Loading...
Logo TinLit
Read Story - PESAN CINTA
MENU
About Us  

***)

Seusai mengajar, Nasya memilih pulang. Teryata Abi di rumah, begitu juga dengan ummi. Tak biasanya. Matahari saja belum bergeser jauh dari ufuk timur. Ia mengintip jam karet yang melingkari pergelangan tangan. Masih pukul sepuluh pagi. Ragu rasanya hendak masuk, karena sepertinya tak hanya abi dan ummi yang ada di ruang tamu itu.

Pintu rumah yang sengaja dibuka lebar, membuat ia yang memang berdiri di depan deret jendela --tertutup kelambu, dapat mendengar obrolan dari dalam. Kedengarannya serius. Terselip namanya, dan itu suskses memukul dirinya sampai tersentak mundur.

Setelah mencuri dengar beberapa saat, Nasya mendapati kenyataan baru. Gerangan orang yang tengah berbicara dengan abi dan ummi, tak lain dan tak bukan adalah Azan. Suara lembut pemuda itu berulang kali membait namanya. Nasya dibuat penasaran, tapi tak tepat juga jika masuk sekarang. Sebentar lagi, ia perlu menunggu sampai waktunya pas.

"Seluruh keputusan ada pada, Nasya."

Keputusan apa? Nasya menajamkan pendengaran. Tahu-tahu jantungnya berdesir hebat. Pembahasan macam apa yang tengah mereka gelarkan, dan itu menyangkut dirinya serta Azan.

"Saya berusaha menghindari zina, Kiai. Saya bersyukur jika Kiai mempunyai pemikiran sama."

Sinyal darurat menggedor-gedor kesadaran. Apalagi yang bisa dibahas oleh orang tua, terhadap putri dengan laki-laki yang bukan mahromnya.

"Perjodohan!" pekik Nasya. Bulat matanya menyala tak terima.

Alasan macam apa yang membuat abi membelenggunya pada sebuah perjodohan? Di era modern seperti sekarang ini, kisah Siti Nurbaya agaknya tak lagi relevan. Perkara hati sudah saatnya diputuskan sendiri. Tanpa campur tangan orang lain, termasuk orang tua.

Nasya melepas sepatu flat hitam, lantas terbirit masuk ke dalam rumah.

"Assalamualaikum," salamnya.

Nasya mendapati wajah-wajah terkejut itu. Ya, mungkin saja mereka tak menyangka ia datang, karena kehadirannya tentu mengganggu perjodohan yang tengah mereka siasatkan.

"Waalaikumussalam, kebetulan. Duduk, Nak ... Abi ingin bicara," pinta Kiai Jamal, sembari menepuk ruang kosong di sampingnya.

Kiai Jamal tak duduk di singgasananya, membiarkannya kosong. Nasya pun jadi tahu, abi tidak sedang menempatkan dirinya sebagai junjungan, tapi lebih pada seorang keluarga.

"Ya, Abi."

Gadis berpakaian batik biru itu duduk. Sempat melirik ke arah Azan yang duduk di hadapannya, dia berulang kali mencuri pandang. Tak lama, karena setelanya, Azan menunduk sembari memainkan jemari tangan.

"Nak, Abi butuh persetujuan darimu."

Sebuah Perjodohan? Telak Nasya dalam hati. Tapi, perjodohan macam apa yang butuh persetujuan? Setahunya, perjodohan itu sepihak, tanpa perlu mendengar kesediaan salah satu kubu. Apakah pembahasan ini lebih dari sekadar perjodohan? Nasya dibuat susah menelan salivanya.

"Nduk, kamu ingat amplop yang kamu berikan pada Abi semalam?"

Tentu ... bagaimana bisa lupa? Berhubungan kah, amplop itu dengan kondisi tak nyaman ini?

"Amplop itu berisi pengajuan lamaran dari Ustad Azan untukmu?"

Tahu rasanya tersambar petir, sesak napas, dan merasa tak suka pada orang lain tanpa alasan? Itu yang kini membanjiri hatinya. Rasa simpati pada Azan yang sebelumnya tumbuh subur, seketika mengering. Harusnya dia tak memberanikan diri datang dengan membawa pinangan. Tak tahukah, kabar ini mengoyak harapan pada cinta yang sebenarnya ingin ia rengkuh. Cinta salah satu makhluk yang selalu terpintal di ujung doanya.

Nasya terjebak sekarang. Tak mungkin menolak lamaran yang datang. Tak mungkin meneliti sosok sempurna seperti Azan untuk mencari tabiat terburuknya. Cepat atau lambat kabar ini akan tersiar ke seluruh pesantren, sebelum kemudian terembus ke kuping Amir, dan menutup rapat pintu harapan akan cintanya.

"Bagaimana, Nasya?" Ummi menyentak Nasya dari alam bawah sadarnya.

Seutas senyum masygul ia kembangkan. Tak mungkin terang-terangan menolak. Harus ada alasan kuat agar lamaran ini batal dengan sendirinya.

"Biarkan Nasya berpikir dulu, ya?" putusnya.

Azan yang malu-malu, berubah sedih. Mungkin ia dapat membaca penolakan dari gesture serta sorot mata Nasya. Bu nyai yang sebelumnya antusias, melempar tatapan marah. Salah apabila menganggap ini sebagai penolakan. Nasya hanya butuh waktu untuk menerima semua. Menyakini, jika jalan hidupnya tak seperti yang ia dambakan. Melepas jerat pada cinta dan membiarkannya pergi, tak sehari dua hari, bukan?

"Kasih waktu untuk Nasya berpikir. Cukup satu minggu. Setelah itu, Ustad Azan akan tahu jawabannya."

Azan pun mengangguk paham.

"Biarkan kabar baik itu saya dengar dari, Pak Kiai," harapnya, lalu bangkit dari duduk.

Kiai Jamal mengikuti selanjutnya. Membiarkan Azan mencium punggung tangannya, sebelum kemudian pamit undur diri.

Setelahnya, menjadi hening. Nasya tak bergeser dari duduknya. Begitu juga bu nyai. Kecuali Kiai Jamal, yang telah menduduki kursi kebesarannya. Kini, sang abi memposisikan dirinya sebagai Kiai Jamal yang mesti dipatuhi.

Nasya terkurung pandangan dua orang penyambung hidupnya. Meski begitu, ia tak gentar. Keputusannya sudah bulat. Menyangkut hidup tak boleh asal dan gegabah.

"Satu minggu," paksa Nasya. Mau tak mau orang tuanya mesti menerima.

Sembari menunggu persetujuan, biji mata Nasya menyasar dinding bercat biru terang dengan beberapa frame foto ukuran sedang menempel berjajar--tepat dihadapannya. Deru napasnya berat. Deret potret dirinya dan Kamila ketika masih ingusan. Foto terbaru pun hanya saat Kamila lulus MAN. Pantaslah, mind-set mereka masih menganggap kedua putrinya anak kecil --yang setiap keputusan dalam hidupnya perlu dimonopoli.

Seharusnya udara tak sesesak ini. Di luar, angin semilir menerbangkan dedaunan. Sayangnya, di dalam sini, asupan udara seperti terputus. Ia terhimpit sampai tak mampu menghirup gas oksigen yang seliweran di depan cuping hidung.

"Satu minggu. Setelah itu, Nasya harus menerima pinangan Ustad Azan," putus Kiai Jamal.

Nasya membelalak tak percaya. Oh, perlu dinego lagi rupanya.

"Abi, bagaimana dengan kuliah S-2 Nasya di Australia?"

"Belum pasti juga. Jika kamu benar-benar lolos, Ummi dan Abi tidak perlu khawatir melepasmu saat kamu sudah menikah." Bu nyai pun tak ingin kehilangan peran dalam pembahasan penting itu.

Desahan itu memadamkan harapannya. Jika manusia tak bisa dibujuk, maka Allah jalan satu-satunya tempat meminta pertolongan. Bukan menampik jodoh yang datang, tapi tak ada salahnya mendamba kebahagiaan.

***

Nasya menjeda murajaahnya, ketika derit pintu terdengar keras. Kamila masuk dengan tegesah. Sedikit mengerutkan alis saat mendapati putri terakhir rumah ini masih terbalut mukena di jam santainya. Biasanya, Kamila akan mendapati Nasya telungkup di atas ranjang, dengan dada terganjal bantal dan membaca novel roman.

"Sya, tukang pijatnya datang. Cepat turun."

"Nggak, deh, Mbak. Nasya udah enakan, kok."

Kamila mendekat. Nasya menutup mushaf dan melepas mukena, lalu melipatnya kecil.

"Jangan gitu, kasihan. Tukang pijatnya sudah jauh-jauh datang ke mari."

Nasya mengalah. Membawa mukena yang terbungkus sajadah ke depan ranjang, kemudian meletakkannya di sana.

"Ada apa, Sya. Mbak lihat kamu murung terus dari siang. Padahal sejak habis isya tadi Mbak tunggu, loh. Katanya mau ikut sidak ke kamar santri putri."

Nasya menggeleng. "Lain kali aja, Mbak."

Dengan langkah diseret-seret ia melewati Kamila keluar kamar.

"Karena lamaran Ustad Azan?"

Nasya tersentak, langsung membalikkan badan.

"Dari mana Mbak tahu?"

"Abi yang cerita."

Langkah kaki mereka terhenti di anak tangga ketiga.

"Nasya nggak mau nikah sama Ustad Azan, Mbak."

Sejujurnya perasaan itu sudah menjadi gondok yang kian membesar. Ia tak bisa memberitahu siapa pun terkait ketidak sediaannya kecuali pada Kamila.

"Kenapa, Sya. Apa kurangnya Ustad Azan?"

"Mbak, ini perkara hat--"

Ucapan Nasya terputus. Suara gaduh dari arah luar menyetaknya.

"Assalamualaikum, Pak Kiai!"

Salam itu terlantun dari suara peralihan usia. Lebih dari satu. Mereka saling sahut menyahuti.

"Ada apa, ya, Sya. Malam-malam begini? Apa mereka nggak tahu toto kromo," rutuk Kamila.

"Ya, mana aku tahu, Mbak."

Nasya dan Kamila bergegas turun. Mendapati beberapa santri putra dan dua santri putri, berikut para penjaga asrama serta seksi kedisiplinan, berkumpul di ruang tamu. Berdiri di depan Kiai Jamal yang menyambut  mereka ramah. Anehnya, air muka mereka seperti bersiap akan perang.

"Nah, itu Neng Nasya, kita tanya langsung saja," celetuk salah satu santri yang bertugas menjadi seksi kedisiplinan.

"Tunggu, dulu Rasyid. Jangan ngawur kamu." Azan memberi peringatan. Ia menjadi tameng  keluarga ndalem.

"Ini sudah melanggar tatib pesantren, Ustad. Dosa, ini ... dosa."

"Syid, sabar dulu. Jangan nggak sopan. Ini ndalem, hormati Pak Kiai." Rasdi menarik mundur tubuh Rasyid yang terus saja merangsek hendak melewati blokade yang Azan buat.

"Aku kecewa. Bagaimana, seorang putri Kiai bisa mengajarkan hal yang nggak baik begitu?!"

"Jangan gegabah. Mana mungkin Neng Nasya mengajarkan perbuatan yang jelas-jelas dilarang agama," bela Ustad Rahmad.

Nasya yang berdiri sedikit jauh di belakang Kiai Jamal hanya mampu mengerutkan dahi. Sampai detik ini ia belum paham dengan apa yang terjadi. Namanya tersangkut. Kesalahan seperti apa yang sudah ia perbuat, ketika ia sendiri tak mengingatnya.

"Ustad Rahmad kalau nggak percaya tanya mereka berdua." Rasyid menunjuk dua santri putra di belakangnya. "Tanya, apakah mereka mendapatkan surat cinta berbahasa inggris itu atau tidak?"

"Benar, le?" Kiai Jamal sendiri yang menanyakannya.

Dua santri itu tertunduk takut. Ragu-ragu mereka mengangguk.

"Astagfirullah. Mana sekarang barang buktinya?"

Samuel maju. Dialah yang menyimpan barang bukti. Dua surat itu ia serahkan pada Kiai Jamal.

Tergesah Kiai Jamal membuka isinya, lalu membacanya cepat.

"Bagaimana ini bisa ada di tangan kalian?" tanya Kiai Jamal, sembari menghentak-hentakkan kertas itu di depan dua santri tersebut.

Suasana berubah tegang. Keheningan menjadi riuh sidang para tersangka. Entah, apa hanya dirinya saja, Nasya merasa, mata-mata bak busur panah itu membidiknya. Seakan dirinyalah dalang dari segala kerusuhan yang terjadi.

"Kok diem? Bagaimana surat ini ada di tangan kalian?" ulang Kiai Jamal, ketika dua santrinya terus bungkam.

"Mereka memerimanya saat bertemu mahrom, Kiai," sambar Rasyid.

"Meneng!" sentak Kiai Jamal. Bola matanya tak bergeser. Menatap lekat dua santri di hadapannya. "Yang aku tanya itu mereka. Tugasmu sudah cukup membawa mereka ke sini."

Rasyid pun diam. Langsung mundur beberapa langkah. Tak lagi ikut bicara.

"Siapa yang bertugas menjadi kurir?"

"Saya, Kiai." Santri berkaos hitam, bersarung sarimbit, mengaku meski terbatah.

"Siapa mahrommu?"

Santri itu mendongak. Ragu, ia melihat ke sisi kanan. Di sana berdiri dua santri putri dengan wajah tertekuk malu.

"Berbaju pink, Kiai. Dia sepupu saya."

Nasya tersentak. Santri putri yang ditunjuk itu, Rina. Ia hafal betul wajahnya, karena dialah salah satu dari tiga murid paling kritis di kelas.

"Nduk, apa kamu yang mengirim surat pada Masmu ini?" suara Kiai Jamal melunak.

Tak perlu ditanya beberapa kali seperti santri lainnya, Rina langsung menjawab tanpa ragu.

"Iya, Kiai. Saya menitipkan surat itu pada Mas Alan untuk diberikan pada Mas Dika."

Kiai Jamal mendesah kecewa. Ia kecolongan.

"Lalu, kamu, Nduk?" Kiai Jamal beralih pada santri berjilbab bunga.

"Ngapunten, Kiai. Saya khilaf. Saya menitipkan surat ke Mbak Rina untuk diberikan pada Mas Alan."

Kiai Jamal melantunkan istighfar beberapa kali. Tubuhnya terhuyung mundur. Kejadian itu nyatanya telah memukul telak egonya.

"Bagaimana kalian bisa melakukan perbuatan yang melanggar tatib pesantren!" Suara Amir menggelegar penuh amarah. Introgasi ia ambil alih.

"Saya tidak akan berani melakukannya, jika tidak ada yang mencontohkan. Saya melakukan itu karena terinspirasi dari Neng Nasya di kelas tadi siang." Rina menjawab tanpa pikir panjang.

Kali ini tak lagi satu atau dua, tapi seluruh pasang mata menyasarnya. Nyali Nasya menciut. Keberanian ditekuk mundur, lalu tergantikan rasa takut yang menjulang tinggi. Mata itu, mata yang menatapnya kecewa. Ia tak suka Amir mengulitinya layaknya tersangka.

"Jangan, fitnah!" Nasya melakukan pembelaan.

"Benar itu, Neng Nasya?" tanya Amir.

"Sumpah demi Allah, aku nggak melakukannya."

"Jangan bawa-bawa nama Allah, jika tidak mampu mempertanggung jawabkan." Setelah mengatakan cibiran itu, Amir langsung melengos.

Kesedihan serta merta singgah di hati Nasya. Makin minus saja nilainya di mata Amir. Kalau sudah begini, memetik sedikit cinta dari pemuda itu rasanya sudah tidak mungkin.

"Mau percaya atau tidak, aku tidak melakukan kesalahan yang mereka tuduhkan."

"Neng Nasya masih saja mengelak, ketika bukti sudah ada di depan mata?"

Nasya terkesiap. Laki-laki yang diharapkan mampu membelanya, malah makin menyudutkan.

"Tahan dulu, Ustad Amir. Kita tidak bisa berpegang pada kesaksian mereka berempat saja. Biar saya meminta tolong pengurus asrama putri untuk memanggil teman sekelas mereka." Azan menunjuk Rina.

Usulan yang disetujui setidaknya sebagian orang di ruangan itu, menghadirkan hawa lega bagi jantung Nasya yang siap meloncat dari gerongnya sewaktu-waktu. Kondisi tetap tegang. Semua diam menunggu kebenaran. Kiai Jamal duduk di singgasananya, bu nyai di sebelahnya. Azan mondar-mandir tak tenang. Sedang Amir, terlihat mendiskusikan sesuatu dengan beberapa santri yang bertugas menjadi petugas kedisiplinan.

Kemudian, kehadiran dua santri putri yang masuk bersama salah satu pengurus asrama menciptakan kembali keriuahan. Mendadak beberapa orang berlagak layaknya dewan yang paling berhak memutuskan dan menanyai saksi mata.

"Biar saya yang menanyai," putus Amir.

"Apakah Neng Nasya, menyuruh kalian menulis surat cinta saat mengajar di kelas tadi siang?" tanyanya tanpa mau basa-basi.

Dua santri putri itu saling pandang. Mereka mencari keselarasan jawaban. Lalu, seperti memberi kepercayaan pada santri yang lebih tahu, santri itu menggeleng mantap.

"Tidak, Ustad. Neng Nasya meminta kami membuat surat indah untuk orang terkasih seperti ibu, ayah atau mahrom kami yang lain. Memang Neng Nasya mencontohkan surat cinta yang beliau terima, tapi tidak meminta kami membuat hal yang sama."

Wajah tegang yang menggelayuti Kiai Jamal, bu nyai, Kamila dan Nasya seketika rontok. Kelegaan itu hadir bersama senandung tasbih yang memecah prasangka buruk di hati sebagian orang.

"Meski begitu, contoh seperti itu tidak bisa dibenarkan." Amir menoleh pada Nasya. Menganggap Nasya tetap bersalah, terlepas apa pun itu alasannya.

"Sekarang, kita tahu Neng Nasya, tidak bersalah. Berarti kamu yang berbohong." Tunjuk Azan pada Rina.

Gadis itu menunduk. Hukuman macam apa yang telah menunggunya selepas dari ndalem Kiai?

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • rara_el_hasan

    @Ardhio_Prantoko wah makasi banyak ya bang

    Comment on chapter ***
  • Ardhio_Prantoko

    Aku teraduk nih, berasa di sana. Belum ada cerita romance religi yang membuka hati bisa aku nikmati selain tulisanmu. :)

    Comment on chapter ***
  • rara_el_hasan

    @SusanSwansh matur nuwon say

    Comment on chapter *
  • SusanSwansh

    Woowwwe. Jalaluddin Rumi. Behh ini penyair sufi idolaku. Sama rabbiyah al adawiyah. Apalagi konsep cintanya yang luar biasa itu. Behhh. Mantul mom.

    Comment on chapter BAB 1
Similar Tags
Cinta Tau Kemana Ia Harus Pulang
8816      1615     7     
Fan Fiction
sejauh manapun cinta itu berlari, selalu percayalah bahwa cinta selalu tahu kemana ia harus pulang. cinta adalah rumah, kamu adalah cinta bagiku. maka kamu adalah rumah tempatku berpulang.
Surat Kaleng Thalea
4353      1237     2     
Romance
Manusia tidak dapat menuai Cinta sampai Dia merasakan perpisahan yang menyedihkan, dan yang mampu membuka pikirannya, merasakan kesabaran yang pahit dan kesulitan yang menyedihkan. -Kahlil Gibran-
Closed Heart
1161      655     1     
Romance
Salah satu cerita dari The Broken Series. Ini tentang Salsa yang jatuh cinta pada Bara. Ini tentang Dilla yang tidak menyukai Bara. Bara yang selalu mengejar Salsa. Bara yang selalu ingin memiliki Salsa. Namun, Salsa takut, ia takut memilih jalan yang salah. Cintanya atau kakaknya?
Puisi, Untuk...
20154      3273     10     
Romance
Ini untuk siapa saja yang merasakan hal serupa. Merasakan hal yang tidak bisa diucapkan hanya bisa ditulis.
Lost in Drama
1950      774     4     
Romance
"Drama itu hanya untuk perempuan, ceritanya terlalu manis dan terkesan dibuat-buat." Ujar seorang pemuda yang menatap cuek seorang gadis yang tengah bertolak pinggang di dekatnya itu. Si gadis mendengus. "Kau berkata begitu karena iri pada pemeran utama laki-laki yang lebih daripadamu." "Jangan berkata sembarangan." "Memang benar, kau tidak bisa berb...
A CHANCE
1917      857     1     
Romance
Nikah, yuk!" "Uhuk...Uhuk!" Leon tersedak minumannya sendiri. Retina hitamnya menatap tak percaya ke arah Caca. Nikah? Apa semudah itu dia mengajak orang untuk menikah? Leon melirik arlojinya, belum satu jam semenjak takdir mempertemukan mereka, tapi gadis di depannya ini sudah mengajaknya untuk menikah. "Benar-benar gila!" 📌📌📌 Menikah adalah bukti dari suatu kata cinta, men...
Akhirnya Pacaran
609      430     5     
Short Story
Vella dan Aldi bersahabat dari kecil. Aldi sering gonta-ganti pacar, sedangkan Vella tetap setia menunggu Aldi mencintainya. \"Untuk apa pacaran kalau sahabat sudah serasa pacar?\" -Vella- \"Aku baru sadar kalau aku mencintainya.\" -Aldi-
HEARTBURN
391      287     2     
Romance
Mencintai seseorang dengan rentang usia tiga belas tahun, tidak menyurutkan Rania untuk tetap pada pilihannya. Di tengah keramaian, dia berdiri di paling belakang, menundukkan kepala dari wajah-wajah penuh penghakiman. Dada bergemuruh dan tangan bergetar. Rawa menggenang di pelupuk mata. Tapi, tidak, cinta tetap aman di sudut paling dalam. Dia meyakini itu. Cinta tidak mungkin salah. Ini hanya...
Anderpati Tresna
2649      1035     3     
Fantasy
Aku dan kamu apakah benar sudah ditakdirkan sedari dulu?
Yang Terindah Itu Kamu
12209      3510     44     
Romance
Cinta pertama Aditya Samuel jatuh pada Ranti Adinda. Gadis yang dia kenal saat usia belasan. Semua suka duka dan gundah gulana hati Aditya saat merasakan cinta dikemas dengan manis di sini. Berbagai kesempatan juga menjadi momen yang tak terlupakan bagi Aditya. Aditya pikir cinta monyet itu akan mati seiring berjalannya waktu. Sayangnya Aditya salah, dia malah jatuh semakin dalam dan tak bisa mel...