Seandainya Tuhan menciptakan setiap tetes air hujan sebagai penawar rasa sakit. Sudah pasti hujan akan selalu di nanti oleh para manusia yang tersakiti, karena berharap pada yang tidak pasti.
~
Hujan kala itu begitu menyayat hatiku, dengan hembusan angin yang mengenyahkan separuh jiwaku.
Aku bertanya pada hatiku, sanggupkah ia bertahan dengan bagian yang patah? Namun, hatiku justru meragu.
Tahukah dia, jika aku tersiksa dengan setiap keputusan yang tak bisa aku tolak? Aku marah sekaligus kecewa, dia bersikap seolah ikatan suci ini adalah permainan takdir yang akan segera berakhir.
Dia seolah tidak menerimaku, bersikap dingin, namun terlihat perduli. Aku sempat bertanya pada diriku sendiri, apakah aku tak pantas bersanding dengan dia?
Dia terlalu tinggi untuk ku gapai, dan juga terlalu terlalu sulit untuk sebatas mensejajarkan diri.
Aku mengaggumi dirinya, walau tak banyak orang yang tahu bahwa orang seperti dia itu ada. Tapi, memilikinya sebagai pasangan hidupku bukanlah tujuanku. Karena aku tahu, bahwa hatinya sudah menetapkan tempat untuk berlabuh.
Di hujan bulan juni ini, takdir menyatukan aku dan dia menjadi kami. Dua orang yang tak pernah saling mengenal sekalipun...Bukan! bukan dua orang, tapi dia yang tak pernah mengenaliku.
Ketika kalimat sakral itu mengalir dari bibir tipisnya kemarin, aku menggenggam erat undangan pernikahan kami. Aku meneliti setiap goresan yang membubuhkan nama kami berdua, dengan hati yang sibuk menanyakan apakah nama Aulia Renata dan Devan Azzura Pratama juga tertulis bersandingan di Lauh Mahfudz?.
Aku menutup mataku, merebahkan tubuh rapuhku pada ranjang pengantin itu. Kuistirahatkan sejenak tubuh penat serta hatiku. Aku regangkan seluruh otot wajahku, yang sempat kaku karena terlalu lama mengukir senyum palsu. Rasa pening mulai bersarang di kepalaku, dadaku juga terasa berdenyut nyeri saat mengingat kembali bagaimana dinginnya sikap dia di acara resepsi tadi.
Bukan aku mulai berharap padanya, tapi aku ingin dia sedikit menghargaiku. Aku ingin dia tahu, bahwa dia bukanlah satu-satunya orang yang dipatahkan mimpinya.
Aku menoleh ke arah suamiku yang tengah berkutat dengan buku pelajarannya, mungkin.
"Besok saya ke sekolah naik apa yah kak?" tanyaku hati-hati pada suamiku.
Rasanya, memang sedikit aneh untuk memanggil dia sebagai suamiku. Karena kemarin, dia masih menjadi selebgram yang hanya bisa kupandangi lewat layar ponsel, dan yang tak pernah absen dari do'aku ketika aku merindukannya. Tapi sekarang, dia adalah mahramku.
"SMK Bangtan?" ucapnya sembari meletakkan buku yang sedang ia baca ke atas nakas tempat tidur.
Ya, obrolan yang kami lakukan memang di atas ranjang.
Aku mengangguk merespon pertanyaan yang diajukan oleh seorang Devan Azzura Pratama.
"Insyaallah saya antar" ucap Devan sembari menatap kosong kearah depan nya. Jadi, dapat kusimpulkan bahwa dia tak ingin menatapku lebih lama.
Aku mengangguk lagi, bermaksud menyetujui perkataan Devan. Setelah itu rasa kantuk menghampiriku, membuat mataku seperti di beri pemberat yang menitahkanku untuk menutupnya walau hanya sejenak. Dan pada akhirnya...aku kalah dan tertidur dengan memunggungi Devan.
****
Tring!!!
Suara nyaring dari jam beker membangunkanku dari tidur terbaik yang pernah aku alami sampai saat ini. Jujur saja, aku mengidap gangguan tidur yang sering disebut insomnia. Tapi, tidur bersama Devan membuatku merasa nyaman. Aroma khas yang menguar dari tubuh Devan membuatku seakan-akan di beri aroma terapi dan obat tidur secara bersamaan.
Begitu mataku terbuka sempurna, aku berniat menuju ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhku sembari mengambil air wudhu. Namun, niatku terhenti sejenak setelah melihat Devan.
Aku terkejut saat Devan muncul dari balik pintu kamar kami. Detik selanjutnya aku baru menyadari, bahwa saat aku membuka mata tadi Devan tidak ada disampingku.
Aku memperhatikannya dengan seksama, yang membuat mataku begitu memuja pada ciptaan tuhan yang satu itu. Baju koko berwarna putih yang dipadukan dengan sarung kotak-kotak berwarna biru tua, dan dilengkapi oleh peci hitam serta sejadah yang disampirkan di bahu sebelah kanan, seperti sebuah pelengkap paket komplit yang Allah berikan padaku dalam wujud suamiku.
Sungguh, dia adalah wujud nyata dari seorang imam idaman.
"Sholatnya kurang siang" sindir Devan sembari melempar sejadah ke atas sofa yang ada di kamar kami.
Tanpa memperdulikan ucapan Devan, aku langsung bergegas menuju ke kamar mandi untuk menuntaskan segala rutinitasku.
"Lain kali bangun lebih awal, sebelum adzan berkumandang" ucap Devan setelah melihatku memakai mukenah.
Aku tahu setiap kata yang keluar dari mulutnya itu ditujukan untukku, tapi aku memilih untuk mengabaikannya.
Selesai sholat, aku melipat mukenahku dan bersiap untuk kembali melanjutkan mimpi tentang idolaku yang lainnya.
"Siapin sarapan gih, ngga bagus kalau tidur lagi. Dan akan lebih baik lagi kalau belajar, satu bulan lagi situ mau ujian kan?" ucap Devan secara beruntun, yang membuatku mendengus kesal.
"Waktu di pelaminan dinginnya minta ampun, sekarang cerewetnya naudzubillah" gerutu ku yang tanpa kusadar ternyata terdengar oleh Devan.
"Saya berbicara pada porsinya, kalau ngga terlalu penting yah buat apa berbicara. Cuma sekarang situ kan tanggungjawab saya, jadi sepatah dua patah kata itu perlu untuk mencerahkan fikiran anda" ucap Devan sebelum melenggang pergi keluar kamar.
Cklek!
Belum genap 10 detik Devan menutup pintu, dia kembali membuka pintu kamar dan menyembulkan kepalanya ke dalam, guna menyampaikan sebuah informasi tentunya.
"Cepat pakai seragam, itu juga kalau mau saya antar" ucap Devan sebelum menghilang dari balik pintu.
Setelah aku memastikan si Tsundere dunia nyata itu benar-benar turun ke lantai bawah, aku memakai seragam sekolah kebanggaanku sebelum menyusul Devan ke meja makan.
"Buatkan saya kopi" titah Devan setelah mata kami tak sengaja berpapasan.
Dengan malas aku melangkahkan kakiku ke dapur dengan sedikit gemetar, karena efek dari rasa dingin yang menusuk tulang keringku. Ini semua salah Devan, yang memaksaku untuk bangun dan bersiap di saat matahari belum terbit.
"Kopi susu, jangan kopi hitam!" ucap Devan sedikit berteriak, sebelum aku benar-benar masuk ke area dapur.
Setelah membuat kopi, susu dan empat roti isi, aku membawanya tepat kehadapan Devan beserta tatakan nya.
Devan menatapku dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Otaknya masih berfungsi kan?"
Aku mengernyit bingung, aku tidak menyangka jika Mister Tsundere itu akan berkata sekejam itu. Apa perlu sepatah dua patah kata itu untuk mencerahkan fikiranku lagi?.
"Ya masih lah kak, kalau ngga berfungsi mana bisa saya bikin semua ini". Protesku, tak terima.
Devan mengacak rambutnya frustasi "Terus kenapa situ buat kopi dan susunya terpisah?"
"Ya emang mereka dalam kemasan terpisah kok" ucapku santai, yang membuat Devan melotot dan menatapku seolah akan menelanku bulat-bulat.
Sebenarnya aku mengerti dengan kesalahpahaman ini, hanya saja melihat Devan se-frustasi itu aku baru saja mengalami nya. Jadi sayang sekali untuk dilewatkan.
"Itu kopi susu dan 2 sandwich punya kakak, dan susu plus dua sandwich sisanya ini punya saya" ucapku yang membuat Devan bernafas lega.
Setelah acara sarapan kami di isi oleh ketenangan yang haqiqi, Devan mengantarkanku ke sekolah yang kebetulan berdekatan dengan kampusnya.
Devan menurunkanku tepat di depan gerbang sekolah, dia tak ingin merepotkan dirinya untuk mengantarku sampai ke depan kelas. Aku juga cukup tahu diri, tentang siapa aku di hatinya.
"Situ pulang sendiri bisa kan? Saya ada keperluan, jadi ngga bisa jemput" ucap Devan yang ku respon dengan anggukkan kepala.
"saya tahu ini ngga penting untuk mengatakan alasannya ke situ, tapi saya merasa itu perlu. Jadi...kecualikan porsi saya untuk yang satu itu" sambung Devan.
Aku mengernyit bingung sembari menatap Devan dan motor nya yang melaju pergi beberapa meter ke arah kanan untuk sampai ke kampusnya. Aku masih berfikir keras untuk mencerna kata-kata Devan. Ah, tapi itu tidak penting juga untuk mengerti atau tidaknya, jadi lebih baik dilupakan saja.
lanjut donk.. gak sabar nihhh
Comment on chapter Sisi lain