Aku percaya akan adanya takdir. Aku juga tidak menampik jika semua yang terjadi di dunia ini merupakan ketentuan yang telah ditetapkan oleh sang Pencipta. Tak perduli sejauh apapun aku berlari dan bersembunyi, jika memang itu sudah menjadi garis hidupku, maka tak akan pernah bisa untuk aku hindari. Aku menikah dengan Devan karena takdir. Aku mengandung anak Devan di saat aku sedang sayang-sayangnya dengan Kenzo, itu juga karena takdir. Aku tak bisa mengelak ataupun menghindarinya, meskipun aku menginginkannya.
Seluruh keluarga kami sudah mengetahui tentang berita kehamilanku. Mereka semua merasa senang, dan kami pun akhirnya kembali tinggal di rumah keluarga Devan. Katanya supaya orangtua Devan bisa merawatku saat Devan tidak ada didekatku.
“Makan buah bagus untuk janin”
Aku menoleh kearah dimana suara bariton itu berasal. Kulihat Devan tengah melangkahkan kakinya perlahan menuju kearahku, dengan membawa semangkuk penuh buah apel yang sudah dipotong dadu. Entah ini karena hormon kehamilan atau karena alasan lainnya, setiap kali aku melihat wajah Devan, aku tak bisa menahan air mataku. Aku selalu ingin menangis, lalu memeluk tubuhnya dengan sangat erat.
“Nangis lagi? Mau dipeluk?”
Aku menangguk pelan. Setelah mengetahui kalau aku hamil, kami kembali ke sifat kami seperti semula. Sangat disayangkan memang, Devan tidak lagi manja kepadaku.
“Kenapa ngga tiduran aja di kasur? Kan bisa nonton sambil tiduran. Di sofa gini apa nyaman?” Tanya Devan sembari mendudukkan diri tepat di sebelahku.
Aku meraih lengannya, memeluknya dari samping dengan manja sembari mengistirahatkan kepalaku di ceruk lehernya.
“Kayak gini lebih nyaman” Ucapku, tanpa menoleh kearahnya. Sebab drama korea yang tengah terputar di depan kami jauh lebih menarik bagiku.
“Besok mau masuk kuliah?”
“Ngga”Jawabku tanpa ragu.
“Kok gitu?.”
“Ribet. Udah mau jadi ibu masih aja mikirin pelajaran. Tata pusing.”
Devan menggerakkan tubuhnya, sengaja melepaskan tanganku dari lengannya. Tentu saja kelakuannya itu berhasil membuatku mengalihkan perhatianku menjadi ke arahnya.
“Ngga boleh gitu. Paling ngga kamu selesaiin S1 dulu.” Ucapnya sembari menatap mataku. Oh Tuhan, aku masih saja tidak bisa menatap matanya yang menenggelamkan itu.
“Tata masih mual, nanti yang ada malah ngerepotin temen-temen. Ngga enak juga sama dosennya.”
Mendengar penuturanku, Devan memberikanku tatapan menyelidik "Kamu takut ngerepotin temen atau takut tiba-tiba ketemu Kenzo?"
Deg!
Ah, aku hampir saja melupakan laki-laki itu.
“Mana ada. Emang Tata harus takut kalau ketemu kak Ken?”
“Ya,,,mungkin aja kamu takut hancurin hati dia karena pembuahannya ternyata berhasil”
“Kok jadi kearah situ sih! Udah ah, males ngomong sama kakak” Ucapku kesal, sembari meninggalkan Devan yang masih terdiam disana. Aku tidak suka, entah mengapa Devan menjadi sedikit mesum akhir-akhir ini.
*****
Langit semakin menggelap, bukan karena akan ada badai atau semacamnya. Itu hal normal. Hanya merupakan pergantian siang menjadi malam. Devan baru saja pulang dari kampus dengan wajah lesu. Tadi dia pamit kepadaku untuk berkumpul bersama teman-temannya, entah apa yang mereka lakukan sampai Devan terlihat kelelahan.
“Kak”
Devan berjalan menghampiriku yang duduk di pinggir ranjang. Dia duduk dilantai tepat menghadap kearahku.
“Hmm?” Gumamnya, menjawab panggilanku.
“Kenapa ngga duduk diatas?”
“Aku belum mandi, takut bawa sesuatu dari kampus. Kamu kan lagi hamil muda.”
“Oh”
“Tadi mau ngomong apa?” Tanyanya, dengan nada lemah. Devan memang terlihat benar-benar lelah saat ini. Aku tidak tega, tapi keinginanku ini terus saja memaksa ingin dipenuhi.
“Tata pengen main busa” Ucapku pada akhirnya.
Devan terlihat berfikir sejenak “Busa apa?”
“Busa dari sabun”
“Yaudah sambil mandi sana”
Aku menggigit bibir bawahku, merasa ragu untuk mengungkapkan hal yang sebenarnya ingin aku lakukan “Masalahnya Tata baru aja mandi”
“Terus?”
“Ya gimana dong?” Aku berharap Devan akhirnya dapat menangkap maksudku.
“Ya aku juga ngga tahu. Kan kamu yang punya keinginan, cari sendiri lah solusinya”
“Hmm,,,tapi dirumah kita cuma ada sabun cair. Padahal Tata maunya bikin busa dari sabun batangan”
“Yaudah nanti aku beliin ke supermarket sehabis mandi”
Ah, sudahlah. Aku menyerah. Devan sama sekali tidak peka “Gimana kalau Tata mandiin kakak aja?”
Uhuk!!
Devan terbatuk, entah tersedak apa.
“Maksud kamu gimana?”
Aku menggaruk tengkuk leherku “Yah kan biar bisa bikin busa sepuasnya”
Devan membelalakan matanya, lalu dengan cepat menolak permintaanku “Ngga, aku ngga mau”
“Kenapa?” Tanyaku dengan nada kesal.
“Geli, Ta”
“Geli dalam artian apa nih?” Tanyaku sembari mendekatkan wajahku ke wajahnya.
“Jijik!” Ucapnya sembari mendorong wajahku menjauh.
“Ih, kok jijik sih, bukannya kita juga udah ngelakuin yang lebih dari itu?”
“Ya,,,ya pokoknya aku ngga mau”
Devan masih bersikukuh dengan pendiriannya, yang membuatku semakin merasa kesal “Kenapa?!”
Devan meringis “Bahaya Ta”
“Bahaya kenapa?”
“Kalau adek aku bangun gimana?”
“Ya apa urusannya? Kayak Davin suka masuk sembarangan aja”
Devan menghela nafas panjang “Bukan itu maksud aku. Kamu ini, udah hamil masih aja polos. Kurang-kuranginlah kepolosannya. Pikirannya kotorin dikit, biar nyambung sama aku yang udah dewasa ini”
“Maksudnya?”
“Adik yang aku maksud itu yang ini” Ucap Devan sembari melirik kearah resleting celananya. Bodoh, kenapa juga aku harus mengikuti arah pandang Devan yang membuatku susah menelan salivaku sendiri.
“Aku ngga mau ambil resiko. Kita belum nanya apakah boleh melakukannya saat hamil muda atau ngga”
“Ih, apaan sih. Orang Tata cuma mau mandiin kakak doang aja ribet! Yaudah Tata minta Davin aja” Ucapku sembari bangkit dari ranjang, berniat untuk pergi.
Dengan cepat Devan menahan tanganku “Mau kemana?”
“Ke Davin lah!”
Devan mengerutkan keningnya “Mau ngapain?”
“Mandiin”
Mata Devan membola, dan tentu saja sangat sulit bagiku untuk menahan tawa karena melihat ekspresinya itu. Ayolah, aku tidak segila itu yang ingin memandikan adik iparku hanya karena tidak diperbolehkan untuk memandikan suamiku sendiri.
“Jangan! Yaudah kamu mandiin aku”
Nah, bagus juga kan strategiku kali ini.
“Gitu dong dari tadi. Giliran Luna yang minta sesuatu, langsung diturutin. Pilih kasih banget”
“Luna ngga pernah minta untuk mandiin aku” Gerutunya pelan.
“Terus kalau dia minta, kakak mau nurutin gitu?”
“Ya ngga lah!!”
“Baguslah, kalau sampe iya. Tata daftarin nama kakak dan Luna ke om malik”
“Malik siapa?”
“Malaikat penjaga pintu neraka”
“Astagfirullah Ta, mulutnya. Udah sampe sini aja deh, nanti yang ada kita ribut terus.”
“Makanya, jangan macem-macem”
Devan tidak menanggapi ucapanku, mungkin dia takut jika kami akan kembali berdebat “Jadi ngga mandiinnya?”
“Jadi lah, tapi beliin sabun batangnya dulu”
Devan bangkit dari duduknya
“Hmm” gumamnya tanpa minat.
“Marah?”
“Ngga”
“Tuh kan marah”
“Ngga Tata”
“Kalau marah bilang aja, ngga usah bohong kayak gitu”
“Iya aku kesel! Ribet banget, banyak maunya” Ucap Devan dengan sedikit menaikan suaranya.
“Kok jadi nyalahin Tata sih! Emang Tata hamil dapet siapa? Kalau belum siap sama hal begini, ngga usah hamilin orang lain”
“Mulutnya Ta”
Aku mengernyit bingung “Dimana letak kesalahannya?”
“Yang aku hamilin itu istri sendiri, bukan orang lain” Ucapnya sembari berlalu pergi keluar kamar.
lanjut donk.. gak sabar nihhh
Comment on chapter Sisi lain