Aku bingung harus memulai cerita ini dari mana, sebab banyak sekali kata-kata yang berseliweran di kepalaku menyangkut kejadian awal pertemuan koyol aku dan dia.
Jadi sebelum itu, mungkin lebih baik jika aku membawa kalian untuk mengenalku lebih jauh dulu ya…
Nama lengkapku, Cyra Eshal Tharifah. Kalian boleh memanggilku Cyra, Cyra yang berarti bulan.
Nama yang indah bukan? Walau fisikku mungkin tidak seindah nama yang aku sandang. Ingin tahu aku seperti apa? Silahkan kalian bayangkan sendiri sosok perempuan kota usia 20 yang memiliki tinggi badan 160cm dan sedikit berisi -tapi masih terlihat ramping-, rambut hitam panjang, iris hazel yang berbingkai kacamata, hidung mungil, dan memiliki kulit kuning langsat.
Yang muncul di pikiran kalian, tentu aku hanya perempuan biasa saja bukan? Ya memang. Aku adalah perempuan biasa, tapi punya pengalaman yang luar biasa unik.
Well, tidak semua kisah harus tentang si gadis cantik, perempuan culun, atau gadis nakal. Apalagi ini adalah sebuah kisah nyata, tentu akan aku buat sesuai keadaan yang sebenarnya tanpa di lebih-lebihkan.
Ah, ada hal lain yang ingin aku beritahukan lagi pada kalian. Aku lahir di Jakarta, lebih tepatnya tanggal 25 Maret 1998. Sampai sekarang pun saat umurku hampir menginjak 21 tahun, aku masih tinggal di Jakarta, sebab ayah dan ibu memang asli Jakarta.
Bagiku, Jakarta adalah kota dengan lebih dari 1001 cerita, mengenai persahabat erat yang aku jalin sejak masih duduk dibangku TK, mengenai kekonyolan masa SMK, mengenai cinta pertamaku.
Dan kejadian menyangkut hal yang berhubungan dengan dia pun terjadi di Jakarta.
Aku lupa hari, jam, detik, dan tanggal pastinya. Yang jelas semuanya bermula dibulan Juni 2015, di kawasan Cibubur, Jakarta Timur. Bertempat di Kedai Kopi Akasia, sebut saja begitu, sebab jika aku beritahu nama tempat sebenarnya, takut akan jadi masalah berkepanjangan.
Belum, ini belum tentang aku yang bertemu dia. Namun, kejadian cukup penting sebab ada sangkut pautnya mengenai pertemuan kami nanti.
Malam hari dipertengahan Juni, aku ada janji kumpul bersama tiga orang yang merupakan sahabatku sejak masih duduk dibangku taman kanak-kanak. Bahkan dari SD sampai SMP pun kami satu sekolah dan satu kelas juga.
Ketiga orang itu adalah Andre –satu-satunya lelaki-, Putri dan Sarah.
Saat kelulusan SMP, kami berempat memiliki minat yang berbeda atau mungkin juga mengikuti kata orangtua. Aku mengambil jurusan Akuntansi, Andre minat di IPA semetara Putri di IPS, dan Sarah memilih Farmasi.
Semenjak berbeda sekolah, kami jarang ada waktu kumpul bersama, Paling hanya ketika ada acara penting, serta saat salah satu dari kami mengajak kumpul mendadak, sebab ada cerita menarik yang ingin diberitahukan dan lebih seru jika cerita langsung.
Hari itu, setelah sebulan tidak bertemu, Andre bilang ada yang ingin dia bicarakan pada ketiga sahabat perempuannya, dia bilang ketemuan di tempat biasa kami janjian saat masih berseragam putih biru.
Hujan dari pagi hari membuatku malas keluar rumah, sehingga aku datang lebih lama dari waktu yang disepakati. Itu salah satu alasan kecilnya. Sebab alasan lainnya ya… karena memang sudah tradisi diri sendiri selalu datang telat.
“Kebiasaan banget Cyra datang telat.” Sampai Andre pun mencibir hal yang jadi kebiasaanku.
“Tadi gue ketemu teman lama.”
“Dasar jomblo sok sibuk.” Putri ikut mencibir.
“Lo juga jomblo, Put.”
“Udah, di sini ‘kan kalian bertiga jomblo, sesama jomblo jangan pada ribut.”
Omongan Sarah memang nyebelin, tapi ya faktanya dulu begitu sih. Selama bersahabat dalam jangka tahunan, semenjak mulai remaja hanya dia yang punya pacar. Kalau bicara fakta kadang menyakitkan ya.
Begitulah kalau kami kumpul, hal yang sering jadi perdebatan atau bahan candaan awal adalah status. Tapi saat itu ada yang berbeda.
“Ups, sorry girl’s. Sekarang gue juga nggak jomblo nih.”
Ucapan Andre sukses membuat aku, Putri dan Sarah melongo sesaat, sebelum akhirnya tertawa geli.
Biasanya Andre yang sangat semangat membahas kalau jomblo adalah status paling mulia diurutan kedua setelah menikah. Alasan yang dia bilang, terhindar dari maksiat, hemat uang, dan bisa fokus pada cita-cita.
Aku dan yang lain tentu tahu dia beralasan begitu karena ingin melindungi harga dirinya, mengeluarkan penjelasan seolah enggan punya pacar. Padalah sebenarnya, nasib percintaannya paling mengenaskan antara kami, 17 tahun hidup selalu jomblo dan ditolak perempuan berkali-kali.
Apalagi sebelum dia bilang pengumuman itu, sebulan sebelumnya kami meledeki dia habis-habisan karena ditolak perempuan -lagi-.
“Cewek mana yang khilaf mau jadi pacar lo?” Sarah meledek.
“Paling mengkhayal aja tuh, maklum kelamaan jomblo,” Putri menimpali dengan nada menyebalkan.
“Ya menurut kalian, gue traktir makan di sini dan ada hal penting yang mau gue omongin sama kalian, karena apa? Ya jelas karena gue baru jadian sama seseorang.”
Aku mengeryitkan dahi, masih belum percaya. “Cerita dong awal kalian kenal.”
Sorot matanya langsung terlihat gelisah, seperti ada hal yang dia sembunyikan dari kami. Melihat dia yang seperti itu, rasanya aku ingin sekali mengejek dengan kata-kata sadis, tapi sebelum aku buka suara, dia lebih dulu bercerita. Tentang gadis yang katanya saat itu adalah pacarnya.
“Namanya Kiara, dia baik, perhatian, dan enak jadi tempat cerita, orangnya juga gampang bergaul, banyak kesamaan antara gue dan dia, mungkin karena itu gue suka sama dia.”
“Ndre, gue nggak tanya tentang dia. Tapi tentang awal kalian kenal.”
Andre menatap kami ragu-ragu. “Awal kita kenal itu dari… Omegle,” dia bicara kata terakhir dengan suara amat kecil, “waktu iseng-iseng main Omegle, nggak sengaja ketemu dia.”
Hening… awalnya sih begitu. Sampai aku, Sarah dan Putri tak bisa menahan tawa lagi, hingga membuat bising kedai, bahkan ditegur pelayan akibat pengunjung lain merasa tidak nyaman.
Wajar kami tertawa. Toh Andre kenal dengan pacarnya kala itu dari Omegle.
Kalian tahukan apa itu Omegle?
Kalau belum tahu, mari aku jelaskan sedikit. Jadi, Omegle itu sebuah situs chat random antara orang-orang dari berbagai Negara. Ya, kalian bisa chat sepuas hati entah dengan siapa pun itu, meski kalian tidak kenal orang yang kalian ajak chat. Umumnya sih, Omegle ini digunakan sama para jomblo yang sedang cari pasangan, atau para lelaki kesepian yang cari perempuan untuk diajak nakal.
Dan mungkin, sahabatku itu salah satunya.
Memangnya buat apa cari pacar di dunia maya, kalau lebih laku di dunia nyata?
“Ketawain gue aja terus! Ketawain!”
“Segitu nggak lakunya lo ya, Ndre? Sampai cari pacar lewat Omegle?” Sarah kembali meledek.
“Bukannya nggak laku. Di era sekarang, banyak kok orang pcaran kenalnya lewat dunia maya, nggak hanya gue. Ingat kata-kata yang sering muncul di timeline Instagram, cinta itu bisa datang dari mana aja termasuk dari dunia virual sekali pun.”
“Ingat juga kata pepatah, Ndre. Cinta itu dari mata turun ke hati. Kalau lo belum pernah lihat dia secara langsung, mana mungkin lo bisa jatuh cinta sama dia,” ucapku.
“Justru kayak gitu yang lebih tulus. Lo belum pernah lihat dia, tapi lo udah bisa jatuh cinta sama dia. Cinta yang nggak pandang fisik.”
“Ya… terserah lo, Ndre,” aku mengibaskan tangan, malas berdebat, “lo mau jelasin kayak gimana pun nggak merubah pandangan gue ke lo, kalau lo itu nggak laku, jadi cari pacar lewat dunia maya.”
“Lo mau bilang gue nggak laku juga nggak apa-apa, Ra. Toh gue lebih baik dari lo yang cuma bisa nunggu seseorang yang belum jelas hatinya untuk siapa. Padahal kalian udah dekat banget kayak orang pacaran.”
Skakmat!
Ucapan Andre membuat aku bergeming. Lalu suara tawa dari ketiga sahabatku memenuhi indera pendengaranku. Dulu,aku paling malas jika disudutkan dalam hal tersebut, makanya aku diam saja tidak merespon apa pun…
“Udah, Ra, lo ikut cara Andre aja cari pacar lewat Omegle,” saran Putri dengan nada mengejek.
“Betul, Ra. Siapa tahu ‘kan lo ketemu jodoh dari sana? Akhirnya bisa move on dari Adrian,” timpal Sarah.
“Bisa-bisa Cyra mati berdiri kalau gue tahu dia main Omegle. Secara gitu, dia udah ngejek gue.”
…tapi saat itu, aku sudah kesal setengah mati, jadi aku balas saja dengan emosi supaya mereka bertiga diam.
“Gue nggak akan main Omegle, apalagi nyari pacar lewat situs itu! Gue masih laku di dunia nyata kali, lantas buat apa nyari-nyari di dunia maya?!”
Aku tidak tahu jika perkataan itu ternyata adalah boomerang untuk diriku sendiri di kemudian hari.