Kesibukan pagi di kota Gudeg masih seperti dalam ingatan Gus Hasan Al Farich. Lalu lalang kendaraan sudah mulai ramai. Para tukang becak mengayuh becaknya mencari penumpang, derap kaki kuda yang menarik andong turut meramaikan suasana pagi. Angkutan umum tampak penuh dengan penumpang, mulai ibu-ibu berdaster hingga anak-anak berseragam sekolah. Warung-warung di pinggir jalan pun sudah menguarkan aroma masakannya masing-masing, pedangang asongan mulai menawarkan jajakannya saat kendaraan berhenti di perempatan lampu merah.
Dari dalam bus yang akan membawanya menuju pesantren Miftahul Ulum, Gus Hasan mengamati aktifitas masyarakat Jogja. Jogja masih seperti empat tahun yang lalu, tak ada yang berubah. Empat tahun menempuh pendidikan di Cairo, Mesir, membuat Gus Hasan sangat merindukan kota kelahirannya, masakan Uminya, Abah dengan segala petuahnya, suasana pesantren, hingga Misbah, adiknya yang saat ini pasti sudah tumbuh dewasa, menjadi laki-laki tampan yang cerdas.
Namun, ia tetap memutuskan untuk tidak langsung pulang ke rumahnya. Begitu keluar dari Bandara Adisutjipto, Gus Hasan justru menaiki bus menuju pesantren Miftahul Ulum untuk menemui Kyai Abdul Fatah. Kyai Abdul Fatah adalah salah satu sahabat ayahandanya, sekaligus pengurus pesantren saat ia masih nyantri di Tebuireng, Jombang. Waktu itu Gus Hasan masih duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah.
Kyai Abdul Fatah adalah sosok yang sangat berjasa dalam hidup Gus Hasan. Beliau merupakan pengganti Abah saat di pesantren yang sudah memperlakukan ia layaknya anak sendiri. Selain memiliki kepribadian yang sangat menyenangkan, Kyai Abdul Fatah muda juga dikenal penuh kasih sayang. Masih jelas terpatri dalam ingatan Gus Hasan, saat pertama kali ia menginjakkan kaki di pesantren Tebuireng, Gus Hasan menangis, begitu Umi dan Abah hendak pulang meninggalkanya. Namun, dengan lembut Kyai Abdul Fatah menenangkannya, membujuknya dengan nada-nada manis hingga ia merasa betah di pesantren.
Lima tahun Gus Hasan menimba ilmu di pesantren Tebuireng, sebelum akhirnya melanjutkan nyantrinya di pesantren Lirboyo, Kediri, dan kemudian mendapat beasiswa ke Cairo. Selama lima tahun di pesantren, Gus Hasan mengenal Kyai Abdul Fatah hanya tiga tahun saat beliau mengabdi pada pesantren untuk mengajar para santri. Setelah itu beliau pulang kampung dan mendirikan pesantren sendiri di kota kelahirannya, Jogjakarta, bersama sang Ayah.
Darah biru masih mengalir dalam diri Kyai Abdul Fatah. Sang Ayah, Romo Abdurrahman Hadiningrat adalah seorang keturunan bangsawan Jogja. Romo Abdurrahman sendiri merupakan sosok agamis, beliau sesepuh di dusunnya. Pada saat itu beliaulah yang mendirikan pesantren Miftahul Ulum. Awalnya pesantren Miftahul Ulum hanya majelis tempat perkumpulan anak-anak desa mengaji. Namun, setelah Kyai Abdul Fatah selesai mengabdi, Romo Abdurrahman bersama putranya tersebut mengembangkan dan merubah sistem pembelajaran di pesantren Miftahul Ulum hingga sampai sekarang santriwan-santriwatinya sudah mencapai ribuan.
Bus yang ditumpanginya berhenti di sebuah halte yang tampak ramai, orang-orang tampak tak sabar mengantre masuk kedalam bus. Gus Hasan mengarahkan pandangannya ke luar jendela, tampak seorang gadis berpakaian seragam Taekwodo berlari mengejar bus. Sopir bus tampak tidak sabar menunggunya. Namun, begitu sudah hampir mendekati pintu, tiba-tiba ia kembali berbelok, membuat sopir bus menggerutu kesal.
Gus Hasan mengamatinya dari dalam. Keningnya berkerut tatkala melihat gadis itu justru menyeberang jalan. Di sana tampak seorang kakek tua dengan badan sudah membungkuk, tangannya yang gemetaran memegang sebuah tongkat usang untuk menopang tubuh rentanya, seperti tengah kesulitan untuk menyeberang jalan. Gadis tersebut berbincang sebentar sebelum kemudian menggandeng kakek renta itu dengan lembut dan menyeberang jalan secara pelan mengikuti langkah lemah sang kakek.
Entah mengapa Gus Hasan merasa hatinya berdesir menyaksikan kebaikan yang tertampang di depan matanya. Mulia sekali, batinnya kagum. Disaat orang lain sibuk dengan urusannya masing-masing dan tidak menghiraukan kesulitan orang lain, gadis itu malah lebih memilih tertinggal bus demi menolong orang lain. Susah sekali mencari kemuliaan seperti itu di zaman sekarang.
Tiba-tiba bus mengerung dengan keras disertai umpatan kasar dari sang Sopir. Gadis tersebut tampak terkejut saat melihat bus sudah mulai bergerak hendak meninggalkan halte. Namun, ia masih sempat mengatakan sesuatu dan tersenyum pada sang kakek, yang dibalas dengan senyuman terimakasih darinya sebelum kemudian berlari melesat mengejar bus yang sudah berjalan. Dengan lincah ia melompat masuk ke dalam bus.
Dengan napas terengah, gadis itu menghempaskan diri di seberang tempat duduk Gus Hasan, hanya berjarak beberapa senti. Gus Hasan menunduk menjaga pandangannya. Namun, dari ekor matanya Gus Hasan dapat melihatnya tengah asyik bermain ponsel. Sesekali ia mengelap wajahnya yang berkeringat dengan ujung jilbab hitamnya yang tidak terlalu panjang. Sebuah tanda peserta mengalung di lehernya, ban hitam tampak membelit pinggangnya. Sepertinya ia akan mengikuti turnamen Taekwondo
Tak lama kemudian bus kembali berhenti di sebuah halte. Namun, kali ini tak ada satu pun penumpang yang turun. Seorang ibu hamil dengan perut besar masuk sambil menggendong anaknya yang masih kecil. Si Ibu tampak kebingungan saat tak ada kursi yang kosong, tidak ada seorang pun yang terlihat sukarela ingin memberinya tempat duduk.
Gus Hasan hendak bangun mempersilakan ibu tersebut duduk, namun gadis berseragam Taekwondo itu lebih dulu bangkit dan memberikan kursinya.
"Bu, silakan duduk sini." Gess. Suaranya sangat merdu, Gus Hasan kembali merasa debaran jantungnya bekerja tidak seperti biasanya. Ibu tersebut tersenyum lega, sambil mengucapkan terima kasih beliau duduk. Menyisakan si Bidadari berahlak mulia tersebut berdiri dan kembali sibuk dengan ponselnya.
Gus Hasan berdiri mempersilakannya duduk, dan untuk pertama kalinya ia dapat melihat wajah sang Gadis dengan jelas. Masya Allah, Gus Hasan merasa melihat bidadari berwujud manusia. Namun, tanpa menatap Gus Hasan, gadis itu menolaknya dengan halus disertai senyumnya yang teramat manis. Ia mengatakan, bahwa sebentar lagi sampai tujuan. Gus Hasan dapat melihat, nama gadis itu pada tanda peserta yang tergantung di lehernya. E. Riadhil Jannah, tertulis menggunakan spidol hitam dengan tulisan huruf kapital besar-besar.
Subkhanallaah, memiliki ahlak yang sangat mulia, dengan wajah cantik bak bidadari, ditambah dengan nama yang sangan indah. Riadhil Jannah, yang berarti Taman Surga.
Tak lama saat bus berhenti di depan Stadion Maguwoharjo, gadis tersebut berjalan menuju pintu. Sebelum turun ia menoleh ke arah Gus Hasan. Pandangan mata mereka bertemu dan Gus Hasan tertegun.
Gadis itu memiliki bola mata berwarna biru, bersorot sayu nan lembut. Gus Hasan yakin mata itu benar-benar asli, bukan biru softlens. Karena tampak teduh dan menenangkan. Seumur hidupnya Gus Hasan yakin tak mungkin bisa melupakan sorot itu. Sorot yang membuat degup jantungnya bekerja tak seperti biasanya.
Maha Suci Allah, yang telah menciptakan mahluk secantik itu. Apakah ia benar-benar seorang mausia, atau memang bidadari yang menyerupai manusia. Gus Hasan menyentuh dadanya yang berdebar. Seumur hidupnya baru kali ia berdebar oleh seorang gadis.
Riadhil Jannah. Gadis dari taman surga.
@Puspamarkhip betul banget
Comment on chapter Prolog