begitu cerah, tampak Nagastra sedang berdiri di tengah padang rumput yang berwarna kebiruan, kedua tanggannya bersanggah pada sebuah tongkat berukir, tak jauh di depannya terlihat seekor naga besar berwarna merah setinggi sekitar enam meter berdiri tegap dengan membentangkan sepasang sayapnya, empat tanduk di kepalanya membuat sang naga semakin tampak menyeramkan. Sesekali makhluk itu mendengus dan mengepakkan sayapnya, sepertinya makhluk besar itu sedang menunggu sesuatu. Nagastra memandang naga tersebut dengan tatapan yang tajam, lalu dia berkata dengan suara yang tegas.
“Naga Gardaka maaf merepotkanmu, aku memanggilmu kemari karena aku membutuhkan bantuanmu, lihatlah tongkat Anggaraksa ini!” ucap Nagastra sambil mengangkat sebuah tongkat yang dihiasi ukiran berbentuk Naga,
“Ghuarrgghhhhh…! Ghuarrgghhhhh…!” naga besar bernama Gardaka itu mengaum sangat keras, seolah-olah dia memahami perkataan dari Nagastra.
“Aku akan memasukkan tongkat ini ke dalam tanah, tolong jagalah baik-baik, jika tongkat Anggaraksa ini telah muncul kembali ke permukaan tanah, kau pergilah temui aku di bukit Anaga, karena ada hal penting yang ingin kulakukan, bagaimana apa kau bersedia membantuku?” Tanya Nagastra.
“Ghuarrgghhhhh…! Ghuarrgghhhhh…!” Jawab Gardaka sambil menegakkan kepalanya.
“Kau memang selalu bisa diandalkan Gardaka, terima kasih banyak atas bantuanmu” setelah menyelesaikan ucapannya, Nagastra lalu melompat tinggi ke udara (Bwessshhh...!), dan melemparkan tongkat anggaraksanya ke bawah, (bweeetttt...), tongkat itupun melesat sangat cepat dan.., (Bhluuuuezzzz...!) masuk ke dalam tanah hingga tak terlihat lagi, tongkat itu benar-benar telah tertanam jauh di dalam tanah, meninggalkan sebuah lubang yang cukup besar dan sangat dalam.
“Ghuarrgghhhhh…! Ghuarrgghhhhh…!” Naga Gardaka kembali mengaum keras, bahkan lebih keras dari sebelumnya, sehingga rerumputan dan tanah di sekitar tempat itu menjadi bergetar hebat karena auman Sang Naga, dan secara ajaib lubang di tanah akibat jatuhnya tongkat anggaraksa tiba-tiba kembali seperti semula, tanpa meninggalkan bekas sedikitpun.
“Bagus…, kelihatannya kau sudah paham maksudku, kalau begitu aku pergi sekarang, jagalah baik-baik tongkat itu, “ingat Gardaka, jangan sampai hilang dan jaga juga ekormu jangan sampai merusak rumputnya!” setelah berpesan seperti itu, tiba-tiba (Zlaappp…) Nagastra menghilang menjadi kilatan cahaya biru.
“Ghuarrgghhhhh…! Ghuarrgghhhhh…!” Naga merah kembali mengaum keras, raungannya terdengar menggema di Antargata. Ia lalu terbang sejenak mengelilingi tempat tersebut, dan beberapa saat kemudian naga raksasa itu mulai mendarat. Makhluk besar tersebut bergerak secara perlahan melingkari tempat jatuhnya tongkat Angaraksa, tak berapa lama dia merundukkan kepalanya dan terdiam, matanya terlihat terpejam, Naga Gardaka dengan penuh tanggung jawab dan kesetiaan mulai melaksanakan tugasnya, yakni menjaga tongkat Anggaraksa yang telah tertanam jauh di dalam tanah.
Sejak kejadian itu 100 tahun telah berlalu, di tempat lain yang dikenal sebagai suatu planet bernama Ordeus, dalam lebatnya sebuah hutan, di balik rindangnya pohon-pohon yang berdiri kokoh, serta sinar matahari sore yang menembus sela-sela pepohonan, tampak seorang anak laki-laki berusia sekitar 10 tahunan sedang berjuang keras untuk mempertahankan diri menghadapi puluhan prajurit kerajaan yang sedang menyerangnya. Dia dengan gesit melompat diantara sela-sela pepohonan untuk mengecoh semua prajurit tersebut. Kedua tangannya menggenggam erat sebuah pedang besar, meskipun masih kecil, bocah itu sangat lihai menggunakan senjata tersebut, dengan cekatan dia menyabetkan pedangnya ke berbagai arah untuk menyerang setiap lawannya, terkadang tampak ia memutar pedangnya dengan sangat cepat bagaikan sebuah kincir angin, sehingga membuat para prajurit menjadi kesulitan menghadapi perlawanan yang dilakukannya. “Heakkkh!, heeakhh!” teriakan sang bocah memecah kesunyian hutan, tanpa kenal menyerah dan dengan gigih dia berusaha mengalahkan puluhan prajurit yang ingin menangkapnya, (Ctang…, cting…, ctang…, cting…) “Akhhk…, huakhh...,” suara benturan berbagai senjata disertai suara teriakan prajurit yang terluka terdengar ramai silih berganti menggema di hutan tersebut.
Bebebera menit kemudian bocah itu tampak berdiri tegap diantara tujuh belas prajurit yang telah tergeletak tidak berdaya. Bocah itu menatap setiap prajurit yang tersisa dengan tatapan tajam dan penuh amarah, bola matanya yang berwarna kuning terlihat melirik ke kanan dan kekiri mengamati keadaan di sekitarnya. Angin berhembus pelan mengibaskan rambut merah sang bocah yang lurus seleher hingga terurai bebas. Baju birunya terlihat compang-camping terkena sabetan senjata tajam, beberapa luka kecil juga tampak dibagian lengan, pelindung dada dari baja yang ia kenakan telah pecah dan retak pada bagian kanan. Lalu dia menarik napas panjang dan berjalan perlahan sambil menyeret pedang besarnya, suara deritan senjatanya mengiringi langkah bocah pemberani itu, rasa takut seperti sudah tidak terlihat lagi dari raut mukanya, justru yang tampak jelas adalah beberapa lumuran darah pada bagian tubuh kecilnya, percikan darah itu bahkan menghiasai sebagian wajah polos bocah tersebut. Kini pedang besar semakin tergenggam erat di tangan kanannya. “Huft…,huft…, ayo…, kita lanjutkan lagi, aku masih mampu melakukan pertarungan ini selama yang kalian inginkan!” teriak bocah itu sambil berlari menuju ke arah semua pasukan yang berdiri tegap tepat di depannya, (sriiiiiiiinggg…!) suara pedangnya yang menggores tanah membuat suasana di tengah hutan tersebut semakin tegang. Meskipun napasnya sudah tidak beraturan dan tenaganya mulai terkuras habis, dia tetap berusaha melakukan perlawanan.
“Bocah keras kepala!” komandan pasukan yang berbadan besar dan kekar, serta mengenakan baju perang berwarna keperakan langsung mengangkat tangan kanannya, amarahnya mulai meluap, dia menghunuskan sebuah pedang besar serta berteriak memberikan perintah kepada pasukan di belakangnya, “pasukan penembaaaak…, bersiaplah!.” Teriak komandan itu, lalu secara serentak dua ratus prajurit langsung mengarahkan senapannya ke arah bocah yang sedang berlari mendekat, ketika puluhan senapan telah siap ditembakkan tiba-tiba… (Taap…!)
“Hentikan Mahesa…, tidak seharusnya kau terlibat dalam pertempuran ini…, maafkan ayahmu yang telah membuatmu masuk ke dalam permasalahan semacam ini” secara tiba-tiba muncul seorang laki-laki berambut merah dan berbadan tegap, dia membentangkan kedua tangannya untuk menghalangi bocah kecil yang ternyata bernama Mahesa, tangan kanannya yang kekar menggenggam kuat sebuah kapak berukuran cukup besar, di sampingnya terlihat seorang wanita berambut putih sepinggang yang bersenjatakan sebuah cambuk berwarna perak.
“Tapi aku ingin mengakhiri peperangan di Ordeus ini” jawab bocah itu dengan penuh keyakinan sembari menatap laki-laki besar di depannya.
“Suatu saat nanti Mahesa…, suatu saat nanti…, Ibu yakin kau pasti bisa menghentikan peperangan di Ordeus, menghapuskan perbedaan ras, menyatukan, dan menciptakan kedamaian untuk semuanya” wanita berambut putih itu menjawabnya dengan suara yang lembut sambil mengusap kepala Mahesa dengan penuh kasih sayang.
“Alvirti halangi mereka, lalu ikuti aku!” pinta Ragorda, sambil menggendong dan membuang pedang besar yang dipegang Mahesa.
“Baik…, jaga dia” dengan sigap Alvirti memutar cambuk peraknya dan memukulkannya ke tanah dengan keras, “Rensa!” ucapan mantra alvirti membuat tanah menjadi bergetar dan secara tiba-tiba naik ke atas, (Bruuuaall! Drrrrrrrrrgh…) hingga membentuk sebuah dinding kokoh dan menghalangi semua prajurit yang akan menyerang mereka, kesempatan itu pun tidak disia-siakan, mereka bertiga segera melarikan diri meninggalkan tempat tersebut.
Mahesa si bocah kecil itu bukan hanya telah melihat setiap pertarungan ayah dan ibunya dengan tegang, tetapi dia juga sering terlibat dalam pertempuran yang terjadi. Peperangan menjadi hal yang biasa buatnya, tetapi dia tetap bertahan dan berjuang, matanya yang polos melihat setiap luka di tubuh Ayahnya, dua anak panah masih tertancap di punggung sang ayah, hal itu dilakukan Ragorda untuk melindungi Mahesa. Ibunya pun juga mengalami luka yang hampir sama, beberapa sayatan pedang prajurit mengenai kaki dan punggungnya. Dalam hati Mahesa mulai muncul rasa marah, dendam, dan juga pertanyaan kenapa harus berperang, tetapi dia masih terlalu kecil untuk memahami semua hal itu. Beberapa saat kemudian usaha untuk melarikan diri mereka menjadi sia-sia, karena jurang yang cukup dalam dan lebar membentang di depan mereka. Suara ratusan derap langkah kaki yang bergerak cepat terdengar semakin mendekat, tak berapa lama terlihat para prajurit mulai bermunculan di hadapan mereka.
“Huiiih…, kalian seperti ayam yang telah terpojok di sudut ruangan, akhirnya pelarianmu akan berakhir disini, “menyerahlah Ragorda, kami bangsa Asura akan menghukummu secara adil, bertindaklah secara bijak, pikirkan nasib anakmu yang masih kecil itu, apa kau mau selamanya hanya akan menjadi buronan Bangsa Asura” pria dengan baju perang yang kokoh itu memberikan penawaran.
“Jangan harap Algor, pengadilanmu tidak akan pernah adil, karena hukumannya sudah diketahui sebelum diadili” Ragorda menjawab dengan tegas.
“Ragorda... Ragorda..., Kau masih saja keras kepala seperti dulu, baiklah kalau itu memang keinginanmu, aku jamin kau akan menyesalinya” komandan itu menatap Ragorda dengan penuh emosi, kemudian ia mengangkat tangan kanannya, bersamaan dengan itu 500 orang prajurit langsung mengarahkan senapannya ke arah Ragorda dan Alvirti.
“Alvirti, kita sudah kehilangan banyak tenaga devastra, tidak mungkin menyelamatkan Mahesa sambil bertarung melawan prajurit sebanyak itu, apa kita gunakan kartu as saja?” tanya Ragorda seraya menoleh ke arah wanita di sampingnya.
“Memang benar, sudah tidak ada cara lain, kita gunakan kartu itu sekarang, yang terpenting Mahesa bisa selamat”
“Ya…, memang itu yang terpenting, apa kau punya cara untuk menyeberangkan Mahesa ke tepi jurang, agar para prajurit Asura tidak dapat menangkapnya?”
“Tentu saja, berikan aku waktu lima menit akan kuurus semuanya, aku janji akan kupastikan Mahesa selamat sampai di Bukit Bhadrasana”
“Baiklah, aku percayakan Mahesa kepadamu” jawab Ragorda sambil berlari dan memutar kapak besarnya sangat cepat, saking cepatnya putaran itu hingga menjadi seperti sebuah perisai besar. Melihat Ragorda mulai maju menyerang, komandan Algor menjadi semakin geram,
“Dari dulu kau memang tidak bisa diajak bicara baik-baik Ragorda, jadi terimalah akibat dari keras kepalamu itu, “prajuriiiit, hancurkan diaa!” perintah komandan Algor, suaranya keras menggema di tepian hutan tersebut, burung-burung pun menjadi beterbangan tak beraturan, suara ratusan tembakan yang mengarah ke tubuh Ragorda terdengar saling bersahutan, (zuuang…, zuuang…, zuuaag...!), namun karena cepatnya putaran kapak Ragorda, membuat semua tembakan itu menjadi terpental bagaikan menghantam sebuah baja yang sangat keras.
“Puiiihh…, tembakan kalian seperti senapan angin saja!” teriak Ragorda, dengan berani Ia terus merangsek maju mendekati para prajurit Asura yang menghujaninya dengan ratusan tembakan. Sedetik kemudian Ragorda telah berada diantara para prajurit Asura dan mulai menyabetkan kapak besarnya ke arah mereka,
“Kalian tak akan semudah itu menghabisiku” ucap Ragorda, tangannya dengan cepat silih berganti mengayunkan kapak besarnya, sehingga puluhan prajurit Asura langsung terpental dan tumbang dengan luka yang cukup parah akibat terkena sabetan kapak Ragorda. Teriakan kesakitan para prajurit terdengar mengaung di tempat itu, pertarungan antara Ragorda melawan 500 prajurit Asura pun berlangsung sengit. Melihat Ragorda telah melakukan penyerangan untuk mengulur waktu, Alvirti segera bertindak cepat, agar Mahesa tidak terkena tembakan dari prajurit Asura, ia langsung memegang tangan kanan anak itu dan mengajaknya berlidung di balik sebuah batu besar yang berada di dekatnya, lalu dengan lembut Alvirti mulai berbicara kepada anaknya,
“Anakku dengarkan baik-baik, jangan ikut lagi dalam pertempuran, waktumu masih belum tiba, inilah bagian dari kehidupan keluarga kita, suatu saat nanti kau pasti bisa menjadi yang terkuat dan mengubah semua keadaan yang tidak wajar ini, terkadang untuk mewujudkan hal baru kita harus menghancurkan hal yang lama, ya…, seperti peperangan yang terpaksa harus kita lakukan ini, yang terpenting kita bisa memberikan sesuatu yang lebih baik untuk semuanya, kau ingatlah itu”—Alvirti mengusap rambut Mahesa dengan penuh kasih sayang, ia melepas kalung yang dipakainya dan mengambil sebuah alat komunikasi—“Pakailah kalung ini dan pergilah ke puncak Bukit Bhadrasana, dan gunakan alat komunikasinya sebagai penunjuk arah, kau bisa menggunakannyakan” ucap Alvirti sembari memasang sebuah kalung berbandul unik pada leher Mahesa, ia juga memberikan sebuah alat persegi empat yang sangat tipis mirip sebuah kaca, “jika kau sudah sampai di bukit itu segera temuilah seorang kakek bernama Renzo Reygarko, tunjukkan kalung itu kepadanya, ia pasti akan mengenalimu, patuhi dan taati nasihat serta ajarannya, karena beliau adalah kakekmu, beliau yang akan membimbingmu dan memberitahukan semuanya”
“Ta-tapi… bu, aku…” belum sempat Mahesa menyelesaikan ucapannya, Alvirti menutup mulut mahesa menggunakan jari telunjuknya,
“Sudah, tidak ada waktu lagi Mahesa, pergilah sekarang”—Alvirti berdiri tegap dan kembali mengambil cambuk perak di pinggangnya, ia menarik cambuk itu, dan...—“Heakkh…!” teriak Alvirti sembari memutar cambuk peraknya, dengan cepat Alvirti memukulkannya ke tanah, (Bhruuuaalll!), seketika itu juga tanah yang dipijak oleh Mahesa langsung menjadi sebuah bongkahan besar, “Ingat Mahesa, segera temui kakekmu dan jangan berbuat ceroboh” pinta Alvirti sambil menggerakkan kedua tangannya ke depan, (bwoossshh!) dan dari kedua telapak tangannya muncullah pusaran angin berbentuk bola yang bergerak sangat cepat, bola angin itu dalam waktu singkat menyambar serta membawa terbang Mahesa yang masih terduduk di atas bongkahan tanah, bocah itu pun hanya mampu melihat ibunya tanpa bisa melakukan apa-apa, tampak ibunya sedang berusaha mengerahkan semua sisa-sisa tenaganya untuk mengendalikan pusaran angin yang membawanya menyeberangi jurang, bukan hanya itu saja Ayahnya pun tampak sedang bertarung habis-habisan untuk menghadang para prajurti Asura. Namun sebelum Mahesa mencapai seberang jurang, tiba-tiba sang komandan Algor telah melompat tinggi tepat di atas ibu Mahesa, pemimpin pasukan itu telah bersiap menghujamkan palu besarnya,
“Jangan harap kalian semua bisa lolos semudah ini!” teriaknya.
“Hah…, cepat juga gerakannya, tapi aku tidak bisa menggelak, karena Mahesa harus sampai ke seberang jurang, jika aku menghindar maka Mahesa akan terjatuh ke dalam jurang” pikir Alvirti dalam hati.
“Sepertinya kau tidak bisa menghindar lagi, jadi terimalah akibatnya, “Heakkkkh…!” dari arah atas Algor menghujamkan palu besarnya ke arah Alvirti, dan…(jduaanggg!), di saat kritis itu Ragorda datang tepat waktu dan menangkis serangan dari Algor, tapi akibatnya dia menjadi lengah, dan beberapa tembakan prajurit Asura pun menembus tubuhnya, darah segar pun langsung mengucur melalui lubang-lubang di tubuh Ragorda, tetapi dia tetap berusaha berdiri tegak menahan palu milik Algor.
“Ragoorda…!” teriak Alvirti karena terkejut.
“Kau selesaikan saja tugasmu, pastikan Mahesa selamat sampai di seberang jurang”
“Ba-ba-baik…,”—Alvirti semakin berusaha keras mengerahkan tenaganya— “huakkkkh…!” teriak Alvirti sambil mengibaskan kedua tangannya ke atas, bersamaan dengan itu pusaran angin yang membawa Mahesa menjadi terbang semakin tinggi dan melesat cepat, (bruuakk…!), hingga akhirnya menghantam sebuah pohon besar di seberang jurang.
“Huft…, huft…, huft…, lihatlah Ragorda anak kita telah selamat sampai di seberang jurang, huft…, huft…, kita tidak perlu mengkhawatirkannya lagi”
“Eghh…, Syukurlah, akhirnya dia selamat juga” jawab Ragorda sambil mengerang kesakitan,
“Dasar Bodoh, aku tidak akan membiarkan anak itu lolos begitu saja”
“Puiiihhh…, kaulah yang bodoh Algor, karena terlalu percaya diri, lihatlah ini, kuberikan sebuah kartu as untukmu” ucap Ragorda, dia dengan sigap mengambil sebuah kartu dari pinggang dan melemparkannya ke arah Algor, secara otomatis kartu itu pun menempel pada bagian dada komandan pasukan berbadan besar tersebut, serta langsung mengeluarkan sinar yang berkedip-kedip.
“Hoii…, a-apa yang kau lakukan, kurang ajar kau!" umpat Algor, dengan cepat ia menyabetkan palunya ke arah kanan dan menghantam keras tubuh Ragorda (Duaagg!) hingga membuat Ragorda terpental cukup jauh. Melihat Algor yang masih kebingungan untuk melepas kartu as dari tubuhnya, Alvirti dengan sedikit sisa tenaga segera melompati tubuh Algor,
“Ini aku tambahi satu kartu as lagi untukmu, nikmatilah” kini bertambah lagi sebuah kartu yang menempel erat pada bagian punggung Algor.
“Huaakkkh…, apa yang sebenarnya kalian lakukan!” teriak Algor sambil melakukan tendangan memutar, tak ayal lagi tubuh Alvirti pun terhempas sampai membentur batu karena terkena tendangan yang sangat kuat dari Algor.
“Percuma saja kau berusaha melepaskannya, eghh…, ketahuilah Algor itu adalah sebuah bom jenis baru yang berhasil kuciptakan, dan kau sangat beruntung bisa menjadi manusia pertama yang merasakannya secara langsung, jadi berbahagialah”
“Egrrhh…, A-a-apa…, benar-benar kurang ajar kau Ragorda, aku pasti akan membalasnya!” teriak Algor dengan tatapan mata penuh amarah dan kebencian,
“Hmmm…, tapi sayangnya kau tidak akan sempat melakukan itu Algor, karena meskipun berbentuk kartu, daya ledak bom itu mampu menghancurkan hutan ini, dan kita semua pasti akan musnah” sahut Alvirti
“Hoiii…, tu-tunggu sebentar, lihatlah anakmu di seberang jurang itu, dia pun akan musnah, apa kau juga menginginkan hal itu”
“Ha…, ha…, sepertinya kau mulai ketakutan, kau tidak perlu mengkhawatirkan hal itu, karena ledakannya tidak akan mencapai seberang jurang sana, sebab jaraknya cukup jauh dari sini, jadi anakku akan aman-aman saja, benar begitu Alvirti”
“Benar sekali Ragorda, dan sekarang waktunya mengakhiri ini semua, lihatlah waktunya tinggal lima detik lagi”
“Kalian berdua benar-benaaar liciiiikkkk!” teriak Ragorda, melihat semua kejadian itu, para prajurit baru menyadari bahwa akan ada bom yang akan meledak, mereka semua pun segera lari berhamburan berusaha menjauh dari tempat itu, namun semuanya telah terlambat, lima detik kemudian (Bhluuuaaarrgggghhh…!) sebuah ledakan yang sangat besar terjadi, menghancurkan tempat itu dan semua yang berada di tempat tersebut, batu dan pepohonan terlihat terlempar ke udara, kepulan asap membumbung tinggi menebar di angkasa. Karena kuatnya ledakan hingga menyebabkan hembusan angin yang sangat besar dan menghempaskan Mahesa yang berada di seberang jurang hingga hampir dua meter. Beberapa detik kemudian ledakannya mulai mereda, dan tampaklah kobaran api yang sangat besar, banyak pepohonan yang tumbang dan terbakar. Setelah ledakan itu tidak tampak sesosok manusia pun di tempat itu, mereka semuanya telah hancur lebur terkena ledakan yang sangat kuat. Mahesa berdiri dengan terbungkuk, dia berjalan perlahan sambil melihat keadaan di depannya dengan tatapan yang kosong, dadanya berdegup kencang, kehampaan tiba-tiba terasa menguasai hatinya…
“Ayaaahhhh…!, Ibuuuuuu…!” teriakan yang sangat memilukan terdengar berulang-ulang menggema di tepi jurang. Burung-burung pun kembali beterbangan tak beraturan karena mendengar teriakan itu. “Bangsa Asura…! Bangsa Amoga…! kurang ajar kalian semua, aku pasti akan menghabisi kalian, akan kubantai bangsa kalian sampai tidak tersisa, aku pasti akan melakukannya, aku pasti lakukan hal itu!” teriak Mahesa, sambil berkali-kali memukulkan kepalan tangannya ke tanah. Emosi, dendam, dan kebencian telah menyelimuti hatinya saat ini, sampai beberapa saat kemudian, dia pun tergeletak di tanah karena rasa lelah dan beban perasaan yang sangat berat. Hujan rintik mulai mengguyur tempat itu, semakin lama semakin deras diiringi kilatan cahaya serta suara petir yang silih berganti seperti memahami rasa duka yang dirasakan oleh Mahesa. Rindangnya pepohonan melindungi Mahesa dari derasnya hujan yang mengguyur tempat itu. Beberapa saat kemudian, hujan mulai mereda, Mahesa mulai bangkit dari tidurnya, sambil terduduk lesu, matanya menatap sayu tempat ledakan di seberang jurang, namun tiba-tiba matanya terpaku pada sesosok manusia yang secara perlahan muncul dari balik reruntuhan bebatuan dan potongan-potongan pohon.
“Hah…, si-si-siapa itu, apakah dia…?” gumam Mahesa, dia pun berjalan perlahan mendekat ke tepi jurang agar bisa melihat lebih jelas, tetapi baru beberapa langkah dia berjalan,
“Huaaakkkkhhh…, kurang ajar kau Ragorda, bisa-bisanya kau menipuku seperti ini, kau telah menghancurkan lengan kananku, kurang ajar kau!” terdengar teriakan yang sangat keras dari seberang jurang. Sesosok manusia itu terlihat berjalan terhuyung-huyung, bagian kanan tubuhnya mengalami luka bakar hampir 40 persen, dan membuatnya kehilangan lengan kanan. Suaranya yang keras menandakan emosi yang sedang meluap-luap, “Tapi sekarang kau telah binasa, dan selanjutnya aku pasti akan menemukan anakmu itu, dan akan kubinasakan juga dia, supaya ras Asura tidak ternoda oleh keberadaannya!” Sosok manusia itu mulai berjalan pergi meninggalkan tempat itu dengan celotehannya yang menggema di sepanjang jalan. Mahesa terbelalak, dia merasa tidak percaya melihat sesosok manusia itu,
“Hah…, ko-ko-komandan Algor, ba-bagaimana bisa dia selamat dari ledakan sebesar itu,” gerutu Mahesa, “Egrrhh…, kurang ajar, benar-benar kurang ajar, “suatu saat nanti aku pasti akan membalasmu Algor, akan kubalas apa yang telah kau lakukan kepada orang tuaku” ucapnya penuh emosi, kepalan tangannya secara reflek menghatam ke sebuah pohon besar, hingga membuat pohon itu menjadi pecah meninggalkan sebuah bekas pukulan yang cukup dalam. Mahesa kembali terduduk lemah, ia lalu menundukkan kepalanya, kedua telapak tangannya sesekali menyeka air mata yang tidak mampu ia hentikan, “Ayah…, Ibu…, maafkan aku, maafkan karena aku telah membuat kalian mengalami kejadian ini, peperangan ini karena kehadiranku, karena kalian selalu berusaha menjagaku, melindungiku, “aku…, aku…, anak yang lemah dan selalu merepotkan kalian, sekali lagi…, maafkan akuuu!” ucap Mahesa dengan keras, dia pun langsung berlari meninggalkan tempat itu, dia merasa tidak kuat lagi menahan rasa sedih di hatinya, dia berlari sekencang-kencangnha menembus lebatnya hutan, ia luapkan semua kesedihan dan emosinya dengan berlari dan berlari tanpa mempedulikan arah lagi. Hingga akhirnya terdengar sebuah teriakan kencang yang menghentikan langkahnya,
“Toloooong…, tolooooong!” teriakan terdengar berulang-ulang, membuat Mahesa mencoba mencari tahu asal suara itu.
“Hah…, sepertinya suara orang minta tolong, apa aku telah keluar dari hutan, “tapi suara siapa itu?” gumam Mahesa sambil matanya mengamati ke sekelilingnya.
“Hoooiii…, si-siapapun kau tolonglah aku!”
Mahesa kembali tersentak kaget, pandangannya langsung tertuju ke arah sumber suara tersebut, dari kejauhan dia melihat sesosok manusia.
“Hah…, se-seorang gadis kecil, sepertinya dia seumuranku” ucap Mahesa dalam hati,
“Hoooiii…, kenapa kau melamun saja, apa kau tidak lihat singa di depanku ini ingin memakanku” teriakan gadis kecil itu kembali terdengar diiringi dengan raungan seekor singa (Ghuaaaagrggggg!).
“Ha…, be-benar juga, dia sudah terpojok di sebuah batu besar, singa itu juga semakin mendekatinya” gumam Mahesa, “Kau diamlah disitu, jangan terlalu banyak bergerak, biar aku yang menghalau singa itu!” Teriak Mahesa sembari berlari menuju ke arah gadis kecil tersebut, tangan kanannya langsung menyambar sebuah kayu besar yang tergeletak di tanah, namun ketika Mahesa telah cukup dekat dengan gadis tersebut, mendadak ia menghentikan larinya dan menatap gadis itu dengan tajam,
“Egrhhh, rupanya dia gadis dari Asura, untuk apa aku membantunya, bukankah bangsa mereka telah menghabisi orang tuaku, dan aku juga harus membalas menghabisi mereka semua, mungkin ini adalah awalnya” gerutu Mahesa, kayu besar ditangannya pun ia lemparkan ke tanah, dia mulai berjalan meninggalkan tempat itu.
“Hoooiii…, kenapa kau malah pergi, apa kau tidak punya rasa kemanusiaan sama sekali”
“Jangan bicara masalah rasa kemanusiaan, justru bangsa Asuramulah yang tidak memiliki rasa kemanusiaan, jadi sudah sepantasnya kau menerima hal itu, mungkin singa itu juga ingin membalas dendam kepadamu, kepada bangsamu!” jawab Mahesa sambil terus berjalan meninggalkan gadis kecil tersebut dengan seekor singa besar yang siap untuk menerkamnya.
“Kalau begitu, kau tidak ada bedanya dengan singa ini, kau tidak bisa membedakan antara dendam dan kasih sayang, yang kau tahu hanya pembalasan saja, pergilah…, berbahagialah dengan dendam di hatimu itu”
“Aku tidak peduli dengan semua ucapanmu itu gadis Asura” Mahesa tetap melanjutkan langkah kakinya, namun beberapa langkah kemudian…,
“Kurang ajaaar!, aku tidak mau seperti binatang, dasar bodoh kau gadis Asura!” Teriak Mahesa penuh emosi, dia berlari berbalik arah, tangan kanannya kembali menyambar kayu besar yang telah ia buang, dengan berani Mahesa berlari ke arah sang singa, dia pun lalu melompat setinggi-tingginya, “aku adalah aku, jangan samakan aku dengan siapapun, apalagi dengan binatang, Heakkkkkhhh…!” Mahesa mengayunkan kayu besar di tangannya dan dengan telak menghantam kepala singa besar itu (dhuuuaanggg!), binatang buas tersebut langsung terpental hingga hampir enam meter jauhnya, raungan kesakitan dari singa tersebut terdengar sangat kencang.
“Aku tahu kau akan kembali bocah mata kuning, karena aku yakin kau masih memiliki sisi manusia”
“Egrhhh…, kenapa aku melakukan hal ini, kenapa aku tidak bisa membiarkan gadis Asura itu diterkam singa itu saja, aku benar-benar tidak mengerti dengan diriku sendiri” gerutu Mahesa, dia lalu berdiri tegap sambil memegang erat kayu besar di tangan kanannya, “cepat pergilah dari sini, jangan kira hal ini karena aku ingin menolongmu, ini hanya karena aku tidak mau disamakan dengan binatang liar itu”
“Terserah kau saja bocah mata kuning, tapi aku ucapkan terima kasih banyak untukmu” jawab gadis asura itu sambil berlari pergi.
“Dasar gadis asura, kini aku yang terlibat masalah dengan singa itu” ucap Mahesa, ia kembali mengambil ancang-ancang, namun belum sempat dia bersiap, tiba-tiba saja singa besar telah melompat di atasnya, “Hegrh…, singa apa ini, cepat sekali gerakannya” (Ghuargghhh!) raungan sang singa kembali terdengar, (Craaz…) dan kuku-kuku tajamnya merobek dada mahesa hingga membuatnya terlempar cukup jauh dengan tiga luka robek yang lumayan parah.
“Egrhhh…, benar-benar sialan kau” keluh Mahesa, dia kembali bangkit, kini kayu besar digenggamnya erat menggunakann kedua tangan, seperti layaknya memegang sebuah pedang, bola matanya yang berwarna kuning menatap singa tanpa rasa takut sedikitpun “aku masih memiliki sedikit tenaga devastra, cukup untuk digunakan sekali tebasan, jarakku juga tidak terlalu jauh dengan singa itu, semoga bisa menghabisinya dengan cepat, hergrrrh…,” Mahesa terlihat mulai berkonsentrasi, ia mengumpulkan semua sisa-sisa tenaganya, lalu beberapa detik kemudian tubuhnya telah diselimuti oleh cahaya berwarna merah. Singa besar dihadapannya pun langsung mengaum dengan lebih kencang lagi dan siap untuk menerkamnya kembali.
“Ghuarghhhhh…!”
“Tak ada kesempatan kedua untukmu, dasar singa liiiar…, “tebasan kilat!” (Bweeett…!), tiba-tiba saja Mahesa bergerak sangat cepat hingga tak terlihat, dalam sekejap dia telah berada persis di depan sang singa, dan sebuah sabetan keras menghujam tepat mengenai kepala binatang itu, (Jdhuuagg!) hingga membuatnya terlempar sangat jauh sampai membentur sebuah batu besar. “huft…, huft…, teknik yang diajarkan ayah ini ternyata berguna juga, tapi sangat menguras tenaga, “rasakan itu singa liar, pulanglah kembali ke hutan” ucap Mahesa, beberapa saat dia memandang lawannya yang telah terkapar dan tidak bergerak, lalu ia pun melemparkan kayu besar yang telah patah karena digunakan untuk menebas kepala sang singa, “kelihatannya dia telah mati, aku tidak boleh berlama-lama di tempat ini, aku harus segera pergi ke Bukit Bhadrasana” kemudian Mahesa berjalan pergi meninggalkan tempat itu, namun baru saja dia melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja…,
“Ghuarghhhhh!” Mahesa tersentak kaget, auman sang singa terdengar begitu garang, dia menghentikan langkahnya dan menatap dengan rasa tidak percaya, di hadapannya binatang buas itu telah berdiri kembali dengan tegar.
“Hah…, di-dia bangkit lagi, apa benar dia singa hutan, kenapa bisa sekuat itu, padahal tebasanku tadi mampu menghancurkan sebuah batu besar, setidaknya tulang kepalanya pasti telah hancur, ba-bagaimana bisa binatang itu bertahan, egrhhh…, tidak ada waktu untuk memikirkannya” Mahesa kembali mengambil potongan kayu yang berserakan di tempat itu, “baiklah, kita lakukan sekali lagi, aku masih punya tenaga untuk mengahajarmu” ucap Mahesa sambil berlari dengan cepat ke arah singa. Binatang liar itu pun tidak tinggal diam, bersamaan dengan aumannya yang menggema, makhluk itu langsung melompat dan berlari cepat ke arah Mahesa. Dalam waktu singkat jarak mereka berdua telah sangat dekat…,
“Hentikan Gardaka!, aku rasa sudah cukup, kembalilah ke wujud asalmu!” teriakan gadis Asura menghentikan langkah sang singa,
“Guaargghhh” sahut sang singa dengan auman yang sangat keras, bahkan lebih keras dari sebelumnya, lalu binatang liar itu melompat cukup tinggi, dan dalam sekejap (bwoooshh...) makhluk itu telah menjadi seekor naga merah yang sangat besar, dengan mengepakkan sayapnya yang panjang membentang ia terbang tepat di atas tubuh Mahesa, dan bocah itu hanya mampu menatap makhluk besar tersebut melesat cepat melintas di atasnya, meninggalkan hembusan angin yang cukup kencang
“Hah…, si-singa itu ternyata seekor naga, pantas saja dia kuat sekali, dasar siaalll” Mahesa menancapkan kayu yang dipegangnya ke tanah untuk menahan hembusan angin kencang akibat kepakan sayap sang naga, lalu pandangan matanya pun tertuju kepada gadis Asura yang bediri tidak jauh darinya “siapa gadis asura itu sebenarnya?” timbul rasa penasaran dalam hati Mahesa, dia melihat gadis itu berjalan perlahan mendekatinya, di belakangnya terlihat sang Naga merah dengan begitu patuhnya mengikuti gadis itu.
“Hoii…, gadis Asura kau jangan menipuku lagi, siapa kau sebenarnya”
“Kau lihat saja sendiri bocah” jawab gadis itu, dan sedetik kemudian…, (bwoosshhh) ia pun menunjukkan wujud aslinya. Menyaksikan perubahan wujud gadis kecil itu, Mahesa pun menjadi terpaku, karena belum pernah ia melihat sesosok makhluk yang sedang berdiri tegap di hadapannya.
“Hah…, A-apakah kau dari planet lain?, ataukah kau seorang dewa?, kenapa ada sungut di kepalamu?, makhluk apa kau ini sebenarnya?” mata Mahesa nanar melihat sosok aneh tersebut, naga merah besar juga tetap setia berdiri di belakang sosok manusia aneh itu.
“Banyak sekali pertanyaanmu bocah, supaya kau tahu saja, namaku Nagastra, dan naga imut di belakangku itu bernama Gardaka”
“Hah…, imut darimana, nagamu itu menyeramkan sekali tuan Nagastra, jika kau bawa ke pemukiman penduduk, pasti mereka akan ketakutan dan kabur semuanya”
“Ha ha…, aku cuma bercanda bocah, kau tampak kusut sekali, apa yang telah kau lakukan?”
“Kau tidak perlu tahu tuan Nagastra, lagi pula kenapa kau menipuku dengan menyamar menjadi seorang gadis Asura, apa tujuan tuan sebenarnya?”
“Hmmm…, aku cuma ingin tahu sisi kemanusiaanmu saja, dan aku rasa kau masih memilikinya”
“Oo…, jadi cuma seperti itu, sungguh merepotkan, kalau begitu lebih baik aku pergi saja, sampai jumpa Tuan Nagastra” jawab Mahesa, Bocah itu membalikkan badan dan dengan sisa-sisa tenaganya ia lalu melangkah pergi.
“Hei…, hei…, tunggu sebentar, jangan pergi dulu bocah, aku tahu kau sekarang sedang menahan rasa sakit akibat cakaran dari nagaku tadi, kondisimu juga sangat lemah, “aku kagum padamu kau masih mampu bertahan dengan berbagai luka di tubuhmu itu”—Nagastra mengambil sebuah botol dari balik bajunya—“ini ambillah obat ini, anggap saja sebagai bentuk tanggung jawabku, minumlah supaya kau bisa kembali pulih” ucap Nagastra sembari melemparkan sebotol obat ke arah Mahesa, dengan sigap Mahesa pun menangkap botol obat tersebut.
“Obat apa ini, botolnya aneh sekali, ada ukiran naganya, apa benar ini adalah obat, jangan-jangan ini adalah racun” ucap Mahesa seraya mengamati botol obat yang digenggamnya,
“Buat apa aku meracunimu, tubuhmu sekarang sangat lemah, aku bisa menghabisimu hanya dengan sekali pukul saja, “percayalah padaku bocah, itu bukan sekedar obat biasa, di dalam botol itu ada air yang sangat berkhasiat, lagi pula kau tidak akan bertahan lama dengan luka sebanyak itu, selain luka dari cakaran naga kau juga memiliki berbagai luka dari sabetan pedang, aku yakin kau telah melalui pertarungan yang sangat berat”
“Hufttttt…, kau memang benar tuan Nagastra” jawab Mahesa sambil menghela napas panjang, “tubuhku memang terasa sangat lemah saat ini”
“Aku tahu bocah, kau memang seorang anak yang kuat dan pemberani, jadi minumlah obat itu, dan kau akan tahu khasiat sebenarnya dari obat tersebut” Nagastra berusaha meyakinkan Mahesa.
“Sepertinya aku memang tidak punya pilihan lain, tubuhku sudah terasa lemah sekali, jika aku memaksakan diri, mungkin aku tidak akan sampai ke Bukit Bhadrasana” gumam Mahesa sambil menatap botol obat dari Nagastra, lalu ia pun membuka botol obat tersebut dan meminumnya hingga habis tak tersisa.
“Bagaimana rasanya bocah” tanya Nagastra
“Eggghhh…, Manis juga tapi terasa ada sedikit pahitnya, dan… kenapa rasanya ada sesuatu yang menjalar, seperti merambat dalam tubuh dan aliran darahku, daging tubuhku terasa hangat, namun tulang-tulangku terasa agak di-di-dingin, ada apa ini se-sebenarnya?”
Beberapa detik kemudian tubuh Mahesa mulai bergetar, dan… “Huaarggghhhh…!” Mahesa berteriak keras meluapkan energi yang masuk di dalam tubuhnya, ledakan yang kuat pun terjadi akibat dari luapan tenaga itu (Bhluuuaarr…!) hingga mengakibatkan tanah yang dipijaknya menjadi hancur berantakan dan berlubang cukup besar.
“Ha ha… kelihatannya berhasil, itu bukan sekedar obat bocah, minuman itu bernama darah akral yang memiliki arti hebat atau kuat, jadi khasiat dari minuman itu adalah membuat tubuhmu bisa menjadi sangat hebat dan kuat”
“Huaaakkhh…, i-i-tu da-darah, darah apa itu tuan Nagastra, aku sudah terlanjur menelannya semua” tanya Mahesa dengan perasaan terkejut.
“Huft…,” Nagastra menghela napas “kau tidak usah khawatir bocah, itu bukan darah dalam arti sebenarnya, hanya saja karena warnanya merah maka dinamakan darah akral, cuma itu saja”
“Huuh…, syukurlah kalau begitu” Mahesa tampak lega mendengar penjelasan Nagastra.
“Miuman yang telah kau habiskan tadi, itu satu-satunya minuman darah akral yang ada di tempatku”
“He…, he…, maaf Tuan Nagastra…, habis rasanya segar sekali” jawab Mahesa sambil sedikit tersipu.
“Ha ha…, tidak apa-apa bocah, memang aku sengaja memberikannya untukmu, sekarang lihatlah luka-luka di tubuhmu”
“Hah, ba-ba-bagaimana bisa, semua luka ini menutup dengan cepat” Mahesa meraba dada dan pergelangan tangannya yang sebelumnya terluka cukup parah, “a-a-aneh sekali, bahkan sekarang aku merasa telah pulih kembali” Mata Mahesa terbelalak lebar melihat semua luka di tubuhnya yang telah hilang tak berbekas sedikit pun, “tubuhku juga sudah tidak terasa sakit sama sekali…, bagaimana bisa ini terjadi Tuan Nagastra? tanya Mahesa.
“Kau benar-benar ingin tahu”
“Iya Tuan Nagastra, tolong beritahu aku”
“Kalau begitu ulurkan tanganmu bocah”
“Baiklah, seperti ini” jawab Mahesa seraya mengulurkan tangan kanannya, dan dengan cepat Nagastra langsung menggores lengan tangan Mahesa menggunakan tongkat yang dipegangnya (sriiiiitttz),
“Akhhh…, apa yang kau lakukan Tuan” sahut Mahesa sembari menarik tangan kanannya, akibat goresan tongkat itu tangan Mahesa terluka mulai pangkal lengan sampai ke telapak tangan.
“Sekarang perhatikan baik-baik luka di tanganmu itu bocah”
Manesa menatap tangan kanannya yang terluka cukup parah,
“Hah…, lu-luka ini pulih dengan cepat sekali, benar-benar menakjubkan”
“Itulah kekuatan dari darah Akral yang telah kau minum, darah Akral itu telah menyatu dengan dirimu, jadi khasiatnya adalah jika tubuhmu terluka maka kau akan dapat pulih dengan cepat, seperti yang kau lihat tadi, apa kau mau mencobanya lagi bocah”
“Upss…, tu-tunggu sebentar tuan, kurasa tidak perlu, aku sudah paham, meskipun bisa pulih dengan cepat tapi terasa sakit juga”
“Ha…ha…, syukurlah kalau kau sudah paham, tapi bukan itu saja khasiat dari darah akral, sekarang coba angkat kaki kananmu” pinta Nagastra
“Hah…, seperti ini” sahut Mahesa sambil mengangkat kakinya sedikit
“Ya…, benar seperti itu, coba tahan, diam dan jangan bergerak” perintah Nagastra, sembari secara ajaib dia memunculkan sebuah baja sepanjang satu meter dari telapak tangannya, “lihatlah baja ini bocah, ini adalah baja yang biasa digunakan untuk baju perang, senjata pedang, atau pun perisai di Ordeus”
“Ya…, aku tahu itu, besi baja bukan benda yang asing buatku, karena aku sering melihatnya, sebab ayahku...” belum sempat Mahesa menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba…, (Weeettt…, Ctaaang!) dengan cepat Nagastra mengayunkan baja itu dan menghantamkannya ke bagian tungkai kaki Mahesa”
“Hah…!, “ Mahesa tersentak kaget, “kenapa tuan, apa ada yang salah?”
“Tidak ada yang salah, justru ini adalah hal yang benar”
“Benar apanya tuan?”
“Benar-benar berhasil bocah, sekarang turunkan kakimu!” perintah Nagastra, “apa kau tidak menyadarinya, lihatlah…, baja sekuat ini telah patah jadi dua, artinya minuman itu juga telah membuat tulang-tulangmu lebih kuat dari baja Ordeus”
“Hah…, benar juga, secara normal pasti tulangku akan patah terkena pukulan baja sekeras itu” sahut Mahesa sembari mengamati kakinya yang baru saja terkena hantaman sebilah baja.
“Bukan itu saja, kau juga akan memiliki kekuatan fisik yang luar biasa”
“Apa benar seperti itu?” tanya Mahesa karena masih belum mempercayai peristiwa yang telah dialaminya.
“Untuk mengetahuinya kita harus mengujinya dulu bocah”
“Caranya?”
“Coba angkatlah batu besar di sampingmu itu!, aku ingin tahu seberapa kuat kau sekarang” pinta Nagastra sambil menunjuk ke sebuah batu sebesar sepeda motor.
“Hah…, a-a-apa tidak salah, batu sebesar ini, apa tidak ada acara lain yang lebih manusiawi tuan” Mahesa tercengang melihat batu yang besar itu.
“Lakukan saja, kau pasti akan mengerti, gunakan semua kekuatan fisikmu dan jangan gunakan tenaga devastra, kalau gagal nanti kubawa kau ke tukang pijat ha…ha…!”
“Wah…, kenapa seperti tidak meyakinkan begitu, tapi baiklah aku percaya kepadamu, lihatlah ini…,” Mahesa meletakkan kedua tangannya di bawah batu besar itu dan mengambil ancang-ancang untuk mengangkatnya, sedetik kemudian “Heaakkh…!” teriak Mahesa, ia berusaha mengangkat batu itu sekuat tenaga, dan secara perlahan… (Grrrkkkkk…, grrrkkkk…, bhruuual…!) batu itu pun terangkat ke atas, meninggalkan serpihan-serpihan pecahan batu kecil yang berserakan di sekitar kaki Mahesa. “Lihatlah, kau benar tuan, aku berhasil mengangkatnya, ternyata tidak terlalu berat juga” Mahesa tetap berusaha menahan batu itu tinggi-tinggi di atas tangannya, “sekarang apa yang harus kulakukan tuan, aku tidak mau seharian mengangkat batu seperti ini”
“Ha ha…, bisa saja kau bocah, buat apa aku menyuruhmu mengangkat batu itu seharian, sekarang lemparkan saja sejauh-jauhnya!”
“Egrrh…, begitu ya, baaaiklahh…, heeakkkkh…!” dengan sekuat tenaga Mahesa melemparkan batu besar itu ke tengah padang rumput, dan batu itu pun melesat cukup jauh, hingga mencapai 100 meter. Nagastra tersenyum puas melihat kekuatan Mahesa setelah meminum darah akral.
“Waooow, i-i-itu menakjubkan sekali, serasa melempar bola saja, terima kasih banyak tuan, kau telah memberiku kekuatan yang luar biasa ini”
“Ha ha…, jangan puas dulu, masih ada satu lagi, perhatikan baik-baik, ini dinamakan sihir elemental” ucap Nagastra sambil mengangkat telapak tangannya setinggi dada, “berkonsentrasilah, pikirkan empat elemen alam yang ada di Ordeus” Nagastra perlahan memejamkan matanya, lalu… (zwuung…, zwuuung…) dalam sekejap di atas telapak tangannya muncullah empat buah bola sebesar bola basket berbentuk api, air, angin, dan petir yang bercahaya sangat terang.
“Wow…, ba-ba-bagaimana bisa tuan Nagastra memunculkan api, angin, air, dan kilatan petir seperti itu?” tanya Mahesa
“Cobalah bocah…, gunakan tenaga devastramu, kau pasti bisa, karena darah Akral tadi juga memberikanmu kemampuan menciptakan dan mengendalikan elemen alam”
“A-apa benar seperti itu, ini benar-benar membuatku sangat penasaran” sahut Mahesa sambil melakukan hal yang sama, dia pun memejamkan mata dan berkonsentrasi mengeluarkan semua tenaga devastra, hingga butiran keringat bermunculan di dahinya, dan setelah cukup lama berusaha, akhirnya dari telapak tangan mahesa secara perlahan muncul empat bola yang sama seperti yang dimunculkan oleh Nagastra, namun hanya saja ukurannya cuma sebesar kelereng kecil. “huft…huft…, a-apa ada yang salah ya…, kenapa kecil sekali, padahal aku sudah mengeluarkan semua tenaga devastraku” keluh Mahesa.
“Ha ha…,” Nagastra tertawa lepas melihat usaha Mahesa, “untuk pemula sepertimu itu sudah cukup bagus bocah, kau cepat sekali belajar, tapi sayang devastramu masih tingkat rendah, kembangkanlah terus kemampuanmu itu, “Oya… siapa namamu bocah?”
“Namaku Mahesa Engka”
“Nama yang bagus, dari mana asalmu?”
“Huuffttt…,” Mahesa sedikit terdiam dan menarik napas panjang, ia menyeka keringat di dahinya dan menjawab,
“Aku tidak tahu darimana asalku, tapi Ayahku berasal dari bangsa Asura dan Ibuku berasal dari bangsa Amoga”
“Ooo…, begitu ya…, kalau begitu kau anak yang istimewa, karena berasal dari dua bangsa itu”
“Tapi aku sangat membenci kedua bangsa itu Tuan Nagastra, suatu saat nanti aku ingin memusnahkan mereka semua” dengan mengepalkan kedua tangannya Mahesa menjawab pertanyaan Nagastra, tatapan bocah itu berubah menjadi tajam terpengaruh emosi di hatinya.
“Rupanya ada dendam yang masih menyelimuti hatimu Mahesa, tapi aku yakin kau akan berubah menjadi manusia yang lebih baik, “berapa usiamu sekarang” tanya Nagastra mencoba mengubah arah pembicaraan.
“10 tahun” jawab Mahesa singkat
“Melihat tatapan matamu, aku rasa kau mengalami 10 tahun yang berat, “kalau begitu ambillah ini Mahesa” ucap Nagastra sembari menyodorkan sebuah gulungan dari bahan kulit berwarna merah.
“Apa ini tuan Nagastra?” tanya Mahesa seraya menerima gulungan itu
“Bukalah supaya kau mengerti”
Kemudian Mahesa membuka gulungan kulit merah itu, dan mengamatinya dengan saksama.
“Mmmmm…, sepertinya ini cuma sebuah gambar simbol dan tiga kalimat mantra”
“Memang benar, itu adalah sebuah simbol dan kalimat mantra, ingatlah Mahesa jika usiamu nanti telah mencapai 25 tahun maka gambarlah simbol itu di lantai dan bacalah mantra itu sebanyak tiga kali”
“Eeeghhh…, untuk apa aku melakukan itu tuan Nagastra, memang apa yang akan terjadi?”
“Untuk pergi ke bukit Anaga dan aku akan memberitahumu jika kau telah sampai disana, itu pun jika kau masih ingat dan masih memiliki keinginan untuk menjadi orang yang kuat”
“Bukit Anaga, aneh sekali namanya, kenapa tidak sekarang saja?”
“Huft…, kau masih terlalu kecil Mahesa, masih belum waktunya, lebih baik sekarang kuantar kau ke tempat tujuanmu”
“Hah…, Memang tuan Nagastra tahu kemana tujuanku?”
“Tentu saja, bukankah kau akan pergi ke Bukit Bhadrasana”
“Ba-bagaimana kau tahu tuan”
“Sudahlah, jangan memikirkan hal itu” jawab Nagastra sambil memukul pelan dahi Mahesa menggunakan tongkatnya. Bersamaan dengan itu muncul cahaya putih menyelimuti seluruh tubuh Mahesa, dan dalam sekejap (zlaapp!) Mahesa telah menghilang dari hadapan Nagastra.
“Anak itu cerewet juga, banyak sekali yang ditanyakan, “Gardaka ayo kita pulang, aku telah menemukan manusia yang cocok untuk jadi muridku, tidak salah lagi bocah itulah yang layak mewarisinya” ajak Nagastra, ia lalu berjalan dengan santai meninggalkan tempat tersebut.
“Ghuarrgghhhh!” naga merah menjawabnya dengan raungan yang garang. Beberapa langkah kemudian Nagastra mengetukkan tongkatnya ke tanah, dan… (dug…, Zlaapppp…) dalam sekejab mereka berdua menghilang menjadi kilatan cahaya. Sementara Mahesa yang mendapat bantuan Nagastra terlihat kebingungan dengan keadaan di sekitarnya, ia menengok ke kanan dan ke kiri.
“Tidak salah lagi ini memang Bukit Bhadrasana, alat yang diberikan ibu ini benar-benar menunjukkan bahwa bukit di depan itu adalah bukit Bhadrasana” gumam Mahesa sambil mengotak-atik sebuah alat yang diberikan oleh ibunya, sesekali ia memandang bukit di depannya dengan rasa ragu-ragu. “Aneh sekali, siapa sebenarnya Tuan Nagastra tadi, kenapa dia memberikan aku semua ini” Mahesa memandang gulungan merah ditangannya, “sudahlah, dipikirkan pun malah membuatku semakin bingung, lebih baik aku segera mendaki bukit itu saja, dan mencari kakekku di sana” Mahesa menepis semua kebingungan dan keraguan di hatinya, ia memasukkan gulungan merah itu ke dalam bajunya dan mulai berjalan menyusuri jalan setapak di kaki bukit Bhadrasana. Sesekali dia mengambil buah yang dapat dimakan untuk menghilangkan sedikit rasa laparnya, setelah hampir setengah jam menyusuri jalan tersebut, pandangannya tertuju pada sebuah rumah yang cukup besar yang berada di tengah bukit tersebut.
“Mungkin itu rumah kakek, aku coba kesana saja” tanpa menunggu lama, Mahesa segera berlari menuju rumah tersebut. Sesampainya di rumah tersebut ia memandang rumah itu dengan penuh harap, “semoga memang benar ini rumah Kakek Renzo, karena cuma beliau yang ibu beritahukan padaku, aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi” Ia lalu berjalan perlahan masuk ke pelataran rumah, meskipun masih ada rasa keraguan di dalam hatinya.
“Permisi…, apa ada orang di dalam!” ucap Mahesa seraya mengetuk pintu rumah tersebut beberapa kali. Merasa belum mendapatkan balasan, ia pun mengulangi ucapannya lagi beberapa kali, “Permisiiii!, apa ada orang!”
“Siapa yang kau cari bocah, bagaimana kau bisa sampai di tempat ini?” terdengar suara jawaban dari arah belakang, Mahesa pun langsung tersentak dan menoleh ke arah sumber suara. Tampak dihadapannya seorang laki-laki tua yang masih berbadan tegap.
“Apa benar dia kakekku, kalau dilihat penampilan fisiknya, warna rambut perak dan mata kuning itu mirip ibu” pikir Mahesa dalam hati.
“Kenapa kau memandangku seperti itu bocah, apa penampilanku sangat aneh buatmu?” pertanyaan itu mengagetkan Mahesa,
“Ti-tidak kakek”
“Lalu kenapa kau memandangku seperti itu?”
“Apa kakek bernama Renzo Reygarko”
“Benar bocah, ada apa kau mencariku”
“Ibuku yang menyuruhku menemui kakek, ini kalung dari ibu untuk ditunjukkan kepada kakek” jawab Mahesa, dia lalu menyodorkan kalung pemberian ibunya pada orang tua di depannya.
“Oo…, begitu rupanya, ini adalah kalungku yang dulu aku berikan kepada Alvirti”—Kakek Renzo mengamati kalung itu sejenak, lalu pandangannya beralih ke arah bocah kecil di depannya, tatapan Kakek Ren terlihat menjadi sayu,—“Aku mengenal bola mata kuning itu, siapa namamu?”
“Mahesa kek”
“Kemarilah Mahesa, aku adalah kakekmu, kau pasti telah mengalami hari yang berat” Mendengar jawaban sang Kakek, Mahesa hanya terdiam ia lalu melangkah perlahan dan memeluk erat kakek di hadapannya, dengan suara yang pelan dan begitu berat Mahesa mencoba memberitahu kakeknya,
“I-ibu dan A-ayah telah gugur dalam pertarungan kek”
“Huftttt” mendengar ucapan cucunya, Kakek Renzo menghela napas panjang, “inilah hal yang dulu paling aku takutkan, mereka bertempur untuk memertahankan keyakinannya, prinsip yang benar tetapi dilakukan dengan keras kepala” tatapan mata Kakek Ren menerawang jauh, “tapi setidaknya ada kau yang menjadi harapan mereka, kau bocah yang kuat dan tegar, simpanlah lagi kalung ini baik-baik, “ayo kita masuk ke dalam rumah, mandi dan istirahatlah dulu, penampilanmu sangat acak-acakan sekali, aku akan pergi sebentar membeli beberapa pakaian untukmu, karena aku tidak punya pakaian untuk anak seumuranmu”
“Baiiik kek” jawab Mahesa singkat, ia pun lalu masuk ke dalam rumah, langkahnya terlihat sedikit canggung karena baru kali ini dia datang ke rumah kakeknya,
“Kau cari saja kamar mandinya Mahesa, di lantai dua ada satu kamar kosong, gunakan untuk beristirahat”
“Baiik kek” sahut Mahesa
Lalu kakek Ren melangkah pergi ke garasi samping rumah, dengan mengendarai sebuah pesawat yang seukuran dengan mobil, dia segera pergi ke desa terdekat dari Bukit Bhadrasana,
“Alvirti, Ragorda…,kau tidak usah khawatir aku pasti menjaga dan merawat Mahesa, dia anak yang kuat, “tapi…, hufttt…,ada satu hal yang aku takutkan darinya, tatapan matanya…, tatapan mata itu penuh dengan dendam yang membara, dan hal itu jika tidak dipadamkan pasti akan mempengaruhi karakternya, “aku maklum karena dia selalu bertarung bersama kalian, melihat kalian terluka, dan akhirnya…, seperti sekarang ini, dia menjadi kehilangan kalian berdua, “aku akan berusaha membimbingnya, aku tidak mau dia tumbuh dewasa dengan dipenuhi oleh dendam yang selalu ada di hatinya” gumam Kakek Ren dalam hati. Beberapa menit kemudian sampailah Kakek Ren di Desa Amreta, sebuah desa kecil yang cukup berkembang, sebab hampir semua fasilitas di desa itu sudah dibangun dengan baik. Desa ini dihuni oleh masyarakat dari bangsa Amoga, karena memang desa itu masih termasuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Conra kerajaan milik Bangsa Amoga. Ia lalu mendaratkan kendaraannya di sebuah toko pakaian yang tidak begitu ramai, Kakek Ren pun bergegas berjalan masuk ke dalam toko tersebut.
“Selamat datang tuan, silahkan pilih barang yang anda sukai” sapa seorang wanita penjaga toko,
“Maaf nona, apa bisa kau memilihkan tujuh stel pakaian untuk anak laki-laki usia 10 tahunan”
“Tentu saja bisa tuan, akan kucarikan baju yang terbaik dan model terbaru untuk anda, silahkan duduk dan tunggu sebentar”
“Baiik nona, tolong cepat sedikit ya…!”
“Kulakukan secepat mungkin untuk anda” penjaga toko itu membungkukkan badan dan bergegas pergi ke rak pakaian di dekatnya.
“Wah…, pelayanan yang baik juga, aku jadi tidak perlu repot-repot jika begin, lagi pula dia juga lumayan cantik” gumam Kakek Ren. Ia lalu duduk di sebuah kursi panjang dan menyalakan sebatang rokok untuk menghilangkan rasa jenuhnya.
“Kakek Ren…, tumben kau pergi ke toko pakaian anak-anak” tiba-tiba terdengar sapaan dari seorang wanita muda yang memiliki tampilan elegan, sepertinya dia adalah seorang wanita kaya di desa tersebut. Mendengar suara itu, Kakek Ren sontak menoleh dan menjawabnya,
“Wah…, rupanya kau nyonya Lorga, semakin cantik saja kelihatannya”
“He… he…, bisa saja kau Kakek Ren, memang mau beli pakaian untuk siapa?”
“Oo…, untuk cucuku Mahesa, dia baru saja datang tadi pagi, ya… kira-kira seumuran putrimu Verintia ini, “hoii…, bagaimana kabarmu gadis manis?” sapa Kakek Ren sambil mengusap rambut gadis kecil di hadapannya.
“Baiikk Kakek Ren” jawabnya sambil tersenyum,
“Verin, mau beli pakaian apa ke sini?”
“Pakaian untuk sekolah besok pagi” jawab gadis kecil itu,
“Ooo…, benar juga, Mahesa juga perlu sekolah biar bisa berteman denganmu, apa kau mau bermain dengan cucu kakek di sekolah?”
“Tentu saja kek, aku akan bermain dengannya, aku memiliki banyak boneka di rumah”
“Wah…, bermain boneka ya, kelihatannya menyenangkan, Mahesa pasti akan sangat senang, baguslah nona kecil, kau memang gadis baik seperti ibumu”
Beberapa saat kemudian,
“Tuan ini pakaian yang anda pesan, silahkan dilihat-lihat dulu, barangkali ada yang ingin diganti” wanita penjaga toko datang dan menyerahkan beberapa pakaian pada Kakek Ren,
“Tidak perlu nona, aku percaya pada pilihanmu, berapa semuanya?” tanya Kakek Ren sambil berdiri, sebatang rokok yang tinggal setengah lalu ia padamkan pada asbak di dekatnya.
“789 Agha tuan”
“Baiklah…, ini uangnya…” jawab kakek Ren sambil merogoh saku di jubah birunya. Agha merupakan satuan mata uang yang digunakan oleh bangsa Amoga.
“Tunggu sebentar Kakek Ren, biar sekalian nanti aku yang bayar dengan baju milik Verintia”
“Akh…, tidak perlu Nyonya Lorga, nanti malah merepotkanmu”
“Sudahlah, tidak apa-apa Kakek Ren, kau sudah banyak membantuku selama ini, jadi biarkan saya yang membayarnya, “nona biar nanti tagihan Kakek Ren dijadikan satu dengan belanjaan saya”
“Baik Nyonya” jawab penjaga toko, ia kembali membungkukkan badan dan pergi melayani tamu lainnya.
“Kalau begitu terima kasih banyak Nyonya Lorga, kalau ada waktu ajaklah Verintia bermain ke Bukit Bhadrasana, karena Mahesa pasti senang dapat teman baru”
“Tentu saja kek, pasti aku akan mengajaknya kesana”
“Kalau begitu aku permisi dulu nyonya Lorga, ada beberapa hal yang harus kulakukan, sekali lagi terima kasih banyak, kau memang pimpinan desa yang baik”
“He… he…, biasa saja Kek, jika memujiku terus kau akan membuatku menjadi semakin sombong, hati-hatilah di jalan, jangan terlalu genit pada wanita di sekitarmu”
“Ha… ha…, kali ini kau membuatku malu Nyonya, “Hoii…, nona kecil, sampai jumpa lain kali, jaga ibumu baik-baik, jangan sampai ada laki-laki yang mendekatinya”
“Baikkk kek” jawab gadis kecil itu singkat.
Kakek Ren kembali mengusap rambut gadis kecil di hadapannya, lalu ia pergi meninggalkan toko pakaian itu, namun baru beberapa langkah saja dia keluar dari toko tersebut, penduduk di sekitar tempat itu tampak berlarian dengan panik.
“Heiii..., kenapa semua orang berlarian semacam ini, sepertinya dari arah alun-alun desa, aku harus segera kesana” gumam Kakek Ren
“Kakek Ren ada apa ini, kenapa semua orang lari ketakutan?”
“Lebih baik kau tetap disini saja Nonya Lorga, jaga Verintia nanti kuberitahu” jawab Kakek Ren sambil melompat dengan cepat melewati beberapa kendaraan di jalan desa tersebut, gerakannya sangat ringan dan cepat, dalam waktu singkat saja ia telah berada di alun-alun desa, terlihat sosok makhluk besar yang sedang makan daging binatang dengan sangat lahap.
“Egrhhh…, rupanya itu penyebabnya, cuma monster yang kelaparan, darimana dia mendapatkan seekor sapi sebesar itu” gerutu Kakek Ren dalam hatinya, ia lalu mengangkat tangannya tinggi-tinggi di atas kepala, (bwuuunggg...) sedetik kemudian aura berwarna hijau menyelimuti tubuhnya, perlahan Kakek Ren mengarahkan kedua telapak tangannya ke arah monster besar yang sedang mengacau di hadapannya, “Hoooiiii…, Monster Ogar, sepertinya kau senang sekali mengacau di tempat ini, carilah makan di tempat lain atau kau akan merasakan gardamostraku lagi”
“Huargggh!, kau lagi kakek tua, sejak dulu kau selalu mengangguku” jawab monster Ogar, suaranya terdengar berat dan garang, pandangan matanya menatap tajam ke arah Kakek Ren, ceceran darah mengotori sebagian wajah dan badannya.
“Justru kaulah yang mengganggu penduduk daerah sini, lihatlah…, mereka semua menjadi ketakutan karena perbuatanmu yang brutal itu, lain kali masaklah dahulu, aku jamin rasanya akan lebih enak”—kakek Ren maju beberapa langkah—“aku masih menghargaimu Ogar, maka itu aku tidak membunuhmu”
“Hergghhhh!, Kalau begitu aku yang akan membunuhmu orang tua” Monster setinggi tiga meter dan bertubuh besar itu langsung berlari ke arah Kakek Ren, senjata kapaknya yang besar dia sabetkan ke berbagai arah, sehingga menghancurkan benda-benda yang terkena sabetannya..
“Dasar monster keras kepala, eghhhh…, ini akan memakan setengah tenagaku, karena aku tidak mau berlama-lama berurusan dengan makhluk ini,” Gerutu Kakek dalam hati, dan sedetik kemudian…“Gardamostraaaaa!” bersamaan dengan mantra yang diucapkannya, dari kedua telapak tangan Kakek Ren muncullah cahaya hijau berbentuk bola besar seperti meteor yang melesat cepat menyambar tubuh monster Ogar dan membawanya terbang ke angkasa.
“Huargghhhh…, kurang ajar kau orang tua, aku akan membalasmu!” maki sang monster.
“Aku sudah memperingatkanmu, ini untuk kedua kalinya kau merasakan gardamostraku, dasar bodoh” ucap Kakek Ren sambil mengepalkan kedua telapak tangannya, bersamaan dengan itu, bola hijau itu langsung menyelimuti tubuh monster Ogar, sedetik kemudian bola itu pun meledak dengan dahsyat (Bhluaaargghhhh!), tak ayal lagi tubuh monster Ogar pun terjatuh menghujam tanah dengan disusul sepuluh cahaya hijau berbentuk bola meteor kecil yang secara cepat dan beruntun menghantam tubuhnya berulang-ulang, hingga membuat monster besar itu menjadi terkapar tak berdaya. Kakek Ren lalu berjalan dengan tenang mendekati monster tersebut.
“Egrhhh…, sial…, kau benar-benar si-sialan orang tua” erangan kesakitan dan umpatan terdengar dari mulutnya. Melihat lawannya telah tidak berdaya Kakek Ren menghentikan serangannya.
“Bagaimana makhluk bongsor, kau ingin melanjutkannya, aku masih punya sedikit waktu untukmu” ucap kakek Ren sambil mengangkat tangan kanannya ke atas, cahaya hijau masih terlihat menyelimuti tubuhnya,
“Egrhhh, ba-baik, aku akan pergi dari sini orang tua, egrhh…, tapi aku akan membalasmu suatu saat nanti” jawab sang monster sambil berusaha berdiri kembali.
“Terserah kau saja, cepat pergilah dari sini dan jangan pernah kembali lagi” sahut Kakek Ren sambil meninggalkan monster Ogar yang sudah tidak berdaya.
“Kau terlalu meremehkanku orang tua, sudah kubilang aku akan membalasmuuu!” teriak sang monster sambil melemparkan kapak besarnya ke arah tubuh Kakek Ren. Karena telah menganggap monster itu telah kehabisan tenaga kakek Ren menjadi lengah, kapak besar milik monster Ogar pun melesat cepat ke arah punggungnya,
“Hah…!” Kakek Ren terkejut mendapat serangan mendadak, dia tidak menyangka monster tersebut akan melakukan hal itu, dan (Crazzhhhh!),
“Euggrhhh…, bagaimana kek, apa kau baik-baik saja?” tanya seorang bocah berambut merah yang tiba-tiba datang dan berhasil menangkap hujaman kapak besar menggunakan kedua tangannya, namun kapak besar itu masih mampu menggores tubuh sang bocah, darah terlihat mulai mengalir dari luka di dadanya, tapi bocah itu hanya tersenyum saja seperti tidak merasakan sakit sedikit pun, “kau tidak usah mengkawatirkan aku kek, aku sudah terbiasa melakukan hal ini” lanjut bocah itu sambil menggenggam erat kapak besar milik monster Ogar.
“Ma-mahesa, a-apa yang kau lakukan!” Kakek Ren sangat terkejut melihat Mahesa tiba-tiba berada di depannya, namun kakek Ren lebih terkejut lagi melihat luka di tubuh Mahesa yang pulih dengan sangat cepat “Hah…, lu-lukanya bisa pulih dengan cepat sekali, bagaimana bisa, ilmu sihir apa yang dimiliki anak ini?” berbagai pertanyaan muncul dalam benaknya, namun belum sempat dia bertanya, Mahesa telah berlari dengan cepat ke arah monster Ogar, kapak besar digenggamnya erat di tangan kanan.
“Dasar kau monster licik, berani-beraninya menyerang dari arah belakang” Mahesa melompat tinggi ke udara, dengan gerakan yang cepat dia melayangkan beberapa tendangan ke dada monster Ogar, hingga membuat monster itu terpental jauh membentur sebuah patung yang berada di alun-alun desa. Baru saja sang monster kembali berdiri, Mahesa telah kembali melayang di atasnya, dan sejurus kemudian ia langsung menyabetkan kapak besar milik Ogar yang berada tangannya, kapak itu pun merobek tubuh monster besar tersebut dan membuat sang monster mengalami luka sangat panjang mulai dari kepala hingga bagian perut.
“Aku kembalikan kapak besarmu ini monster” ucap Mahesa sambil bersalto dan kembali menghujamkan kapak besar itu ke dada monster Algor, (Craazz!) dan akhirnya monster itu tumbang tidak bergerak lagi dengan sebuah kapak yang menancap sangat dalam di dadanya. “Kakek Ren aku sudah menghabisinya” sapa Mahesa sambil berjalan dengan tenang menghampiri kakeknya.
“Kalau begitu ayo kita segera pulang Mahesa” ajak Kakek Ren, namun baru beberapa langkah Mahesa berjalan, tampak beberapa prajurit Amoga telah datang ke tempat itu,
“Berhenti kau orang Asura, meskipun kecil, ternyata kau yang membuat kekacauan ini” kata salah seorang prajurit Amoga sambil menodongkan senapannya. Mendengar suara itu Mahesa sontak menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang, terlihat para prajurit yang telah bediri tegap dengan memegang senjatanya masing-masing.
“Puih…, para prajurit Amoga, dimana pun aku berada kenapa kalian selalu mengusikku” sahut Mahesa sambil berjalan mendekati para prajurit.
“Berhenti bocah, atau kami akan menembakmu!” perintah prajurit itu, namun Mahesa tidak menghiraukannya dia tetap melangkah mendekati para prajurit di hadapannya tanpa rasa gentar.
“Dasar kau bocah Asura, sepertinya kau tidak bisa diberi peringatan, “semuaanya tembak bocah Asura ini!” perintah seorang prajurit tersebut, dan (zuuung…, zuung…, zuung…,) puluhan tembakan pun menembus tubuh kecil Mahesa.
“Hentikan tembakan kalian prajurit Amoga, dasar bodoh kalian!” teriak Kakek Ren sambil berlari mendekati Mahesa.
“Egh…, tenang saja kek, mereka tidak akan bisa melukaiku dengan senjata model begitu” ucap Mahesa.
“Hah…, luka-lukanya pulih kembali dengan cepat, bagaimana bisa?” Kakek Ren terperanjat melihat pemulihan luka pada tubuh Mahesa yang sangat begitu cepat.
“Cuma dua puluh prajurit saja, asal kalian tahu, aku bukanlah orang Asura atau pun orang Amoga, aku adalah aku…!” teriak Mahesa, ia langsung merangsek dan menyerang semua prajurit itu. Mendapat serangan yang mendadak, para prajurit menembaki Mahesa dengan membabi buta.
“Aku pinjam lagi kapakmu monster” ucap Mahesa sembari tangan kanannya menyambar kapak besar yang tertancap di dada monster Ogar, “tebasan kilaat!” dengan cepat dan tak terlihat Mahesa menyabetkan kapak besar tersebut ke arah semua prajurti Amoga, yang terlihat hanya kilatan-kilatan cahaya dari tiap tebasannya, dan hanya dalam waktu lima detik saja, dua puluh prajurit itu telah terkapar tak berdaya di alun-alun desa.
“Egrhhh…, a-aku harus se-segera pergi dari sini” gumam salah seorang prajurit yang masih berusaha bangkit dan mencoba meninggalkan tempat itu. Namun ternyata Mahesa mengetahui pergerakan prajurit tersebut,
“Jangan harap kau bisa lolos” ucap Mahesa sambil melemparkan kapak besar yang digenggamnya, kapak itu pun melesat cepat dan menancap pada punggung prajurit tersebut, hingga membuatnya roboh kembali ke tanah. Mahesa berdiri tegap memandangi semua lawannya yang telah binasa, sorot matanya masih nampak tajam diselimuti oleh emosi yang meluap.
“Inilah yang kutakutkan, bocah ini seperti telah terbiasa dengan pertarungan, aku tidak melihat rasa takut sedikit pun dari raut wajahnya, dia juga tidak ada keraguan untuk menghabisi setiap lawannya, tapi aku tahu dia masih memiliki dasar hati yang baik, aku harus bisa membimbingnya untuk mengendalikan emosi, karena jika tidak, bocah ini bisa tumbuh menjadi pembunuh berdarah dingin, apa lagi sepertinya dia memiliki potensi kekuatan devastra yang akan semakin berkembang, bocah itu akan menjadi benar-benar sangat berbahaya” gumam Kakek Ren dalam hati.
“Mahesa…, Mahesa…, Mahesa!” teriak kakek Ren beberapa kali memanggil Mahesa, anak itu pun tersentak kaget dan memandang kakeknya,
“Iya…, kek” sahut Mahesa”
“Ayo kita pulang nak, sudah tidak ada yang perlu kita lakukan di tempat ini”
Mendengar ajakan kakeknya, Mahesa pun berjalan mendekati sang kakek.
“Kakek makhluk apa itu tadi, baru kali ini aku melihat makhluk sebesar itu”
“Itu monster Ogar, di wilayah Ordeus memang ada beberapa makhluk aneh yang tercipta karena pengaruh teknologi, atau bisa juga dimunculkan dengan ilmu sihir, jadi kau jangan heran jika melihat makhluk seperti itu”
“Ooo…, begitu ya, sangat merepotkan sekali”
“Kau benar, memang sangat merepotkan, kakek sudah dua kali bertarung dengannya”
“Kenapa kakek tidak membunuhnya saja, bukankah monster itu juga ingin membunuh kakek?”
“Tidak sesederhana itu Mahesa, meskipun monster, mereka juga makhluk hidup, masih banyak yang harus kau pelajari tentang kehidupan ini”
“Hmm…, aku masih belum paham kek”
“Tidak usah kau paksakan, suatu saat nanti kau akan memahaminya sendiri, ayo kita segera pulang sebelum pasukan Amoga datang kesini lagi dan melihat rambut merahmu itu”
“Memang kenapa rambut merah ini kek?”
“Tidak apa-apa, cuma saat ini masyarakat Amoga masih sensitif dengan rambut merah, karena rambut merah merupakan ciri khas dari bangsa Asura, “kau tahu sendiri kan bangsa Asura dan Amoga selalu berperang sampai saat ini” mereka berbincang-bincang sambil berjalan menuju toko pakaian.
“Ya…, aku tahu kalau masalah itu kek, aku sering bertarung dengan prajurit-prajurit seperti mereka”
“Hmmm…, kakek mengerti yang kau lakukan, kita ke toko pakaian dulu, kendaraan kakek masih ada di parkiran toko itu, “oya…, bagaimana kau tiba-tiba bisa berada disini”
“Tuan Nagastra yang mengirimku kesini”
“Tuan Nagastra…, mmmm…, siapa dia?”
“Aku sendiri juga belum begitu mengenalnya kek, sebenarnya tadi aku mau tidur, tapi tiba-tiba dia muncul dan memberitahu kalau kakek dalam bahaya, tanpa banyak kata dia langsung mengirimku kemari”
“Eeeee…, misterius sekali ceritamu, nanti kau ceritakan semuanya di rumah, bagaimana Mahesa”
“Baiikk kek” jawab Mahesa singkat.
“Kakek Ren…, Kakek Ren…!” terdengar teriakan seorang wanita dari depan toko pakaian,
“Nyoya Lorga, kau masih disini rupanya” ucap kakek Ren sambil melangkah menghampiri wanita tersebut,
“Tentu saja, aku masih penasaran dengan keributan tadi, memang apa yang terjadi?”
“Monster Ogar, dia datang lagi ke desa ini, jadi terpaksa cucuku ini menghabisinya, aku harap nyonya memakluminya”
“Hmmm…, jadi monster itu lagi yang mengacau,” pandangan nyonya Lorga lalu beralih ke arah Mahesa, dia sedikit merasa aneh dengan penampilan Mahesa, “jadi ini cucumu kakek Ren, dia seperti perpaduan antara bangsa Asura dan Amoga”
“Ya…, kau memang benar, nanti aku akan menceritakannya lebih detail kepadamu”
“Baiklah aku mengerti maksudmu, tunggu sebentar,”—Nyonya Lorga bergegas kembali masuk ke dalam toko pakaian, dan ia segera kembali sambil membawa sebuah topi berwarna biru tua—“anak manis lebih baik gunakan topi ini untuk menutupi rambutmu, agar tidak mengundang perhatian masyarakat dan juga para prajurit Amoga yang berjaga” jawab Nyonya tersebut sembari memasangkan sebuah topi tersebut ke kepala Mahesa.
“Terima kasih Nyonya, topi yang bagus, maaf merepotkan anda”
“Tidak apa-apa nak, siapa namamu”
“Mahesa Nyonya”
“Ooo…, nama yang unik, perkenalkan ini anakku namanya verintia”
“Haiii…!” sapa verintia sambil melambaikan tangannya.
“Haii…!” jawab Mahesa singkat
“Ni…, ambillah, ini roti terenak di Desa Amreta ini” lanjutnya sambil menyodorkan sebungkus roti besar.
“Benarkah?” tanya Mahesa, ia lalu memandang kakeknya sejenak.
“Ambillah Mahesa, kau harus tahu kelezatan roti di desa ini”
“Benar kata Kakek Ren, ayo…, ambillah, tidak usah malu-malu” pinta verintia
“Baik kalau begitu” jawab Mahesa seraya menerima roti tersebut dan memakannya denga lahap.
“Bagaimana Mahesa?”
“Enak sekali verin, lain kali aku minta lagi ya, bawakan aku yang buaaanyak”
“Ha…ha…, kau tidak usah khawatir, mamaku yang punya pabrik roti ini, jadi kau bisa makan sepuasnya”
“Wah…, benarkah, menyenangkan sekali kalau begitu” jawab Mahesa dengan gembira.
Kakek Ren tersenyum lega melihat Mahesa yang sedang makan roti dengan lahap sekali.
“Pandangan mata Mahesa terlihat berbeda kali ini, sekarang ini benar-benar terlihat seperti sorot mata anak-anak, dia bisa tersenyum lepas, beda sekali dengan sorot matanya ketika bertarung di alun-alun desa tadi, aku harus sering-sering mengajaknya ke tempat Verintia, karena kelihatannya gadis kecil ini mampu membawa kembali sifat anak-anak Mahesa yang telah hilang karena berbagai pertarungan yang dialaminya” Pikir kakek Ren, “Wah… wah…, Baguslah…, kalian sudah saling kenal sekarang” sahut Kakek Ren, “Ayo kita pulang Mahesa”
“Baik kek” jawab Mahesa, “sampai ketemu lagi verin, terima kasih banyak untuk rotinya”
“Sama-sama Mahesa, lain kali akan kubawakan yang lebih buuueeesarr” jawab Verintia sembari memutar kedua tangannya membentuk lingkaran untuk menandakan ukuran yang sangat besar.
“Janji ya…” sahut Mahesa, sambil mengangkat jempolnya, ia pun lalu berjalan menuju ke kendaraan Kakek Ren sambil memakan roti pemberian verintia.
“Iya…, aku janji!” teriak Verintia
“Mereka cepat akrab juga Nyonya
“Ya…, begitulah anak-anak, mereka butuh teman sebaya untuk bisa saling berbagi dan bergembira”
“Kau memang benar, cucuku membutuhkan semua hal itu”
“Kau harus sering-sering mengajak Mahesa ke rumah, biar bisa bermain dengan Verintia, kalau perlu sekolahkan saja dia di desa ini”
“Memang itu yang kuinginkan, kau sangat pegertian sekali Nyonya, memang pantas kau menjadi pemimpin desa ini”
“Kakek Ren sudahlah itu cuma hal biasa, masih lebih baik kepemimpinan Kakek Ren dulu”
“Itulah yang aku suka darimu Nyonya, kau selalu merendah, jarang ada pemimpin yang seperti itu” Jawab Kakek Ren, ia lalu memandang sekilas ke arah langit,
“Ada apa Kakek Ren?”
“Hmm…, kelihatannya sudah mulai gelap Nyonya, kalau begitu aku permisi dulu, Mahesa telah menunggu di kendaraan, “Haii…, gadis kecil, terima kasih banyak rotinya” ucap Kakek Ren sembari tangan kanannya mengusap lembut rambut bocah kecil itu, “Oh ya…, maaf nyonya, telah membuat alun-alun desa jadi berantakan”
“Akh…, tidak apa-apa Kakek Ren, yang penting desa ini bisa aman kembali, terima kasih banyak atas bantuannya”
“Sama-sama Nyonya” Jawab Kakek Ren sambil mengangkat tangannya, ia pun masuk ke dalam kendaraan dan bersiap untuk berangkat.
“Ayoo…, kita pulang Mahesa…,” ajak Kakek Ren, “Mahesa…, Mahesa…” karena merasa tidak ada jawaban, lalu ia menoleh ke kursi belakang “Wah…, pantas saja tidak menjawab, rupanya dia telah tertidur pulas, kelihatannya anak ini kekenyangan karena makan roti sebesar itu, semoga kau bisa menjadi lebih baik cucuku” gumam Kakek Ren sambil menyalakan mesin kendaraannya, dan sekejap kemudian, kendaraan itu telah melesat pergi menuju ke Bukit Bhadrasana.
Hanya dalam waktu beberapa menit saja, Kakek Ren telah kembali berada di rumahnya, karena memang jarak dari desa Amreta ke bukit Bhadrasana tidak terlalu jauh, setelah memarkir kendaraan dalam garasi ia langsung menggendong Mahesa dan menidurkannya di sebuah kamar yang terdapat di lantai atas. Setelah itu baju yang baru di beli diletakkan rapi di sebuah meja yang terletak di pojok ruangan. Hembusan angin sore masuk melewati lubang-lubang angin di bagian atas kamar itu, rasa dingin pun mulai terasa, “Pakailah selimut ini bocah, cuaca disini sangat dingin” ucap Kakek Ren sembari mengambil sebuah selimut untuk menutupi tubuh Mahesa. Dia kembali menatap mahesa sejenak, lalu tanpa berkata-kata lagi Kakek Ren melangkah pergi dari kamar tersebut.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketika matahari baru muncul menebarkan sinar cerahnya, Mahesa berjalan mendekati sang Kakek yang terlihat sedang duduk santai di tepi sebuah sungai berair jernih. Suara gemericik air yang mengalir membuat suasana menjadi terasa sangat tenang, hingga membuat hati bocah itu merasa damai, namun di dalam lubuk hatinya masih tersimpan kuat rasa was-was dan keraguan, ada pertanyaan yang mengusiknya, yakni sampai kapan kedamaian seperti ini akan dapat terjaga, karena selama ini anak itu hanya merasakan sedikit kedamaian, sebab sebagian besar hidupnya selalu menjadi buruan dari Bangsa Asura dan Amoga. Ketika sudah begitu dekat dengan Kakeknya ia pun segera duduk di sebelah kanan sang Kakek, sambil bersandar pada sebuah batu besar yang terdapat di tepi sungai, Mahesa mulai menyapa Kakeknya dengan sebuah pertanyaan yang selalu mengganggu hatinya.
“Kakek, apakah kita akan selalu aman berada di bukit ini?”
“Hah…, rupanya kau Mahesa, sejak kapan kau berada disini” jawab Kakek Ren seraya menoleh ke arah bocah tersebut, pertanyaan anak kecil itu membuyarkan lamunannya, “tentu saja kita akan aman disini, coba lihatlah sekeliling tempat ini, indah sekali bukan, kau tahu apa nama tempat ini?”
“Bukit Bhadrasana, itu yang diberitahukan ibu” jawab Mahesa singkat, tangan kecilnya meraih sebuah ranting kering di dekatnya, dia mulai menggores-gores tanah menggunakan ranting itu, sepertinya Mahesa menggambar sesuatu untuk menghibur diri. Kakek Ren mengamati setiap tindakan yang dilakukan Mahesa dengan penuh rasa penyesalan, karena selama ini dia merasa belum pernah memberikan hal yang terbaik untuk cucunya itu.
“Kau benar, bukit ini bernama Bukit Bhadrasana, yang memiliki arti bersemedi”
“Nama yang aneh untuk sebuah bukit”
“Ya…, memang aneh juga, tapi nama itu diberikan karena dulu sekali, sebelum adanya peperangan antara Bangsa Asura dan Amoga, tempat ini digunakan untuk bersemedi dan menenangkan diri oleh penduduk Ordeus, tapi semenjak adanya peperangan beberapa puluh tahun yang lalu, tempat ini sudah tidak banyak dikunjungi lagi, bahkan sekarang tidak banyak orang yang tahu tentang adanya tempat ini, jadi kita pasti akan aman berada disini, kau tidak perlu khawatir”
“Hmm…, jadi seperti itu, lalu kenapa sekarang ini harus ada perang, bukankah itu sangat menyusahkan”
“Ya…, kau memang benar, peperangan memang sangat menyusahkan, sebab peperangan hanya meniggalkan kehancuran, kehilangan, kesedihan, emosi, dan dendam. Di balik peperangan selalu ada ambisi dan arogansi yang tersisipkan, Raja yang bijak akan mengubah hal itu menjadi perlindungan untuk bangsanya.” Kakek Ren menghela napas panjang, perasaannya terasa bercampur aduk pada saat itu, dia merasakan penyesalan dan ketidakmampuan secara bersamaan, lalu dia memandang Mahesa yang berada di sampingnya, anak itu tengah duduk bersandar pada sebuah batu besar, tangan kecilnya menggoreskan coretan-coretan acak pada tanah menggunakan sebuah ranting kecil, Renzo sebagai seorang kakek merasakan bahwa cucunya saat ini sedang merasakan suatu kekecewaan dan kekhawatiran di dalam hatinya, “hei…, Mahesa bagaimana kalau kuceritakan sedikit tentang planet kita ini, apa kau tertarik bocah?” tanya Kakek Ren sambil memukul pelan lengan cucunya,
“Apa ceritanya menarik?”
“Tentu saja ini sangat menarik”
“Benarkah seperti itu kek?”
“Kau dengarkan saja dulu cerita kakek, “ketahuilah Mahesa, planet tempat kita tinggal ini bernama Planet Ordeus, merupakan sebuah dunia yang ditempati oleh berbagai ras, namun ada dua ras yang sangat besar dan mendominasi dalam planet ini, yakni sekelompok bangsa yang dikenal sebagai Bangsa Amoga, seperti ibumu dan kakek, “kebanyakan orang-orang dari bangsa ini memiliki kekuatan sihir yang luar biasa, tetapi tidak semua penduduk Amoga menguasai sihir, namun mereka dikenal karena kemisteriusan berbagai sihir yang dimilikinya”
“Oo…, begitu, pantas saja Ibu begitu berbeda dengan Ayah”
“Ha ha…, tentu saja berbeda, dari penampilannya pun juga berbeda, penampilan fisik orang-orang Amoga semuanya berambut putih keperakan serta bola mata yang berwarna kuning menjadi ciri khas dari bangsa ini”
“Kalau itu aku sudah tahu kek, lalu apa istimewanya ras ini?”
“Tiap ras memiliki keistimewaan sendiri-sendiri, seperti Bangsa Amoga, mereka memiliki sebuah kerajaan besar yang disebut sebagai Kerajaan Conra, moto bangsa ini adalah Keajaiban dari Langit. Maka itu ketika berperang mereka pasti meneriakkan kalimat tersebut untuk membangkitkan semangat bagi para pasukannya agar lebih berani, aku yakin kau pasti pernah mendengarnya Mahesa”
“Ya kek, aku pernah beberapa kali mendengarkan suara mereka meneriakkan kalimat itu, sebelum mereka melakukan suatu serangan yang cukup besar”
“Memang begitulah, teriakan moto itu seperti hal wajib bagi pasukan kerajaan Conra, selain itu simbol kepala burung Phoenix juga tidak pernah ketinggalan, karena burung phoenix adalah lambang kebesaran dari kerajaan mereka”
“Pantas saja para pasukan itu selalu mengibarkan bendera dengan gambar kepala burung phoenix, jadi ternyata itu lambang dari Bangsa Amoga”
“Kau benar Mahesa, dan kerajaan Bangsa Amoga ini dipimpin oleh seorang Amogasidi bernama Adigakala, Amogasidi merupakan julukan untuk penyihir terkuat di wilayah Amoga”
“Wah…, hebat juga Bangsa Amoga, lalu bagaimana dengan bangsa ayahku Kek, apa sehebat itu juga”
“Tentu saja, bangsa ayahmu juga tidak kalah hebatnya” jawab Kakek Ren sambil mengepalkan tangannya penuh kebanggaan, “Bangsa Ayahmu ini bernama Asura dan kerajaanya bernama Ogura, kepala singa menjadi lambang kebesaran dari kerajaan ini, kau tahu kenapa Bangsa Asura menggunakan lambang kepala singa?”
“Tidak tahu kek, memang kenapa?”
“Asal kau tahu Mahesa, lambang kepala singa ini memiliki makna keberanian yang tanpa batas, jadi Bangsa Asura pantang lari dari sebuah pertempuran”
“Wow…, jadi seperti itu artinya”
“Benar sekali, selain keberanian yang luar biasa, bangsa ini merupakan sebuah ras yang memiliki suatu keistimewaan yaitu mereka mampu mengubah bentuk fisiknya menjadi seorang raksasa setinggi hampir 3,5 meter, mereka menamakannya sebagai teknik Natasura, hebat bukan”
“Wow…, itu sangat menakjubkan, aku juga pernah beberapa kali melihat Ayah menggunakan teknik itu untuk bertempur, apa aku juga bisa melakukannya Kek?”
“Ha ha…, untuk menguasai teknik Natasura kau harus rajin berlatih Mahesa, karena tidak semua bangsa Asura mampu menguasai teknik ini, hanya orang Asura yang memiliki kekuatan devastra tingkat dua saja yang mampu mengubah wujudnya menjadi wujud raksasa”
“Ooo…, jadi perlu latihan yang sangat keras untuk menguasai natasura ini, berat juga kedengarannya”
“Tentu saja, untuk bisa menjadi bentuk natasura kau harus berlatih sejak kecil, “dan yang lebih penting serta menjadi ciri khas dari bangsa ini adalah mata yang berwarna hitam kelam dan rambut merahnya”
“Betul juga, mata ayahku semuanya hitam kelam, seperti tidak memiliki bola mata, memang lumayan keren, tapi terkadang terlihat menakutkan”
“Ha… ha… ayahmu memang sedikit menakutkan, tapi Kakek akui ayahmu seorang pemberani dan penuh percaya diri, jadi kita lebih baik percaya diri daripada minder, kau ingat itu baik-baik Mahesa” jawab Kakek Ren sembari mengusap-usap rambut Mahesa. “dan ada lagi keunggulan dari Bangsa Asura ini yaitu selain memiliki kekuatan fisik yang luar biasa, Bangsa Asura juga ahli dalam bidang teknologi, sehingga mereka memiliki berbagai alat canggih yang mereka manfaatkan dalam bidang militer, fasilitas umum, dan berbagai hal lainnya”
“Tapi apa Bangsa Asura juga memiliki seorang raja yang kuat Kek?”
“Tentu saja Bangsa Asura memilikinya, raja mereka bernama Raja Ropadama, rakyat Asura menjuluki raja tersebut sebagai Arkasura yakni julukan untuk orang terkuat di Asura”
“Ternyata sama juga dengan Bangsa Amoga, lalu apa moto dari bangsa ini?”
“Ingatlah baik-baik, moto Bangsa Asura adalah Kejayaan, Kehormatan, dan Kemuliaan” ucap Kakek Ren sambil mengepalkan tangannya dan mengangkatnya ke atas.
“Wah…, bersemangat sekali Kakek ini”
“Tentu saja, ayo kita ucapkan Bersama-sama, teriakkan dengan kencang Mahesa, jangan lupa kepalkan tanganmu dan angkat tinggi-tinggi, apa kau siap bocah”
“Siiiaappp Kek!”
“Baiiikkklaaahh…, mulai…!”
“Kejayaan, Kehormatan, dan Kemuliaan!”
Mereka meneriakkan moto Bangsa Asura dengan suara yang sangat keras, semua beban dalam hati dikeluarkan melalui teriakan itu,
“Lebih keras lagi Bocah!”
“Kejayaan, Kehormatan, dan Kemuliaan!”
Mereka kembali meneriakkan moto itu dengan suara yang lebih keras lagi, Mahesa pun tampak terengah-engah setelah berteriak dengan sekencang-kencangnya,
“Ha ha…, bagus sekali cucuku, bagaimana apa kau merasa sedikit lega”
“Ya… kek, rasanya seperti bebas sekali”
“Itulah manfaatnya berteriak di alam bebas Mahesa, bisa memberikan rasa bebas pada diri kita, moto itulah yang dulu pernah memberikan semangat pada diri ayahmu ketika bertempur, kakek yakin ayahmu selalu memiliki kebanggan terhadap Bangsa Asura”—Kakek Ren menghentikan kata-katanya sejenak, dia menghela napas Panjang—“namun diantara semua perbedaan yang ada, Bangsa Amoga dan Asura juga memiliki hal yang sama, yakni orang-orang dari bangsa ini mampu memunculkan dan mengendalikan sebuah tenaga murni dalam diri mereka yang disebut sebagai Devastra.”
“Devastra…, apa itu Kek? kelihatannya sangat istimewa” Tanya Mahesa sambil mengerutkan dahinya.
“Ini memang suatu hal yang sangat istimewa Mahesa, karena devastra merupakan energi murni dalam diri manusia, energi ini dapat memberikan kekuatan yang sangat besar bagi orang-orang yang mampu menguasai serta mengendalikannya. “Di Ordeus ini Devastra dibagi menjadi lima tingkatan yaitu tingkat 1 disebut sagtra, tingkat 2 dagtra, tingkat 3 tagtra, tingkat 4 gastra, dan tingkat 5 arunastra. Tiap tingkatan devastra akan melewati empat tahapan, pada setiap tahap cahaya energi devastra akan semakin besar dan menyilaukan, jika sudah mampu mencapai tahap keempat maka akan muncul kilatan-kilatan cahaya berwarna putih yang menghiasi tubuh penggunanya.
“Wah…, apa benar seperti itu Kek?”
“Tentu saja Mahesa, devastra tingkat sagtra memiliki cahaya aura berwarna merah, meskipun tingkat bawah pemilik devastra ini sudah dikategorikan sebagai petarung yang tangguh, karena sulitnya mempelajari dan menguasai tenaga murni devastra, sebab tidak semua orang di Ordeus mampu menguasai devastra, hanya orang-orang tertentu saja yang dapat menggunakannya. Tingkat dagtra, cahaya dari tenaga murni akan berubah menjadi hijau, selanjutnya tingkat tagtra cahaya akan berubah menjadi biru, tingkat inilah batasan tubuh manusia, karena jika melebihi tingkat tiga atau tagtra ini maka tubuh manusia akan hancur sebab tidak mampu menampung besarnya kekuatan devastra tingkat berikutnya”
“Jadi tidak manusia yang devastranya lebih dari tingkat tagtra kek?”
“Ya... begitulah, sampai saat ini belum ada manusia yang tubuhnya mampu menahan devastra lebih dari tingkat tagtra”
“Berarti manusia tidak mungkin menguasai devastra tingkat empat kek?”
“Secara teori memang seperti itu, tetapi ada kemungkinan tubuh manusia mampu menguasai devastra lebih dari tingkat tiga, hanya saja sampai sekarang belum ada”
“Benarkah, manusia seperti apa nantinya yang mampu menguasai lebih dari tingkat tiga?”
“Kakek sendiri belum tahu manusia seperti apa itu, karena sampai sekarang pun kakek belum pernah melihat manusia yang memiliki kekuatan devastra lebih dari tingkat tiga, yakni tingkat empat”
“Begitu ya, kalau begitu seperti apa devastra tingkat empat yang langka itu kek?”
“Devastra tingkat empat atau tingkat gastra, merupakan devastra yang memiliki cahaya tenaga murni berwarna putih serta agak menyilaukan mata orang yang baru melihatnya, dan jika manusia mampu meningkatkan kekuatan devastranya lagi, maka tingkat yang terakhir adalah bernama Arunastra tingkatan devastra tertinggi di Ordeus. Tingkat arunastra ini memuliki cahaya tenaga murni yang berwarna kuning keemasan yang sangat menakjubkan”
“Hmmm…, sepertinya sedikit rumit Kek, banyak sekali tingkatannya”
“Wah…, kau sulit memahami rupanya, baiklah akan kugambarkan tingkatan devastra yang ada di Ordeus agar kamu mudah memahaminya” lalu Kakek Ren mengambil sebuah ranting yang cukup kuat dan menggambarkan tingkatan devastra pada tanah datar di dekatnya. “Perhatikan gambar ini baik-baik Mahesa”
“Oo…, jadi seperti itu, setiap tingkat devastra setelah melalui empat tahapan, maka baru bisa naik ke tingkat berikutnya”
“Tepat sekali Mahesa, diantara semua kekuatan itu…, saintvastra dianggap sebagai kekuatan legenda, sebab belum diketahui tentang saintvastra, entah kekuatan itu ada atau tidak, sebab saintvastra dipercaya sebagai kekuatan milik para dewa”
“Saintvastra ya…, kalau memang benar-benar ada, itu pasti kekuatan yang sangat luar biasa sekali Kek”
“Benar Mahesa, masyarakat Ordeus menganggap hanya para dewa yang mampu memilikinya, tapi kau tidak perlu memikirkan sejauh itu, yang penting kau bisa cepat paham tentang devastra, jika kau cepat paham berarti kau memang cerdas seperti aku ha…, ha…”
“Huiiiih…, Kakek ternyata juga terlalu percaya diri sekali”
“Ha ha…, dan rasa percaya diri itu sudah aku wariskan kepadamu Mahesa, berbahagialah kau cucuku”
“Tapi rasanya biasa saja, tidak ada bahagianya”
“Wah…, kau ini harus belajar percaya diri kalau begitu”
“Huih, aku rasa tidak perlu mempelajari hal seperti itu, lagi pula sekarang devastra Kakek sudah sampai tingkat berapa?”
“Pertanyaanmu personal sekali, tapi baiklah aku akan kujawab, kalau ayah dan ibumu sudah mencapai tingkat Dagtra Tahap empat” jawab Kakek Ren sambil memberikan tanda centang pada gambar devastra yang telah ia buat, sedangkan kakekmu ini, jauh lebih kuat lagi, karena kakek sudah mencapai tingkat Tagtra tahap dua”
“Wah…, ternyata hebat juga kau Kek”
“Ha ha…, itu pasti, bersemangatlah Mahesa, oh ya…, dan perlu kau tahu, karena kekuatan yang luar biasa dari tenaga devastra ini, banyak sekali orang-orang dari Ordeus yang berusaha mempelajarinya, tetapi kekuatan-kekuatan yang besar ini justru malah menimbulkan berbagai perselisihan antar kerajaan di Ordeus, karena setiap kerajaan berambisi untuk menjadi kerajaan tunggal yang terkuat, seperti kerajaan milik bangsa Amoga dan Asura, ya… kira-kira seperti yang kita rasakan sekarang, sudah hampir lima puluh tahunan antara bangsa Amoga dan Bangsa Asura terlibat perselisihan, kerajaan mereka yakni Kerajaan Conra milik Bangsa Amoga dan Kerajaan Ogura milik Bangsa Asura saling menyerang, hal ini menyebabkan tidak adanya perdamaian di Ordeus”
“Lalu selain ambisi berkuasa dan ingin menjadi yang terkuat apa ada penyebab lainnya Kek, kenapa perang berlangsung begitu lama sekali?” tanya Mahesa karena penasaran dengan situasi Ordeus saat ini.
“Sebenarnya penyebab peperangan ini adalah perebutan sebuah wilayah bernama Sencora, karena di wilayah tersebut diperkirakan terdapat sebuah buku yang bernama buku Gora”
“Buku Gora, buku apa itu Kek, kenapa diperebutkan sampai puluhan tahun, apa memang sangat hebat sekali bukunya”
“Menurut cerita turun temurun buku itu berisi sebuah pengetahuan tentang cara membangkitkan dan mengendalikan tujuh monster legenda yang memiliki kekuatan sangat besar, jadi kerajaan yang bisa mendapatkan dan memiliki buku itu secara otomatis akan memiliki kekuatan yang sangat luar biasa untuk menguasai seluruh wilayah Ordeus, dan tentu saja bisa menjadi kerajaan yang tak terkalahkan, hal itulah yang diinginkan semua raja di Ordeus, menjadi penguasa tunggal yang kuat, meskipun harus melakukan berbagai cara seperti peperangan ini”
“Jadi Buku Gora itu yang menjadi sumber peperangan di Ordeus, lalu kenapa sampai sekarang masih belum dapat ditemukan Buku Gora itu Kek, apa mungkin itu hanya sebuah dongeng saja?”
“Bisa juga seperti itu, karena sampai sekarang masih belum diketahui tepatnya ada dimana letak buku itu. Dua kerajaan itu pun masih saling berburu dan menyerang untuk lebih dulu mendapatkan buku misterius tersebut, karena mereka percaya dan yakin bahwa Buku Gora itu benar-benar ada di Ordeus”
“Kalau begitu untuk menghentikan peperangan ini kita harus menemukan dan menghancurkan Buku Gora itu Kek, supaya tidak ada lagi yang memperebutkannya, dan Planet Ordeus bisa menjadi tempat yang damai kembali”
“Yaap…, kau tepat sekali Mahesa, tapi ada satu hal lagi yang menyebabkan perpecahan di Ordeus”
“Hah…, masih ada lagi, banyak sekali, hal apa itu Kek”
“Sejak dulu, bangsa-bangsa di Ordeus masih membanggakan rasnya sendiri-sendiri, mereka menganggap bahwa bangsa merekalah yang paling baik, sehingga di Ordeus mereka tidak mengakui keunggulan dari bangsa lain,”—Kakek Ren menghentikan kata-katanya sejenak dan memandang langit yang terlihat cerah pada pagi itu, dia kembali menghela napas panjang dan melanjutkan penjelasannya,—“seperti yang kita alami sekarang Mahesa, ayah dan ibumu telah diburu oleh dua bangsa sekaligus, yakni bangsa Amoga dan Bangsa Asura, bangsa kami sendiri, bangsa yang sebenarnya sangat ayah dan ibumu banggakan, hal ini karena mereka dianggap telah mengkhianati bangsanya, sebab ayah dan ibumu ini telah melakukan pernikahan beda bangsa, dan hukuman untuk hal itu adalah hukuman mati, maka itu Mahesa, kau adalah satu-satunya keturunan dari dua bangsa yakni bangsa Amoga dan Bangsa Asura, ubahlah prinsip semacam itu, karena semakin banyak warna akan terlihat semakin indah, daripada hanya satu warna, kau paham maksud kakek ”
“Yap…, aku paham Kek, tidak seharusnya ada perbedaan ras di Ordeus, agar Ordeus menjadi tempat yang indah”
“Cocok…, tepat sekali Mahesa, itulah yang aku maksudkan” jawab Kakek Ren sambil mengacungkan dua jempolnya ke arah Mahesa, “di Ordeus ini sebenarnya banyak sekali ras yang berbeda-beda, hanya saja mereka masih bersifat kedaerahan, masih mengutamakan koloninya masing-masing”
“Lalu sampai kapan hal ini akan terus terjadi Kek ”
“Entahlah Mahesa…,” Jawab Kakek Ren singkat dan lirih sambil menundukkan kepalanya, “sebenarnya ayah dan ibumu cuma menginginkan satu hal, yakni persatuan di Ordeus, tidak ada lagi perbedaan antar ras, semuanya hidup saling berdampingan, saling menghargai, entah dia berasal dari Amoga ataupun Asura, semuanya saling membantu dan menghormati, karena tiap ras memiliki kelemahan dan keunggulannya masing-masing” suara Kakek Ren terdengar agak keras dan penuh semangat. Mahesa menatap wajah Kakeknya, mendengar cerita dari sang kakek, rasa bangga terhadap orang tuanya semakin muncul, Mahesa menjadi mengagumi prinsip yang dipegang kedua orang tuanya, prinsip itulah yang saat ini ingin ia wujudkan.
“Baiklah kalau begitu Kek, aku akan selalu berlatih dan belajar, akan kutemukan buku Gora itu, dan akan kuhilangkan perbedaan ras di Ordeus, agar semua orang bisa hidup tenang dan tidak saling berperang” ucap Mahesa sambil berdiri dengan semangat yang meluap-luap.
“Wah…, wah…, ternyata rasa percaya diriku benar-benar telah kau warisi Mahesa, ha…, ha…, berjuanglah cucuku, wujudkan keinginanmu itu, kau pasti mampu melakukannya”
“Yaaaappp, itu pasti kek” jawab Mahesa singkat. “tapii…”
“Kenapa Mahesa, kenapa kau tiba-tiba lesu begitu”
“Jika melihat para prajurit Asura atau Amoga…, egrhhhh…, aku jadi ingat Ayah dan Ibu, dan hal itu membuatku ingin memusnahkan semua bangsa Asura dan Amoga, benar-benar kurang ajar mereka semua” gerutu Mahesa, sorot matanya kembali terlihat ganas,
“Mahesa, dengarkan kakek baik-baik dan pikirkanlah, Kalau kau ingin memusnahkan semua bangsa Asura dan Amoga, berarti kau juga harus membinasakan kakek dan juga verintia, gadis kecil di desa yang memberimu roti, apa kau ingat gadis itu?”
“Iya kek aku ingat, kelihatannya dia baik”
“Apa kau tega menghabisi gadis kecil itu, apa dia punya kesalahan terhadapmu, jika kau memang melakukannya berarti kau sama saja dengan pasukan dari bangsa Asura atau Amoga, apa kau benar-benar ingin seperti mereka?”
“Tidak Kek, karena aku sangat membenci semua pasukan itu, tapi…, jika melihat mereka semua pasukan itu, dadaku menjadi sesak dan sangat ingin sekali menghabisinya”
“Kakek paham perasaanmu Mahesa, Kakek juga merasakan hal yang sama sepertimu, karena Ibumu Alvirti adalah putri satu-satunya Kakek, dia adalah orang yang sangat Kakek sayangi, mengetahui dia telah dibunuh oleh pasukan Asura, hati kakek juga merasakan sesak Mahesa, Kakek juga ingin menghabisi mereka semua, “tapi membunuh bukanlah suatu cara yang akan membuat kita bahagia, membunuh tidak akan menyelesaikan semuanya, dan membunuh juga tidak dapat mengembalikan kedua orang tuamu, aku yakin Ayah dan Ibumu juga tidak ingin kau menjadi seorang pembunuh”
“Lalu…, apa yang harus aku lakukan Kek”
“Buatlah bangga Ayah dan Ibumu, wujudkan prinsip dan keinginan mereka semasa hidup, dan jadilah pahlawan di Ordeus ini”
Mendengar penjelasan Kakeknya, Mahesa hanya terdiam saja, pandangannya menerawang jauh, tapi dalam dasar lubuk hatinya dia memahami apa yang dikatakan Kakeknya adalah hal yang benar. Lalu dia beranjak dari duduknya dan berdiri tegap,
“Baik kek…, aku paham semuanya, aku akan berusaha untuk mewujudkan keinginan orang tuaku”
“Bagus sekali, itu baru namanya cucuku yang handal,” sahut Kakek Ren seraya menepuk-nepuk bahu Mahesa, “Mahesa kalau kakek boleh tahu ceritakan tentang Nagastra, katamu dia yang mengirimmu ke alun-alun desa, siapa dia?”
“Mmm, Tuan Nagastra…” Mahesa berpikir sejenak “aku tidak begitu mengenalnya kek, aku bertemu dia di pinggiran hutan wilayah kota Zortium, yang aku ingat penampilannya agak aneh, dia memiliki sepasang sungut di dahinya, dan tangannya selalu memegang tongkat emas berukir naga, selain itu ada seekor naga raksasa berwarna merah bernama Gardaka yang selalu mengikutinya, naga itu kelihatan patuh sekali kepada tuan Nagastra, “sebelum pergi, dia memberiku sebotol minuman bernama darah Akral, minuman itulah yang membuat tubuhku jika terluka akan pulih dengan cepat, serta menjadikan tulangku sekeras baja, selain itu darah akral juga menjadikanku menguasai sihir elemental, hanya saja aku belum begitu menguasainya kek he…he…” jelas Mahesa sembari tersenyum.
“Begitu ya…, hebat juga minuman itu, coba kau tunjukkan kekuatan sihir elemental itu Mahesa, kakek ingin melihatnya”
“Baik kek”
Mahesa lalu memejamkan matanya untuk berkonsentrasi, telapak tangannya dibuka lebar-lebar, tak berapa lama sinar merah mulai menyelimuti tubuhnya, dan secara ajaib di atas telapak tangannya muncul empat buah boal kecil yang terbentuk dari api, air, angin, dan kilatan-kilatan petir. Kakek pun menjadi terperanjat melihat hal itu, dalam hati dia berpikir,
“Hah…, Mahesa, dia benar-benar menguasai empat elemen alam, orang Ordeus saja tidak mampu mempelajari hal itu, umumnya setiap orang hanya mampu menguasai satu elemen alam, itu pun manusia tersebut harus memiliki devastra tingkat dua, “apa mungkin hal ini juga bisa dihubungkan dengan gerbang Arkara, aku jadi penasaran sekali…, “Nagastra dan darah Akral, aku harus segera mencari tahu tentang hal itu.”
“Huft… huft…, bagaimana Kek, apa sudah cukup? kekuatan elemental ini sangat menguras tenagaku huft… huft…” tanya Mahesa, sembari tangan kirinya menyeka keringat di dahi yang mulai bercucuran. Pertanyaan Mahesa itu membuat Kakek Ren yang tengah berpikir menjadi tersentak kaget,
“I-iya…, sudah… sudah cukup Mahesa” sahut Kakek Ren.
“Syukurlah kalau begitu, Tuan Nagastra juga memberiku sebuah lembaran merah bergambar sebuah simbol dan serangkaian kalimat mantra, jika umurku sudah mencapai 25 tahun aku boleh menggunakan gambar dan mantra ini, tapi aku belum tahu apa maksudnya”
“Benarkah, hmm… berarti 15 tahun lagi, waktu yang cukup lama, lalu dimana lembaran merah itu Mahesa?”
“Aku menyimpannya di kamar, tetapi aku sudah mengingat bentuk gambar dan mantranya, aku yakin gambarnya seperti ini” jawab Mahesa, lalu tangan kecilnya mengambil sebuah ranting yang agak panjang, dan ia menggambarkan sebuah simbol di tanah menggunakan ranting tersebut. Kakek Ren mengamati dengan sangat detail simbol berbentuk unik yang digambarkan oleh Mahesa.
“Simbol itu, sepertinya aku pernah melihatnya, jika begini aku harus membuka-buka kembali buku lama” pikir Kakek Ren, “apa ada yang lain lagi Mahesa?”
“Tidak ada kek, cuma itu yang diberikan kepadaku”
“Kalau begitu besok pagi kau ikut kakek ke puncak Bukit Bhadrasana, ada yang ingin kakek beritahukan kepadamu”
“Apa itu kek, kelihatannya menarik”
“Ha ha…, tentu saja sangat menarik, karena ini adalah rahasia keluarga kita, jadi besok kau lihat saja sendiri, “sekarang ayo…, kita pulang Mahesa, sudah waktunya makan, apa kau tidak pernah merasa kelaparan”
“Iya Kek, aku sudah sangat kelaparan, tapi apa Kakek bisa memasak?”
“Wah…, kau benar-benar meremehkanku cucuku, lihat dan rasakan saja masakanku nanti, pasti kau akan ketagihan”
“Kenapa sepertinya tidak meyakinkan begitu ya…”
“Ha…,ha… percayalah padaku bocah, ayo susul kakek, aku ingin tahu seberapa kuat dan cepat larimu” ajak Kakek Ren sambil melompat dan mulai berlari.
“Kakek tunggu aku, kenapa tidak dihitung dulu?” teriak Mahesa, ia pun juga segera berlari menyusul kakeknya.
Mereka berdua pun pulang dengan berlari sangat cepat menyusuri jalan setapak yang ada di Bukit Bhadrasana, dan sesekali mereka terlihat melompat di atas pepohonan besar yang tumbuh di bukit tersebut, meskipun masih kecil Mahesa tergolong memiliki kekuatan yang luar biasa, karena peperanganlah yang selama ini telah menempa kehidupannya.