Wajah Jack sumringah. Bingkisan uang saku, sarung dan baju koko telah diterimanya. Kang Diman dan becaknya sudah menunggu Jack.
Dialah Jack, lelaki pemberani. Pemimpin di antara teman-temannya. Arak-arakan barongsay, tarian jaran goyang ikut memeriahkan suasana hari ini. Perayaan Suroan yang megah.
Jack duduk di atas becak Kang Diman yang sudah dihias pita menawan. Suka cita orang penuh sesak di pinggiran. Jack mengumbar senyuman.
Dalam hati Jack terlihat ombak yang bergulung. Jack berlari dari amukan badai. “Bentangkan layar!” Perintah Jack pada awak kapal. Sementara yang lain mempersiapkan peralatan untuk berjaga-jaga.
Layar kini terkembang, angin yang tadi menerjang perlahan menghilang. Di buritan kapal, Jack terkenang pada sepasang mata teduh milik ibunya.
“Putra ibu tambah besar, Ibu bangga padamu,” ibunya berkata sambil membelai kepala Jack. Jack suka pada rambut panjangnya, meskipun dia seorang lelaki.
Jack tidak peduli, saat teman-teman membicarakan kebiasaannya yang tidak mencukur mahkota di kepala. Jack tetap berkawan pada siapa pun.
Bukan berarti Jack diam dan tidak membalas, ia hanya mengatur cara untuk merebut kembali hati kawan yang telah menyakitinya.
“Laki-laki lemah!” teriak Badar.
“Tidak!” Sengit jawaban Jack. Hati Jack kali ini tersulut. Badar, sahabat terdekatnya berkhianat.
Badar mempengaruhi teman-teman yang lain untuk menghina dengan menyebarkan berita tentang Jack yang tidak mau disunat. Hati Jack meradang, luka yang ditimbulkan dari sebuah penghinaan menganga. Badar yang diharap menjadi teman kala suka dan duka, justru menari di atas lara Jack. Namun kembali tangan Ibu meraihnya dalam dekapan.
“Jack takut, Bu,” lirih suara Jack.
“Seperti digigit semut, Jack! Tidak akan terasa sakit.” Ibu mempererat pelukannya. Ada kehangatan mengalir ke tubuh Jack, menggeleparkan ikan-ikan yang tadi ingin mematuk nyalinya.
Benarkah yang dikatakan ibu? Kalau hanya semut yang menggigit mengapa harus takut?
“Jack anak ibu, anak pemberani!” Jack berkata pada hatinya.
Dia lepas sapu tangan merah yang mengikat rambut, menyeka sudut mata yang berkabut. “Saatnya menuntut balas!”
“Jack! Mau ke mana?” Ibunya berteriak.
“Ke rumah H. Kholil, Bu!” Jack membalas teriakan ibunya. Jack terus berlari, tak peduli terik mentari memanggang tubuhnya. Jack tahu sesepuh kampung itu sering menggelar acara untuk warga. Perayaan tahun baru Islam dengan menggelar sunat bersama. Jack yakin tentang keputusannya kali ini. Jack bukan hanya pemberani tapi juga cerdik. Kali ini dia datang bukan atas namanya saja, tapi beberapa nama teman yang belum disunat.
“Inilah pembalasanku!” Jack tersenyum.
Jack berhasil membuat teman-teman yang sudah menghina dulu berlinang air mata berbarengan. Menangis untuk sebuah rasa, yaitu takut. Mereka tidak berani membantah petuah H. Kholil dan orangtua.
Jack tertawa membawa kemenangan. Dia berhasil merebut kembali persahabatannya.
“Mengapa kalian menangis? Hanya gigitan semut geni!” Jack kembali terbahak di antara rintihan.
“Siapa bilang sunat tidak sakit?” gumam Jack.
“Setidaknya kamu mendapatkan sahabatmu kembali,” bisik ibunya.
Bagi Jack, yang membahagiakan adalah saat dia berhasil membuat teman-temannya menangis dan yang lebih membuat hati Jack senang adalah banyak duit di kantong.
Ternyata sunat keroyokan itu seru. “Bu, bolehkah tahun depan aku sunat lagi?”
“Apa Jack? Jaka Saprawi minta sunat lagi?”
Anak lelaki itu bernama Jaka Saprawi yang sering membayangkan dirinya sebagai Jack Sparrow.
****