Siang ini kali kedua rahmat tetesan air langit turun ke bumi yang memanggil wajahnya dalam memoriku. Ku ambil headseat dan ku lekatkan ke telingaku, nada santai membawa ku ke dimensi silam, ke ruang dan waktu antara dia dan aku. Benar, hujan begitu rekat dengan kenangan, meski ketika fenomena itu terjadi yang tersenyum getir hanya aku. Aku beruntung, karena kenangan itu bisa aku miliki, belum tentu semua orang mengalaminya. Sekali lagi yang nyata terjadi pada waktu itu, adalah ketika aku yang apatis akan rasa indah yang memeluk setiap insan, ku ragukan dia adalah tempatku menautkan asa, ternyata ilusi tentangnya tak kunjung sirna. Nada ini terus mengantarkanku ke gerbang waktu, dengan berkeyakinan rindu yang menyingkirkan benalu yang terus menggerongoti nalarku “bagaimana mungkin kau memanggilnya ketika hujan datang? Karena kau selalu sendirian menikmati rindu itu, yang perlahan menyusup ke lubuk kalbu dan menjadi kekasihnya yang semu”. Buntungnya ini telah terjadi, aku sulit mengelak cerita yang sudah tertulis untukku. Mungkin tak dengannya, seseorang yang tak tergugah, jiwanya mulia namun hatinya mengeras, tak peka lagi.
Aku adalah bagian yang terlupakan dalam hidupnya, sedangkan dia adalah kekasih hujan panas di hutan rimba. Ini rahasianya, dari sekian kali hujan turun, mungkin sekali dalam hidup akan datang seseorang yang menikahi hujan dalam kenanganmu, hujan dan dia adalah sepasang kekasih yang terpatri dalam sanubariku. Dan itu adalah dia, seseorang yang penuh dengan kehangatan sebatas pahlawan. Aku pun sampai dalam ruang waktu kenangan itu. Siang itu, dia bersedia menemaniku ke hutan untuk mengambil data penelitian. Aku susuri tapak kakinya yang menuntunku perlahan di depanku. Aku pandangi wajahnya pada suatu kesempatan dia di hadapanku dan hatiku berbisik “maaf aku telah mencuri senyummu, saat kau mengajakku bicara tentang arus sungai yang mengandung pH yang rendah”.
Awan cerah sekejap saja, aku bahkan belum menikmati terik yang lama di belantara. Saat itu, pengukuran arus perairan untuk analisis faktor fisika, air langit pun jatuh tanpa gemuruh, sempurna. Aku seperti mendengar hujan berbicara pada setiap tetesnya. Spekulasi yang romantis, rintiknya membisikkan padaku untuk merajut asa.
“Bagaimana hatimu hari ini, bunga?” gerimis awalnya, hujan perlahan seperti menyapa
“aku rasa, kau melihatnya dengan jelas, karena aku sedang terlena padanya, wahai hujan rimba” jawabku
Lalu aku bertanya dengan penasaran “ mengapa kau datang saat aku sedang bersamanya? “
“karena aku ingin kau terus bahagia ketika aku membasahi bumimu “.
“benarkah? “
“kau pulanglah sebentar lagi, ambil kertasmu dan tuangkan isi penamu, tulislah bahwa aku turut senang kau pernah dengannya dalam perjalanan hidupmu”
“haru hatiku, hujan. Tapi aku akan beranjak jauh, dia akan sendiri lagi ketika menatap kau turun menetesi bumi”
“karena kamu adalah bunga, maka dia akan menemukan ingatannya sendiri ketika aku menyapa kalian berdua meskipun pada ruang yang berbeda nanti”
“kau pengertian, hujan. Aku memang perempuan miskin akan kenangan, apalagi dengan seseorang” sambungku sebelum hujan berhenti “kau tahu, hujan? Kau telah membuatku tersenyum hari ini, rupanya kau ingin aku dengannya”
Hujan pun turun deras mengikuti aku dengan dia yang juga sedang menuju pulang. Dalam perjalanan pulang, dia melindungi dirinya dari hujan namun tidak halnya dengan aku yang terus menikmatinya. Tidak berhenti disitu, aku lanjutkan menari dengan hujan di lanting, lama sekali. Aku termenung dan seketika mengerti, aku menganalisis kejadian pulang tadi.
“kau ingin tahu, hujan? Aku suka mendengar nadamu jatuh ke bumi, nada riak, tak kalut, nada merdu terselip sendu, menautkan kisah berpadu rindu. Dan sekarang aku sedih karena aku .. “
Gemuruh datang menerpa “katakan, bunga!”
Akupun menangis, aku sadar hujan deras ini akan menutupi airmataku.
“ baiklah hujan, dengarlah.. tadinya aku berfikir kau hadir untuk membahagiakan ku, memberiku kenangan tentangnya, tapi ternyata aku salah, aku tau karena aku merasakan kesedihan teramat dalam..”
“kenapa, bunga?”
“benarkanlah perkataanku hujan, dengar .. yang tersenyum saat kau datang adalah aku, sedangkan dia sibuk melindungi dirinya, yang berjalan pulang dengan perlahan adalah aku, sedangkan dia hampir saja meninggalkanku karena ingin bergegas pulang, yang mendengarkanmu berbisik adalah aku, sedangkan dia sibuk dengan teorinya hujan pada saat terik, kenapa bisa terjadi, dari prasangka itu aku mendiagnosa bahwa aku... “
Hujan pun turun dengan perlahan, nadanya lembut berucap“ katakanlah! “
Akupun menjawabnya dengan bisikan sendu “bahwa aku sedang jatuh cinta... sendirian, hujan “
Jika kenyataan getir ini bisa ku atur, mungkin jatuh cinta padanya adalah bukan pilihan, hal yang sebaiknya tidak pernah terjadi. Sekejap saja bersamanya, aku kemudian tahu bahwa dirinya tidak mudah merajut asa dengan seseorang. Sekian banyak bunga yang menghampirinya, sekian banyak hati yang tulus menyayanginya, sekian jumlah kenangan yang berharga bagi bunga-bunga itu darinya, namun jiwanya tetap tak tergugah, jiwanya masih berkelana mencari sisa harapan dari pujangganya yang dulu, mungkin memang begitu, mungkin benar adanya. Aku ambil gitar, ku mainkan senarnya, berharap setiap alunan mampu menawan jiwanya, atau meneteskan hatinya agar luluh dan peka. Ternyata, senar itu hanyalah kepalsuan yang utuh baginya dan berhasil menipu ketangguhanku.
Diam-diam aku menyimpan namanya dalam catatan harianku, aku juga menyimpan hansaplat penutup luka darinya. Hari terus berganti hingga pada suatu senja, saat aku harus pulang, saat penelitianku sudah berakhir. Aku tahu, aku sedang kehilangan seseorang yang sulit ku mengerti. Aku berada di antara dua pilihan, memperjuangkannya atau meninggalkannya. Sayangnya, dia menutup mata untuk melihatku dan mengabaikan lirih ucapan salamku terakhir kalinya.
Kesempatan itu kemudian datang kali kedua untukku. Tepatnya, aku tahu dia akan pulang ke Jakarta, kampung halamannya. Aku bersama bintang beradu dalam pekat malam. aku melihat bintang bertaburan, berkerlingan, indah memancarkan bias putih di sudut malam menjelang pagi. Aku rasa, hujan sedang bersembunyi menawan diri agar tak bertanggungjawab atas bunga yang bersemi di hutan kala itu. Bunga ini belum layu, masih menaruh harapan walau ku letakkan di sayup-sayup senja. Kadang ikhlas tersenyum melihatnya bahagia tanpaku, kadang nyilu di ulu hati mengerti dia tidak di kehidupanku. Sedangkan dia, aku tahu tidak ingin membuang waktu memikirkanku, walau sejenak. Airmataku terus saja jatuh dipipi, ini terjadi begitu saja. Aku sulit memahami secara ilmiah atau sekedar memecahkan masalah ini, atau memilih teori solusi, atau untuk menolong diri sendiri dari situasi ini. mudah saja jika berani kuungkapkan segenap perasaaanku, mungkin selesai sudah cerita ini. Tapi, aku terlalu berprinsip ‘dia tahu kemana hatinya berlabuh seiring waktu”.
Siang itu di sela kesibukkanku menyusun skripsi, sekilas aku memikirkannya. Ku pikir ini tidak amat penting untuk menguras pikiranku, tapi percayalah bahwa kisah cinta orang dewasa harus diselesaikan dengan tuntas dan tegas. Hati ini ingin kepastian dalam melangkah, sekali lagi adalah halalkan atau tinggalkan. Dan sah saja, jika seorang perempuan menyampaikan lamaranya kepada pria yang mau menerimanya, tentu saja agama tidak melarangnya justru akan memuliakan perempuan tersebut. Malam itu, sahabatnya menelpon dan memberitahuku bahwa lusa mereka akan bertolak ke Jakarta. Aku pun tanpa berpikir panjang, memberikan janji bahwa besok akan bertemu di bandara. Aku segera beranjak mnyiapkan hadiah untuknya. Aku pikir, apa salahnya jika aku memberi kenang-kenangan untuknya. Walau aku tahu, seberapa keras aku berusaha menunjukkan perasaanku, itu hanyalah perbuatan sia-sia. Karna aku sadar, aku sedang jatuh cinta sendirian, sedangkan dia tidak.
Pagi itu aku bersiap menuju bandara bersama sahabatku. Aku mengenakan dres merah dan memegang tas kecil berisi hadiah untuknya. Tiba di bandara pukul 10.00 wib. Aku sudah bertanya pada sahabat nya mengenai jadwal keberangkatan, jawabannya adalah pukul 11.30 wib. Rentang waktu 10.00 wib hingga 13.00 wib, aku menghubungi telpon sahabatnya. Ternyata nomor hapenya selalu sibuk. Rautku tak sedih tak juga bahagia, tepatnya aku mati rasa. Cerita seperti apa ini yang terjadi dalam hidupku? aku tak marah tak juga kecewa, mungkin perlahan aku mulai tersadar akan arti hadirku dalam hidupnya, tidak bermakna.
Semenjak itu, aku tahu yang salah adalah nalarku, mungkin ada yang salah dengan pola pemikiranku. Jika takdir tak berpihak, tak seharusnya dipaksakan untuk tetap memintanya disisiku. Apalah artinya menunggu bila satu hati itu tidak tercipta di lauh mahfudz untukku. Apabila begini takdirnya, maka mengikhlaskan bukanlah pilihan yang benar, namun kewajiban yang benar. Langit juga mencoba menasihatiku bahwa merelakan takdir yang bukan untukku adalah perbuatan mulia, perbuatan terpuji. Terakhir sajak tentangnya untuk hujanku hari ini
Dear hujan...
Kau telah hadir membasuh luka hatiku perlahan
Aku berspekulasi sedangkan kau menasihatiku
bahwa
Sebelum bertemu dengannya, aku baik-baik saja
Saat bertemu dengannya, aku baik-baik saja
Setelah dia beranjak, aku tahu aku akan baik-baik saja
Hujan...
Begini saja lah kau dengan rasamu
selalu tak ubah tak beku tak juga hangat
biarlah jutaan insan menafsirkan kedamaianmu
memahami kehadiranmu yang menuangkan cerita di bumi
Biarlah alunanmu tetap sederhana
Aku suka kau seadanya dirimu
Air langit yang merahmati jiwa yang usang
Atau jiwa yang bimbang
Biarlah hadirmu tetap utuh
Silakan datang di ujung senja atau sepertiga waktu gulita
Kita beradu di sana
Waktu rasi untuk meluahkan seutas asa
Berbisik saja dalam kumpulan do’a
Sebuah nama yang lekas membuka tabir
Keikhlasan dipeluk hujan kemarin
Semoga kelak
yang tertimpa reruntuhan hujan rindu adalah dia
biarlah segores saja dia rasakan
beginilah aku sejujurnya yang merasakan ketika hujan membasahi