Namaku Juli, Juliana. Tidak banyak yang bisa aku ceritakan tentang diriku, intinya aku seorang gadis yang sedang menikmati kesendirian. Aku baru putus dengan cinta pertamaku. Banyak teori yang mengatakan bahwa cinta pertama tidak akan berakhir bahagia, dan ternyata terbukti padaku.
Baiklah, ini bukan cerita cinta, ini tentang niatku mengelilingi dunia dan menjadi travel bloger. Cita-cita? Tentu bukan. Orang tuaku bahkan tidak setuju. Tapi, melihat tekadku yang kuat, akhirnya mereka mengizinkan.
Bertepatan dengan tanggal kelahiranku, 31 Juli, tujuan pertamaku adalah ibukota -- Jakarta. Tidak mungkin aku menulis artikel tentang negara lain, sebelum menulis tentang indahnya negeriku. Bermodalkan tas ransel dan beberapa peralatan dokumentasi, aku melangkahkan kaki menyusuri ibu kota.
Setibanya di bandara Soekarno Hatta, aku langsung menuju pintu keluar. Sebelumnya, aku sudah menyusun rencana kepergianku ini di sebuah buku catatan. Aku sudah menggali informasi tentang transportasi, tempat menginap, bahkan rumah sakit. Tujuan pertamaku adalah Kota Tua.
Aku menaiki bus yang melintas di bandara. Tentu saja, aku sudah memastikan pada kernet bus bahwa rute bus ini menuju Kota Tua. Empat lima menit perjalanan, bus tersebut sampai di Stasiun Jakarta Kota. Aku turun dan menghirup udara sejenak. Udara ibu kota.
Pertualangan dimulai. Aku mengambil kamera dan mulai memotret sudut bangunan dan masyarakat di sana. Kameraku sudah siap untuk menceritakan perjalananku di kemudian hari. Stasiun ini sangat kokoh walau sudah berumur puluhan tahun.
“Guide tour, Neng!” kata seorang pemuda. Dia memberi selembar kertas tentang informasi tour yang dia dan perusahaannya jalankan.
Aku mengambil kertas tersebut dan membaca sekilas. “Maaf, Bang. Saya tidak ikut tour.” Aku berlalu pergi walau pemuda tersebut mencoba meyakinkanku untuk bergabung bersama mereka.
Karena terlalu asik, tak sengaja aku memotret seorang kakek yang sedang duduk sambil memegang bendera berukuran kecil. Kakek yang menggunakan baju tentara zaman dulu itu terlihat tidak senang saat aku mengambil gambar dirinya. Aku merasa bersalah atas ketidaknyamanannya.
Aku menghampirinya. “Kek, maaf, ya. Saya tidak sopan mengambil gambar Kakek, tanpa persetujuan dari Kakek. Saya akan hapus gambar yang saya ambil,” ucapku dengan rasa bersalah.
Ternyata si kakek tersebut tersenyum padaku. “Tidak apa-apa. Kakek hanya terkejut saat tiba-tiba jadi model untuk dokumentasimu. Kamu dari mana mau ke mana?”
“Saya dari Aceh, Kek. Mau melihat-lihat beberapa bangunan di Jakarta seperti Kota Tua dan Monumen Nasional, lalu menulisnya di blog saya,” jawabku menjelaskan maksud dan tujuanku.
Wajahnya terlihat bingung. “Blog? Apa itu?”
Aku mencari penjelasan agar si kakek dapat mengerti. “Iya blog, Kek. Tempat untuk menulis peristiwa, berita, dan sebagainya.”
Warna wajahnya berubah kembali. “Oh, surat kabar!”
Jika tidak merasa bersalah sebelumnya, aku mungkin sudah tertawa di depannya. “Iya, Kek. Sejenis itu.”
“Sendiri?”
“Iya. Saya sendiri datang ke Jakarta.”
Si kakek mengacungkan jempol. “Wah. Kamu gadis pemberani.” Dia bangkit dan berkata, “Bagaimana jika kakek temani kamu berkeliling?”
Spontan aku langsung menjawab, “Oh tidak perlu, Kek. Saya bisa sendiri.”
“Ayolah. Rumah kakek dekat dengan Monas, jadi bisa sekalian pulang,” jelasnya dengan semangat.
Apa si kakek seorang guide? Antara segan dan tidak ingin menyetujui usul si kakek. Tapi, dia terus memaksa sehingga aku menyetujuinya. “Baiklah. Tapi, saya harus bayar berapa, Kek?”
“Bayar?” si kakek terlihat heran. “Kakek tidak minta bayaran, Nak.”
Aku menjadi malu sendiri. “Oh, maaf Kek. Tapi...”
“Kamu bisa bayar ongkos bus untuk Kakek jika kamu segan.”
Aku tersenyum. “Setuju. Kita ke mana terlebih dahulu?” tanyaku dengan senang. Tak percaya kalau di kota sebesar ini masih ada orang yang baik seperti si kakek.
“Kita keliling Stasiun Jakarta ini,” ajaknya sambil memegang bendera.
Aku dapat melihat ketulusan si kakek dari cara dia mengajakku. Not bad. “Ayo, Kek!”
Sambil berjalan, si kakek menjelaskan dan menunjuk bagian terbaik di stasiun. “Stasiun Jakarta Kota ini sering disebut dengan Stasiun Beos yang hanya untuk perjalanan awal dan akhir, tidak ada jalur lanjutan.”
“Dari dulu namanya sudah Stasiun Jakarta Kota, ya, Kek?”
“Sebenarnya sejak zaman penjajahan Belanda, stasiun ini dinamakan Stasiun Batavia Zuid, lalu berubah nama pada penjajahan Jepang menjadi Stasiun Djakarta,” jelasnya. “pakai ‘D’, ya. Djakarta,” kata si kakek memperjelas penulisan.
Aku tersenyum, mengerti maksud si kakek agar aku tidak salah tulis. “Iya, Kek. Nanti saya akan tulis seperti itu.”
“Stasiun ini terletak di bagian selatan, sedangkan di bagian utara dahulu terdapat Stasiun Batavia Noord yang terletak di sebelah selatan Museum Sejarah Jakarta sekarang. Stasiun Zuid ini pernah ditutup tahun 1926 untuk direnovasi menjadi bangunan sekarang, sehingga selama renovasi jalur kereta saat itu dipindahkan ke Stasiun Batavia Noord. Tahun 1929, stasiun ini resmi digunakan dan stasiun Noord ditutup oleh perusahaan kereta api saat itu,” si kakek menghela napas panjang. Dia seperti mengingat kembali masa lalunya.
“Stasiun ini bagus sekali. Pasti sang arsitektur memiliki arti khusus dalam pembangunan stasiun ini,” pujiku. Si Kakek terlihat tersenyum kembali.
Saat menuju pintu keluar, terlihat seorang pria berkemeja kotak-kotak dan celana yang terlihat jadul tersenyum pada si kakek. Dari perawakannya, si pria terlihat keturunan bule.
“Teman Kakek?” tanyaku pada si kakek yang hanya tersenyum balik pada si pria bule.
“Kamu melihatnya?”
Aku mengangguk heran. “Maksud kakek?”
Si kakek tertawa. “Maksud Kakek, kamu lihat bahwa temanku ini lebih tampan daripada aku,” ucapnya sambil tertawa, “kenalkan namanya Frans Johan, keturunan Belanda.”
“Hi, Mister,” sapaku. “Nice to meet you. My name is Juli.”
“Nice to meet you,” jawabnya. “Siapa dia?” tanyanya pada si kakek.
“Cucuku!” jawab si kakek. “Baru datang dari Aceh. Dia sangat mengagumi konstruksi bangunan di stasiun ini.”
“Terima kasih!” ucapnya.
Ternyata pria bule itu bisa berbahasa Indonesia, walau logatnya sedikit berbeda. Aku jadi malu sendiri dan hanya bisa tersenyum padanya.
Kami pamit padanya dan melanjutkan perjalanan ke Kota Tua. Sesampainya di sana, kami berdiri di tengah-tengah. Terdapat beberapa bangunan, seperti Kantor Pos, Bank Indonesia, Museum Sejarah Jakarta, dan bangunan lainnya.
“Wah. Seperti berada di luar negeri, ya, Kek!” teriakku bahagia. Si kakek hanya tertawa mengikutiku berlarian tanpa arah. Si kakek mulai bercerita tentang sejarah Kota Tua, dimulai dari penyerangan Fatahillah, perubahan nama dari Sunda Kelapa ke Jayakarta lalu ke Batavia. Hingga dekret dari Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, yang meresmikan Kota Tua menjadi situs warisan.
“Kakek banyak tahu sejarah, ya! Enggak sia-sia saya diajak jalan-jalan dengan kakek,” pujiku padanya. Dia terlihat senang atas pujianku. Suara perut si kakek terdengar hingga ke telingaku.
Si kakek tertawa. “Karena terlalu banyak bicara, Kakek jadi lapar.”
Aku mengangguk, karena aku juga sudah lapar. Si kakek mengajakku untuk mencoba Soto Betawi. Soto ini memiliki cita rasa berbeda dari soto Medan yang pernah aku coba. Kuahnya bening dan segar, cocok dinikmati di siang hari seperti ini.
“Kamu bisa memasak?”
“Tentu. Wanita harus bisa masak, Kek. Saya pandai membuat timpan, makanan khas Aceh, dan juga sayur pliek. Selain menjadi penulis, saya juga ingin membuka kafe dengan cita rasa daerah dan luar negeri.”
“Kamu sungguh luar biasa,” kata si kakek. “Begitulah anak muda, selalu menceritakan masa depan, sedangkan kami orang tua, terlalu sibuk menceritakan masa lalu,” sambungnya dengan tawa ringan.
Kami melanjutkan berkeliling Kota Tua setelah makan siang. Lalu mencari bus dari Kota Tua menuju Monas.
Monas memang tiada duanya. Berada di lahan seluas delapan puluh hektar di pusat kota menjadikan monas sebagai kawasan wisata yang tak pernah sepi dikunjungi wisatawan.
“Ramai sekali, Kek!”
“Iya,” jawab si kakek singkat.
“Kakek juga tahu tentang sejarah Monas?”
Si kakek melihat monas dari bawah hingga ke puncak. “Kakek tahu pembangunan Monas pada tahun 1959 oleh presiden Soekarno. Lalu...” Dia tidak melanjutkan kembali.
Aku yang tidak mengerti sejarah akan paham jika si kakek juga lupa. “Katanya di bagian pelataran bawah terdapat museum. Lalu, kita bisa naik ke pelataran atas pada ketinggian seratus tiga dua meter untuk melihat sekeliling Jakarta. Api yang berada di atas itu dilapis emas seberat lima puluh kilogram loh, Kek. Api yang melambangkan kemerdekaan dan perjuangan rakyat Indonesia yang tidak pernah padam,” ujarku. “Bagaimana kalau kita masuk ke dalam, Kek. Saya akan beli tiket masuknya.”
Si kakek menarik lenganku. “Kakek tidak ikut kamu masuk ke sana.”
“Kenapa, Kek?” tanyaku heran.
“Kakek takut ketinggian,” ucapnya. “Kamu lanjutkan perjalananmu, lakukan yang terbaik. Kita berpisah di sini saja. Kakek sangat senang karena sudah diajak keliling Jakarta hari ini.”
Aku tambah kecewa. Secepat inikah harus berpisah. “Tapi Kek...”
“Jangan kecewa. Setiap pertemuan pasti diakhir dengan perpisahan.”
Perkataan si kakek semakin membuatku sedih, walau baru bertemu beberapa jam dengannya.
“Kamu masuklah! Kakek juga akan segera pulang.”
Aku berjalan ke pintu masuk Monas setelah bersalaman dengan si kakek. Menuju pelataran atas dan melihat sekeliling Jakarta. Indah. Gedung-gedung tinggi berbaris seperti anak catur. Puas melihat Jakarta dari atas, aku menuju ke pelataran bawah yang terdapat Museum Sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Terdapat beberapa lukisan dan gambar di dinding. Aku melihat dengan seksama dan mataku tertuju pada sebuah gambar para pejuang, di sana berdiri si kakek yang sekarang aku sadar bahwa aku belum menanyakan namanya. Kakek? Benarkah dia kakek yang menemaniku berkeliling?
Aku mengambil kamera dan mencari foto si kakek yang kuambil di stasiun tadi. Ternyata foto-foto yang kuambil sama sekali tidak terlihat si kakek sedang duduk di sana.
Aku segera keluar dan mencoba mencari si kakek di sekitar halaman Monas. Tidak sedikit pun terlihat si kekek di sana. Tidak mungkin, ini tidak mungkin. Sanggahku dalam hati. Aku kemudian mengambil ponsel dan mencari tentang Frans Johan. Betapa terkejutnya aku, bahwa Frans Johan adalah arsitek dalam pembangunan Stasiun Jakarta Kota.
Yang kemarin di post juga Kak. Mantul deh. Bikin novelnya Kak.