Uhukk..uhukk..
Aku berdeham keras, berupaya meredam batuk yang tiada berujung. Alih-alih merasa lebih baik, tenggorokanku malah terasa semakin perih. Selanjutnya suara batuk menyedihkan ini kembali menggema ke seluruh ruangan, sampai-sampai Ibu menyuruhku untuk minum obat batuk.
Sekadar informasi, aku sudah dua kali minum sirup obat batuk dalam kurun waktu dua jam. Harus berapa kali aku menelan sirup manis beraroma mentol itu dalam sehari?
Aku hanya menggumam pelan sambil menggangguk–walau ibuku yang berada di kamarnya tidak akan bisa melihatku melakukannya. Jelas-jelas aku tidak berniat minum obat walaupun aku sangat suka rasa mentolnya. Perhatianku saat ini hanya tercurah pada tumpukan buku-buku lama di dalam lemari. Berharap bisa menemukan buku modul konseling yang kubutuhkan.
Namun setelah mengobrak-abrik isi lemari dan menghirup debu-debu nakal yang membuat batukku semakin parah, aku tetap tidak menemukan buku yang kuinginkan. Padahal jika tidak sedang dibutuhkan aku bisa menemukannya dengan mudah.
Aku mendesah berat begitu menyadari kekacauan yang timbul berkat pencarian menyebalkan ini. Huh, buku-buku psikologi yang tebal minta ampun, buku-buku tulis tidak terpakai, dan lembaran berkas berserakan mengelilingiku. Bagus, sekarang aku harus membereskan semua ini.
Sambil menggerutu aku menata kembali buku-buku dan lembaran itu ke tempatnya. Mataku menyipit begitu menemukan sebuah buku kecil dengan warna dasar hitam dan putih yang pinggirannya dijilid spiral hitam menyembul di antara buku-buku berukuran lebih besar.
Otomatis aku langsung mengabaikan kekacauan yang mesti kubereskan sebelum ibu melihatnya dan mengomel panjang. Namun jiwa prokrastinatorku menang, aku malah memungut buku kecil dengan warna hitam putih dan sepenuhnya melupakan kekacauan di sekelilingku.
Aku membuka asal di pertengahan buku, menemukan lembar kertas yang penuh dengan tulisan balok yang ditulis besar-besar. Setelah mencerna tulisan di dalam kertas itu aku mendadak kena serangan malu tiada ampun. Kapan aku menulis tulisan norak begitu? Tunggu, apa itu benar-benar tulisanku?
Karena tak kuat menahan rasa malu, aku buru-buru membalik halaman selanjutnya. Kemudian aku sampai di halaman yang diawali dengan kalimat ‘Dear diary, ketemu lagi sama Tara. Mau curhat dechh, hari ini aku lagi berbunga-bunga banget nich!!!...’ yang langsung membuatku bergidik ngeri. Aku langsung membayangkan luapan antusias serta cengiran lebar yang begitu konyol di wajahku waktu menulisnya kala itu.
Belum apa-apa aku sudah merinding, meski begitu aku terus membaca kalimat berikutnya. Walaupun merasa sangat malu, tapi aku tidak bisa mengelak bahwa aku merasa penasaran.
Senorak apa sih diriku saat sedang kasmaran?
Akhirnya aku malah menghabiskan waktu untuk duduk di depan lemari yang berantakan dengan membaca buku harianku yang begitu mengerikan.
Tanpa bisa kukendalikan, ingatan delapan tahun itu langsung menyeruak ke dasar pikiran. Sedikit demi sedikit kilasan adegan melintas, bukan kesatuan yang utuh. Namun sayangnya mereka berhasil menarikku ke dalam lubang hitam, yaitu pintu masuk menuju masa lalu.
****
Jakarta, 2009
Aku hanya berharap Dimas kembali menghadap ke depan dan memberikanku kesempatan untuk menenangkan jantungku yang berdegup tak keruan. Ckk, dia malah merebut pulpen dari tanganku lalu sibuk mengutak-atik soal matematika di bukuku.
“Gini aja susah banget ya, Ra?” komentarnya sambil terus mengerjakan persoalan matematika yang menurutku tidak punya jawaban.
Yah, tidak semua orang suka matematika dan tidak semua orang diberkahi otak cemerlang seperti otaknya. Tapi aku tidak peduli, toh aku tidak ada masalah dengan pelajaran lain.
Dimas menyelesaikan soal demi soal dengan mudah dan kelihatan amat bahagia. Aku tidak tahu dimana letak menyenangkannya mengerjakan soal matematika, aku hanya tahu kalau Dimas terlihat berkali lipat lebih adorable ketika dia serius belajar matematika.
Matanya fokus menatap buku sementara tangannya bergerak lincah menuliskan rumus-rumus aneh. Saking fokusnya Dimas nyaris menempelkan kepalanya pada buku. Hal itu membuat poninya yang sudah agak panjang, jatuh menutupi sebelah matanya, membuat seorang Dimas Hardian kelihatan sangat mengagumkan.
Aku hanya berharap tanganku tidak macam-macam. Bisa saja kan aku nekat dan menyentuh rambutnya yang tebal itu.
“Nih.” Ia menunjukkan hasil pekerjaannya, memaksaku untuk memperhatikan penjelasannya pada setiap soal.
Sesekali ia berhenti bicara untuk sekadar menatapku, memastikan aku memahami ucapannya. “Tinggal lo masukin aja rumus dari modulnya Pak Husen,” katanya setelah selesai menjelaskan cara pengerjaan semua soal.
“Yang penting lo ngerti konsepnya. Jadi lo tahu kapan harus masukin rumus yang ini, kapan masukin rumus yang itu.” Ia menopang dagu sambil memamerkan senyum angkuh.
“Padahal gampang banget, Ra. Heran gue sama lo.”
“Bawel,” gumamku.
“Cieeee.....yang lagi pacaran serius amattt!!”
Suara mengganggu itu tidak asing lagi. Benar saja. Mereka adalah Farid dan Ezra yang sedang cengengesan di sebelahku.
Ledekan itu lagi. Entah apa yang membuat mereka dan beberapa orang teman di kelas mulai meledekku dan Dimas dengan kalimat yang kurang lebih sama. Tapi apapun itu, aku berharap mereka berhenti melakukannya.
Aku menatap mereka dengan kesal. Walaupun dalam hati aku senang, tapi kalau terus menerus diledeki seperti itu aku merasa tidak nyaman.
Lebih tepatnya aku takut. Aku takut pipiku memerah dan tanpa kusadari senyumku merekah, lalu Dimas akan menyadari kalau sebenarnya aku menyukainya. Dan itu adalah hal terakhir yang kuinginkan terjadi.
“Gak jelas banget sumpah!” ketusku.
Tawa Farid dan Ezra meledak. Tentu mereka puas sekali membuat orang lain kesal.
Aku ingin pura-pura tidak mendengar apapun yang mereka katakan, termasuk yang Dimas katakan. Namun apalah dayaku yang begitu rentan oleh pesona Dimas. Apapun yang dilakukannya menyita perhatianku.
“Niat amat sih Mas Dimas ngajarin Mbak Tara. Uh, mesranya!” goda Ezra sambil mendorong lengan Dimas.
Reaksi Dimas menumbuhkan harapan di dalam hatiku. Dia mengulas senyum malu-malu kemudian balas mendorong tangan Ezra.
“Usil aja lo! Bilang aja iri,” sahut Dimas sambil terkekeh.
Dan tanpa kusadari aku membiarkan diriku untuk berkhayal yang macam-macam. Diam-diam aku merasa bahagia setelah membayangkan kemungkinan bahwa Dimas juga menyukaiku. Akibatnya setelah hari itu perasaanku untuk Dimas bertambah besar.
Aku tidak tahu persis seberapa besarnya atau seperti apa bentuknya, tapi aku paham bahwa akan sangat sulit untuk menghapus perasaan ini. Mungkin akan butuh waktu agak lama. Kemungkinan itu membuatku takut.
Aku takut akan tiba saatnya aku berusaha keras melupakan semua perasaan yang kumiliki untuknya, tapi pada akhirnya apapun yang kulakukan sia-sia. Perasaan itu masih ada, persis seperti noda pada baju yang susah dicuci. Perasaan itu masih ada dan hanya akan menimbulkan rasa sesak yang aneh.
Aku tahu kemungkinan apapun bisa saja terjadi, tapi ada satu hal lagi yang tidak kuketahui. Aku tidak akan siap untuk menghadapi semua itu.
Aku baru mengetahuinya saat tidak sengaja mendengar obrolan Ezra dengan Dimas yang saat itu sedang duduk di salah satu undakan menuju pintu masuk kelas . Hari itu Pak Mardi, guru fisika kami tidak masuk, menyebabkan banyak murid yang berhamburan keluar kelas di jam pelajaran.
Saat itu aku hendak pergi ke toilet dan mendapati mereka sedang berbicara dengan nada suara agak dipelankan.
“Jadi, lo mau nembak si Tara?”
“Kok, nembak Tara sih?” sahut Dimas mengelak.
Sebelumnya aku tidak tahu bagaimana rasanya patah hati, namun firasatku berkata aku akan segera mengetahuinya.
“Emang siapa lagi?”
Aku bisa mendengar suara Dimas yang sedang terkekeh, kemudian membisikkan sesuatu di telinga Ezra. Aku tidak bisa mendengar jelas, hanya bisa mendengar bagian akhir ucapan Dimas.
“...ituloh cewek mungil yang senyumnya manis banget.”
Detik itu aku bisa merasakan dadaku sesak tiba-tiba. Aku tahu seharusnya aku kembali masuk ke dalam kelas, tapi aku malah memutuskan untuk tetap berdiri di sana. Mencuri dengar apa saja yang bisa kudengar.
“Gue pikir lo suka sama si Tara,” tanggap Ezra serius.
“Kenapa bisa mikir gitu? Masak gue suka sama cewek kayak Tara sih? Cewek bawel..”
Kurasa sudah cukup mengupingnya, aku tidak ingin dengar apapun lagi. Aku tidak ingin merasa lebih menyedihkan lagi.
Aku segera masuk ke dalam kelas tanpa mencuri perhatian keduanya. Aku langsung kembali ke tempat duduk dengan perasaan berat dan sesak.
“Cepet amat ke toiletnya.” Sarah melirikku heran, namun tidak berkomentar lagi saat aku tidak menanggapi ucapannya.
Masak gue suka sama cewek kayak Tara sih?
Kalimat Dimas yang itu terus menggema di pikiranku. Menciptakan lubang tak terlihat di dalam hati yang membuatku mesti menggigit bibir supaya tidak menangis.
Perasaanku kacau balau. Bukan hanya merasa kecewa, tapi juga kesal dan marah. Kuakui aku memang kecewa saat tahu Dimas menyukai cewek lain, namun tidak sebanding dengan rasa kesal dan marah saat mendengar dia mengucapkan kalimat selanjutnya.
Memangnya aku cewek seperti apa? Memangnya aku tipe cewek tertentu yang tidak layak untuk dia sukai, begitu? Apa menurutnya aku itu spesies cewek menjijikkan?
Butir air mata akhirnya mengaliri pipiku. Dengan cepat aku segera mengusapnya, tak ingin siapapun melihatnya.
Tidak, aku tidak boleh menangis hanya karena seorang cowok menganggap aku adalah tipe cewek tertentu yang mustahil untuk dia sukai.
Pada akhirnya aku memutuskan untuk berusaha berhenti menyukainya, walau susah benar melakukannya.
Aku pun mulai mundur secara teratur menjauhi Dimas. Awalnya anak itu merasa aneh dengan tingkahku yang tidak menanggapi ucapannya atau candaannya. Namun setelah satu minggu mendapat perlakuan yang sama dariku, akhirnya Dimas pun berhenti. Berhenti mengajariku matematika, berhenti meminjam pulpenku, berhenti menggangguku, dan berhenti menyapaku.
Jarak di antara kami pun mulai terbentang dan terus melebar. Apalagi setelah aku dan Sarah pindah tempat duduk. Otomatis kami menjelma menjadi dua orang yang tidak saling mengenal.
Aku bukannya tidak bisa menerima kenyataan bahwa Dimas menyukai ‘cewek mungil dengan senyum manis itu’, aku hanya sangat kecewa dan marah karena diam-diam Dimas menganggapku sebagai tipe cewek tertentu.
Dan persis seperti dugaanku, perasaan itu memang sulit sekali hilang. Parahnya malah menimbulkan rasa sesak dan amarah.
Mungkin suatu hari nanti aku akan berhenti menyukainya, tapi akan mustahil untuk berhenti membencinya.
****
Jakarta, 2017
-Tanggal: 27 Maret 2011- Aku tidak membencinya lagi dan aku juga berharap kami bisa kembali berteman. Tapi setelah terlalu lama membenci orang itu, membuatku sulit untuk mengatakan sesuatu. Bahkan untuk bilang ‘hai’ saja susah benar. Dan persis seperti hari-hari sebelumnya, kami mengabaikan satu sama lain, seolah memang tidak saling mengenal.
Aku menutup buku harianku setelah membaca sampai habis balada kisah cinta masa SMA-ku yang cengeng dan alay. Huh, selama membaca lembaran-lembaran itu bulu kudukku terus berdiri tegang. Benar-benar tidak menyangka aku pernah menuliskan perasaanku dengan sangat berlebihan. Maksudku, tidak disukai balik oleh orang yang kau sukai bukanlah akhir dari dunia.
Tapi terlepas dari penggunaan kata-kata yang agak menjijikkan atau kisahku yang cengeng, aku merasa senang karena setidaknya aku sangat jujur pada diriku sendiri. Aku pun bangga dengan diriku sendiri yang mau repot-repot menumpahkan keresahan di buku harian, tidak seperti anak remaja zaman sekarang yang apa-apa diunggah ke media sosial. Bukannya malah menyelesaikan masalah, justru menimbulkan masalah baru.
Aku bernapas lega lantas tersenyum. Merasa sangat bersyukur karena pernah memiliki buku harian semasa remaja. Sehingga aku bisa mengenang kembali masa-masa itu. Aku tidak tahu ternyata hal yang dulu membuatku patah hati justru malah menjadi sesuatu yang lucu untuk dikenang.
Dan setelah membaca tulisanku tadi, aku menyadari sesuatu. Terkadang kita merasa luka dan sakit hati tidak akan pernah bisa sembuh, tapi ternyata dengan berjalannya waktu luka itu akan mengering dan sakit yang dirasa akan sembuh.
Mungkin kenangan buruk dan menyakitkan itu tidak akan bisa dilupakan, tapi toh kita akan baik-baik saja. Entah itu besok, lusa, seminggu kemudian, sebulan yang akan datang, satu tahun lagi atau mungkin butuh waktu lebih lama lagi.
Tapi kurasa aku tidak perlu menunggu besok atau lebih banyak waktu untuk menunda beres-beres kamarku yang sudah mirip kapal pecah ini.