Read More >>"> Ankle Breaker: Origin ([Chapter 8: Bloody Hurt]) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ankle Breaker: Origin
MENU
About Us  

ANKLE BREAKER ORIGIN

[Chapter 8: Bloody Hurt] 

 

Antologia mau pun Shadawn saling membenturkan tekanan demi tekanan, berbalas penambahan skor.

"What-whatation is that?" Bimo mengetahui Silvia di antara dua rekan menjaga Alter, juga dua rekan lain di belakangnya. "Full team?"

"Paralel, mereka enggak sekonyol Excalibur bikin lingkaran," kata Trea.

Alter mengincar arah kiri, memancing Silvia menutup arah yang ia tuju dengan pembatalan tiba-tiba. Segera menyilangkan arah diagonal ke kanan, menuju celah yang tidak ia dapatkan di antara tiga perempuan dalam jangkau penglihatannya. Kemudian mengambil dua langkah mundur, sepasang matanya meninjau.

"Pergerakannya teratur," kata Andreka. "Kombinasi penjagaan full team yang cantik."

"Ya. Apalagi orangnya," sambung Wasik.

"Pertama kali aku lihat defense macam itu," Trea mengesan.

"Ergh!?" Benak Silvia tertusuk, sorot mata Alter yang ia tatap memberinya pengaruh itu. Refleks ia bereaksi teratur terhadap empat rekan, saling menutup tiap-tiap celah yang akan Alter manfaatkan.

"Pertahanan paling aegistik yang pernah aku lihat. Bener-bener what-whatation," Bimo terkesan.

"Ae-aegistik?" tanya Wasik.

"Alter!"

Menoleh ke kanan, Alter melihat Ivan. Tiba-tiba dua perempuan mengantarai jaraknya terhadap Ivan. Satu dentum pantulan bola ke kiri, searah langkah Alter mengambil jarak ke hadapan Silvia lebih dekat. Manufer demi manufer dengan gaya esensial Alter tampilkan dalam kerapatan lima penjagaan.

Ivan melirik monitor, menatap hitungan mundur waktu violasi semenjak lima detik tersisa. "Ch!" gumamnya merisau.

"Wha...," Bimo terkesima, "what-what...."

"Apa-apaan dia?" Andreka sama terkesima, memotong ungkapan Bimo. Ia lihat dua pemain Shadawn saling menumburkan diri, tanpa sengaja menyebabkan wajah yang seorang —mengarahkan hidung dan bibir— bertemu sebelah pipi seorang yang lain.

Silvia memutar badan ke kiri, lalu terhuyung jatuh ke depan. Tangan kirinya menindih sekitar dada seorang yang terjungkal telentang di bawahnya, sedangkan tangan kanan menyangga ke dasar court menahan berat badannya. Sejarak lima senti lagi, hampir saja bibir Silvia mengenai kening seorang yang ia tindih.

"Owh!?" Trea melihatnya, punggung seorang pemain Shadawn jatuh menimpa punggung dan sekitar tengkuk Silvia. Juga Trea lihat akibat yang terjadi karenanya, yang Silvia lakukan tanpa sengaja.

Alter memunggungi tiga pemain Shadawn yang jatuh, mau pun dua yang tidak sempat membatalkan operannya kepada Ivan di high-post yang dekat. Ivan melempar lurus bolanya mengarah ke kolong rim, tepat ke kolong rim.

"Argh!" Suara yang membuat Alter berbalik badan, menoleh ke bawah.

Alter mendapati belakang jersey bernomor enam belas milik seorang pemain Shadawn, tangan kirinya memegangi lengan kanan sambil merintih.

"Referee time out!"

Alter mengabaikannya, melangkah menuju bench. Bactio dan Ivan mengikuti punggung Alter sambil memperhatikan dua pemain Shadawn yang merintih, sementara regu pertolongan pertama membawa masuk tandu dan kopor medis ke dalam court. 

 

"Kamu lihat Silvia barusan?" tanya Bimo ke Wasik, lalu memperagakan dengan isyarat tangan. Wasik mengerti maksudnya, sehingga mereka berdua tergelak.

"Eh, yang tangannya cedera tadi, yang pipinya auto kena cium, kan?" tanya Wasik ke Bimo. Keduanya tergelak lagi.

 "Gila, Alter numbangin full team sampai bikin insiden in memoriam gitu," kata Bimo.

"Eh? Memorable maksud lu," kata Wasik.

"Kerja bagus, Alter!" sambut Andreka ketika Alter menghampiri dengan berisyarat kepada Trea sehingga diberi sebotol air minum. "Sekarang aku lebih paham alasan EO nentuin kamu jadi limited player."

"Udah lima pemain yang kamu tumbangin," kata Trea. "Berarti Shadawn enggak lagi punya pemain cadangan yang prima."

Alter mengakhiri tegukan, mengunci penutup botol. "Itu yang aku rencanain dari awal. Di sisa waktu setelah ini, mereka akan ragu lakuin face guard. Enggak akan rapetin aku kayak sebelumnya. Karena itu ...."

 

***

 

Trea memperhatikan satu per satu wajah pemain Shadawn yang sedang bertahan. "Di hati mereka ada keraguan, dan sedikit trauma. Tekanan serang mereka yang tadi masih tajam, tapi pertahanannya sekarang enggak secantik biasanya."

"Ya, meski orangnya masih," sanggah Wasik.

Kedua tim saling berbalas mencetak skor. Enam puluh satu poin semntara perolehan Antologia, di samping enam puluh tiga poin sementara perolehan Shadawn.

"Sepuluh detik terakhir. Ayo Alter!" Trea gemas dan was-was.

Alter memasang sorot mata setajam tiap kesinambungan gerakan yang ia lakukan di antara tiga penjagaan.

"Tch! One ex three yang riskan!" Trea merisau. "Oh!?"

"Kolektifitas bentuk pertahanan boleh lebih variatif dilakuin tiga orang. Tapi kombinasi enggak selalu jadi satu pikiran. Selalu ada celah," kata Andreka memperhatikan Alter ketika melewati tiga penjagaan. "Empat detik terakhir," sekilas melirik sisa waktu pertandingan. "Ini serangan terakhir sekaligus penentu hasil pertandingan!"

Satu pemain Shadawn yang Alter lewati beralih menjaga Bactio, sedangkan dua lainnya menjaga Ivan. Dari posisinya di sisi dalam lingkar tengah court, Alter mendapati Lika dan Silvia menjaga low-post. Sekilas melirik ke kiri, menemukan Bactio dalam penjagaan Krisi yang barusan ia lewati. Di sisi kanannya dua perempuan merapatkan penjagaan pada Ivan.

"Alter!" Trea gemas merisau.

"Enggak bisa ngoper. Enggak ada waktu ladenin Lika sama Silvia. Dia harus bikin buzzer-beater!" Wasik tegang menanggapi.

"Tapi Alter belum nembak sejak sejak dia masuk," Bimo sama tegangnya menyanggah. "Akurasinya...."

Alter mengerti, semua pilihan terakhir ia dapat untuk —timnya— kalah. Bahkan sisa waktu pertandingan juga menunjukkan demikian. Alter meledakkan percepatan lari, menghampiri Silvia dan Lika. Dua detik tersisa. Sampai di ujung tengah lengkungan garis low-post, Alter melompat. Satu detik tersisa, wajah Silvia dan Lika saling tengadah, melihat Alter menekuk kedua kaki sebatas bahu mereka berdua.

 

Sejengkal tangan kanan Alter ke atas kepalanya memegang bola. "Hgraah!" menghempaskannya lurus secara diagonal ke bawah dengan sekuat tenaga. 

Bola melintas di atas rambut ombre pirang Silvia mau pun rambut hitam Lika yang lurus, lalu mereka berdua dengar dentuman dari belakang.

"Buzzer-beater!" narator laki-laki berseru, membuat narator perempuan mengulangi ungkapannya.

"Skor akhir pertandingan. Antologia, enam puluh sembilan. Shadawn, enam puluh delapan," narator mengumumkan.

Riuh kegembiraan terdengar dari beberapa sudut tribun, juga beberapa tepuk tangan. Alter merasakan beberapa rangkulan dan usapan pada rambutnya, seperti yang ia lihat pada Bactio dan Ivan. Alter menatap setiap wajah teman-temannya yang berseri bungah.

"Good daym, Alter!" kata Andreka sambil menepuk bahu kanan Alter.

"Senyum, dong Alter!" kata Trea sambil menunjukkan sekahan indah dan manis padanya seperti yang ia katakan.

Kedua tangan Alter menadah, ia lihat lilitan verban yang memerah sebagian.

"Kamu drible so hard, sih," kata Trea. "Nanti aku ganti verbannya."

 

***

 

Alter duduk menyandar pada sofa seperti lima laki-laki yang lain dalam satu ruang tamu minimalis. Trea mengusap-usapkan pelan kapas basah pada telapak tangan kiri Alter yang memerah bengkak seperti yang kanan.

"Aku enggak pernah lihat kamu bikin jam dunk selama latihan," kata Bimo. "Itu ending paling high-light dalam pikiranku. Jam dunk pertama di dunia nyata yang pernah aku lihat," akunya mengesan.

"Itu enggak bisa aku lakuin dua kali, atau sering, terutama di saat paling gamble," balas Alter.

"Jadi kemenangkan kita sore tadi berarti karena kamu menang gamble," sambung Andreka.

"Aku kasih verban lagi," kata Trea. "Sementara, kamu enggak usah latihan dulu. Kemungkinan jadwal semi final kita Hari Sabtu. EO suka nentuin jadwalkan weekend. Semoga lima hari ke depan cukup waktu buat nyembuhin lukanya." Ia melilitkan verban pada tangan kiri Alter. "Jangan pegang yang aneh-aneh!"

 

***

 

Skema pertandingan ditampilkan pada layar laptop. Tanpa kacamata, juga tanpa penerangan dari lampu kamar, Alter tampak membaca poster digital yang menyisakan satu pertandingan terakhir. Terjadwalkan sesuai tanggal tertera pada kepala poster: Sunday on 20 June 2020 at 19.00 WIB, untuk Antologia melawan Claster.

"Hem, perebutan juara tiga enggak ada, ya?" gumamnya.

Fokus penglihatan Alter beralih ke jejak skor akhir pertandingan Antologia di kuarter final melawan Shadawn dengan hasil kemenangan 69-68, lalu ke semi final melawan Saint Tower dengan hasil kemenangan 73-70. Beralih ke jejak skor akhir pertandingan Claster melawan Sagulung Sharkwale beroleh 85-63 di kuarter final, lalu ke semi final Claster melawan Star Knight dengan skor 88-68.

"Selisih dua puluh poin?" gumamnya. Ia mengingat suatu hal ... wajah EO yang bicara padanya pada final grup .... dan yang orang itu katakan. Wajah Arias muncul menggantikan wajah petugas EO sewaktu situasi pertandingan malam berganti pagi pada court yang sepi. Dalam pikiran Alter mengingat ucapan Arias ketika bertolak menunggunginya.

Dering satu getaran ia dengar. Alter melihat ke gawai —sebelah alas tetikus— yang layarnya menyala, menampilkan notifikasi pesan dalam Messagram yang muncul di bawah tamplian waktu 06.18 Minggu 14 Juni 2020. 

Alter buka Messagram, membaca satu pesan terbaru yang masuk dari nama kontak Trea.

Alter udah bangun? 

Belum. Alter balas.

Ih, balas chat kok belum bangun. Ditambah emoticon merasa bingung. Ini lagi mimpi, ya? Ditambah emoticon tertawa. 

Iya. Lagi mimpiin kamu sekarang. Balas Alter.

Haha, ditambah emoticon tertawa sambil miring. Jangan cuma dimimpiin. Dinyatain dong. 

Apa yang dinyatain? Balas Alter, lalu menunggu Trea mengetik.

Mimpinya lah.

Kamu terlalu nyata untuk diimpikan. Balas Alter. 

Trea membalas dengan tiga emoticon tertawa sambil miring berjajar. Lalu membalas lagi di bawahnya. Tangan kamu udah baikan? 

Enggak tahu, enggak buka verban. Balas Alter.

Kamu rasain gimana?

Enggak tahu. Kayaknya gak enak.

Ihh. Trea membalas lagi. Merapat, yuk makan di Pandasera.

Berdua?

Trea balas dengan emoticon tertawa. Membalas lagi di bawahnya. Bertujuh.

Kirain berdua.

Yuk. Tapi kapan-kapan. Menambahkan emoticon cium. Sekarang bertujuh ada dulu.

Bertujuh kalo di depan. Di belakang bisa berdua gak? Ditambah emoticon tertawa.

Trea balas dengan emoticon terkejut.

 

***

 

Pada satu konferensi meja makan kru Andreka merapat. Di hadapan masing-masing ada minuman yang sama dalam gelas bertangkai yang sama, mungkin sendok pengaduk gulanya juga. Namun bentuk pecahan es batu yang mendinginkan teh obeng —sebenarnya es teh, tapi di kota ini biasa dikatakan teh obeng, meski tehnya tidak tumbuh dari obeng yang ditanam atau ada obeng yang dicelup dalam tehnya— mereka tidak sama. 

"Lihat, nih! Aku dapat rekaman Claster di semi final, dari channelnya di YouPlay," kata Bimo sambil memosisikan gawainya mendatar. Teman-temannya ikut melihat. "Ada satu female player Claster yang perlu kalian tahu."

"Kenapa? Dia cantik?" tanya Ivan.

"Selain itu," jawab Bimo.

Mereka bertuju memperhatikan sosok yang sama, kepada satu perempuan yang mendapat dua penjagaan. Perempuan itu melakukan dua langkah mundur.

"Oey, dia ngapain?" Andreka heran mengetahui perempuan itu melesatkan tembakan. "Dari low-post sendiri? Yang bener aja? Itu jarak yang absurb."

"Shoot apaan, tuh? Tinggi banget, bukan fundamental," Wasik menanggapi yang diperhatikannya. "Rute pelambungannya hampir vertikal."

"Woe? Yang bener aja," Bactio menyambung. Ia memperhatikan tayangan rekaman sedang diarahkan ke awan, mengikuti bola yang sempat menutup posisi matahari terhadap lensa. "Titik puncak pelambungannya tinggi banget."

Wasik memperhatikan bola di antara awan dalam rekaman sedang bergerak turun. "Bener banget. Kurva pelambungannya curam."

Pengambilan rekaman mengarah turun menuju low-post, tampilan didekatkan —zoom in— dan titik fokus terpusat pada rim sehingga kepala enam pemain di low-post itu tidak lagi terlihat. Tiba-tiba bola jatuh ke kolong rim sambil menggoyangkan jaring, diiringi riuh sorakan yang berisik, juga beberapa tangan terangkat di antara beberapa yang menari-nari memutar syal.

"Gila, kan? Teknik dan akurasinya absolut," akunya Bimo.

"Hem, berapa banyak rekaman dia bisa bikin tembakan itu, selain di video ini?" tanya Trea.

"Baru satu ini yang aku dapat," jawab Bimo.

Alter memperhatikan tampilan rekaman beralih kepada sosok pemain yang membuat tembakan barusan, sehingga tampilan didekatkan dan terfokus pada wajahnya. 

"Kalau ternyata dia emang bisa lakuin itu kapan aja...," Andreka menjeda. 

Jari telunjuk Alter menyentuh tombol jeda, memandang wajah itu dengan penuh perhatian.

"Kenapa, Alter?" tanya Andreka.

"Tahu ya? Emang cantik dia," kata Ivan.

"Siapa?" tanya Trea mengetahui Alter bergumam pelan dan samar ia dengar.

"Ribka. Dia bisa lakuin tembakan itu kapan aja dia mau," kata Alter.

"Ribka?" tanya Bactio.

"Ribka, ya namanya?" tanya Ivan.

"Owh," Andreka mengerti suatu hal. "Kamu kenal?"

"Ya, pernah, kenal," jawab Alter.

"Semalam aku baca di website resmi BSGE, dan sekarang aku tahu siapa limited player dari Claster yang cuma dibolehin main dalam dua kuarter," akunya Andreka. "Berarti kamu juga kenal gaya basketnya?"

"Kurang lebih," jawab Alter.

"Termasuk pemain Claster lainnya?"

Alter menggeleng.

"Hem, jadi kamu tahu seberapa bahaya dia buat tim kita?"

"Aku enggak bisa mastiin. Mungkin ... dia memang diperluin timnya hingga bisa sampai di final."

"Alter!" panggil Trea dari sebelahnya. "Waktu kita baru kenal, aku ingat kamu pernah bilang, seseorang yang awalnya membangkitkan teknik ankle break kamu waktu di Nagoya. Claster dari Nagoya." Ia menatap mata Alter dengan tetap, menangkap sesuatu yang terungkap lewat tatapan yang Alter berikan. "Apa dia yang kamu maksud?"  

Alter mengangguk.

"Hem, gitu ya," Trea memahami suatu hal. "Kamu putus darinya ..., kan?"

"Ayam penyet tiga, geprek empat," kata seorang laki-laki membawa susunan piring berisi hidangan pada sebuah nampan yang ia bawa. Menyajikan tiap piring satu per satu ke meja bundar mereka.

Alter sedikit menggeser posisi duduknya ke kanan, mengetahui seorang laki-laki yang lain sedikit membungkuk ketika menyajikan mangkuk-mangkuk berisi air bersih dari sebelah kirinya.

"Yuk, berdoa!" kata Ivan. "Bact, imamin!"

"Fuque, panas!" Bimo mengaduh, mengibaskan jari yang sempat memegang paha ayam yang utuh.

"Berdoa dulu makanya. Udah dikasih tahu juga," Trea menanggapi.

"Kamu yang netelin, ya," Bimo membalas.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • Gladistia

    Baru 2 chapter, udah suka. Jadi nostalgi. Keren Dhio, lanjut dongsss.... ^^

    Comment on chapter Chapter 3: Excalibur
Similar Tags
Warna Jingga Senja
4396      1214     12     
Romance
Valerie kira ia sudah melakukan hal yang terbaik dalam menjalankan hubungan dengan Ian, namun sayangnya rasa sayang yang Valerie berikan kepada Ian tidaklah cukup. Lalu Bryan, sosok yang sudah sejak lama di kagumi oleh Valerie mendadak jadi super care dan super attentive. Hati Valerie bergetar. Mana yang akhirnya akan bersanding dengan Valerie? Ian yang Valerie kira adalah cinta sejatinya, atau...
Delilah
8309      1713     4     
Romance
Delilah Sharma Zabine, gadis cantik berkerudung yang begitu menyukai bermain alat musik gitar dan memiliki suara yang indah nan merdu. Delilah memiliki teman sehidup tak semati Fabian Putra Geovan, laki-laki berkulit hitam manis yang humoris dan begitu menyayangi Delilah layaknya Kakak dan Adik kecilnya. Delilah mempunyai masa lalu yang menyakitkan dan pada akhirnya membuat Ia trauma akan ses...
Oscar
2218      1053     1     
Short Story
Oscar. Si kucing orange, yang diduga sebagai kucing jadi-jadian, akan membuat seorang pasien meninggal dunia saat didekatinya. Apakah benar Oscar sedang mencari tumbal selanjutnya?
Lost in Drama
1761      673     4     
Romance
"Drama itu hanya untuk perempuan, ceritanya terlalu manis dan terkesan dibuat-buat." Ujar seorang pemuda yang menatap cuek seorang gadis yang tengah bertolak pinggang di dekatnya itu. Si gadis mendengus. "Kau berkata begitu karena iri pada pemeran utama laki-laki yang lebih daripadamu." "Jangan berkata sembarangan." "Memang benar, kau tidak bisa berb...
Mawar pun Akan Layu
884      469     2     
Romance
Semua yang tumbuh, pasti akan gugur. Semua yang hidup pasti akan mati. Apa cintamu untukku pun begitu?
SIREN [ RE ]
580      313     5     
Short Story
nyanyian nya mampu meluluhkan hati. namanya dan suara merdunya mengingatkanku pada salah satu makhluk mitologi.
Simplicity
9170      2188     0     
Fan Fiction
Hwang Sinb adalah siswi pindahan dan harus bertahanan di sekolah barunya yang dipenuhi dengan herarki dan tingkatan sesuai kedudukan keluarga mereka. Menghadapi begitu banyak orang asing yang membuatnya nampak tak sederhana seperti hidupnya dulu.
Sunset In Surabaya
332      241     1     
Romance
Diujung putus asa yang dirasakan Kevin, keadaan mempertemukannya dengan sosok gadis yang kuat bernama Dea. Hangatnya mentari dan hembusan angin sore mempertemukan mereka dalam keadaan yang dramatis. Keputusasaan yang dirasakan Kevin sirna sekejap, harapan yang besar menggantikan keputusasaan di hatinya saat itu. Apakah tujuan Kevin akan tercapai? Disaat masa lalu keduanya, saling terikat dan mem...
My Soul
138      103     1     
Fantasy
Apa aku terlihat lezat dimatamu? Meski begitu,jiwaku hanya milikku bukan untuk siapapun. ---- -Inaya- Jika dikira hidupku ini sangat sempurna dan menyenangkan,memiliki banyak teman,keluarga dan hidup enak,tidak semua benar,aku masih harus bersembunyi dari para Soul Hunter,aku masih harus berlari dari kejaran mereka setiap saat,aku juga harus kabur dari setiap kejadian yang melibatkan So...
you're my special moments
2391      948     5     
Romance
sebenarnya untuk apa aku bertahan? hal yang aku sukai sudah tidak bisa aku lakukan lagi. semuanya sudah menghilang secara perlahan. jadi, untuk apa aku bertahan? -Meriana Lauw- tidak bisakah aku menjadi alasanmu bertahan? aku bukan mereka yang pergi meninggalkanmu. jadi bertahanlah, aku mohon, -Rheiga Arsenio-