Loading...
Logo TinLit
Read Story - Temu Yang Di Tunggu (up)
MENU
About Us  

Prasangka Davin di pagi itu membuat kami semua diburu rasa penasaran. Seolah merasa tak puas jika tidak segera dibuktikan. Sesuai rencana, sepulang kuliah kami semua pergi ke dokter kandungan untuk mendapatkan jawaban yang lebih pasti. Jujur saja perasaanku benar-benar campur aduk saat ini. Di satu sisi aku belum siap untuk menjadi seorang ibu, tapi di sisi lain aku juga takut kecewa jika memang bayi itu tidak ada di dalam rahimku.

Begitu kami sampai ditempat tujuan, Davin, Eca, dan Dewa langsung memposisikan diri dengan duduk di kursi tunggu yang tersedia di luar ruangan. Sementara aku dan Devan langsung mengisi formulir pendaftaran di resepsionis rumah sakit ibu dan anak itu. Lalu tidak lama kemudian seorang perawat wanita memanggil namaku, menitahkanku untuk segera masuk ke dalam ruangan. Untunglah saat ini kami satu-satunya pasien yang mendaftar.

Ketika memasuki ruangan yang di dominasi dengan warna putih itu, jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Ternyata sampai saat ini, aku masih saja menjadi seseorang yang tidak berani dalam menghadapi kenyataan. Aku benar-benar tidak siap, untuk apapun hasil yang akan keluar nanti.

"Mba Aulia mau cek kehamilan yah?"

Tenang, dokter itu bukanlah cenayang. Tadi dia sempat membaca terlebih dahulu formulir yang kami isi sebelum masuk ke ruangan ini.

"Iya, dok"

Dokter cantik itu tersenyum manis "Ini suaminya yah?" Tanya dokter itu sembari melirik kearah Devan. Sedangkan yang dilirik justru sibuk memperhatikan seluruh ruangan. Mungkin baginya gambar-gambar mengenai perkembangan janin lebih menarik dibandingkan orang yang ada dihadapannya saat ini.

"Iya dok" Jawabku, mewakili pria batu di sebelahku.

"Sebelumnya apa sudah pernah test sendiri?"

Aku tersenyum ragu "Belum dok, memangnya harus yah?"

Dokter tersebut menatapku dengan tatapan bingung. Entah apa yang ada dalam benaknya.

"Emm,,,kalau begitu apa mbanya mengalami morning sickness kayak mual, pusing dan lain sebagainya?"

Aku meringis, memaksakan agar senyuman terbit diwajahku "Belum sih dok, ini juga baru dugaan temen-temen"

Dokter tersebut semakin terlihat kebingungan, keraguan pun terlihat di wajah ayunya. Namun, pada akhirnya dia tetap menyuruhku untuk berbaring di brangkar yang ada di ruangan itu. Monitor kecil berwarna putih dengan layar hitam yang terletak di sebelah brangkar begitu menyita perhatianku. Aku bertanya-tanya apakah fungsi dari benda tersebut.

"Bisa tolong angkat bajunya sedikit mba?"

"Oh, iya" Jawabku sembari mengangkat bajuku, yang memperlihatkan perut rataku.

"Saya akan mengoleskan gel ini yah mba. Rasanya memang agak dingin, jadi tahan dulu yah mba. Untuk hasilnya nanti, tolong jangan kecewa yah, kalau belum berhasil masih bisa mengikuti program kehamilan yang tersedia disini kalau memang mbanya ingin cepat memiliki momongan"

Ternyata itulah isi dari fikiran dokter itu. Hah, bahkan dokter itupun ragu dengan kehamilanku.

Aku mengangguk, menanggapi ucapan dokter yang terlalu to the point itu. Tak lama kemudian dokter itu mengoleskan gel ke perutku secara perlahan. Terasa dingin, sehingga membuatku merinding seketika. Setelah gel itu selesai dioleskan, dokter tersebut menaruh alat yang tengah dia genggam itu keatas perutku sembari sesekali menggerakkannya secara perlahan.

"Wah!! saya ngga menyangka loh mba" Ucap dokter tersebut dengan nada yang cukup bersemangat sekaligus ekspresi yang terlihat sangat terkejut.

Mendengar reaksi itu, Devan yang tadinya hanya duduk di kursi konsultasi akhirnya menghampiriku dan langsung melihat ke layar monitor. Aku tak menatap ke monitor, sebab yang kubutuhkan hanyalah melihat bagaimana reaksi yang Devan tunjukkan. Kuperhatikan wajahnya lamat-lamat, tak ada ekspresi yang begitu spesial di wajah itu. Wajahnya masih sama. Datar dan kaku. Bahkan sorot mata tajam miliknya itupun tak padam sedikitpun. Aku kecewa. Bukan reaksi seperti itu yang kuharapkan.

"Selamat yah mbanya dan masnya"

Aku menoleh kearah dokter itu karena ucapannya. Tapi entah bagaimana caranya ucapan dari dokter itu berhasil memekakkan telingaku. Aku tidak mengerti yang dokter itu katakan, atau mungkin aku yang tidak mau mengerti dengan perkataan dokter itu? Aku juga tidak tahu. Namun, hal yang membuatku berdebar di detik itu adalah saat kualihkan pandangan dari monitor menjadi ke arah Devan. Aku takjub bukan main, saat melihat mata yang semula terlihat tajam itu melemah dan berakhir dengan tetesan air mata tanpa suara. Dia menangis.

Aku ingin mendengar apa yang Devan ucapkan disela tangisnya. Namun apa daya, bahkan setelah melewati menit demi menit, telingaku masih saja tak berfungsi semestinya. Aku terpaku di menit itu. Di menit yang mengubah segalanya. Mungkin saat itu aku tidak berniat segera menyadarkan diri, sebab masih dihantui rasa takut untuk sekedar menerima kenyataan. Saat itu seperti titik beku yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Tanpa ada satupun suara, aku hanya bisa melihat ekspresi mereka tanpa bisa membaca pergerakan mulut mereka. Semua seperti masih dalam mode mute dengan aku yang kehilangan jiwaku. Sampai akhirnya...tangan yang hangat itu mengenggam tanganku dan menuntunku turun dari brangkar. Tepat setelah duduk di kursi konsultasi ini, telingaku akhirnya dapat berfungsi kembali. Aku terbebas dari kebekuan waktu. Terhempas dari zona nyaman yang mengenyahkan separuh jiwaku.

"Jadi sudah berapa bulan dok?"

Inisiatif yang Devan tunjukkan membuatku menatapnya. Mencoba untuk memahami dirinya. Ini aneh, dia bukanlah tipe pria yang seperti itu.

Dia bahagia atau merasa terbebani? Aku juga tidak tahu pasti.

Sebab sebanyak apapun waktu yang kuhabiskan untuk mempelajari ekspresinya, aku masih saja tidak bisa mengerti dia. Aku menyerah untuk sekedar memahaminya, jadi aku putuskan untuk mengalihkan fokusku pada dokter di depanku.

"Kalau boleh tahu mbanya terakhir menstruasi kapan yah?"

Jujur saja aku benar-benar lupa tentang hal ini. Lalu bagaimana caraku menjawabnya? Aku tidak pernah mengingat kapan aku mendapat tamu bulananku. Apalagi siklusku tidak pernah teratur.

"Dua bulan yang lalu dok" Jawab Devan, yang membuatku menoleh kearahnya.

Kenapa Devan lebih tahu daripada aku? Ini kan tubuhku.

"Kebetulan saya dari dulu memang ngga lancar gitu dok" Imbuhku, mencoba untuk mengabaikan ucapan Devan. Sebab menurutku mungkin saja dia hanya menjawab seketemunya tadi.

"Oh begitu. Begini mba, kalau sudah menikah usahakan untuk selalu mencatat siklus haidnya. Akan bahaya kalau sampai mbanya ngga tahu kapan telat haidnya. Takutnya sebenarnya sudah jadi janin, tapi dikira tidak ada. Akhirnya sembarangan makan atau berkegiatan. Trimester awal itu sangat rentan keguguran mba"

"Hmm, kalau begitu usia kandungan saya baru sekitar 2 mingguan yah dok?"Tanyaku, mengingat aku dan Devan melakukannya untuk kali kedua saat bulan madu dua minggu yang lalu.

"Usia kandungannya sudah dua bulan kok mba. Besar janinnya juga sesuai, dan baik-baik saja".

Aku yang mendengar hal tersebut pun hanya bisa tercengang dengan pernyataan yang tidak mungkin itu.

Ini anak siapa?

"Tapi saya baru dua kali melakukannya dok. Itu juga yang pertama udah pasti gagal karena saya haid, terus yang kedua baru aja sekitar dua minggu yang lalu" Ucapku, mengabaikan rasa malu. Sementara Devan sibuk menahanku agar tidak melanjutkan ucapanku.

"Jadi bisa tolong resepkan vitamin atau apapun yang istri saya butuhkan aja ngga dok?" Ucap Devan yang terlihat panik sekaligus berusaha menahan rasa malunya.

"Ah iya, ini" Ucap dokter itu sembari menyerahkan secarik kertas dengan wajah yang kebingungan.

Setelah mendapatkan kertas tersebut, dengan tergesa Devan menarik tanganku dan mengajakku keluar dari ruangan itu. Administrasi telah kami urus sebelum masuk, jadi kami tidak perlu membayar lagi.

Ketika kami berhasil keluar dari ruangan itu, Devan masih menarik tanganku. Dia tidak perduli meski aku meronta agar dilepaskan, bahkan dia mengabaikan Davin, Eca dan Dewa yang masih setia menunggu kami. Apakah segitu malunya dia?

"Jadi gimana hasilnya?" Tanya Davin, mewakili Eca dan Dewa yang menghadang langkah kami.

"Hamil" Ucap Devan singkat, yang membuat semuanya terkejut bukan main. Tidak perduli dengan ekspresi mereka, Devan kembali menarikku dan meninggalkan mereka yang masih terdiam disana.

Saat sudah sampai di parkiran, Devan menitahkanku untuk segera masuk ke dalam mobil. Aku menurutinya. Lalu tidak lama kemudian dia pun ikut masuk ke dalam mobil.

"Kak"

"Hmm?"

"Ini anak siapa?"

"Anak kita lah. Emang harusnya anak siapa?"

"Kita kan baru dua kali kak. Kenapa udah dua bulan aja?"

"Aku laki-laki normal Ta. Ngga mungkinlah aku bisa tahan tidur seranjang sama seorang wanita tanpa mikirin yang aneh-aneh. Apalagi statusnya udah halal"

Aku mengerutkan keningku. Perlahan namun pasti aku mendekatkan wajahku ke wajahnya sembari memberikan tatapan menyelidik "Maksudnya?"

Devan mendorong keningku dengan jari telunjuknya agar aku menjauh dari wajahnya.
"Salah kamu yang tidurnya kayak kebo, di guncang kayak apa juga ngga bangun-bangun"

"Maksudnya?"

Devan menghela nafas panjang "Kita udah sering ngelakuinnya, tapi kamu dalam keadaan ngga sadar. Itu sebabnya setiap hari aku suruh kamu untuk mandi besar sebelum subuh. Maaf"

Setelah mendengar hal itu, dengan cepat aku memukuli bahu Devan dengan sekuat tenaga. Devan tidak melawan, bahkan terkesan menyodorkan bahunya untuk kujadikan tempat meluapkan emosi. Namun ketika aku berhenti karena merasakan sakit pada tanganku, Devan mulai memperhatikanku dengan wajah yang terlihat cemas.

Ketika rasa sakit itu hilang, aku berniat untuk memukulnya lagi. Namun dengan sigap Devan menangkap tanganku, menghentikan aksi gilaku.

"Udah. Nanti tangan kamu sakit"

Aku terdiam. Devan memperhatikan wajahku sejenak, mungkin dia tengah memastikan apakah setan dalam tubuhku sudah cukup tenang sekarang. Tidak lama setelah itu, Devan akhirnya melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang cenderung pelan. Mungkin dari proses mengamati tadi Devan berhasil meyakinkan dirinya bahwa aku sudah kembali normal.

Suasana di mobil ini sangat canggung. Aku sungguh tidak merasa nyaman. Menurutku daripada aku harus melihat wajahnya, lebih baik kalau aku menghadapkan wajahku pada jendela mobil yang memperlihatkan semerawutnya kehidupan perkotaan. Saat ini benar-benar sangat membosankan. Kami dilanda keheningan yang hqq, aku ataupun Devan sama sekali tidak bersuara sampai akhirnya Devan memutuskan untuk mengatakan

"Waktu itu aku juga ngelakuin hal itu saat kamu tidur. Aku ngga cuma meluk kamu seperti yang kamu tahu. Dan mungkin...

Devan menggantung kata-katanya sejenak untuk menarik nafas cukup panjang, bahkan saat menghembuskannya pun terdengar begitu berat.
"Mungkin Kenzo lihat kita" Ucapnya.

Aku yang tadinya tak tertarik mendengar pengakuan Devan itu pun seketika menoleh kearahnya. Ini hal yang berbeda, karena Devan membahas Kenzo disini.

"Aku lupa tutup tirai jendela kamar saat itu, dan saat aku mau memulai permainan, sekelebat aku lihat bayangan hitam dari jendela besar itu. Saat itu aku ngga perduliin hal itu, karena aku kira bayangan itu adalah sosok penunggu Villa"

Tanpa kuminta, air mataku lolos begitu saja. Aku jahat. Sangat jahat. Kenzo menyaksikan wanita yang dicintainya di sentuh oleh pria lain tanpa bisa melakukan apa-apa untuk mencegahnya. Aku yang membayangkan menjadi dirinya saja terasa begitu kesakitan. Apalagi dia? Dia tidak seharusnya terbaring lemah tanpa sadarkan diri hanya karena wanita sepertiku. Ditambah lagi sekarang aku hanya bisa menambah rasa sakitnya, karena telah mengandung anak Devan.

"Kakak jahat banget sih! Apa kakak ngga bisa ijin dulu ke Tata? Tata ini istri kakak, bukannya alat pemuas nafsu! Kalau udah begini terus gimana?"

"Gimana apanya?"

"Kakak ada Luna, Tata juga udah ada kak Ken. Terus anak ini buat apa?!" Ucapku sembari menunjuk ke perut rataku.

Devan menepikan mobilnya dipinggir jalan. Dia menatapku dengan tatapan tajam dan nafas yang memburu.

Plak!!

Kali itu, untuk pertama kalinya Devan melayangkan tangannya ke pipiku. Aku terdiam. Kupandang dia dengan tatapan yang sama tajamnya, meskipun dengan air mata yang terus mengalir tanpa permisi. Aku mengabaikan rasa sakit dipipiku. Rasanya, sakit dihatiku jauh lebih besar dari rasa sakit apapun yang ada di tubuhku.

"Saya salah. Salah karena mengira kamu akan menjadi dewasa nantinya. Kamu paham ngga sih anak yang kamu tanyakan kegunanaannya ini adalah darah daging kita? Sadar ngga kamu kalau kita itu berumah tangga, bukannya main rumah-rumahan. Anak itu anugerah dari Allah, bukannya beban. Tujuan setiap orang menikah kan memang untuk memperoleh dan mempertahankan keturunannya. Seharusnya dulu saya ngga terima begitu aja, saat orangtua saya meminta saya untuk menikahi anak berumur 18 tahun kayak kamu! Harusnya dulu saya pertahanin Luna, kalau tahu kamu ngga sudi mengandung anak saya"

Saat mendengar kata-kata pedas yang Devan layangkan itu, aku seperti tersambar petir. Luka yang dulu sempat menutup karena perubahan sikap Devan, akhirnya terkoyak kembali. Panggilan 'Saya' untuk mendeskripsikan dirinya sendiri, membuatku semakin terluka. Sebab itu berarti saat ini Devan sedang benar-benar marah padaku. Dan kini aku juga jadi tahu jika Devan menyesal telah menikah denganku, bukannya dengan Luna.

Aku mengusap kasar wajahku, berusaha untuk menghentikan laju air mataku "Buka kuncinya, saya turun disini" Ucapku datar tanpa menatap Devan. Sudah cukup rasa sakit yang kuperoleh, aku tidak tahan lagi.

"Kamu mau kayak gitu terus? Kabur ke tempat teman kamu sampai orangtua kita yang turun tangan?"

Aku terdiam. Ayolah, aku hanya ingin sendiri saat ini. Aku tidak ingin melihat wajah bengisnya. Dia bahkan tak meminta maaf setelah menamparku tadi.

Devan menghela nafas, mungkin dia tengah mencoba meredam emosinya "Ini rumah tangga kita, selesaikan dirumah kita. Cukup kita. Tanpa pihak ketiga, keempat dan seterusnya "

Meski membencinya, tapi aku paksakan untuk menatap Devan saat itu "Gimana kita menyelesaikannya?"

"Di ranjang"

Ajaib. Karena jawaban ambigu itu, air mataku berhenti mengalir saat itu juga.

Apa difikirannya hanya ada hal itu?

Devan menatapku dengan tatapan yang tak setajam tadi, dia tersenyum dan menarikku kedalam pelukannya. Aku yang masih kebingungan pun hanya bisa menerima perlakuannya. Dia mengusap kepalaku, yang entah sihir dari mana aku jadi menangis lagi saat itu. Menyadari jika air mataku mengalir lagi, dia sesekali menepuk punggungku, berusaha untuk menenangkanku.

"Maaf untuk tamparan yang tadi."

"Maaf juga untuk kata-kata yang menyakitkan tadi. Aku ngga bermaksud begitu, tadi aku terbawa emosi karena kamu seolah bilang kalau anak kita penghalang hubungan kamu dan Kenzo."

Aku menghentikan tangisku, dan menengadahkan kepalaku untuk memastikan ekspresi yang Devan keluarkan.

Cup!

Devan mengecup bibirku sebentar, lalu dia tersenyum sembari menatapku yang masih setia di dalam pelukan hangatnya. Di peluk memang memiliki sensasi tersendiri. Ditambah lagi jika itu adalah pasangan halalmu yang menawarkan diri untuk menjadi rumah sekaligus tempat untuk berkeluh kesahmu.

"Soal Luna kamu ngga usah khawatir, aku udah putus sama dia dari lama. Dan sebentar lagi dia mau pindah ke luar negeri. Jadi, kamu juga harus bisa ninggalin Kenzo. Kita harus mulai hidup baru. Dengan kamu, aku, dan...."

"Anak kita" Sambungku, sembari tersenyum.

(Belum revisi, maaf untuk waktu yang lama :) )

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (8)
  • Madesy

    lanjut donk.. gak sabar nihhh

    Comment on chapter Sisi lain
  • Sean_Ads

    Aha! My lovely new story ^^

    Comment on chapter Pertemuan Yang Tak Bermuara Pada Temu
  • margareth_sartorius

    The best version of yours

    Comment on chapter Pertemuan Yang Tak Bermuara Pada Temu
  • minata123

    Romance komedi seleraku

    Comment on chapter Pertemuan Yang Tak Bermuara Pada Temu
  • avalolly

    Lanjutkeun!!

    Comment on chapter Pertemuan Yang Tak Bermuara Pada Temu
  • landon123

    Such an awesome work, Fighting gurll!!
    Gue harap lo ga berhenti tengah jalan cuma karena ga ada pendukung baru, cerita lo seru ko jadi harus PD dan jangan kehilangan mood'y

    Comment on chapter Pertemuan Yang Tak Bermuara Pada Temu
  • Tarikhasabis

    Suka banget sama gaya penulisan kakak, kaya semi baku gitu, jadi bikin nyaman di baca dan ceritanya juga menarik banget. Aku suka banget sama cerita yang alurnya sakit dulu baru bahagia. Pokok nya nyesek momentnya kerasa banget di cerita ini, salam hangat dari Tarikha untuk author tercinta. Ngomong-ngomong kapan update lagi kak? Trus cerita Vanilla ice cream apa nggak niat untuk di lanjut? Padahal aku penasaran loh

    Comment on chapter Pertemuan Yang Tak Bermuara Pada Temu
  • neogara

    Bagus! Enak di baca. Lanjut terosssss... Semangat nulisnya

    Comment on chapter Pertemuan Yang Tak Bermuara Pada Temu
Similar Tags
Lantas?
34      34     0     
Romance
"Lah sejak kapan lo hilang ingatan?" "Kemarin." "Kok lo inget cara bernapas, berak, kencing, makan, minum, bicara?! Tipu kan lo?! Hayo ngaku." "Gue amnesia bukan mati, Kunyuk!" Karandoman mereka, Amanda dan Rendi berakhir seiring ingatan Rendi yang memudar tentang cewek itu dikarenakan sebuah kecelakaan. Amanda tetap bersikeras mendapatkan ingatan Rendi meski harus mengorbankan nyawan...
Code: Scarlet
25192      4913     16     
Action
Kyoka Ichimiya. Gadis itu hidup dengan masa lalu yang masih misterius. Dengan kehidupannya sebagai Agen Percobaan selama 2 tahun, akhirnya dia sekarang bisa menjadi seorang gadis SMA biasa. Namun di balik penampilannya tersebut, Ichimiya selalu menyembunyikan belati di bawah roknya.
Rindu
401      293     2     
Romance
Ketika rindu mengetuk hatimu, tapi yang dirindukan membuat bingung dirimu.
Mana of love
232      164     1     
Fantasy
Sinopsis Didalam sebuah dimensi ilusi yang tersembunyi dan tidak diketahui, seorang gadis tanpa sengaja terjebak didalam sebuah permainan yang sudah diatur sejak lama. Dia harus menggantikan peran seorang anak bangsawan muda yang dikenal bodoh yang tidak bisa menguasai teknik adu pedang yang dianggap bidang unggul oleh keluarganya. Namun, alur hidup ternyata jauh lebih kompleks dari ya...
Me & Molla
546      323     2     
Short Story
Fan's Girl Fanatik. Itulah kesan yang melekat pada ku. Tak peduli dengan hal lainnya selain sang oppa. Tak peduli boss akan berkata apa, tak peduli orang marah padanya, dan satu lagi tak peduli meski kawan- kawannya melihatnya seperti orang tak waras. Yah biarkan saja orang bilang apa tentangku,
Aku Biru dan Kamu Abu
794      470     2     
Romance
Pertemuanku dengan Abu seperti takdir. Kehadiran lelaki bersifat hangat itu benar-benar memberikan pengaruh yang besar dalam hidupku. Dia adalah teman curhat yang baik. Dia juga suka sekali membuat pipiku bersemu merah. Namun, kenapa aku tidak boleh mencintainya? Bukannya Abu juga mencintai Biru?
TWINS STORY
1255      690     1     
Romance
Di sebuah mansion yang sangat mewah tinggallah 2 orang perempuan.Mereka kembar tapi kayak nggak kembar Kakaknya fenimim,girly,cewek kue banget sedangkan adiknya tomboynya pake banget.Sangat berbeda bukan? Mereka adalah si kembar dari keluarga terkaya nomor 2 di kota Jakarta yaitu Raina dan Raina. Ini adalah kisah mereka berdua.Kisah tentang perjalanan hidup yang penuh tantangan kisah tentang ci...
Love Dribble
10586      2041     7     
Romance
"Ketika cinta bersemi di kala ketidakmungkinan". by. @Mella3710 "Jangan tinggalin gue lagi... gue capek ditinggalin terus. Ah, tapi, sama aja ya? Lo juga ninggalin gue ternyata..." -Clairetta. "Maaf, gue gak bisa jaga janji gue. Tapi, lo jangan tinggalin gue ya? Gue butuh lo..." -Gio. Ini kisah tentang cinta yang bertumbuh di tengah kemustahilan untuk mewuj...
Kita
693      454     1     
Romance
Tentang aku dan kau yang tak akan pernah menjadi 'kita.' Tentang aku dan kau yang tak ingin aku 'kita-kan.' Dan tentang aku dan kau yang kucoba untuk aku 'kita-kan.'
Little Spoiler
1066      648     0     
Romance
hanya dengan tatapannya saja, dia tahu apa yang kupikirkan. tanpa kubicarakan dia tahu apa yang kuinginkan. yah, bukankah itu yang namanya "sahabat", katanya. dia tidak pernah menyembunyikan apapun dariku, rahasianya, cinta pertamanya, masalah pribadinya bahkan ukuran kaos kakinya sekalipun. dia tidak pernah menyembunyikan sesuatu dariku, tapi aku yang menyembunyikan sesuatu dariny...