Loading...
Logo TinLit
Read Story - Temu Yang Di Tunggu (up)
MENU
About Us  

Kala senja menunjukkan keindahannya ke mata dunia, disinilah aku dengan segala sakitku. Menggiring kecewa di bawah rintik hujan yang kian menderas. Membiarkan airnya sebagai kamuflase air mata yang berjatuhan tanpa henti.

Aku lelah untuk terus berharap lalu kecewa pada akhirnya. Haruskah aku menyerah dan kusudahi semua?

"Aulia lo ngapain ujan-ujanan gini?" Seseorang menarik lenganku dan mengajakku berlari, berusaha menghindari bulir hujan yang mulai membasahi almamater maroon miliknya.

Kuperhatikan lamat-lamat penampilan belakang tubuhnya, guna berusaha mengenali siapa pemilik tangan hangat yang tampak putih bersih itu.

Kenzo, ternyata dialah yang sedari tadi menuntunku menuju ke sebuah kafe yang dekat dengan kampus kami. Ketika memasuki kafe bernuansa artistik dengan jendela kaca yang lebar membentang itu, Kenzo menitahkanku untuk duduk pada salah satu meja kosong yang berada di sudut ruangan yang menjadi ujung dari jendela kaca itu. Aku yang akhirnya menyadari keadaan tangan kami berdua langsung melepaskan cengkraman tangan lancangnya dari lenganku.

"Kak Ken ngapain bawa saya kesini sih?" protesku.

Kenzo mengabaikan pertanyaanku, dia menghampiri meja kasir kafe itu sembari memberikan selembar uang berwarna biru. Entah apa yang dia lakukan.

Ku perhatikan gerak-gerik Kenzo yang mulai memainkankan jarinya di atas meja kasir, menunjukkan bahwa dia tengah berusaha mengusir kebosanan karena lumayan lama menunggu sesuatu. Tidak ada yang aneh, dia tampak normal dan tidak terlalu berbahaya. Jadi, aku memilih untuk duduk di tempat duduk itu dengan tenang sembari memandangi langit yang mulai menghitam melalui jendela kaca di sampingku.

"Ini baru benar" gumamku, bermaksud mengomentari bagaimana bisa langit yang menunjukkan warna jingga tadi menurunkan air yang perlahan semakin deras. Sehingga membuat pakaianku harus basah seperti ini.

Drrrk

Aku menoleh saat suara tarikan kursi di depanku terdengar.

"Nih di minum dulu, biar anget" ucap Kenzo sembari menyodorkan segelas cokelat hangat. Di kafe ini memang pelanggan yang di haruskan memesan dan mengambil pesanan sendiri di meja kasir.

Aku memandang Kenzo sejenak "makasih kak" ucapku tanpa minat. Bukan bermaksud tidak sopan, tapi aku tidak ingin senior konyol ini besar kepala.

Kenzo hanya membalasku dengan senyuman yang begitu lembut dan terlihat tulus.

Aku mengambil gelas itu dan mulai meneguk secangkir cokelat hangat yang masih mengepulkan asapnya. Kulirik Kenzo memperhatikanku tanpa henti sembari tersenyum, ternyata kenormalan nya hanya sebentar.

"Ngga minum?" tanyaku pada akhirnya, karena terlalu risih dengan tatapan mata saphire milik Kenzo Kalandra.

Kenzo menggeleng dengan cepat "Ngga bisa. Kan ada lo di sisi gue"

Aku mengernyit bingung "maksudnya?"

Kenzo tertawa "Gue minumnya kopi, tapi harus ada temennya. Lo kan ngga suka asep rokok, jadi mendingan ngga deh. Gue ngga mau bikin lo ngga nyaman"

Aku terdiam, cukup terkejut dengan sikap dan pemikiran Kenzo. Namun di menit berikutnya aku justru di buat keheranan karena kelakuan Kenzo yang mulai meraba dirinya sendiri.

"Ngapain kak?" Ucapku takut-takut.

Kenzo menghentikan aktifitasnya "Gue mau minjemin almamater ini ke lo supaya ngga kedinginan..."

"Tapi ternyata anyep" ucapnya sembari menunjukkan sederet gigi putihnya.

Aku terkekeh, tak tahan melihat ekspresi yang Kenzo tunjukkan. Ekspresi yang sangat menggemaskan di mataku, tapi begitu menggelitik di perutku.

"Lo kenapa ngga nunggu hujan berhenti dulu baru pulang sih?. Ini malah jalan santai sambil hujan-hujanan. Berasa lagi syuting drama india apa gimana?"

Aku lagi-lagi tertawa oleh lelucon receh yang Kenzo keluarkan.

"Nah gitu dong, ketawa gitu kan jadi cantik" ucapnya sembari tersenyum.

Ini tidak bohong, jantungku berdebar cukup cepat karena ketampanan Kenzo di tambah dengan senyuman lembut itu.

"Saya ketawa bukan berarti saya udah lupa apa yang kakak lakuin ke saya saat itu yah!" peringatku, berusaha menjaga jarak dengan manusia perusuh yang mengobrak-abrik kerja jantungku.

"Iya, gue tahu itu sulit buat lo. Tapi Allah aja maha pemaaf, masa lo sebagai hambanya ngga mau maafin gue dengan seperangkat ketampanan ini sih?" ucapnya dengan percaya diri.

°°°

Pada pukul 9 malam lewat beberapa menit, aku akhirnya menginjakan kaki di depan rumah baru milikku dan juga Devan. Tadi Kenzo sempat ingin mengantarku pulang karena khawatir, tapi akhirnya aku bersikukuh untuk menolak dengan alasan bahwa kami tidak sedekat itu. Padahal sejujurnya aku tidak ingin ketahuan jika aku serumah dengan Devan.

"Dari mana aja?"

Suara manusia purba tak punya hati itu menyapa telingaku. Sepertinya dia memang sengaja menungguku di sofa ruang tamu. Aku mengabaikan tatapan matanya yang menusuk tajam, mataku justru lebih tertarik untuk mengeksplor setiap sudut ruangan. Baguslah kalau semuanya sudah di tata dengan rapih, jadi aku tak perlu repot menguras tenagaku lagi.

Mataku kembali lagi ke tempat semula, dan menudingnya mata cokelat terang itu bermaksud menerima tantangannya "Masih perduli?" sarkasku, sembari berjalan meninggalkan monumen bersejarah itu.

Mendengar derap langkahku yang mulai menaiki tangga ke lantai atas, Devan berdiri dan mengikutiku dari belakang.

"Kakak capek beresin rumah baru, kamu malah asik hang out sama gebetan baru" gerutu Devan.

Aku menghentikan langkahku tepat di depan pintu yang kuyakini adalah pintu kamar kami. Aku membalikan tubuhku bermaksud ingin menatap Devan supaya dapat berbicara lebih jelas, tapi yang kutemui justru bibir Devan yang bertemu dengan keningku.

Aku memundurkan langkah perlahan karena kejadian tak terduga itu. Jantungku berdebar cukup cepat dengan di barengi pipi yang terasa memanas.

"Lemah banget ini jantung" gumamku.

Devan berdehem "Basah-basahan gini abis ngapain? Ngga ngehargain kakak sebagai suami?"

Aku tersenyum sinis "Kakak? Ngga salah denger nih?Bukannya di kampus tadi dengan lantang mengatakan 'saya' yah? Berasa orang asing aja gitu, giliran sekarang bawa tittle suami"

Devan menatapku dengan tatapan tajamnya yang mulai mengkoyak luka itu semakin dalam.

"Kalau di kampus kakak sebut diri kakak sendiri dengan kata ganti selain 'saya' nanti anak-anak curiga Ta. Lagian apa itu jadi masalah yang besar bagi kamu? Harusnya kakak yang marah karena kamu malah jalan sama laki-laki lain sedangkan kakak dan Luna yang membereskan semua barang-barang ini"

Nafasku mulai memburu saat nama Luna masuk ke dalam topik pembicaraan kami "Lagian ini salah siapa coba?! Bukannya nganter istri pulang, malah seenak jidatnya aja telantarin istri karena takut pacarnya kehujanan. Udah deh ngga usah drama!" tudingku.

"Terus kakak mikir ngga sih gimana perasaan Tata? Bahkan di rumah baru kita aja kakak bikin wanita itu yang menginjakan kaki pertamakali. Maksudnya apa? Mau tour rumah masa depan gitu!!" sambungku dengan segala emosi yang sedari tadi berusaha ku redam.

Devan terdiam, yang membuatku malas dan memilih untuk melangkah masuk ke dalam kamar dengan nuansa serba putih itu. Aku berjalan menghampiri lemari pakaian yang berwarna putih juga. Kubuka lemari itu perlahan, dan ternyata bajuku sudah tersusun rapih berdampingan dengan baju Devan. Tak butuh waktu lama untuk mengaggumi cara Devan menyusun pakaian, karena aku tak ingin fokusku teralihkan. Jadi, kuputuskan untuk segera menarik koper yang berada di pojok kanan lemari, lalu kuisi koper itu dengan semua pakaianku.

Devan yang baru saja masuk terkejut bukan main, dia langsung mencengkram tanganku dan menarikku supaya menghadap kearahnya.

"Jangan kayak anak kecil!" bentak Devan.

"Lagi?" tanyaku sembari memberikan tatapan setajam mungkin.

Devan terlihat kebingungan untuk mencerna maksud dari perkataanku

"Maksudnya?" tanya Devan pada akhirnya.

"Kakak ngomong kalau Tata kayak anak kecil"

Devan terdiam.

"Gimana kalau kita punya anak aja? Biar Tata bisa buktiin kalau Tata ngga kekanakkan seperti yang kakak fikirkan"

Mata Devan terbuka lebar, cukup terkejut dengan ucapanku. Aku tersenyum miris, sudah tahu semua akan berakhir seperti ini. Dia pasti tidak akan mau, karena hanya Luna yang menjadi kandidat calon ibu dari anak-anaknya.

Aku terkekeh tanpa minat "Ngga mau kan?. Yaudah, Tata cuma mau pindah ke kamar sebelah kok. Kita tidur masing-masing, dan pada akhirnya kita impas. Kakak beresin ruangan, Tata beresin kamar tamu buat kamar Tata. Selesai deh, itukan yang jadi masalah awalnya"

Devan lagi-lagi terdiam.

Setelah mendapat respon menyedihkan itu, aku menutup koperku dan mulai melangkahkan kakiku hendak menuju ke kamar sebelah. Namun, genggaman tangan Devan pada lenganku berhasil menghentikan langkahku. Devan merebut koperku dari tanganku, lalu dia melempar koper itu ke sembarang arah. Karena sifatnya yang mulai berubah, aku memberanikan diri memandang matanya yang menunjukkan kabut amarah.

Devan menangkap tatapanku, dia menarik tanganku dan membantingku ke ranjang king size milik kami. Aku takut sekaligus bingung, tentang apa yang harus kulakukan dan apa yang akan Devan lakukan padaku saat ini? Setidaknya itulah fikiran yang memenuhi otakku yang mulai kusut.

Sepersekian detik Devan naik keatas ranjang dan menindihku, dengan kedua tangannya sebagai tumpuan agar tidak membebaniku.

"Kenapa? Takut?" tanya Devan yang sekarang justru terlihat seperti seorang pesikopat.

"Ka...kak...kakak mau ngapain?" tanyaku takut-takut.

Devan membuka hijabku dan memainkan rambutku dengan telunjuknya "Menurut kamu?"

Tubuhku bergetar, karena rasa dingin AC yang berhembus mengenai bajuku yang masih sedikit basah sekaligus karena rasa takut akan sifat Devan yang tiba-tiba seperti ini.

Nyaliku mulai menciut, aku berusaha menghindari tatapan Devan dengan menoleh ke arah lain "Kak, Tata cuma bercanda tadi"

Devan menarik daguku, memaksaku untuk menatap lurus ke arahnya "Kamu fikir laki-laki bisa di bercandain tentang masalah ini?!" sentak Devan.

Aku yang mulai mengerti kemana arah tujuan kelakuan Devan, berusaha untuk menyingkir dari tubuh Devan. Namun sialnya tubuh Devan jauh lebih besar daripada tubuhku. Dan setelah mendapat pemberontakan itu, dia justru semakin memperketat kungkungan itu, bahkan dia menjadi semakin berani untuk berbuat lebih.

Perlahan tapi pasti dia mulai menurunkan wajahnya, bermaksud membuat wajah kami berada di garis yang sama. Bibir kami bertemu sejenak, sebelum akhirnya lidah Devan melesak masuk ke dalam mulutku, mencoba membuka mulutku agar bisa memberi jalan agar dia mudah untuk melumat bibirku dan bermain di sana.

Aku terus meronta di bawah tubuh Devan, yang membuat Devan melepaskan pagutan bibir kami.

Devan menatapku dengan tatapan sayunya "Masalah itu ngga sesederhana itu. Kakak ngga terima kamu pergi sama laki-laki lain. Kakak cemburu" ucapnya dengan suara yang semakin terdengar serak.

Deg!

Jantungku seperti lupa caranya untuk berdetak. Kalimat terakhir yang Devan sampaikan saat ini adalah hal terindah yang telah berhasil meluluhkan dan merobohkan benteng pertahananku. Malam itu, aku membiarkan Devan melakukan apapun yang dia mau padaku. Meskipun aku tidak mengerti sama sekali dan masih di liputi rasa takut, tapi Devan selalu menenangkanku selama melewati malam yang panjang itu. Malam itu akhirnya kami bersatu, meskipun dengan hati yang sama-sama masih mencari sang pemilik tetap.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (8)
  • Madesy

    lanjut donk.. gak sabar nihhh

    Comment on chapter Sisi lain
  • Sean_Ads

    Aha! My lovely new story ^^

    Comment on chapter Pertemuan Yang Tak Bermuara Pada Temu
  • margareth_sartorius

    The best version of yours

    Comment on chapter Pertemuan Yang Tak Bermuara Pada Temu
  • minata123

    Romance komedi seleraku

    Comment on chapter Pertemuan Yang Tak Bermuara Pada Temu
  • avalolly

    Lanjutkeun!!

    Comment on chapter Pertemuan Yang Tak Bermuara Pada Temu
  • landon123

    Such an awesome work, Fighting gurll!!
    Gue harap lo ga berhenti tengah jalan cuma karena ga ada pendukung baru, cerita lo seru ko jadi harus PD dan jangan kehilangan mood'y

    Comment on chapter Pertemuan Yang Tak Bermuara Pada Temu
  • Tarikhasabis

    Suka banget sama gaya penulisan kakak, kaya semi baku gitu, jadi bikin nyaman di baca dan ceritanya juga menarik banget. Aku suka banget sama cerita yang alurnya sakit dulu baru bahagia. Pokok nya nyesek momentnya kerasa banget di cerita ini, salam hangat dari Tarikha untuk author tercinta. Ngomong-ngomong kapan update lagi kak? Trus cerita Vanilla ice cream apa nggak niat untuk di lanjut? Padahal aku penasaran loh

    Comment on chapter Pertemuan Yang Tak Bermuara Pada Temu
  • neogara

    Bagus! Enak di baca. Lanjut terosssss... Semangat nulisnya

    Comment on chapter Pertemuan Yang Tak Bermuara Pada Temu
Similar Tags
IMAGINE
380      270     1     
Short Story
Aku benci mama. Aku benci tante nyebelin. Bawa aku bersamamu. Kamu yang terakhir kulihat sedang memelukku. Aku ingin ikut.
Under a Falling Star
1032      610     7     
Romance
William dan Marianne. Dua sahabat baik yang selalu bersama setiap waktu. Anne mengenal William sejak ia menduduki bangku sekolah dasar. William satu tahun lebih tua dari Anne. Bagi Anne, William sudah ia anggap seperti kakak kandung nya sendiri, begitupun sebaliknya. Dimana ada Anne, pasti akan ada William yang selalu berdiri di sampingnya. William selalu ada untuk Anne. Baik senang maupun duka, ...
IDENTITAS
702      478     3     
Short Story
Sosoknya sangat kuat, positif dan merupakan tipeku. Tapi, aku tak bisa membiarkannya masuk dan mengambilku. Aku masih tidak rela menjangkaunya dan membiarkan dirinya mengendalikanku.
I Hate My Brother
455      321     1     
Short Story
Why my parents only love my brother? Why life is so unfair??
Gue Mau Hidup Lagi
427      282     2     
Short Story
Bukan kisah pilu Diandra yang dua kali gagal bercinta. Bukan kisah manisnya setelah bangkit dari patah hati. Lirik kesamping, ada sosok bernama Rima yang sibuk mencari sesosok lain. Bisakah ia hidup lagi?
Love Letter: Mission To Get You
467      363     1     
Romance
Sabrina Ayla tahu satu hal pasti dalam hidup: menjadi anak tengah itu tidak mudah. Kakaknya sudah menikah dengan juragan tomat paling tajir di kampung. Adiknya jadi penyanyi lokal yang sering wara-wiri manggung dari hajatan ke hajatan. Dan Sabrina? Dicap pengangguran, calon perawan tua, dan... “beda sendiri.” Padahal diam-diam, Sabrina punya penghasilan dari menulis. Tapi namanya juga tet...
Solita Residen
1390      805     11     
Mystery
Kalau kamu bisa melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa... bukan berarti kau harus menunjukkannya pada semua orang. Dunia ini belum tentu siap untuk itu. Rembulan tidak memilih untuk menjadi berbeda. Sejak kecil, ia bisa melihat yang tak kasatmata, mendengar yang tak bersuara, dan memahami sunyi lebih dari siapa pun. Dunia menolaknya, menertawakannya, menyebutnya aneh. Tapi semua berubah seja...
Beach love story telling
3009      1477     5     
Romance
"Kau harus tau hatiku sama seperti batu karang. Tak peduli seberapa keras ombak menerjang batu karang, ia tetap berdiri kokoh. Aku tidak akan pernah mencintaimu. Aku akan tetap pada prinsipku." -............ "Jika kau batu karang maka aku akan menjadi ombak. Tak peduli seberapa keras batu karang, ombak akan terus menerjang sampai batu karang terkikis. Aku yakin bisa melulu...
Asa
4656      1386     6     
Romance
"Tentang harapan, rasa nyaman, dan perpisahan." Saffa Keenan Aleyski, gadis yang tengah mencari kebahagiaannya sendiri, cinta pertama telah di hancurkan ayahnya sendiri. Di cerita inilah Saffa mencari cinta barunya, bertemu dengan seorang Adrian Yazid Alindra, lelaki paling sempurna dimatanya. Saffa dengan mudahnya menjatuhkan hatinya ke lubang tanpa dasar yang diciptakan oleh Adrian...
STORY ABOUT THREE BOYS AND A MAN
14721      2952     34     
Romance
Kehidupan Perkasa Bagus Hartawan, atau biasa disapa Bagus, kadang tidak sesuai dengan namanya. Cintanya dikhianati oleh gadis yang dikejar sampai ke Osaka, Jepang. Belum lagi, dia punya orang tua yang super konyol. Papinya. Dia adalah manusia paling happy sedunia, sekaligus paling tidak masuk akal. Bagus adalah anak pertama, tentu saja dia menjadi panutan bagi kedua adiknya- Anggun dan Faiz. Pan...