Read More >>"> PESAN CINTA (***) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - PESAN CINTA
MENU
About Us  

                                                                                   Bab 2

 

              Nasya terbangun. Pupilnya berakomodasi menyesuaikan jumlah cahaya yang menembus kornea mata. Lengang, dengan hanya suara mesin bus yang berderu halus. Tak ada siapa pun di sini. Semua bangku kosong. Dan aroma wangi yang entah dari mana asalnya, menyebar lalu menghadirkan rasa nyaman. Bus ini tak seperti bus yang sering Nasya tumpangi --melaju ugal-ugalan, tak peduli mana jantung, pantat dan kepala penumpang. Bahkan tak segan mendahului pengendara lain dengan sembarangan, masuk ke lajur berlawanan, melaju sekencang yang mereka bisa, dan tak mengurangi kecepatan saat jalanan bergelombang.  
Bus ini berjalan halus dengan kecepatan sewajarnya.

"Nasya,"

Nasya tersentak, menoleh ke sisi sebelah tempat duduknya yang sebelumnya kosong. Perempuan ber-niqab duduk di sana dengan kitab suci Al-Quran dalam pelukan. Sejak kapan? Tadi benar-benar hanya ia seorang diri di sini.

"Mbak Azizah?"

"Nasya, baik-baik saja?" tanya Azizah.

Nasya mengangguk ragu. Entah kenapa, melihat Azizah menyusupkan rasa sedih mendalam. Dan, Nasya menyadari jika aroma wangi yang tercium indera pambaunya sejak tadi berasal dari tubuh Azizah.

"Nasya, boleh saya menitipkan sesuatu pada Nasya." Nada suara Azizah lemah dan sedih.

Nasya mengerutkan dahi. Biji matanya berpusat pada jemari-jemari lentik Azizah yang bergetar hebat di atas mushaf bersampul merah tua tersebut.

"Boleh saya menitipkan Al-Quran ini pada Nasya?"

"Itu milik Mbak Azizah kenapa dititipkan saya?"

"Sewaktu-waktu saya bisa pergi jauh. Titip ini, tolong berikan pada imam hidup saya. Ini hadiah untuk beliau."

Lagi-lagi Nasya dibuat bingung dengan ucapan Azizah. Belum sempat menanyakan apa maksudnya, bus yang sebelumnya berjalan tenang, mendadak bergetar. Lampu- lampu di sepanjang koridor berkedip putus asa. Guncangannya semakin lama makin kecang, hingga Nasya yang memang duduk di bangku pinggir koridor kehilangan keseimbangan dan terpelanting ke sisi seberang bangku duduknya.

"Mbak Azizah!" teriak Nasya. Ia sungguh khawatir. Guncangan ini bisa saja mempengaruhi kandungan Azizah.

Namun, Azizah seperti tak terpengaruh. Ia tetap duduk tenang. Perlahan, jari bergetarnya meletakkan mushaf ke tempat duduk disertai bulir bening yang menetes dari sudut matanya.

"Mbak, pegangan," pinta Nasya.

Bagaimana Mbak Azizah bisa setenang itu? padahal saya saja sudah kepayahan menahan tubuh agar tak terpelanting ke sana ke mari. Mencengkeram besi panjang yang terpasang hotizontal di atas kepala sekuat tenaga.

Lalu, Nasya tanpa sengaja mengarahkan pandangan ke kursi pengemudi dan memekik ketika mendapati kursi itu kosong. Bus ini berjalan sendiri tanpa ada yang mengendarai.

"Ya, Allah, Mbak, kita nggak akan selamat!" teriak Nasya, sembari memejamkan matanya erat-erat.

Bus menabrak pembatas jalan, sebelum menukik masuk ke dalam jurang. Kecepatannya tak terkendali. Menabrak pohon besar, berguling lagi, menghantam batu, dan pohon lain sampai akhirnya berhenti karena terjepit di antara dua pohon besar. Nasya membuka mata perlahan. Napasnya sudah tercekik dan sesak. Ia bergelantungan pada tiang besi yang digenggamnya sejak tadi.

"Mbak Azizah!" panggil Nasya lemah. Ia melihat ke bawah, mendapati Azizah tergeletak di atas jendela bus dengan pakaian basah. Itu darah. Karena pakaiannya hitam jadi tak terlihat, tapi Nasya yakin itu darah. Azizah bermandikan darah.

"Mbak bisa dengar Nasya?"

Sejujurnya Nasya sendiri sudah tak kuat bergelatungan seperti ini. Pergelangan tangannya mulai kesemutan.

"Mbak, bangun!"

Azizah bergerak, lalu terbatuk.

"Tolong--" Satu-satunya kata yang mampu terucap dengan sisa tenaganya.

"Mbak, Azizah ... kuat, Mbak. Jangan tidur. Ya Allah, pie iki."

Di tengah keputusasaan, musibah yang tak diinginkan terjadi. Suara patahan menyentak Nasya. Entah dari mana titik awalnya, tiba-tiba saja badan bus terbelah dengan cepat, tepat di bawahnya. Tempat di mana Azizah terbaring tak berdaya.

"Mbak!" Nasya menjerit panik.

Badan bus itu jatuh, berguling, membawa Azizah bersamanya. Hilang dalam kegelapan. Memantulkan debum amat keras. Meninggalkannya sorang diri. Menangis dalam ketakutan. Selanjutnya, suara yang sama berulang. Kali ini patahan itu berasal dari sisi di sampingnya. Nasya menyaksikannya. Kejadian yang memotong lajur napasnya, menyusupkan kengerian, dan merampas akal sehatnya. Semua terjadi dengan begitu cepat. Tubuhnya bergoyang mengikuti gerakan badan bus, sebelum kemudian terjun bebas ke dasar jurang, dan ...,

Nasya membuka kelopak matanya cepat. Terbelalak. Mematri langit-langit kamar. Entah di mana kesadaran dan akalnya? Sepertinya masih tertinggal di alam mimpi. Atau ikut terjun bebas ke jurang kematian.  Nasya bisa merasakan sesak yang nyata. Napas yang lenyap dari paru-parunya dan ketakutan membungkus tubuhnya.

"Nasya," suara parau itu, ummi.

Lalu masih dengan tubuh yang terbujur kaku, Nasya mengedipkan mata dua kali. Hanya bisa dua kali. Setelah itu tak bisa lagi. Napasnya satu persatu dipompa oleh paru-parunya melewati hidung, terembus keluar --merelakan paru-parunya diremas kencang.

"Nasya, Nak ... ini Ummi."

Nasya, namaku dipanggil. Tolong, kembalikan kesadaranku. Ya, Allah.

Nasya kembali mengedipkan mata. Bukan, ini mengerjapkan mata. Napasnya mulai lancar. Mulutnya dipaksa terbuka meski berat. Setelah ini, harus mendorong suara keluar. Melepas ketegangan dan membiarkan nyawa masuk. Menangis, Nasya ... menangis!

Seketika itu pula tangis Nasya pecah. Meski lemah Nasya berusaha menangis sekencangnya. Bu nyai yang duduk di sebelahnya ikut menangis. Kyai Jamal yang berdiri di samping bu nyai melantunkan kalimat tasbih. Dan, dokter serta suster yang berdiri di sisi ranjang lain mendesah lega. Samar-samar Nasya mendegar itu.

"Syukurlah, pasien bisa bangun. Bahkan bereaksi."

"Terima kasih, Dokter. Terima kasih."

Apa yang terjadi. Terakhir yang Nasya ingat, ia menghubungi orang tuanya. Lalu, apa selanjutnya? Ingatannya putus sampai di situ. Meski berusaha keras mengingat, otaknya seperti batok kosong. Tak menyimpan memori apa pun. Bagaimana ini?

Saat tangisnya mulai mereda, Nasya memandangi ummi dan abinya  bingung. Dengan suara terputus-putus, Nasya menanyakan sesuatu yang membuat kedua orang tuanya syok berat.

"Ummi, Abi, kenapa ada di sini? Nasya di mana?"

"Nak, kamu nggak ingat dengan apa yang sudah terjadi padamu?"

"Nggak Ummi,"

Seketika Ummi menatapap Abi takut. "Pak, Nasya kenapa ini?"

"Mari, mungkin Bapak bisa ikut saya, untuk saya jelaskan kondisi Nasya," sahut dokter.

Kyai Jamal mengangguk. Sebelum mengikuti dokter pergi, ia menyempakan diri mengecup puncak kepala Nasya. Terlantun sebuah doa di sana. Doa yang mampu menyelimuti Nasya dengan rasa nyaman.

"Nak, Abi ikut Dokter dulu. Nasya istirahat saja, jangan memaksakan diri kalau masih lemas."

"Abi," panggil Nasya. Otot-otot lehernya masih sulit digerakkan. Kaku dan nyeri. Pergerakannya benar-benar masih terbatas.

"Jaga, Nasya, Bu. Jangan banyak diajak bicara."

"Iya, Pak ...."

"Sekalian Bapak mau menghubungi Ustad Amir, memintanyae ke mari."

Bu nyai mengangguk. Kyai Jamal memandang Nasya, mengumbar senyum, lalu pergi mengikuti dokter yang sudah keluar lebih dulu beberapa saat lalu.

---- --- --- --- --- ---    --- --- --- --- ---  --- --- ---

            Hari ini hari kelima, sejak Nasya di rawat di rumah sakit. Ia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap sejak semalam. Kamar mawar, bersama enam pasien lainnya. Cukup melegakan karena ia tak harus berkompromi dengan beberapa alat medis yang menempel di tubuhnya. Hanya tersisa satu, yaitu cairan infus, dan Nasya sudah ingin melepasnya juga.

Kondisi tubuhnya makin membaik. Hanya menunggu keputusan dokter, kapan ia bisa diizinkan pulang. Tinggal di rumah sakit, nyatanya bukan pilihan menyenangkan. Makanan hambar, bau obat dan karbol. Apalagi terus diawasi seperti ini.

"Sya, tidur aja ... mau cepet sembuh nggak?"

Sudah berhari-hari kerjaan Nasya hanya, tidur, makan, tidur, makan. Sekarang, saat Nasya ingin duduk, setidaknya untuk beberapa jam saja para penunggunya sudah rewel luar biasa.

"Mbak, Nasya capek, ah. Sudah tanya Dokter belum, sih, kapan Nasya boleh pulang?"

Kamila yang bertugas menjaga Nasya, menggeleng singkat --tanpa menghentikan murajaa'ah. Kyai Jamal dan bu nyai harus pulang, karena tak bisa meninggalkan tanggung jawab di pesantren terlalu lama.

"Mbak, tanya Dokter, gih? Sumpah Nasya bosan."

Kamila menyudahi muraja'ah.  Berdiri dari tempat duduk yang memang disediakan pihak rumah sakit. Ia berpidah duduk di samping Nasya. Mangamati lekat wajah sang adik, yang memang mulai terlihat segar.

"Dokter nggak mungkin menahan orang yang sudah sembuh. Kalau kamu masih di sini, ya, berarti mesti harus banyak istirahat."

Nasya mencebik kesal. Pakai jurus apa lagi agar sang kakak bisa menyakinkan abi dan ummi jika ia sudah sangat ingin pulang.

"Mbak, belum pernah ngerasain makanan ter-flat sedunia, 'kan?"

Nasya mengambil nampan makanan dari atas meja.

"Ini, nih ... sayur sop rasa hambar. Ayam goreng rasa hambar. Tumis brokoli rasa hambar." Sembari menunjuk magkuk dan piring yang terlapis plastik wrap. "Hidup Nasya ini sudah hambar, Mbak. Masak harus makan yang hambar-hambar juga."

"Jangan banyak protes. Bersyukur masih bisa makan. Banyak saudara kita yang--"

"Aa ... Ya ... ya ...," potong Nasya. Ia meletakkan nampan di pangkuan. Buru-buru menutup kedua telinganya dengan telapak tangan. "Nggak perlu berdakwa juga, Mbak."

"Kalau nggak mau diceramahi, ya, nurut aturan buat orang sakit. Makan, tidur, banyak beristigfar. Jangan mikirin macem-macem."

"Siap, Bu Dokter Kamila."

Setelah itu Nasya terkekeh. Kamila mengusap puncak kepala Nasya penuh sayang.

::::::***::::::

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • rara_el_hasan

    @Ardhio_Prantoko wah makasi banyak ya bang

    Comment on chapter ***
  • Ardhio_Prantoko

    Aku teraduk nih, berasa di sana. Belum ada cerita romance religi yang membuka hati bisa aku nikmati selain tulisanmu. :)

    Comment on chapter ***
  • rara_el_hasan

    @SusanSwansh matur nuwon say

    Comment on chapter *
  • SusanSwansh

    Woowwwe. Jalaluddin Rumi. Behh ini penyair sufi idolaku. Sama rabbiyah al adawiyah. Apalagi konsep cintanya yang luar biasa itu. Behhh. Mantul mom.

    Comment on chapter BAB 1
Similar Tags
Praha
246      147     1     
Short Story
Praha lahir di antara badai dan di sepertiga malam. Malam itu saat dingin menelusup ke tengkuk orang-orang di jalan-jalan sepi, termasuk bapak dan terutama ibunya yang mengejan, Praha lahir di rumah sakit kecil tengah hutan, supranatural, dan misteri.
Wannable's Dream
31893      4610     42     
Fan Fiction
Steffania Chriestina Riccy atau biasa dipanggil Cicy, seorang gadis beruntung yang sangat menyukai K-Pop dan segala hal tentang Wanna One. Dia mencintai 2 orang pria sekaligus selama hidup nya. Yang satu adalah cinta masa depan nya sedangkan yang satunya adalah cinta masa lalu yang menjadi kenangan sampai saat ini. Chanu (Macan Unyu) adalah panggilan untuk Cinta masa lalu nya, seorang laki-laki b...
Everest
1537      630     2     
Romance
Yang kutahu tentangmu; keceriaan penyembuh luka. Yang kaupikirkan tentangku; kepedihan tanpa jeda. Aku pernah memintamu untuk tetap disisiku, dan kamu mengabulkannya. Kamu pernah mengatakan bahwa aku harus menjaga hatiku untukmu, namun aku mengingkarinya. Kamu selalu mengatakan "iya" saat aku memohon padamu. Lalu, apa kamu akan mengatakannya juga saat aku memintamu untuk ...
After School
897      614     0     
Romance
Janelendra (Janel) bukanlah cowok populer di zaman SMA, dulu, di era 90an. Dia hanya cowok medioker yang bergabung dengan geng populer di sekolah. Soal urusan cinta pun dia bukan ahlinya. Dia sulit sekali mengungkapkan cinta pada cewek yang dia suka. Lalu momen jatuh cinta yang mengubah hidup itu tiba. Di hari pertama sekolah, di tahun ajaran baru 1996/1997, Janel berkenalan dengan Lovi, sang...
Caraphernelia
542      264     0     
Romance
Ada banyak hal yang dirasakan ketika menjadi mahasiswa populer di kampus, salah satunya memiliki relasi yang banyak. Namun, dibalik semua benefit tersebut ada juga efek negatif yaitu seluruh pandangan mahasiswa terfokus kepadanya. Barra, mahasiswa sastra Indonesia yang berhasil menyematkan gelar tersebut di kehidupan kampusnya. Sebenarnya, ada rasa menyesal di hidupnya k...
Bersyukur Tanpamu
507      333     4     
Short Story
Without You, I\'m Fine
love like you
399      279     1     
Short Story
Surat Kaleng Thalea
3305      963     2     
Romance
Manusia tidak dapat menuai Cinta sampai Dia merasakan perpisahan yang menyedihkan, dan yang mampu membuka pikirannya, merasakan kesabaran yang pahit dan kesulitan yang menyedihkan. -Kahlil Gibran-
Returned Flawed
215      175     0     
Romance
Discover a world in the perspective of a brokenhearted girl, whose world turned gray and took a turn for the worst, as she battles her heart and her will to end things. Will life prevails, or death wins the match.
When I Found You
2483      835     3     
Romance
"Jika ada makhluk yang bertolak belakang dan kontras dengan laki-laki, itulah perempuan. Jika ada makhluk yang sanggup menaklukan hati hanya dengan sebuah senyuman, itulah perempuan." Andra Samudra sudah meyakinkan dirinya tidak akan pernah tertarik dengan Caitlin Zhefania, Perempuan yang sangat menyebalkan bahkan di saat mereka belum saling mengenal. Namun ketidak tertarikan anta...