Selamat membaca 😄
----------
Keringat Rin mengucur deras. Pikirannya benar-benar kalut. Dia bingung harus menjawab apa. Ditambah dengan hatinya yang ketakutan. Ekspresi laki-laki ini membuat tubuhnya membeku.
"Hai, aku sedang tidak berbicara pada patung. Jawab pertanyaanku," ucap Jiro yang menyadarkan lamunan Rin.
Perempuan itu bimbang. Dia tidak mau laki-laki ini mengenalnya dan mengetahui kemampuannya. Tapi kalau diam saja, dia akan di cap sebagai perempuan yang tidak sopan. Sepertinya, tak ada pilihan lain.
Rin memilih menyentak keras tangan Jiro dan kabur. Cekalan itu terlepas. Jiro merasa kesal dan mengejar Rin secepat mungkin. Dia tidak ingin kehilangan jejak perempuan itu.
Namun sepertinya, dewi fortuna tidak berpihak padanya. Jiro tidak bisa menemukan perempuan itu di mana pun. Dia mengacak rambutnya kasar lalu menghubungi seseorang.
"Kau di mana?"
"Aku masih di jalan. Ada apa?"
"Beritahu lokasi keberadaanmu sekarang. Aku segera menyusul. Sampai bertemu."
Sebelum Masaki menjawab, Jiro memutus sambungan lebih dulu. Dia berjalan ke parkiran lalu mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi.
Sekiranya sudah menjauh, Rin berhenti sejenak lalu menetralkan napasnya yang tidak teratur. Dia lega bisa lolos dari laki-laki itu. Entah apa yang terjadi kalau Rin bertemu lagi dengannya.
Dia melanjutkan langkanya menuju parkiran khusus. Tampak sepeda yang berwarna putih tapi sedikit lecet terparkir sempurna. Sepeda yang sudah tujuh tahun menemani ke mana pun Rin pergi.
Perlahan, Rin mengayuh sepedanya sambil menikmati angin yang berembus. Bunga-bunga sakura saling berjatuhan menghiasi jalan yang dilalui. Bahkan, para pejalan kaki ikut merasakan pemandangan yang indah ini. Melihat hal itu, Rin tersenyum manis. Dia bersyukur atas nikmat yang tuhan berikan.
Tak mau kehilangan momen ini, Rin menghentikan sepedanya di tepi dan mengabadikannya lewat kamera. Kamera kecil model kuno yang selalu di bawa setiap saat.
Ckrek! Ckrek! Ckrek!
Puas dengan hasil gambarnya, Rin melanjutkan perjalanan. Dia akan mencetak foto itu nanti. Tugas penting sudah menunggunya.
*****
"Okaerinasai," sapa seseorang begitu dirinya sampai di tempat tujuannya, Restoran Sakurajaya. Tempat di mana Rin bekerja paruh waktu untuk memperoleh pundi-pundi yen. Mengganti posisi ayahnya yang telah tiada.
Seperti biasa, Rin hanya membalas dengan senyuman. Dia melangkah menuju toilet dan mengganti seragam sekolah dengan seragam kerja. Rok pendek berwarna biru tua dan kemeja pendek yang berwarna senada. Tak lupa, rambutnya diikat agar tidak mengganggu gerakannya.
Setelah berganti pakaian, dia menyemangati diri sendiri sambil keluar dari toilet. Meletakkan tasnya di tempat penitipan barang karyawan. Pekerjaan sebagai pelayan tidak membuatnya malu. Justru, dia menikmati pekerjaannya dengan suka cita. Meskipun ada beberapa pelanggan yang bersikap sinis dan acuh. Ada juga yang ramah dan sopan. Rin bisa menerima semua sikap para pelanggan di sini.
"Rin, antar ini ke meja nomor 14," ucap Taku ketika Rin tiba di sampingnya. Juru masak itu menyerahkan nampan berisi takoyaki dan sencha. Rin menangkap dengan sigap lalu mengantar pesanan itu menuju meja nomor 14.
Sampai di sana, mata Rin menyipit. Dari sekian juta manusia di Jepang, mengapa dia berada di sini?
"Konnichiwa, Rin. O genki desuka?" sapanya ramah.
Rin tidak bisa mempercayai ini! Untuk pertama kalinya, dia kedatangan pelanggan dari teman dekatnya di SMA Asahigaoka. Dia bernama Hashimoto Ken.
Perempuan itu tersenyum lebar dan meletakkan lebih dulu pesanan Ken. "Hai, genki desu. Kimi?"
"Hai, genki desu," jawab Ken sambil meneliti pakaian Rin. "Kamu bekerja di sini?"
Sebelum Rin menjawab, seorang pelanggan memanggil namanya. Terpaksa, dia meninggalkan Ken. Padahal, Rin ingin berbincang dengan Ken. Banyak hal yang ingin dia bicarakan.
"Selamat menikmati," ucap Rin lalu pergi dari hadapan Ken.
Ken mengerti hal itu. Dia masih memiliki banyak kesempatan untuk berbicara dengan Rin. Ken langsung menikmati makanan yang sudah dipesan. Sesekali, matanya melirik ke arah Rin yang sedang melayani pelanggan dengan baik. Ken mendapati bibir Rin melengkung ke atas. Tersenyum kepada pelanggan.
"Cantik," celetuk Ken lalu melanjutkan aktivitasnya.
Di saat Ken tengah mengunyah makanan, punggungnya ditepuk sedikit keras. Refleks, Ken terbatuk-batuk lalu meminum sencha yang tersisa setengah gelas.
"Gomen na, Ken. Aku tidak tahu kau sedang makan," ujar Masaki menyesal lalu duduk di kursi menghadap Ken.
"Jiro tidak ikut?" tanya Ken penasaran. Pasalnya, di mana ada Masaki, di situ ada Jiro.
"Dia masih di parkiran. Tadi, mobilku sempat mogok dan mencari bengkel. Setelah menemukannya, aku membonceng Jiro. Sampai di sini, aku disuruh masuk lebih dulu. Lalu aku melihatmu ada di sini juga. Jadi, aku menghampirimu saja," jelas Masaki panjang lebar. Tangannya melambai untuk memanggil pelayan.
Jiro yang melihat Masaki langsung menghampirinya. Namun, Masaki tidak sendirian. Dia duduk bersama Ken yang menjadi musuh Jiro sejak kelas sepuluh.
"Hisashiburi, Jiro," sapa Ken basa-basi. Dia tahu bahwa Jiro masih membencinya sejak peristiwa itu. Peristiwa yang membuat Jiro membenci Ken seumur hidup.
Masaki yang merasakan aura tidak mengenakan. Aura permusuhan ini semakin mencekam. Mereka saling mendiamkan diri. Hingga pesanan Masaki tiba, suasana tetap seperti ini.
"Kau tidak memesan makanan? Atau mau kupesankan?" tanya Masaki pada Jiro.
"Tidak perlu," jawab Jiro singkat. Tidak sudi jika dirinya makan satu meja dengan musuhnya.
Ken menangkap langkah Rin yang mengarah ke mejanya. Sepertinya, Rin mengalami sedikit kesulitan membawa nampan. Dia baru tahu kalau pesanan Masaki lumayan banyak. Lantas, Ken datang membantu Rin.
"Biar kubantu," tawar Ken dengan membawa dua piring inari. Rin sempat terkesiap dengan sikap Ken. Namun akhirnya, dia mengangguk kecil.
Sampai di meja nomor 14, Rin dan Ken meletakkan nampan dan pesanan milik Masaki. Masaki menatap heran Ken dan Rin terlihat dekat. Berbeda dengan Jiro yang fokus dengan game online di dawainya. Tidak memperdulikan siapa yang datang.
"Siapa dia, Ken? Tampaknya, kau akrab dengannya," goda Masaki yang membuat Rin menunduk dan tersipu malu. Sedangkan yang ditanya malah menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Perkenalkan, namanya Yomaguchi Rin. Dia salah satu pelayan di sini. Rin juga masih satu sekolah dengan kita," ucap Ken memperkenalkan diri Rin. Perempuan itu mendongak lalu mengangguk sambil tersenyum kecil.
"Hajimemashite, watashi wa Kiyomizu Masaki desu," jawab Masaki mengulurkan tangannya. Rin membalas uluran itu. Ketika dia akan menjawab, matanya membola. Rin kaget melihat laki-laki yang duduk di sebelah Masaki.
Masaki menyikut perut Jiro yang masih tenggelam dengan dunianya. Jiro mengaduh dan ingin memaki Masaki. Namun, Jiro mengurungkan niatnya begitu melihat seseorang yang berdiri di sebelah Masaki.
"Akhirnya, kita bertemu lagi. Kali ini, kau tidak bisa kabur," ucap Jiro lalu tersenyum sinis.
Rin menelan salivanya kasar. Berbagai pertanyaan muncul di kepalanya. Apa laki-laki ini mengikutinya? Bagaimana dia bisa berada di sini? Apa yang harus Rin lakukan kali ini?
"Apa kau mengenalnya, Rin?" tanya Ken curiga. Dia yakin terjadi sesuatu di antara mereka. Tidak mungkin hanya sekadar bertatap muka.
"Jiro, sejak kapan kau mengenal perempuan ini? Setahuku, kau tidak pernah berteman dengan perempuan." Masaki pun ikut curiga.
Jiro dan Rin menghiraukan pertanyaan itu. Jiro memilih berdiri dan mendekati Rin. Sebaliknya, Rin mundur perlahan sambil mencengkeram nampan hitam yang ia gunakan tadi.
"Tamatlah riwayatmu, Rin!" seru batinnya ketakutan.
~~~~~~~~~~
*Okaerinasai : selamat datang (formal)
*Konnichiwa : selamat siang
*O genki desuka : apa kabar?
*Hai, genki desu : aku baik-baik saja
*Kimi : kamu
*Gomen na : maafkan aku
*Hisashiburi : lama tak berjumpa
*Hajimemashite, watashi wa Kiyomizu Masaki desu : perkenalkan, nama saya Kiyomizu Masaki
Like juga yah "Popo Radio"
Comment on chapter PRAKATAhttps://tinlit.com/story_info/3023