Perempuan itu duduk di tempatnya yang biasa, dengan tangan terkatup di atas pangkuan. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, berusaha tidak melihat ke sekeliling ruangan, berusaha tidak memedulikannya. Siang hari adalah waktunya, miliknya, untuk dipakai dirinya sendiri. Saat di mana ia memikirkan sesuatu.
Jika saja dirinya bebas, ke mana ia harus pergi?
Ke suatu tempat yang menyenangkan, tapi adakah tempat itu di sisi lain Nilfheim?
Rumahnya? Jika menyebut tempat itu, ia teringat pada keluarga kecilnya.
Dulu, kakaknya sering duduk di tepi tempat tidur. Dalam balutan piyama anak-anak bermotif burung bertangan panjang, tangan mungil itu mengelus rambutnya dengan lembut sambil tersenyum-senyum—padahal kakaknya bukanlah tipikal yang murah senyum. Rambut hitam lurus yang mengembang sangat mirip dengan ayahnya, iris merah tua yang kadang terlihat menyeramkan, mengisyaratkan sorot matanya yang tajam. Kulit wajah yang pucat sehingga membuat orang sering mengira kakaknya sedang sakit. Kakaknya sering mengotori kamar, membuatnya berantakan, lalu membereskannya sendiri seperti semula.
Berapa umurnya ketika terakhir kali tertidur di antara orang tuanya? Waktu itu cuaca Nilfheim begitu dingin, ia bisa melihat napas mereka muncul sebagai uap, di mana tidak ada sehelai pun daun di pepohonan. Langit begitu kelabu, mereka tidak bisa melihat awan. Namun, ia ingat kehangatan ibunya yang memeluknya kala itu. Mereka bukanlah keluarga miskin. Mereka terpandang, tapi bukan bangsawan. Keluarga ilmuwan, pencinta sains yang banyak dikata orang sebagai fanatik dunia. Orang-orang gila yang tidak percaya akan kehadiran Tuhan dan pikiran mereka terpaku pada logika. Begitulah orang tua mereka dipandang, juga mengenai keturunan mereka.
Nilfheim bukanlah negeri yang kaya meski mereka memiliki banyak harta kekayaan alam. Saat itu, keluarga-keluarga yang bukan bangsawan hanya dibatasi memiliki dua anak, sedangkan bangsawan memiliki batasan hingga empat. Alasannya begitu konyol. Mereka bilang, kalau anak-anak bangsawan akan menjadi keturunan cemerlang karena mereka terlahir dari keluarga terpandang, memiliki status, uang, dan popularitas.
Namun, di sisi lain, para bangsawan itu tak lebih dari sekumpulan manusia-manusia tolol yang mementingkan hidup di atas sutra dibanding memikirkan nasib orang banyak. Mereka terlalu takut untuk miskin, sehingga melakukan hal-hal keji yang menjadikannya sebagai pencandu.
Mereka pikir, siapa yang sebenarnya menghancurkan?
Apakah orang-orang miskin, yang berusaha hidup dengan penuh perjuangan, yang berusaha menaikkan derajat hidup mereka agar lebih layak? Ataukah orang-orang berdarah bangsawan yang mencari uang dengan membunuh orang lain? Yang bertindak atas dasar materi dan menjadikan ‘hukum’ sebagai tameng, tidakkah satu orang pun berpikir, bahwa sebenarnya, masa lalu yang kejam itu bisa saja terulang ketika mereka berusaha untuk hidup.
Benar. Sebenarnya, sejak dulu, tidak ada yang namanya kebebasan. Bahkan sebelum biostigma terjadi. Tidak perlu menyalahkan satu sama lain. Tidak perlu, sungguh, itu hanyalah sebuah tindakan yang rugi.
Waktunya telah habis. Ia tidak punya waktu untuk memikirkan semua itu. Ia tidak tahu apa pun di luar sana dan begitu menyiksanya. Terdiam kaku seperti boneka hidup yang dipajang dalam etalase kecil. Memandang langit-langit kelabu melalui celah gedung-gedung tinggi. Kebebasannya telah habis. Ia bisa menyentuh dirinya sendiri adalah sebuah kebanggaan, sebuah kepemilikan yang sulit digapai. Melihat awan bergerak dari jendela kamar yang terhalang teralis besi adalah anugerah, bukan dari Tuhan, tapi Turk.
Dulu, ia sering mendengar bahwa Tuhan itu ada, tidak pernah tidur, dan berbuat adil bagi semua ciptaannya. Ia sering mendengar dan membaca hal-hal seperti itu baik dari kitab atau cerita orang dewasa. Namun, sampai sekarang ia tidak tahu apakah Tuhan itu memang ada atau hanyalah fiksi belaka, yang diciptakan orang-orang demi menakuti orang lain, dan berpura-pura bersikap bijaksana. Ia tidak tahu apakah Tuhan akan memberikan kebebasan dan kebahagiaan bagi semua. Sayangnya, hal itu tidak akan terealisasikan. Kebebasan dan kebahagiaan itu tidak akan pernah terjadi.
Pasti tetap ada yang namanya kuasa dan sisi rakus manusia, atau sisi liar makhluk hidup. Kadang, para binatang dan tumbuhan pun lelah, mereka berubah menjadi sosok yang mengerikan, lebih kejam dari manusia. Manusia bukanlah makhluk yang kuat meski mereka mengerikan. Mereka itu lemah, sombong, dan bisa dihancurkan kapan pun yang alam hendaki. Mereka itu hanya sekumpulan boneka hidup yang terbuat dari tanah, tempat mereka berpijak, makan, hidup, berlaku kotor, lalu mati. Alam yang berkuasa, seperti layaknya Tuhan kehidupan. Karena alam berkuasa, mereka murka, mereka hidup, dan mereka tertindas, biostigma terjadi. Ia tidak mungkin melupakan hal-hal yang terjadi dalam waktu selama itu. Ia mengalami shock, itulah yang dikatakan orang-orang Turk saat pertama kali menemukannya. Bukan, lebih tepat menangkapnya.
Ia muncul dan sadar setelah melewati fase yang sulit. Ia ingat, ia merasa begitu tenang. Ia ingin berteriak, rasanya seperti berteriak hingga pita suaranya robek meskipun itu mungkin tak lebih dari sekadar aungan tak berarti.
Tak ada malam yang bebas lagi seperti dulu, yang tenang. Ia ingin percaya atas apa yang orang-orang itu ceritakan tentang keadaan Nilfheim di luar sana.
Kalau memang ini kisah akan memiliki akhir, bisakah ia memilih akhirnya sendiri? Namun, sayangnya ini bukan kisah yang diceritakan oleh siapa pun. Ia hidup, semua hidup, binatang, tumbuhan, manusia tertindas, bangsawan, manusia penjilat, orang-orang yang kotor, pemimpin yang sinting, juga orang-orang boneka. Mereka hidup.
Mereka saling bertempur begitu seru, tegang, dan sakit. Mereka yang berlindung di balik bendera yang sama kini saling menyerang. Mengabaikan dasar pertama mereka terbentuk, melupakan untuk siapa mereka ada di dunia, dan melupakan peran mereka. Ia tidak tahu apakah ini bisa disebut pahlawan atau tidak, apakah Turk melakukan yang benar atau tidak, tapi jika benar Turk bisa menyelamatkan Nilfheim, maka ….
Ia berdiri, membiarkan gaun putih panjangnya itu menjuntai hampir menyentuh lantai. Ia duduk di tepi tempat tidur, membuka laci nakas, dan mengeluarkan kalung rantai dengan bandul persegi panjang yang terbuat dari logam. Jemari yang kurus itu menggeser penutup logam, hingga muncullah sebuah nama.
Ellie Zackween.
Inilah satu-satunya saksi perjalanan hidupnya yang terkekang.
Namanya, yang diberikan oleh sang ayah. Ellie dalam bahasa latin Nilfheim yang berarti diberkati. Namun, benarkah ia bisa dikatakan demikian? Mungkin saja, arti nama itu akan terwujud suatu saat nanti.
***
Niel Zackween memperhatikan tubuh John Freebourn yang terkulai lemas berlumur darah. Penyiksaan hari kedua, tapi manusia ini benar-benar lemah. Bahkan hasil reaksi zat kimia yang disuntikkan muncul di luar waktu perkiraan. Manusia dengan tubuh yang lemah, tapi rakus. Kedua tangan lelaki itu masih terikat, kakinya hampir menyentuh lantai yang memerah sedikit kecokelatan. Tak sedikit tubuhnya yang terkoyak, melepuh, dan dagingnya terlihat.
Sudah malam, tapi sebenarnya lelaki itu tertidur sebelum malam tiba. Mereka memutuskan untuk menghentikan penyiksaan pada pukul empat sore karena katanya, ilmuwan masih harus menggunakannya. Padahal, jika ilmuwan itu membutuhkan kelinci uji coba, mereka bisa mendapatkan yang lain, yang lebih kuat.
Namun, tidak apa. Belum ada daftar baru untuk target Turk karena sebentar lagi, mereka akan fokus pada pembersihan kongres. Membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melakukannya, juga tenaga, dan orang yang banyak. Orang kongres bukan hanya mereka yang duduk di samping presiden. Mereka yang berada satu tingkat di bawah presiden, mereka mewakili rakyat di seluruh Nilfheim. Ada sekitar seratus lebih yang tersebar di kota-kota Nilfheim, dan salah satunya adalah sisi kanan-kiri presiden.
Mewakili rakyat, atau lebih tepatnya mereka tidak pernah melakukannya. Mereka hanyalah symbol tanpa arti. Punya dasar, tapi tenggelam. Tidak ada satu aspirasi rakyat yang tersampaikan dengan baik, harus ada uang dan kuasa agar mereka menyampaikannya ke tingkat atas. Mereka hanya mendengar orang-orang bangsawan, yang punya pengaruh dan bisa memberi pengaruh. Bagi mereka, aspirasi rakyat tingkat bawah hanyalah dongeng yang diceritakan sebelum tidur, dalam keadaan setengah sadar.
Beberapa menit, ia masih berada di sana meski tahu sebentar lagi jam kegiatan Turk akan segera selesai. Entah mengapa, baginya, ada kepuasan tersendiri melihat tubuh itu, seakan jeritannya masih terdengar, berputar di kepalanya. Membayangkan anggota kongres lainnya akan berakhir di tempat ini, dengan keadaan seperti John Freebourn pasti akan membuatnya sangat puas.
Ia menantikan hari pembersihan itu, sama seperti pembersihan lima tahun yang lalu. Ketika tubuh manusia yang telanjang, digantung di atas langit ruangan dengan ujung pengait yang menembus dada mereka. Daging mereka terkoyak, kulit mereka robek, dan darah mengalir ke lantai yang putih. Bau anyir yang memabukkan, menghipnotis mereka, seakan menyalurkan rasa puas akan dendam yang terbalas. Ia ingat saat-saat itu dan ingin mengalaminya sekali lagi.
Rasa puas yang aneh, yang dipenuhi dengan cara yang aneh. Sebagian orang tidak akan tahu bagaimana rasanya, jadi mereka menghujat dengan kata-kata mereka, menjadikan mereka tersangka. Turk akan selalu dilihat sebagai pendosa yang membunuh malaikat. Mereka tidak tahu apa-apa dan Turk tidak ingin memusingkannya.
Apa yang mereka dapat setelah masyarakat tahu tentang mereka?
Tidak ada. Hanya akan keluar hujatan baru yang mengakatakan Turk tidak lebih dari sekumpulan pembunuh. Orang-orang tak berotak yang lemah dan tolol itu tidak akan mengerti. Semua ini mengingatkannya pada masa lalu, membuatnya tidak akan pernah melupakan secuil pun ingatannya. Tentang orang tua, adiknya, biostigma, juga keadaan Nilfheim. Sekumpulan orang tolol yang tanpa sadar telah membangkitkan singa yang tertidur. Mereka yang membunuh diri mereka sendiri, lalu melemparkan kesalahan ke orang lain.
Sebelum bergabung dengan Turk, sebelum membunuh orang-orang itu, Niel selalu merasakan mimpi buruk yang mengerikan. Ada perasaan yang tidak enak bersarang dalam hatinya, di sisi kemanusiaan. Ia berpikir perasaan itu mungkin akan mereda setelah ia membunuh orang-orang itu. Ia berpikir bahwa rasa tenang yang menyerangnya setelah melihat orang-orang itu tersiksa, menjerit, lalu mati, dan setelah potongan tubuhnya dihancurkan, deru mesin yang menyayat, juga bau anyir yang memabukkan, akan berlangsung selamanya. Namun, perasaan itu lenyap, membangkitkan hasrat kelamnya terhadap orang lain. Hasrat itu semakin mendalam, membesar, dan akhirnya menguasai.
Jika orang ini tidak dibunuh, maka biostigma akan terjadi lagi ….
Jika orang ini tidak dibunuh, maka Nilfheim akan sakit ….
Hukum hanyalah alat bagi orang yang bodoh.
Sejak awal, Niel tidak pernah berharap pada hukum, bahkan ketika dirinya masih kecil. Hukum hanyalah alat memperkaya diri bagi para bangsawan, tapi masyarakat yang tolol itu tetaplah tolol. Mereka tidak akan sadar dan tidak akan pernah sadar sampai ada orang yang memukul kepala hingga mata mereka keluar dan otak mereka pecah.
Karena itulah, Niel tidak akan peduli pada apa pun.
Turk adalah hal mutlak, berbanding terbalik dengan hukum negara ini.
Ini pilihannya sejak dulu. Menyalurkan hasrat aneh yang liar itu untuk membunuh orang-orang yang telah membunuhnya.