Loading...
Logo TinLit
Read Story - Abimanyu
MENU
About Us  

    Suasana gaduh melebur menjadi hening hanya dalam sekejap. Semua murid di kelas itu terperangah melihat wali kelasnya membawa  seorang anak laki - laki yang terlihat tidak seperti anak seumurannya. Ia terlihat berbeda.

"Assalamu'alaikum anak - anak." suara lembut Bu Nurul menggema di ruangan yang beratap bolong ini. 

"Wa'alaikumussalam, Bu Nur." sahut seisi kelas dengan pelan. Masih terperangah melihat laki - laki itu.

   Sebenarnya masih kurang pas bila dibilang sebuah kelas. Ruangan beratap bolong dan berdinding anyaman bambu yang sudah reyot itu hanya berisi 5 orang siswa. Bahkan sekarang hanya tinggal 4 orang karena satunya lagi ijin menjaga adiknya di rumah.

    Sudah hampir 2 tahun Bu Nurul mengabdi menjadi guru di SDN (Paralel) Mata Wee Tame yang berada di Desa Lolowano, salah satu desa terpencil di Kabupaten Sumba Barat. Bu Nurul atau yang sering dipanggil Bu Nur oleh murid - muridnya adalah seorang guru yang ramah tamah. Meskipun masih muda, ia merelakan hidupnya untuk mengajar murid - muridnya meskipun sebenarnya ia mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri. "Kita hidup untuk mati. Buat apa mengejar ilmu sampai ke negeri Cina kalau kita sendiri tidak dapat menyampaikan ilmu kepada sesama." kalimat itu selalu membuat muridnya semakin kagum dengannya.

    Lihatlah! Seorang gadis cantik berdarah Sumba itu dengan sabarnya mendidik anak - anak yang sebenarnya dilarang sekolah oleh orang tuanya. Rela tidak digaji demi meneguhkan jiwa pahlawan dalam dirinya.

"Bu Nur, dia siapa?" tanya Anjali dengan wajah polosnya. Laki - laki yang ditunjuknya melambai - lambaikan tangannya.

"Nah, anak - anak, mulai sekarang kita punya teman baruu." kata Bu Nur dengan senyum sumringah. Hanya Anjali yang menyambutnya dengan riang gembira. Sedang yang lainnya entah apa yang mereka pikirkan.

"A-bim, per-ke-na-lan!" perintah Bu Nur dengan lembut.

Anak laki - laki itu mengangguk riang, "Ayl-sa a-i-a-u" katanya kemudian menampilkan senyum lebar, seolah sedang menyapa teman - teman barunya.

"Bu Nur, dia bilang apa?" tanya Anjali penasaran.

"Namanya Arsa Abimanyu. Ibu harap kalian bisa berteman baik ya, jangan nakal! Nah, A-bim ka-mu du-duk di sam-ping An-ja-li ya!"

    Hari berlalu dengan begitu cepat. Anjali menjadi teman dekat Abim. Anjali sama seperti Bu Nur. Sabar menghadapi Abim. Membimbingnya dengan lembut hingga Abim lebih merasa nyaman bersama mereka daripada berada di rumahnya.

    Abim sebenarnya anak seorang saudagar di sana. Akan tetapi, ia tidak menerima kasih sayang yang lebih dari kedua orang tuanya. Sejak kecil ia dibesarkan oleh Bi Ijah, pembantu di rumahnya. Bahkan ia mendaftar sendiri ke SD Mata Wee Tame tanpa sepengetahuan orang tuanya. Bahkan mungkin sampai sekarang tak ada yang mengetahui bahwa Abim telah bersekolah.

    Bu Nur juga yang langsung menerima dia bersekolah disana. Ia merasa terharu melihat seorang anak berusia 10 tahun yang berkekurangan tetapi masih memiliki semangat untuk bersekolah. Bu Nur juga melihat secara langsung bagaimana Abim dengan tergopoh - gopoh menuju sekolah reyot itu. Dan perlu kalian ketahui bahwa Abim selain berkekurangan, ia juga menderita polio. Meskipun demikian ia selalu menampilkan wajah riangnya.

    Suatu hari Abim tidak berangkat sekolah. Bu Nur dan Anjali menunggu kedatangannya di depan pintu kelas sembari menatap hujan yang begitu derasnya. Sebenarnya tak hanya Abim yang tidak berangkat sekolah, melainkan semuanya kecuali Anjali.

"Bu Nur kenapa Abim tidak berangkat? Padahal kemarin dia ingin mengajakku ke sungai. Tapi malah tidak berangkat." tanya Anjali dengan menampangkan wajah kesal.

"Anjali, kamu tidak boleh seperti itu. Mungkin sebenarnya Abim ingin sekolah tapi karena hujan jadi ia tidak jadi berangkat. Bukankah kakinya sedang sakit? Memangnya Anjali tidak kasihan dengan Abim?" sahut Bu Nur sambil mengusap rambut panjang anjali dengan lembut.
"Benar juga Bu Nur. Kasihan Abim." keluhnya.

    Hari itu hanya Anjali yang berangkat. Bu Nur dengan senang mengajari Anjali cara menyulam. Memang materi itu tidak termasuk ke dalam pelajaran kelas 4 sd. Akan tetapi apakah hanya dengan 1 murid Bu Nur akan memberinya pelajaran? Tentu tidak. Toh mengajarinya menyulam akan sangat berharga suatu saat nanti.

    Seminggu berlalu. Sejak hari itu Abim tidak juga berangkat sekolah. "Bu Nur, mengapa Abim tidak sekolah lagi? Memangnya Abim tidak mau bertemu dengan Anjali dan Bu Nur lagi?" rajuk Anjali.

"Emmm, bagaimana kalau nanti sepulang sekolah kita ke rumah Abim saja?" ajak Bu Nur.

"Benarkah? Ayo Bu Nur sekarang saja!"

"Tidak bisa Anjali. Kita harus belajar dahulu."

"Bu Nur, mari ke kantor sebentar." panggil Pak Hadi, kepala sekolah SD Mata Wee Tame. Bu Nur mengangguk. Kemudian mengikuti Pak Hadi beberapa langkah di belakang.

    Di ruangan yang dianggap sebagai kantor guru itu ada seorang ibu paruh baya yang tengah duduk dengan menggenggam erat sebuah kertas. Menyadari kedatangan kedua guru itu, ibu tadi segera beranjak dan menyalami Bu Nur dengan sopan.

"Ibu mencari saya? Apakah ada hal penting yang ingin ibu sampaikan?"

"Ada bu. Ada hal yang sangat penting yang ingin saya sampaikan kepada Ibu Guru Nur yang baik hati."

"Ada apa Bu?" tanya Bu Nur semakin penasaran.
Ibu itu mulai meneteskan air matanya. Membuat Bu Nur tambah penasaran jadinya. Ibu itu menjelaskan suatu hal kepada Bu Nur dengan terbata karena ia bercerita sembari menangis.

    Pulang sekolah. Anjali menagih janji untuk menemui Abim. Bu Nur menurutinya. Mereka telah berjalan jauh sekali, 4 km. Di sepanjang perjalanan tentu saja Anjali banyak berceloteh menanyakan, "Memangnya rumah Abim di mana Bu Nur? Kok jauh sekali?" dan di setiap pertanyaan itu, hanya senyuman Bu Nur yang menjadi jawabannya.

"Anjali, kita sudah sampai." kata Bu Nur kemudian.

"Dimana Bu Nur rumah Abim?"

"Mari sini." ajak Bu Nur. Anjali menghampiri Bu Nur yang kini jongkok di samping gundukan tanah berbatu nisan itu.

"Ar-sa A-bi-ma-nyu." ejanya membaca batu nisan.

"Abim?! Abim sudah tiada Bu Nur? Bagaimana mungkin? Abim jahat. Kenapa Abim meninggalkan Anjali dan Bu Nur? Kenapa Abim tidak menepati janjinya mengajak Anjali ke sungai? Kenapa Bu Nur?!" rengek Anjali, air mata pun mengalir dengan deras sedari tadi. Bu Nur mendongakkan kepalanya. Mencoba menutupinya agar tidak diketahui muridnya. Bu Nur tidak mampu menjawab semua rentetan pertanyaan atau lebih tepatnya rengekan Anjali. Ia hanya bisa memberikan secarik kertas kepada Anjali. Kertas yang dibawa oleh seorang ibu tadi.

 

“Anjali, Bu Nur, Abim minta maaf. Abim tidak bisa sekolah lagi. Tubuh Abim sakit sekali rasanya. Anjali, Abim juga minta maaf karena tidak jadi mengajak Anjali ke sungai. Abim sakit Anjali. Abim ingin tidur. Biar rasa sakit di tubuh Abim hilang. Terima kasih Anjali sudah mau jadi teman baik Abim. Terima kasih Bu Nur sudah mengijinkan Abim sekolah. Abim sayang Anjali. Abim sayang Ibu Nur.”

 

Itulah isi suratnya. Surat yang ditulis Abim dengan susah payahnya. Ia berkekurangan, tetapi ia mampu menulis. Diajari oleh Anjali dengan telaten. Meskipun tulisannya tidak jelas, setidaknya ia berusaha menyampaikan suatu hal yang sangat berharga bagi Anjali dan Bu Nur.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
PETRICHOR
2482      1063     1     
Romance
Ingin tahu rasanya jungkir balik karena jatuh cinta? Novel ini menyuguhkan cerita cinta dengan cara yang berbeda. Membacanya membuatmu tahu cara memandang cinta dari 4 sudut pandang yang berbeda. "Bagi Anna, Harrys adalah kekasih yang hidup di langit. Di antara semua kekuasaan yang dimilikinya, dia tidak memiliki kekuasaan untuk menjadikan Anna miliknya." "Bagi Harrys, Ann...
Verlieren
1256      545     2     
Romance
❝Aku ingin bersama mu dalam dua waktu saja. Sekarang dan selamanya.❞ Kehilangan itu mungkin sebuah akhir bagi sebagian orang, tapi tidak untuknya. Dia dipertemukan oleh kehilangan agar menemukan jalan hidupnya. Yang baru. Azka merasa bahwa hidupnya terasa hampa dan terus terpuruk. Sejak 'dia' hilang, rasanya hidupnya tak mempunyai warna lagi. Karena Aresha, terpisah darinya selama bela...