Di atas tempat tidur, Melani menangis tersedu-sedu. Ia baru saja sepekan pekan melahirkan anak keduanya dan belum kering luka jahitan akibat persalinan, saat mendapati kenyataan bahwa suaminya diam-diam sudah menikah lagi dengan salah satu rekan kerjanya.
Tania mengumpat. Bukan lagi karena kabar pernikahan diam-diam suami sahabatnya yang menyambangi telinga, melainkan di saat seperti ini Melani masih saja membela sang suami.
"Dia imam yang baik," adu Melani di sela tangis. Sesekali ia menyeka ingus yang menetes dari hidungnya menggunakan tisu yang entah sudah habis berapa bungkus hari ini, yang pasti, tempat sampah di bawah tempat tidurnya tak lagi mampu menampung sisa tisu bekas tangisnya.
"Baik, lo bilang?" Tania bersungut hingga mengeluarkan sepasang tanduk dari kepalanya. "Ya ampun, Mel. Serius deh lo udah dikhianati begini masih aja muji dia baik? Gue dengerin cerita lo aja rasanya pengen meledak tahu, nggak?"
"Dia bilang, agama membolehkan poligami. Daripada zina. Kan, kamu tahu sendiri aku juga nggak bisa ngelayani dia sejak hamil kedua karena dokter bilang kandunganku lemah. Aku sih, tetep sakit hati. Tapi dia bilang bakal cerein aku kalau maksa dia buat pisah dari istri sirinya."
"Ya udah sih, cerai aja daripada lo ngenes. Mau ngabisin tisu berapa pabrik lo kalau tiap hari nangis gini?"
"Aku nggak bisa cerai karena anak-anakku butuh ayah dan nafkah. Apalagi sekarang aku baru aja lahiran. Nggak mungkin kan, aku langsung kerja buat menghidupi kami. Nanti siapa yang urus mereka kalau aku kerja?"
"Ish ya udah sih terserah lo aja. Tapi nih, ya, kalau gue jadi lo, asli gue bakal langsung minta cerai dari dia. Nggak cuma cerai, gue juga bakal cari dukun paling sakti buat kirim santet ke dia sama istri mudanya biar ambyar. Atau apa aja deh asal mereka bisa ngerasain sakit yang gue rasain." Tania makin kalap, mondar-mandir di sekitar tempat tidur seumpama seorang ibu yang baru saja mendengar kabar putrinya telah disakiti oleh pria yang ia percaya untuk menjaganya. "Lagian, lo juga sih keblingernya kebangetan sama surga. Coba dulu lo nggak kepincut Deny cuma gara-gara dengerin tausyiah dia di musala waktu kita ospek. Nggak bakal gini nasib lo."
"Ya kenapa kamu jadi nyalahin aku lagi sih, Tan? Di kampus kita tuh cuma kamu aja cewek bar-bar yang nggak tertarik sama Deny. Semua temen kita suka dia karena dia santun dan pengetahuan agamanya dalam. Sampai Papah aku aja ngasi restu karena dia bilang masa depan dunia akhiratku bakal terjamin kalau nikah sama Deny."
"Ya ... ya ... ya ..., masa depan dunia akhirat lo udah dijamin sama cowok yang nggak punya hati nurani kayak dia. Dijamin ngenes maksudnya."
"Tania...."
"Ah, terserah lo lah. Tensi gue naik lama-lama dengerin curhatan lo yang ketahuan nggak akan berujung ini. Intinya, lo tetep nggak mau pisah sama dia dan milih lanjutin hidup dengan hati ngenes karena mertahanin dia, kan? So, gue no comment lagi. Nggak sanggup meski hanya lo suruh jadi pendengar. Gue cabut."
Tania mengambil tasnya yang tergeletak di kursi dan berjalan keluar tanpa mengindahkan panggilan Melani yang memohonnya tetap tinggal.
Satu lagi tambahan alasan bagi Tania untuk tidak menikahi lelaki yang tampak alim dan paham agama dari luarnya saja, dan semakin yakin kalau Marvel Alexis memang calon jodoh terbaiknya.
Masalahnya sekarang, Tania hidup di tengah keluarga yang masih memberikan eksplanasi berlebihan kepada individu yang tampak agamis, pun orang-orang berlatar belakang pendidikan pesantren sehingga restu orang tua untuk melanjutkan hubungan ke pelaminan bersama Marvel tak kunjung ia kantongi.
Entah kurang cukup bukti apa lagi bagi Mama dan Papa Tania. Kedua kakak perempuan Tania telah lebih dulu menikahi pria-pria "berlatar agama" dan tidak satu pun berjalan mulus. Tia dengan dosen agamanya dan Talia dengan putra seorang tokoh agama terpandang asal kota Bandung. Mereka tidaklah sebahagia yang terlihat oleh dunia.
"Amit-amit tujuh putaran dunia, jangan sampai gue dapetin yang seperti mereka." Tania berkemam saat mobilnya berheti di lampu merah dan melihat melalui jendela, barisan para santri sedang membanjiri trotoar di sekitaran pesantren pada jam makan siang.
"Pokoknya, mending gue cari yang awam aja. Agak bego dikit-dikit soal agama pun nggak apa-apa. Daripada pinter tapi dipakai minterin gue. Enggak, enggak, enggak, pokoknya enggak! Gue nggak mau nasib gue kayak Melanie dan temen-temen lainnya yang kejebak sama pria-pria sok alimatun hasanah itu. Pokoknya enggak!"
*
Sayangnya, begitu tiba di rumah, Tania malah disambut dengan kabar tak mengenakkan dari sang Papa. Ihwal jodoh-perjodohan sebagaimana yang dulu pernah dialami para pendahulunya yang malang; Tia dan Talia. Tania tak menduga sama sekali kalau hari itu akhirnya datang juga kepadanya. Dan itu adalah hari ini, detik ini, di sore hari yang teriknya bagaikan di neraka.
"Kenzo berbeda," dalih Ardiwilaga saat putrinya mulai menyemburkan deretan argumen penolakan yang panjangnya sudah melewati batasan terpajang lokomotif di stasiun terdekat dari rumah mereka. "Papa sudah bertemu dengannya, sebulan lalu saat berkunjung ke Malang dan mampir ke rumah orang tuanya. Dia sangat sopan dan baik. Nggak seperti cowok-cowok temen kamu yang udah tercemar pergaulan bebas kota. Apalagi si Marvel yang gayanya kayak ketua geng motor pacar kamu itu."
"Meh...." Tania mencebik. "Ya iya, lah, kelihatan baik. Emang nggak pernah ketemu sebelumnya, kok. Logikanya, Pa, Tania juga bakal bersikap baik kalau ada temen Papa bertamu ke mari. Nggak mungkin, kan, Tania nunjukin sifat asli Tania ke orang yang baru Tania kenal. Aneh."
"Tania, kamu kalau dikasih tahu Papa selalu aja begitu." Sang Mama, Kunti Mahadwi Anjasmarani yang selalu menjadi pihak wasit dan tak pernah bersikap adil sama sekali kepada putri-putrinya, ikut bergabung di kubu sang suami usai meletakkan secangkir kopi di meja teras belakang rumah mereka. "Dia ganteng lho. Ganteng banget, kayak Oppa-oppa Korea gitu. Udah gitu dia juga pernah nyantri di salah satu pesantren terbaik di Jawa Timur. Bekal agamanya insyaallah cukup."
"Nah, itu. Udah pasti makin fatal." Tania kian bersungut-sungut. "Yang mukanya pas-pasan sekelas suami Pambayun aja, poligami sampai tiga. Cuma modal gelar mantan santri asal blah ... blah ... dan kerja jadi DPR, lagaknya udah kayak yang paling ganteng dan makmur di seantero jagat raya. Bahagia gitu istrinya? Enggak. Pambayun masih suka WA Tania dan curhat kalau suaminya nggak adil sama istri-istrinya."
"Lho ... lho..., kok jadi melantur ngomongin rumah tangga orang sih, Tan? Kan, nasib setiap orang itu beda-beda. Nggak semua cowok paham agama itu doyan kawin. Pun, nggak semua cowok yang tahu poligami dibolehin agama serta-merta bakal poligami pas udah nikah. Nih, Papa kamu genteng dan pernah masuk ponpes pas SMP sampai SMA, juga setia sama Mama sampai sekarang."
"Zamannya udah beda, Ma. Beda. Cowok alim zaman old nggak bisa disamain sama cowok sok alim zaman now. Mama sih, nggak pernah main sosmed. Makanya nggak tahu kaya gimana bringasnya penjahat kelamin yang suka ngumpet di balik kedok agama di luaran sana itu."
"Yah, kalau gitu, gimana kalau kita buktikan saja pendapat dan teori siapa yang paling benar?" Ardiwilaga mengusulkan sambil tersenyum sabar usai menyesap kopinya.
"Maksud Papa apa?" Tania menyambutnya skeptis. Kecurigaan masih memenuhi kepalanya bahwa sang Papa berniat menjebaknya.
"Kamu mau imbalan apa kalau mau Papa kenalin sama Kenzo?"
"Dih, dibilang nggak mau juga. Kenapa sih maksa banget?" Tania sewot. Hendak melarikan diri ke kamarnya saat sang Mama memanggil namanya. "Tania nggak mau, Ma. Titik."
"Kenalan aja, Nak. Cuma kenalan," bujuk Kunti setengah memaksa. "Mama nggak enak dong sama Tante Asti kalau musti bilang kamunya emoh dikenalin sama putranya. Padahal Mama udah bilang oke waktu itu."
"Ya itu salahnya Mama, kenapa nggak tanya aku dulu sebelum buat keputusan. Mama sama Papa aja gih sana yang kenalan sama Kenzo-kenzo itu. Aku sih, emang emoh. Pokoknya no. Titik nggak pakai koma lagi." Tania memungkas final dan mengentak kaki menuju kamar. Meninggalkan Kunti yang memasang wajah kecut saat kembali menoleh sang suami.
"Gimana dong, Pa? Padahal Mama sudah kepincut sama Nak Kenzo. Kalau Mama masih muda dan single, Mama pasti mau dijodohkan sama dia."
"Ish ... Mama," tawa Ardiwilaga berkumandang di seantero teras belakang. "Coba nanti malam bujuk lagi. Kasi liat fotonya Kenzo, siapa tahu hatinya luluh."
"Gitu ya, Pa?" Kunti meyakinkan. "Oke deh, nanti Mama coba bujuk lagi. "
*
Jangan lupa tinggalkan jejak kalau udah mampir ya. Biar makin semangat. Thank you 😘
Bagus ceritanya sangat menginspirasi, kalau berkenan like ceritaku juga ya https://tinlit.com/read-story/1436/2575
Comment on chapter Sebuah Nama di Penghujung TahunSalam semangat! :)