PROLOG
Malam memekat. Penerangan alam menggantung putus asa, redup dengan bentuk tak lagi bulat sempurna. Manik berkilau yang jumlahnya milyaran lenyap dari pengawasan teropong ciptaan Maha Kuasa. Sebagian dari mereka memilih tidur berselimut bulu keabuan hangat. Sebagian lagi tetap pada tugasnya meski berpendar tak berdaya.
Di antara kekhusyukan yang bersebati. Kesegaran menitik dari selimut langit. Gerakannya cepat. Berhamburan ke sana-ke mari. Menempati wadah-wadah berlainan. Terkadang muka bumi. Terkadang kain yang melapisi tubuh-tubuh anak Adam. Terkadang dedaunan hijau yang menanti kehadiran mereka dengan ceria.
Meski tak menyerbu bersamaan, para tubuh milik Allah itu tetap saja meracau, mendengkus, bahkan merutuki kesegaran penyambung napas mereka.
Namun, dari sekian banyak anak Adam yang mulai berteriak menyalahkan, ada satu yang menjalinkan syukur pada setiap rintik yang jatuh ke bumi. Ada satu yang tak memiliki kecemasan meski pakaiannya bisa basah nantinya.
Dialah Nasya, gadis berusia dua puluh dua tahun. Sembari melantunkan lagu nasyid favoritnya, ia meneliti setiap bus yang datang. Hari ini, hari terakhirnya di Surabaya setelah wisuda. Nasya tak pulang bersama abi dan ummi yang datang untuk menghadiri prosesi pengukuhan gelarnya kemarin lusa. Ya, meski terus dibujuk untuk pulang bersama, Nasya menolak dengan alasan masih banyak urusan di kampus yang harus diselesaikan lebih dulu. Dari pada bolak-balik, karena jaraknya pun tak dekat, lebih baik dituntaskan sekalian baru pulang.
"Jombang... Jombang...."
Teriakan kondektur bus yang tertangkap indera pendengarannya membuyarkan lamunan. Kepalanya yang beberapa saat lalu terdongak ke langit, tertarik tegak lurus. Ia menyambar tas pakaian yang terduduk di sampingnya. Menyelempangkan tas rajut cokelat berukuran kecil yang sebelumnya berada di pangkuan. Terakhir, bangkit dengan senyum selebar cekungan sabit.
"Jombang!" sahutnya. Bus itu berjarak kira-kira 100 meter dari area tunggu.
Di tengah lalu-lalang banyak orang, serta teriakan yang menjadi khas di tempat itu, Nasya yang kebetulan memakai tunik putih, celana kain hitam dan jilbab polos warna langit berlari menembus keramaian. Sepatu putih hadiah sang abi yang dijaganya dengan baik, mesti rela ia biarkan berkubang lumbung air sisa hujan tadi pagi.
"Jombang, Neng?" tanya kondektur bis.
Nasya mengangguk. Kondektur tersebut menepi dari pintu dan membiarkannya naik.
"Penuh, Bang," ujar Nasya, masih berdiri di tangga teratas. Bola matanya lincah meneliti satu persatu kursi yang terduduki penumpang.
"Ada satu, Neng, di belakang,"
Biji mata Nasya kembali bergerilya. Memaku pada kursi nomor dua dari belakang. Perempuan bercadar yang kebetulan tengah menatap ke arahnya duduk seorang diri di sana.
"Alhamdulillah," ujar Nasya lega. Ia tak harus berdiri sepanjang perjalanan.
Nasya berjalan perlahan. Tak jarang ia mesti memiringkan badan, menghindari beberapa penumpang yang berdiri untuk menyimpan tas atau barang bawaan ke bagasi di atas tempat duduk mereka.
Sesampainya di kursi itu, perempuan bercadar yang setia mengikuti pergerakannya sejak tadi, bergeser duduk ke sisi sebelah jendela. Suaranya yang halus mengudarakan salam. Nasya terpaku sejenak, sebelum kemudian menyahutinya sembari duduk.
"Saya Azizah." Perempuan itu mengulurkan telapak tangan. Senyum tersirat dari kelopak matanya yang menyipit dihiasi kerut tipis di sudut-sudutnya.
"Saya Nasya." Sembari menjabat tangan perempuan bernama Azizah tersebut.
Nasya meletakkan tas pakaian di pangkuan, kemudian terpejam sejenak melantunkan doa. Setelahnya, ia memundurkan kursi, mencari posisi ternyaman untuk istirahat.
"Pulang kampung?" tanya Azizah.
Rencananya Nasya hendak mengatupkan mata. Tahu sendiri, betapa lelahnya ia setelah wara-wari seharian mengurus persyaratan pengambilan ijaza. Tapi Azizah yang mencoba mengobrol dengannya, mana mungkin ia acuhkan begitu saja.
"Iya, Mbak ... akhirnya saya bisa pulang. Lega rasanya bisa menyelesaikan pendidikan," terang Nasya.
"Sarjana? Barakallah, selamat ya."
Lagi-lagi Nasya menampilkan senyum yang kata teman-teman sekampusnya teramat manis. Bagaimana tidak, bibir tipis dengan lesung pipi. Nasya selalu berhasil membuat lawan bicaranya terhipnotis saat senyum itu terulas.
"Terima kasih. Mbak Azizah sendiri? Pulang kampung juga. Kok, sendirian saja, Mbak?"
Azizah terkekeh pelan. Ya, mungkin perempuan itu tahu apa yang sedang Nasya pikirkan. Dipandang dari sudut mana pun, Azizah tampak ringkih. Perempuan itu seperti mutiara yang tak seharusnya terjamah dunia luar. Beda dengan Nasya yang mandiri. Kemana-mana terbiasa seorang diri.
"Ya, nggak bisa dibilang pulang kampung juga, sih. Saya pergi menemui orang tua, Sya. Rencananya sekalian menjemput suami di Bandara. Sayangnya, pesawat yang dikendarai suami mengalami delay. Jadi beliau tertahan di Yogyakarta dan baru bisa terbang kembali besok pagi."
"Wah, suami Mbak Azizah pilot?"
Azizah mengangguk. Tanpa sadar ia mengusap perutnya dengan gerakan melingkar. Nasya mendapati itu, dan berdecak senang.
"Mbak Azizah hamil?"
"Iya. Mau coba pegang?"
"Apa boleh, Mbak?" Nasya ragu.
"Tentu." Azizah meraih pergelangan tangan Nasya, meletakkanya ke atas perut.
Nasya takjub. Kehamilan Azizah sepertinya baru beberapa bulan, tapi tanda kehidupan benar-benar dapat Nasya rasakan di sana.
"Bagaimana, Sya? Usianya baru dua bulan, loh."
Nasya menatap Azizah. Mata itu seteduh embun di pagi hari.
"Masya Allah, Mbak. Semoga lahir dengan sehat nanti."
"Aamiin. Kalau masih ada umur, nanti saya kabari saat lahiran. Toh, rumah kita sama-sama di Jombang, 'kan?"
"Kabari, Mbak. Nasya usahakan datang."
"Mbak tunggu."
Obrolan terus berlanjut hingga rasa kantuk membawa kesadaran mereka pergi. Keheningan menyelimuti malam yang setia diguyur hujan lebat sejak tadi. Tak ada suara selain suara mesin bus. Semua penumpang terlelap dalam petang yang membawa hawa tenang, nikmat untuk melelapkan diri.
Nasya bergerak resah dalam tidurnya, sebelum kemudian terjaga. Apa hanya perasaannya saja, bus yang ditumpanginya ini melaju dengan tidak stabil.
"Hanya perasaanku saja," batin Nasya.
Lalu ketika ia hendak memejamkan mata lagi, bus itu tiba-tiba berguncang. Sekali ... dua kali ... dan akhirnya berguncang hebat sampai membuatnya terpelanting dari tempat duduk. Semua orang terbangun, memekik. Nama Allah terdengar nyaring bersahutan.
Nasya menekankan tubuhnya ke tepian kursi di seberangnya. Ia tak bisa kembali ke tempat duduk karena badan bus yang mulai doyong ke kiri. Aroma gosong yang tiba-tiba menusuk hidung, entah dari mana asal muasalnya, menggiring kepanikan.
Di sinilah ketakutan itu semakin merasuki setiap penumpang. Mendadak mencekam. Tangis balita, teriakan orang dewasa dan lantunan doa saling tumpang tindih. Sejauh yang dapat Nasya tangkap, kondisi sedang tidak baik-baik saja. Bus ini, sepertinya akan mengalami kecelakaan.
Tubuh Nasya gemetar. Persendiannya linu dan napasnya mulai tak teratur. Ia teringat abi, ummi, Mbak Kamila dan Ustad Amir yang menunggu kepulangannya di pesantren. Ia juga teringat akan Azizah.
Azizah! Nasya mencoba menegakkan kakinya meski lemas. Bola matanya mencari keberadaan Azizah yang tak lagi berada di tempat duduknya. Perempuan itu, entah bagaimana sudah berdiri di depan, berpengangan pada salah-satu kepala kursi. Nasya tak bisa melihatnya dengan jelas karena terhalang penumpang lain yang berdiri di sepanjang koridor.
"Mbak Aziz--" Suara Nasya tercekat.
Tubuhnya terpental sana-sani. Bus kian doyong ke kiri. Jerit tangis menjadi-jadi. Nasya memejamkan mata. Bibirnya berkecumik melantunkan doa.
"Ya, Allah ... jika ini ajalku, ambil aku dalam keadaan beriman padamu, Allahhu akbar."
Allah, Allah, Allah ....
Musibah tak terelakkan. Bis berderit kesakitan. kaca-kaca bergetar kuat mengiris ketenangan. Roda kanan terangkat. Bus mulai kehilangan keseimbangan, terguling ke kiri. Bunyi benturan seperti ledakan. Pecahan kaca berhamburan. Lalu masih dalam keadaan bergerak, bis itu menggesek aspal sampai radius beberapa meter, sebelum kemudian berhenti karena menabrak pembatas dan terperosok ke dalam sawah.
(***)
@Ardhio_Prantoko wah makasi banyak ya bang
Comment on chapter ***