"Kenapa kita lari, Tuan? Dan ... kenapa Tuan mengajakku?" tanyaku ketika kami berhenti di tengah-tengah hutan.
Napasku masih terasa berat, begitu juga dengan Tuan Mahawira. Pria itu tersengal, lalu mengambil napas untuk menenangkan diri.
"Jangan banyak tanya! Atau kau mau aku menikah dengan putri yang tidak aku cintai?!"
Tuan Mahawira mengatakan hal itu seolah-olah aku menahannya untuk menyetujui pernikahan itu. Tapi ... memang benar aku tidak begitu setuju dia menikah dengan si putri congkak. Bukan karena hal yang istimewa, tapi karena aku tidak mau putri sombong itu menjadi majikanku.
Bahkan, ketika ia sering kali bermain ke kerajaan Rosalia saja, dia selalu memerintahku semena-mena. Seolah-olah dia punya hak penuh atas diriku.
"Tuan ... yakin para pengawal tidak akan menemukan kita di sini? Kalau sampai kita tertangkap, aku pasti akan dipenjara dan dituduh membawa Tuan lari."
"Aku sudah bilang padamu, jangan banyak bicara. Aku sedang lelah. Biarkan aku istirahat sejenak."
Pria itu lalu menyandarkan punggungnya di sebuah pohon besar. Keringat di tubuh bercucuran sampai-sampai membasahi mantelnya.
Aku menghela napas dalam, lalu menjauh dari Tuan Mahawira. Niatnya, aku ingin mencarikan beberapa buah yang bisa dimakan tuanku yang malang itu. Tapi ... sepertinya tidak ada buah-buahan yang bisa didapatkan di hutan ini.
Aku menyelinap ke semak-semak sambil terus mencari apa saja yang bisa dimakan. Kebetulan sekali, seekor terlihat melompat-lompat. Meskipun merasa kasihan dengan hewan lucu itu, tapi mau tidak mau ini pilihan terakhir bagiku.
Aku pun memutuskan untuk menangkap si kelinci. Sayangnya, ia masuk ke semak-semak belukar yang sulit untuk dijangkau. Aku mencoba untuk melihat ke mana si kelinci bersembunyi, tetapi saat sedikit lagi tubuhku bisa melewati semak-semak itu, seekor ular tampak akan memangsaku.
Aku berteriak kencang karena terjatuh ke belakang. Kugunakan sebuah ranting pohon yang kutemukan di sekitar untuk mengusir ular itu. Namun, sayangnya sama sekali tidak bisa membuatnya pergi menjauh.
"Tolong!" teriakku berharap seseorang datang menyelamatkan.
Ular itu sudah semakin dekat dan bersiap akan melilit tubuhku. Aku memejamkan mata. Beberapa detik terpejam, tak ada yang terjadi. Karena heran, aku membuka kembali kedua mata.
"Mati kau ular! Mati kau!"
Kulihat Tuan Mahawira membanting ular sepanjang lima meter itu begitu mudah. Terakhir kalinya, pria itu memutar-mutar ular di udara, lalu melemparnya tinggi-tinggi.
"Mengganggu saja! Pergi kau jauh-jauh! Dan jangan pernah ganggu dia lagi."
Aku bergeming menyaksikan keberanian Tuan Mahawira. Di mataku, ia seperti pangeran penyelamat. Sayangnya ... aku bukan tuan putri seperti yang ada di dalam dongeng.
"Kau tidak apa-apa?" Diulurkan tangannya oleh Tuan Mahawira untuk membantuku berdiri.
"T-tidak apa-apa," jawabku sambil meraih tangan pria itu dan berdiri.
"Kau tidak bisa diam?! Kalau aku tidak memerintahkanmu sesuatu, kau jangan pergi seenaknya!"
Pria itu terlihat sangat marah dan terus-menerus mengomel. Aku pun hanya tertunduk sambil mendengar ocehannya.
"M-maaf," ucapku lirih sesekali.
"Baiklah. Sekarang kita jalan untuk mencari makanan. Aku lapar sekali."
Tuan Mahawira melangkah santai, sementara itu aku mengikutinya dari belakang.
"Sebenarnya ... tadi aku juga sedang mencari makanan, Tuan. Tapi, aku tidak menemukan buah-buahan di hutan ini."
"Kau tidak perlu melakukannya seorang diri."
"Bukankah aku ini pelayanmu, Tuan? Sudah jadi tugasku untuk melayani Tuan."
Tuan Mahawira berhenti melangkah. Ia membalikkan badan, lalu menatapku. Namun, aku mengalihkan pandangan ke sembarang arah karena benar-benar tidak mampu untuk membalas tatapannya itu.
"Lalu, kenapa kau tidak mau saat aku memintamu menemaniku tidur?" tanya Tuan Mahawira sambil berkacak pinggang dan mencondongkan kepalanya di depan wajahku.
"Itu karena ... karena ... T-Tuan bukan s-suami .... Maaf, aku tidak pantas, Tuan. Sungguh tidak pantas seorang pelayan menemani tuannya tidur."
Tuan Mahawira membuang pandangan, lalu berkata, "Memuakkan sekali. Aku sangat tidak suka dengan aturan para bangsawan ini. Aku ingin bebas, kau tahu? Aku ingin bebas dan jadi orang biasa saja! Seperti kau!"
"Memangnya kenapa Tuan mau jadi orang biasa? Sungguh tidak enak jadi orang biasa, Tuan. Hidup Tuan sudah mewah, apa pun yang Tuan inginkan dapat terkabul dengan mudah."
"Enak?!" Pria itu mengerutkan dahi. "Apanya yang enak? Pernikahan ditentukan oleh aturan, aktivitas dibatasi, makan tidak boleh sembarangan. Apa itu yang kau maksud dengan hidup enak? Jangan membuatku tertawa!"
Aku terdiam mendengar segala celoteh Tuan Mahawira. Mungkin pria itu memang sudah muak dengan segala peraturan dunia orang-orang bangsawan seperti yang dikatakannya.
"M-maafkan aku, Tuan. Aku ... tidak bermaksud—"
"Ya ... sudahlah. Ayo, kita lanjutkan perjalanan."
---------------------
"Kau berjalanlah ke sana, sedangkan aku akan menjaga kelinci itu di sini."
Setelah mendapatkan perintah, aku pun berjalan ke arah barat, mengendap-endap dari jarak yang tidak diketahui oleh kelinci yang sedang kami buru. Sementara Tuan Mahawira siap dengan senjata yang sudah ia buat dari cabang pohon. Kebetulan pria itu selalu membawa pisau kecil dan menyelipkannya di pinggang.
Kelinci belum menyadari kehadiranku yang telah berhasil tiba di belakangnya. Aku terus mengendap-endap. Karena makan terlalu lahap, mungkin si kelinci tidak peduli dengan sekitar. Inilah kesempatan bagus untukku.
Aku menjaga kelinci itu, ketika akan menangkapnya, ia berlari. Untung saja, Tuan Mahawira sudah siap dengan senjatanya. Pria itu melemparkan cabang pohon yang sudah ia bentuk tajam layaknya anak panah atau tombak.
Jantungku berdebar melihat lesatan kayu tajam itu, tetapi kemudian berhasil menancap di perut si kelinci.
Aku lihat Tuan Mahawira tersenyum senang. Begitu pun denganku yang sangat gembira seraya berteriak-teriak kegirangan.
Kulangkahkan kaki dan mengambil si kelinci yang sedang sekarat. "Maaf, ya, Tuan Kelinci. Kami terpaksa melakukannya karena sangat lapar," ucapku sambil mengelus kepala sang kelinci.
"Bawa kelincinya kemari!" teriak Tuan Mahawira. Seperti biasa, pria itu tidak akan berhenti berteriak sebelum aku memenuhi keinginannya.
"Baik, Tuan," kataku sedikit kesal.
---------------------------
"Ini untukmu, dan ini, yang besar untukku."
Tuan Mahawira memberikan satu bagian paha kelinci yang sudah dibakar matang untukku, sementara sisanya untuk dia sendiri. Dasar egois.
Tuan Mahawira sangat lahap menyantap daging kelinci, padahal si kelinci tidak begitu besar. Namun, kasihan sekali Tuan Mahawira. Baru kemarin ini hidupnya enak, makan tanpa perlu berburu atau melakukannya sendiri.
"Kenapa kau tidak makan? Kau kenyang?"
Tuan Mahawira menghamburkan khayalanku tentangnya. Padahal aku suka sekali melihatnya makan. Aku tidak ingin diganggu saat menyaksikannya makan.Kutatap daging kelinci di tangan. Setelah dipikir-pikir, aku tidak begitu lapar.
"Buat Tuan saja," kataku kemudian sambil mengacungkan daging kelinci itu.
"Kau bercanda?"
"Tidak, Tuan. Aku kenyang."
"Kenyang? Kapan kau pernah makan? Bukankah dari tadi pagi kau terus bersamaku?"
"Tidak apa-apa, nanti aku mencari buah-buahan yang bisa dimakan. Aku benar-benar tidak nafsu makan."
"Kau tidak sedang membohongiku, kan?"
Aku mengangguk cepat. Sejenak Tuan Mahawira menatap daging kelinci yang kupegang, lalu mengambil dan lanjut memakannya.
Aku sungguh-sungguh senang melihatnya lahap sampai-sampai tak sadar diriku tersenyum begitu lebar.
"Kita bermalam di sini saja. Hari ini kita istirahat, baru keesokan harinya kita ke negeri tetangga."
"Apa yang akan kita lakukan di sana, Tuan?"
"Hidup tenang. Aku ingin menjadi orang biasa. Mungkin aku bisa mendapatkan pekerjaan di sana."
"Bagaimana kalau orang-orang mengenali Tuan?"
"Tidak akan ada yang mengenaliku. Kau tenang saja."
Aku mengangguk pelan.
Setelah makanan habis, Tuan Mahawira berkata dirinya mengantuk. Oleh karena itu, ia langsung merebahkan diri di atas daun pisang yang sama sekali lebih kecil dari tubuhnya. Batu pun ia gunakan sebagai bantal. Malang sekali tuanku.
Aku berada cukup jauh dari Tuan Mahawira. Sebelum tertidur, pria itu memberikan mantelnya untuk kujadikan selimut. Padahal, saat ini pun tubuhnya menggigil kedinginan.
Aku tidak tega melihatnya tidur dan kedinginan seperti itu sehingga beranjak bangkit dan memberikan mantelnya kembali.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Tuan Mahawira tiba-tiba saat aku berusaha menutupi tubuhnya dengan mantel.
Aku terdiam dan berusaha memikirkan alasan. "T-Tuan lebih membutuhkannya."
"Apa kau bodoh?! Aku ini seorang pria. Dingin tidak membuatku sakit, tidur di mana pun aku nyaman. Dan kau?"
"M-maaf, Tuan."
Saat menunduk, kurasakan sebuah tangan merangkulku. Tuan Mahawira.
"Kalau begitu kita bagi dua. Kita tidur bersama."
Meskipun tidak cukup besar, tetapi mantel tebal yang terbuat dari kulit beruang itu mampu menghangatkan kami.
"Sekarang tidurlah. Aku tidak akan menghadap ke belakang. Jangan takut, aku juga tidak akan melakukan hal-hal aneh padamu."
Kami tidur saling membelakangi. Akan tetapi, hal itu mampu membuatku terjaga cukup lama karena asyik mendengarkan suara napas Tuan Mahawira. Sepertinya ia sangat lelah.
----------------------
Saat membuka kedua mata, sesuatu yang pertama kulihat adalah wajah Tuan Mahawira. Begitu dekat, napasnya kurasakan mengembus di depan wajahku. Terlebih, ia menatap dengan heran.
"Aaaaaaaaaarrrrrgggggghhhh!" teriakku karena terkejut, terlebih kulihat tanganku melingkar di tubuhnya.
------------------------
Perfect. Awalnya aku berpikir di chap dua Mahawira mengajak Cornelia kabur adalah dipaksakan dan janggal, tapi sepertinya tidak dan akan terjawab chap selanjutnya.
Comment on chapter BAB 3: Pelukan Hangat TuankuAku bukan fans cerita romance, dalam genre ini aku sangat pilih-pilih. Namun aku jadikan ini roman story pilihanku, ya :D
Serius, aku suka banget. Kasih tahu aku tiap kali up ya. Aku akan kasih rev kalau sudah jauh. Salam dan terus berkarya dengan luar biasa!