Loading...
Logo TinLit
Read Story - Egoist
MENU
About Us  

Niel Zackween duduk di kursi paling belakang Pengadilan Pidana Nilfheim, menonton tindak keadilan, sebuah pembalasan terhadap lelaki yang telah menyiksa seorang perempuan. Iris merahnya menatap tajam tersangka yang tersenyum miring, terlihat menantang ayah korban.

Lelaki itu ... menjijikkan, sangat berbahaya, tapi Niel tidak boleh gegabah. Tidak terburu-buru dan mendekatkan jarak secara perlahan.

Seorang hakim, berbadan kurus seperti lidi, mengusap janggut abu-abunya yang sedikit panjang. Iris hijau tuanya memandang lelaki itu dengan angkuh, meremehkan seperti biasa. Namun, Niel merasakan adanya kepalsuan dalam semua ini. Sesuatu yang sangat sering ia temui.

Binatang. Lelaki bernama Jim Sakgaard berambut hitam dengan potongan pendek. Wajahnya bersih, tegas, dan tampan. Namun, hatinya lebih dari iblis. Citranya di hadapan publik sangat bagus, sehingga ia mendapatkan dukungan atas kasus ini. Publik percaya Jim tidak bersalah dan hanya dijebak tanpa tahu kejahatan di baliknya. Lelaki ini seorang dewan yang berpengaruh dalam pemerintahan Nilfheim, penuh nafsu akan perempuan dan uang. Mata Jim menatap licik sang ayah, kemudian mengangkat bahu, seolah merasa percaya diri dengan hasil sidang. 

"Catatan kejahatan kau bersih, kau berasal dari keluarga yang baik-baik. Bukti-bukti yang diajukan juga tidak begitu kuat." Hakim berhenti sejenak, memperhatikan lembaran bukti yang diajukan, lalu menghela napas. Ia memandang Jim dan sang ayah bergantian, lalu dengan tangannya yang kurus, ia mengangkat palu, bersiap memberikan keputusan. "Dengan ini, tuntutan atas Jim Sakgaard dibatalkan."

Palu diketuk, disusul tepuk tangan para penonton sidang. Mereka bahagia, bangga, karena sosok yang dikagumi terbebas dari tuntutan. Wajah sang ayah mengeras, tampak frustasi dan marah luar biasa. Putrinya yang cantik dan muda harus menanggung malu karena fakta yang diputarbalikan lelaki ini. Jim membuat putrinya seolah jalang gila harta yang menggodanya. Semua ini lelucon. Ia memandang orang-orang yang begitu bahagia, mengucapkan selamat atas kemenangan sidang pada Jim. Oh, tidak apa. Mereka bahagia sekarang, tersenyumlah.

Selama bertahun-tahun di Nilfheim, sang ayah selalu patuh dan percaya pada hukum. Hidupnya sederhana bersama putri dan istrinya. Putrinya yang polos, tidak mengerti betapa kejinya lelaki ini. Namun, apa yang diberikan hukum padanya? Hanya sebuah kepahitan yang membuat darahnya mendidih. 

Salah satu dari pendukung Jim maju mendekatinya, seorang lelaki berpakaian formal lebih tua dari Jim. Lelaki itu melirik padanya, menunjukkan ekspresi malu, tapi matanya memancarkan rasa sombong penuh kemenangan. Puas menghina sang ayah, ia berbalik, bergabung dengan para pendukung berjalan di belakang Jim. Seolah melindungi lelaki yang kini berjalan di lorong pengadilan.

Sang ayah kalang kabut. Ia tidak sanggup membayangkan nasib putrinya yang malang. Hukum Nilfheim yang mereka puja dulu kini tak lagi adil dan hanya ada satu yang mampu memberikan mereka keadilan. Turk.

Sang ayah memandang Niel, mengulas senyum miring sebagai isyarat dimulainya pembalasan. Niel mengerti. Ia berdiri, mengikuti Jim menuju mobil kesayangannya. Sudah cukup lama waktu yang dihabiskan untuk mengamati lelaki itu. Hasrat membunuhnya kembali bangkit, berusaha meliarkan diri saat Niel merasa nyawa Jim berada di tangannya, membiarkan lelaki itu merasa bebas, lalu ....

Jim Sakgaard akan mendapat penghargaan besar hari ini.

***

Dalam hotel mewah andalan Nilfheim yang berdekorasi meriah, Jim Sakgaard mabuk bersama pendukungnya. Dengan perempuan seksi di sisinya, Jim menenggak whisky dari botol yang dipegangnya. Dentuman musik terdengar memekakkan telinga, para pendukungnya berlenggok ke sana-sini, bersama perempuan-perempuan bar. Mereka berteriak, seolah memenangkan pertempuran besar. Aroma whisky dan desahan lirih, serta para penari perempuan bergerak sensual dengan pakaian yang serba minim, menampilkan belahan dada dan paha mulus mereka.

"Kau lihat wajah lelaki tua itu? Ia benar-benar malu hari ini!" Senyum miring Jim terukir ketika lelaki berpakaian formal yang ditunggunya datang, duduk di hadapannya. Lelaki berusia empat puluhan, seorang anggota dewan, bawahan Jim. Lelaki itu tersenyum menanggapi, ia menenggak whisky yang dituang Jim, lalu duduk bersandar sembari melipat kedua tangan.

"Jim Sakgaard tidak akan kalah hanya karena tuntutan rendah seperti itu. Uang lebih berarti dari keadilan, bukan? Lihatlah wajah hakim itu. Begitu sombong dan angkuh, tapi ketika disuap uang, matanya langsung membulat dan liurnya menetes."

Benar. Uang. Siapa yang tidak menyukainya? Tidak hanya Nilfheim, tapi seluruh belahan dunia pasti menyukainya dengan kadar yang berbeda-beda. Meski ada yang mengatakan bahwa kebahagiaan itu tak selalu tentang uang, nyatanya, itu hanya sebatas ucapan. Tidak ada yang benar-benar menjadikannya sebagai ideologi hidup. Tak hanya penduduk biasa, para dewan yang kotor, tapi ahli agama dan pemberi keadilan pun bisa dikuasai oleh uang.

Miris.

Jim mengangguk, membenarkan ucapan bawahannya. "Benar. Semua orang munafik jika mengatakan mereka tak butuh uang. Termasuk orang-orang ini. Kau tahu? Sebagian besar pendukungku hanyalah orang-orang bermulut dompet, yang menganga ketika kusodori lembaran uang. Sebagian lain adalah orang yang buta, tidak bisa melihat kenyataan dan menganggap diriku sebagai dewan yang bersih. Hanya bermodal senyum dan jabatan tangan, mereka memberikan dukungan. Begitu mudahnya hidup di negara ini."

Mereka berbincang, saling menjelekkan orang-orang yang memberikan mereka dukungan. Hingga tanpa disadari, ada seorang lelaki lain yang memperhatikannya, Niel. Ia duduk di sudut lain bar, memperhatikan Jim dengan tatapan lapar. Gejolak dalam dirinya semakin liar, menghiraukan para perempuan sensual di sebelahnya yang berusaha menaikkan berahi Niel.

Bagi Niel, tidak ada yang lebih menggairahkan dibanding orang-orang kotor itu.

Tak lama waktu berselang, Jim bangkit, masih bersama dengan dua perempuan di sisinya. Tangan kekar lelaki itu melingkar di pinggang perempuan, sesekali meremas bokongnya hingga membuat perempuan itu mendesah. Niel melihat Jim mengecup bibir perempuan itu, lalu mengajaknya menuju tempat tindakan tak bermoral itu dilakukan.

Merasa telah memberikan Jim cukup waktu, Niel ikut berdiri. Melangkah santai mengikuti lelaki itu sambil menyeringai tipis. Ia menatap sekeliling bar, membiarkan orang-orang itu terlena.

Inilah pekerjaannya. Memenuhi gejolak yang selalu menuntutnya sejak lima tahun silam. Bertahan hidup dari kejamnya dunia, bergabung dengan para pendosa. Mungkin, sebagian orang tidak akan pernah mengerti rasa puas yang dialaminya ketika orang-orang yang kotor ini menjerit kesakitan, mengeluarkan cairan merah segar berbau anyir.

Ya, benar. Niel adalah anjing pemburu Turk. Dia yang memberikan umpan untuk para penyiksa demi mendapat kepuasan. Dan kali ini, Jim Sakgaard adalah target berikutnya.

***

"Jangan bunuh aku!"

Jim Sakgaard meronta dengan kedua tangan yang diikat ke papan berbentuk salib. Ia tidak bisa membayangkan besi-besi tajam yang panas itu menembus kulitnya, menghancurkan isi perut, dan membunuhnya secara perlahan. 

Cahaya remang-remang di ruangan itu tak cukup membuatnya menghitung banyak orang di sana, tapi, ia tahu dirinya adalah tontonan menarik saat ini. Orang-orang berpakaian serbahitam itu tertawa-tawa, sedangkan seorang lelaki berusia lima puluhan duduk di singgasana, melipat kaki, memperhatikan lelaki yang disalib itu sambil tersenyum miring. Di sampingnya, sang ayah tersenyum puas, matanya berbinar. 

Seharusnya, orang-orang ini tahu kalau lelaki yang disalib itu mampu memberi mereka uang, memberi segala yang mereka inginkan, tapi kenapa? Sepertinya, seluruh harta berbau anyir itu tidak berguna di sini.

Sudah berapa lama ia seperti ini? Berhari-hari? Atau baru beberapa menit? Kepalanya terlalu penuh untuk memikirkan itu dan tubuhnya terlalu sakit untuk mencerna keadaannya. Kesadarannya timbul tenggelam akibat luka yang seakan membakar kulitnya yang putih. Entah berapa banyak zat-zat kimia yang telah disuntikkan padanya, membuat beberapa bagian kulitnya membiru, dan sedikit lembek. Lengan berototnya seakan tidak berguna untuk melawan, mata biru muda yang indah itu bengkak, bibir tipis yang suka memancing berahi perempuan itu robek dan berdarah. Ada sayatan-sayatan di kelaminnya. Lelaki yang tadinya dihormati dan dikagumi banyak orang mereka permalukan dengan cara yang sadis dan tak sanggup dibayangkan orang-orang biasa. Namun, di antara orang-orang itu, ia paling membenci sang ayah, melebihi para penyiksanya.

Lelaki yang menyebabkan semua ini terjadi.

Seorang ayah dari perempuan yang dilecehkannya, yang kalah darinya di pengadilan. 

Jeritan lelaki itu mengganas ketika para penyiksa siap menusuknya dengan besi panas sambil tertawa-tawa. Sudah terlambat. Seluruh tubuhnya menjadi panas ketika besi itu menembus kulitnya, membuat cairan merah kental keluar dari dalam tubuh, mengaliri kakinya yang gemetar. Tubuh lelaki itu terkulai lemas, kulitnya melepuh, dan di bawahnya terdapat genangan cairan merah, menimbulkan bau anyir yang menjijikkan sekaligus membuat orang-orang itu puas.

Mereka tertawa. Tertawa, hingga rasanya perut mereka sakit. Begitu puas, seolah saat itu tidak ada lagi yang mampu memuaskan mereka.

Lelaki tua itu bangkit dari singgasana, menghampiri tubuh berlumur darah. Ia mengangkat wajah lelaki itu, memperhatikannya sambil tersenyum tulus. Begitu tulus. Bukan senyuman licik yang diperlihatkannya tadi. Ia mengusap rambut tipis di area dagu, berwarna cokelat yang bercampur merah darah.

"Kau tahu? Aku ini mencintaimu, maka itu aku membunuhmu."

Seperti biasa, ia merasa bergairah setelah mendengar permohonan, jeritan, dan darah, hingga akhirnya keheningan tercipta sesaat setelah pertunjukkan berakhir. Bergairah melihat cairan merah yang menyembur keluar bersama dengan kotoran perut lainnya. Semua hanya demi kesenangan, demi cinta, seperti yang ia perintahkan. Ia suka membunuh siapa pun, menjadikannya uji coba yang sinting. Seperti mendapat kekuasaan tertinggi atas manusia-manusia yang sombong.

Dulu, lelaki yang telah menjadi mayat ini adalah orang yang kaya, berkuasa, dan dermawan. Itu semua hanya berlaku di hadapan publik. Lebih hebat, lebih kaya, dan lebih dicintai darinya. Ia membunuh orang-orang miskin dan menderita secara perlahan, begitu seksi, dengan otaknya yang licik, tanpa disadari siapa pun. Namun, lihatlah sekarang. Lelaki penuh berahi akan perempuan ini telah menjadi mayat yang menyedihkan.

Lelaki ini tidak pernah memikirkannya, tidak memahami arti cinta bagi orang-orang ini.

Lelaki ini begitu mencintai harta, perempuan, dan statusnya yang tinggi. Karena itu, mereka membunuhnya.

Karena lelaki ini begitu berbahaya, lebih sinting dari binatang buas.

Karena mereka mencintai orang-orang yang seperti itu, menyiksanya, lalu menjadikannya mayat yang indah.

Demi tercipta dunia yang adil dan indah.

***

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
6 Pintu Untuk Pulang
662      387     2     
Short Story
Dikejar oleh zombie-zombie, rasanya tentu saja menegangkan. Apalagi harus memecahkan maksud dari dua huruf yang tertulis di telapak tangan dengan clue yang diberikan oleh pacarku. Jika berhasil, akan muncul pintu agar terlepas dari kejaran zombie-zombie itu. Dan, ada 6 pintu yang harus kulewati. Tunggu dulu, ini bukan cerita fantasi. Lalu, bagaimana bisa aku masuk ke dalam komik tentang zombie...
ANAGAPESIS #ffwc2
471      319     1     
Short Story
Ini berawal dari harapan yang dipupuk kebiasaan. Oh, sebuah rutinitas yang mengesankan. Harapanku tumbuh, menjulang menantang akanan. . Hingga suatu ketika kenyataan menamparku agar putar halu. Ini tentang kamu.
Sherwin
380      257     2     
Romance
Aku mencintaimu kemarin, hari ini, besok, dan selamanya
Nightmare
447      307     2     
Short Story
Malam itu adalah malam yang kuinginkan. Kami mengadakan pesta kecil-kecilan dan bernyanyi bersama di taman belakang rumahku. Namun semua berrubah menjadi mimpi buruk. Kebenaran telah terungkap, aku terluka, tetesan darah berceceran di atas lantai. Aku tidak bisa berlari. Andai waktu bisa diputar, aku tidak ingin mengadakan pesta malam itu.
Kiwari Nan Sangkil
362      304     0     
Short Story
Perasaan mempertemukan kita. Perbedaan menyatukan kita. Tak akan ada rasa mencintai tanpa memahami terlebih dahulu. Tak akan ada rasa menghormati tanpa menghargai terlebih dahulu. Budaya memang bukan makhluk yang hidup, akan tetapi, bisa menghidupkan berjuta-juta orang dalam satu bangsa. Budaya dan ke modern-an seringkali dianggap bertolak belakang. Tak banyak yang tahu, sesuatu yang b...
(Un)Dead
873      455     0     
Fan Fiction
"Wanita itu tidak mati biarpun ususnya terburai dan pria tadi一yang tubuhnya dilalap api一juga seperti itu," tukas Taehyung. Jungkook mengangguk setuju. "Mereka seperti tidak mereka sakit. Dan anehnya lagi, kenapa mereka mencoba menyerang kita?" "Oh ya ampun," kata Taehyung, seperti baru menyadari sesuatu. "Kalau dugaanku benar, maka kita sedang dalam bahaya besar." "...
Love Rain
20997      2838     4     
Romance
Selama menjadi karyawati di toko CD sekitar Myeong-dong, hanya ada satu hal yang tak Han Yuna suka: bila sedang hujan. Berkat hujan, pekerjaannya yang bisa dilakukan hanya sekejap saja, dapat menjadi berkali-kali lipat. Seperti menyusun kembali CD yang telah diletak ke sembarang tempat oleh para pengunjung dadakan, atau mengepel lantai setiap kali jejak basah itu muncul dalam waktu berdekatan. ...
About love
1283      598     3     
Romance
Suatu waktu kalian akan mengerti apa itu cinta. Cinta bukan hanya sebuah kata, bukan sebuah ungkapan, bukan sebuah perasaan, logika, dan keinginan saja. Tapi kalian akan mengerti cinta itu sebuah perjuangan, sebuah komitmen, dan sebuah kepercayaan. Dengan cinta, kalian belajar bagaimana cinta itu adalah sebuah proses pendewasaan ketika dihadapkan dalam sebuah masalah. Dan disaat itu pulalah kali...
Dealing with Change
720      489     3     
Short Story
Perubahan-perubahan bagai batu benturan yang tidak terhindarkan. Sekalinya kita berkelit, ia akan datang lagi dan lagi.
A Life Time
423      335     2     
Short Story
Mo discovered a flower so beautiful and captivating, Little did she know, the flower would change her life, or worse... her death.