Read More >>"> PESAN CINTA (**) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - PESAN CINTA
MENU
About Us  

                                                                                      BAB 1

 

Malam itu, wajah pesatren berbeda dari biasanya. Jalan setapak berbatu yang menghubungkan antara gapura dengan aula pertemuan terlihat benderang. Neon kuning menyorot sepanjang jalan --bahkan, rumput liar setinggi mata kaki orang dewasa yang menjadi pagar pembatas, tampak ayu tertimpa sinar.

Anehnya, Mas Darmaji juru kunci pelistrikan tak bersungut sama sekali --bahkan tampak begitu tenang. Padahal dialah yang paling getol melarang lampu jalan menyala semua jika tak ada tamu agung, atau perhelatan penting di pesantren. Katanya, keuangan pesantren tahun ini sedang seret, tak ada jatah untuk membayar listrik bulanan jika tagihan sampai membengkak. Lagi pula, setelah jam delapan malam, jalan itu sepi. Para santri paling anti lewat jalan yang menjadi satu-satunya rute tercepat menuju pesantren tersebut. Mereka lebih memilih memutar lewat jalan belakang meski jaraknya lumayan melelahkan kaki.

"Tumben lampunya boleh nyala semua?" gumam Rahdi, sembari mengeluarkan rebana dari kotak kayu besar --tempat penyimpanannya. Beberapa kali sorot matanya menatap jalan, lalu bergidik ngeri.

"Meski nyala semua, masih terlihat menakutkan," sahut Rasyid.

"Iyo. Opo kalau sudah terang begini, demitnya nggak pergi dari pohon itu?"

"Kayaknya sih, nggak."

Rasyid diam sejenak. Tatapannya tegak lurus dengan pohon sono di samping jembatan yang jaraknya sekitar 200 meter dari tempatnya berdiri. Dahan pohon itu bergoyang-goyang tertiup angin.

"Tapi, beneran pohon itu ada hantunya?" tanya Rasyid.

Rasdi ikut menghentikan kegiatannya. Menggeser bola matanya, menatap pohon Sono yang sama. "Katanya, sih memang ada. Inget Mutar, adik kelas kita?"

Rasyid mengangguk cepat.

"Beberapa minggu lalu dia kejang-kejang setelah kembali dari rapat warga. Ada yang bilang, Mutar ketempelan penghuni situ saat lewat di depan pohon sono itu."

"Ah, yang benar kamu?!" Keterkejutan Rasyid menggema ke penjuru aula. Kebetulan, saat itu hanya ada dirinya, Rasdi dan Samuel. Kondisi sekitar aula pun sepi karena santri lain sibuk dengan kegiatan rutin masing-masing. Mereka pengurus hadroh pesantren, mendapat mandat dari Ustad Amir untuk bermain malam ini.

Di sisi lain, Samuel yang sejak tadi bertugas menyisihkan debu teras gapura, mendadak melopat dan lari terbirit-birit mendekati dua rekannya yang lain. Melempar sapu ijuknya serampangan. Bersembunyi di belakang Rasdi dan Rasyid, sembari menggigil ketakutan.

"Walah! Iki opo toh iki!" protes Rasyid. Lengan bajunya yang ditarik-tarik Samuel, ia tarik kembali.

"What's up, Sam?" tanya Rasdi.

"Somebody blew me. I think it's an Indonesian ghost. You know? Indonesian ghosts are scary. Their clothes, faces ... are all scary," terang Samuel. Nada suaranya bergetar.

Rasyid yang memang tak paham sama sekali dengan Bahasa Inggris, mengangkat kepalanya ke arah Rasdi, alisnya bertaut meminta Rasdi menjelaskan perkataan si Bule.

"Si Bule, bilang ... ada yang niup telinganya. Dan, sepertinya itu hantu Indonesia. Dia takut dengan hantu Indonesia. Katanya, wajah dan baju hantu Indonesia itu menyeramkan."

Rasyid langsung menoleh pada Samuel dengan tatapan mencibir. "Walah, mentang-mentang hantu di negaramu berkelas ... hantu Indonesia itu ekonomis, mereka nggak perlu biaya mahal untuk nakut-nakutin orang. Nggak boros kayak hantu negaramu."

Rasdi terkekeh. Samuel, yang memang belum mahir sekali Bahasa Indonesia hanya mampu memandang wajah kesal Rasyid dengan dahi terlipat, dan berkali-kali bertanya "What? What?" pada Rasdi.

"There is no. Back to work," ujar Rasdi. Kemudian meminta Samuel memanggil personil hadroh yang lain.

"Sampai kapan, kamu bakal begitu sama dia, Syid?"

Rasyid mengedikkan bahu. Raut wajahnya masih tampak kesal.

"Dia itu sudah berusaha mencoba deket sama kamu. Kamu, kok, ya, terus-terusan ketus sama dia?"

"Aku, ya, nggak ngerti." Rasyid mendesah berat.

"Iri karena Samuel santri baru, tapi bisa menyaingi kita yang sudah santri lama di sini?" tebak Rasdi.

"Ora gitu." Rasyid mencoba menampik itu. "Alah, ngapain toh bahas itu. Ayo kerja lagi, keburu Ustad Amir balik dari kota."

Rasdi menepuk bahu Rasyid dan kembali ke pekerjaannya.

"Oh, ya, Di, memang Siapa, sih yang mau datang? Kok kita di suruh main hadroh malam-malam begini?" tanya Rasyid.

"Tamu penting, kata Ustad Amir."

"Temennya Pak Kyai?"

"Ndak tahu ... tapi, ada yang bilang itu putrinya Pak Kyai."

Rasyid menerima rebana terakhir dari Rasdi, mengelapnya dengan kain dan menatanya di atas meja.

"Mbak Nasya?" Mata Rasyid menyipit.

"Mungkin," jawab Rasdi sembari mengedikkan bahu.

"Ya, pantas seisi pesantren ribut. Orang yang dateng putri kesayangannya Pak Kyai."

"Hust! Nggak baik membicarakan Pak Kyai."

Rasyid memutar badannya. Menarik kursi kayu dari samping meja dan meletakkannya di belakang badan Rasdi.

"Ora, aku hanya kasihan saja sama ustadzah Kamila," kelakar Rasyid, sembari mendudukkan tubuhnya di kursi tadi.

"Kok, kayaknya nggak adil begitu. Ustadzah Kamila dikurung di pesantren, sedang Mbak Nasya, boleh bertidak sesuai keinginanya," imbuhnya.

"Makin ngelantur omonganmu. Tahu apa kamu perihal ini. Kalau sampai ada yang dengar dan ngelaporin kita ke Ustad Amir. Bisa-bisa kita dihukum berdiri satu jam, sambil menghafal surat-surat munjiyat. Mau kamu? Wes kerja aja, jaga bicaramu."

"Dasar kamu penakut," ledek Rasyid.

Rasdi tak peduli.

Di sudut lain, di kediaman Kyai Jamal. Sang istri yang sejak tadi mondar mandir di depan pintu rumah, terlihat cemas karena sang putri tak kunjung datang. Berulang kali mata wanita setengah abad itu, mengamati lekat jam lemari di samping kursi yang diduduki Kyai Jamal. Semakin cepat pergerakan jarum jamnya, semakin keras gemuru jantungnya.

"Bukne duduk saja," pinta Kyai Jamal.

"Bagaimana, Bukne bisa duduk Pakne. Ini sudah jam berapa, harusnya Nasya sudah sampai setengah jam lalu. Nggak biasanya selama ini."

"Sabar, Bapak sudah menelepon Ustad Amir. Dia, Saleh dan Kamila sedang menunggu Nasya di terminal. Nasya belum tiba di terminal. Mungkin sebentar lagi."

Bu nyai berhenti mondar-mandir. Masih setia dengan wajah khawatirnya. Kali ini rasa kesal bercampur di sana. Dihampirinya meja kaca depan sang suami, dan diambilnya ponsel milik suaminya yang tergeletak di atasnya.

"Pakne ini, karena nggak ikut melahirkan, jadi nggak tahu gimana takutnya Bukne sekarang. Bukne nggak sabar. Biar Nasya Bukne hubungi."

Dan sepersekian detik selanjutnya, bu nyai sudah menghubungi Nasya. Namun,

"Pakne, hp Nasya tidak aktif ini. Pie Pakne? Ada apa dengan Nasya?" Mata bu nyai mulai berkaca-kaca.

Kyai Jamal berdiri dari duduknya. Menghampiri sang istri, meminta ponsel yang digenggam istrinya.

"Jangan mikir macem-macem. Sini biar Bapak yang telepon."

Setelah menekan tombol panggil, Kyai Jamal mendesah sekali, mencoba membuang seluruh kekhawatirannya. Berharap kali ini panggilannya akan tersambung, dan suara Nasyalah yang terdengar. Sayangnya, bukanlah suara Nasya yang ia dengar, melainkan suara operator saluler yang menyatakan nomor Nasya sedang tidak dapat dihubungi.

"Bagaimana, Pakne?"

"Tidak aktif. Coba Pakne telepon Ustad Amir."

"Ya Allah, Pakne ... ayo, kita keterminal saja," bujuk bu nyai.

"Sabar Bukne, tunggu dulu," pinta Kyai Jamal, sembari menunggu panggilannya dengan Amir terhubung.

"Assalamualaikum, Pak Kyai?" sapa suara dari balik telepon.

"Waala'ikumussalam, Ustad Amir ... Nasya sudah sampai?"

"Belum, Pak Kyai. Ini Ustadzah Kamila juga mulai cemas karena ponselnya Nasya tidak bisa dihubungi."

"Ya, sudah ... Minta tolong, tunggu di sana dulu, ya. Siapa tahu setelah ini Nasya datang."

"Inggeh, Kyai."

Setelah itu Pak Kyai memutus sambungan. Menatap sang istri yang menunggu jawaban. Tak ada yang bisa ia jelaskan selain menggeleng, dan membiarkan tangis sang istri pecah saat itu juga. Kyai Jamal semakin yakin jika sudah terjadi sesuatu pada Nasya. Putrinya itu sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja.

***

                  Nasya membuka kelopak matanya susah payah, teramat berat dan enggan. Rasa nyeri yang menghimpit kepala, membuatnya mendesis lalu mengerutkan dahi dalam-dalam. Ia ingin bangun. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia ingin menghubungi Abi dan Ummi yang pastinya sudah sangat khawatir.

"Ya Allah," rintihnya.

Nasya menyandarkan tubuhnya ke kepala ranjang. Menatap kesekeliling meski dalam bentuk samar. Semua asing. Ruangan besar dengan ranjang-ranjang besi dan tirai biru muda sebagai pembatas. Lalu lalang pria dan wanita berseragam putih. Rintihan, tangisan, dan aroma karbol yang menyengat indera penciuman. Semua tampak baru baginya. Dan ketika Nasya semakin memusatkan perhatian, ia sadar  tempat yang ditinggalinya ini bernama rumah sakit. Ia dan penumpang lain, telah menjadi korban kecelakaan bus beberapa saat lalu.

Nasya mendesah. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya meski otot-ototnya terasa kaku. Ia mengatur selang infus yang ukurannya cukup panjang agar tak membelit tubuhnya. Kali ini, kaki yang terjulur di atas ranjang, ia geser dan biarkan menggantung di tepi ranjang. Lagi, Nasya mengembuskan napas berat. Syukurlah, meski sakit, semakin lama tubuhnya mulai bisa dikuasai.

"Permisi, Suster?" panggil Nasya, pada salah seorang perawat yang kebetulan melintas di depan ranjangnya. Suaranya parau. Tenggorokannya teramat kering.

"Ya, Mbak ... ada yang bisa saya bantu?"

"Maaf, Suster ini rumah sakit mana, ya?"

"Oh, ini RSUD Mojokerto, Mbak."

Nasya berpikir sejenak. Ah, berarti ia masih cukup jauh dari rumah.

"Boleh saya meminta air dan meminjam ponsel untuk menghubungi keluarga saya?"

Nasya tak melihat barang-barang miliknya sama sekali. Untunglah, ia hafal betul nomor abi.

"Tentu saja, Mbak." Perawat itu merogo saku setelannya. "Ini." Lalu menyerahkannya pada Nasya.

"Saya nggak akan lama kok, Suster."

"Pakai saja, Mbak. Nggak apa-apa. Saya pergi dulu untuk mengambilkan Mbak air minum."

Nasya menyunggingkan senyum penuh terima kasih, dan perawat itu pun membalasnya dengan ramah.

"Terima kasih, Suster."

"Sama-sama, Mbak."

Sesegera mungkin Nasya mendial nomor Abi, menunggu jawaban.

"Assalamualaikum, siapa ini?"

Nasya melantunkan hamdalah dalam hati.

"Waalaikumussalam. Abi ... Abi ... ini Nasya, Abi."

Abi di seberang telepon terdiam. Tanpa tak kuasa menahan keterkejutannya.

"Abi, Nasya ada di RSUD Mojokerto."

"Astagfirullah, ya Allah, Nasya ... apa yang terjadi. Abi dan semua menunggumu dengan cemas."

"Bus yang Nasya tumpangi mengalami kecelakaan, Abi. Syukurlah Nasya masih dilindungi Allah."

Terdengar tangis di sana. Tangis dari sang ummi. Mungkin abi sudah mengganti mode teleponnya kemode keras.

"Nasya, Nasya baik-baik saja, 'kan, Nak?" suara Ummi menggantikan Abi.

"Alhamdulillah, Nasya baik Ummi."

"Tunggu, Nak ... jangan ke mana-mana, Ummi dan Abi akan menjemputmu."

Nasya mengangguk. Anggukan yang tak akan diketahui oleh abi mau pun umminya. Tanpa ia sadari, air matanya menitik. Nasya begitu lega bisa mendengar suara kedua orang tuanya.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • rara_el_hasan

    @Ardhio_Prantoko wah makasi banyak ya bang

    Comment on chapter ***
  • Ardhio_Prantoko

    Aku teraduk nih, berasa di sana. Belum ada cerita romance religi yang membuka hati bisa aku nikmati selain tulisanmu. :)

    Comment on chapter ***
  • rara_el_hasan

    @SusanSwansh matur nuwon say

    Comment on chapter *
  • SusanSwansh

    Woowwwe. Jalaluddin Rumi. Behh ini penyair sufi idolaku. Sama rabbiyah al adawiyah. Apalagi konsep cintanya yang luar biasa itu. Behhh. Mantul mom.

    Comment on chapter BAB 1
Similar Tags
Kulacino
363      233     1     
Romance
[On Going!] Kulacino berasal dari bahasa Italia, yang memiliki arti bekas air di meja akibat gelas dingin atau basah. Aku suka sekali mendengar kata ini. Terasa klasik dan sarat akan sebuah makna. Sebuah makna klasik yang begitu manusiawi. Tentang perasaan yang masih terasa penuh walaupun sebenarnya sudah meluruh. Tentang luka yang mungkin timbul karena bahagia yang berpura-pura, atau bis...
Why Joe
1004      524     0     
Romance
Joe menghela nafas dalam-dalam Dia orang yang selama ini mencintaiku dalam diam, dia yang selama ini memberi hadiah-hadiah kecil di dalam tasku tanpa ku ketahui, dia bahkan mendoakanku ketika Aku hendak bertanding dalam kejuaraan basket antar kampus, dia tahu segala sesuatu yang Aku butuhkan, padahal dia tahu Aku memang sudah punya kekasih, dia tak mengungkapkan apapun, bahkan Aku pun tak bisa me...
Like a Dandelion
2403      824     2     
Romance
Berawal dari kotak kayu penuh kenangan. Adel yang tengah terlarut dengan kehidupannya saat ini harus kembali memutar ulang memori lamanya. Terdorong dalam imaji waktu yang berputar ke belakang. Membuatnya merasakan kembali memori indah SMA. Bertemu dengan seseorang dengan sikap yang berbanding terbalik dengannya. Dan merasakan peliknya sebuah hubungan. Tak pernah terbesit sebelumnya di piki...
My Sunset
6241      1347     3     
Romance
You are my sunset.
Sacrifice
5995      1523     3     
Romance
Natasya, "Kamu kehilangannya karena itu memang sudah waktunya kamu mendapatkan yang lebih darinya." Alesa, "Lalu, apakah kau akan mendapatkan yang lebih dariku saat kau kehilanganku?"
Bersua di Ayat 30 An-Nur
744      336     3     
Romance
Perjalanan hidup seorang wanita muslimah yang penuh liku-liku tantangan hidup yang tidak tahu kapan berakhir. Beberapa kali keimanannya di uji ketaqwaannya berdiri diantara kedengkian. Angin panas yang memaksa membuka kain cadarnya. Bagaimana jika seorang muslimah seperti Hawna yang sangat menjaga kehormatanya bertemu dengan pria seperti David yang notabenenya nakal, pemabuk, pezina, dan jauh...
From You
346      233     4     
Romance
Hanna George, hanyalah seorang wanita biasa berumur 25 tahun yang amat cantik. Ia bekerja sebagai HRD di suatu perusahaan. Hanna sudah menikah namun di saat yang bersamaan ia akan bercerai. Di tengah hiruk pikuknya perceraian yang berakhir dengan damai—mungkin, Hanna menyempatkan diri untuk pergi ke sebuah bar yang cukup terkenal. Di sanalah Hanna berada. Dalam ruang lingkup dunia malam, ber...
ALL MY LOVE
510      347     7     
Short Story
can a person just love, too much?
Kita
499      330     1     
Romance
Tentang aku dan kau yang tak akan pernah menjadi 'kita.' Tentang aku dan kau yang tak ingin aku 'kita-kan.' Dan tentang aku dan kau yang kucoba untuk aku 'kita-kan.'
Kenzo Arashi
1660      580     6     
Inspirational
Sesuai kesepakatannya dengan kedua orang tua, Tania Bowie diizinkan melakukan apa saja untuk menguji keseriusan dan ketulusan lelaki yang hendak dijodohkan dengannya. Mengikuti saran salah satu temannya, Tania memilih bersandiwara dengan berpura-pura lumpuh. Namun alih-alih dapat membatalkan perjodohannya dan menyingkirkan Kenzo Arashi yang dianggapnya sebagai penghalang hubungannya dengan Ma...