#Big Trap
Akan selalu ada ujian dalam setiap hubungan yang dijalani,
So, keep fighting dan teruslah percaya bahwa semua akan berakhir dengan baik
*Author*
********
Pikiranku semakin tak karuan saja, Juna mengetahui percakapanku dengan Adi dan itu membuatku tak ingin melakukan apapun, aku merasa aku telah membagi fokusku, namun aku tak pernah berniat melakukan itu. Sungguh, Adi hanya kuanggap teman masa kecil yang baru bertemu kembali beberapa waktu lalu.
Hari ini memang tidak ada kuliah namun acara BEM yang bermitra dengan UKM Sastra harus segera melakukan rapat perdana hari ini, Sora menghubungi dan memintaku untuk hadir di rapat itu.
Yaa aku tahu aku harus rapat, tapi tolong jangan seperti ini...oohhh..
Aku melangkahkan kakiku menuju kampus dengan perasaan yang tak tahu arah, aku tak berniat untuk ikut rapat karena aku tak ingin bertemu dengan gadis gila itu, Hikma.
Sora telah duduk di depan ketika aku masuk ke ruang rapat, ia mempersilahkanku masuk dan duduk dalam lingkaran yang membuatku berdebar. Segera aku membuka catatanku dan menulis beberapa kata-kata motivasi untukku sendiri.
"Hadapi atau Mati!!"
Beberapa anak Sastra bertebaran masuk dan beberapa anak BEM duduk di sekitarku, jantungku berdebar-debar ketika Hikma duduk di kursi yang hanya berjarak kurang dari satu meter dariku.
Dhegh!
Hatiku serasa terlonjak ketika melihat Adi dan Juna masuk hampir bersamaan saling susul menyusul,
Mereka masuk panitia? Argh! Ada apa ini..?? Jangan bercanda!
Mereka duduk saling berdampingan, Juna memberikan senyuman ramahnya pada setiap orang yang ada di ruang rapat. Adi sibuk mengotak-atik ponselnya lalu berdehem, rapat kali ini akan segera dimulai dan Adi yang mengawal jalannya rapat perdana ini. Aku bersiaga mendengarkan Adi yang menjelaskan jobdesk setiap panitia, kutulis apa yang kurasa harus kutulis.
Sora menyepak lenganku yang sibuk menulis, aku menengok dan kudapati Hikma hendak berbisik padaku.
Argh ya Tuhan!!
Aku menunduk dan mendekatkan telingaku padanya, jantungku serasa berhenti menambah suasana hatiku yang semakin tak karuan.
"Nanti kita survey sama-sama ya Bintang.." bisiknya.
Dhegh!
Bintang? Darimana ia tahu? Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku menampik kata 'Bintang' yang ia katakan?
Aku menelan ludahku berdebar, sepertinya butiran-butiran keringat muncul di dahiku.
"Apa maksudmu 'Bintang'?" Tanyaku sambil berbisik.
"Bintang? apa? Nanti kita survey tempat yaa.." bisiknya lembut.
Lha?
Aku yakin benar ia menyebut 'Bintang' barusan, tapi yang menampiknya malah Hikma.
Kuanggukkan saja kepalaku dan kembali seperti biasa, ku perhatikan kembali Adi.
Dua sosok di depan menatapku dengan tatapan yang berbeda, Juna menatap ke arahku tajam, siapa yang ia tatap? Aku atau Hikma?
Adi tersenyum menatapku, ia seperti sosok yang biasanya, wajah ramah dan senyumnya yang hangat, kubalas senyumannya.
***********
Ddddrrrtt dddrrrtt
Sebuah pesan masuk ke dalam ponselku setelah rapat selesai, aku berjalan bersama Sora menuju sekre sembari berbincang mengenai kegiatan BEM yang akan kami laksanakan.
"Ahh.. maaf ya Feb, aku ga bisa ikut survey tempat sama kamu.. aku udah minta Azura untuk menemanimu nanti sore.." katanya.
Aku hanya mengangguk, aku membuka pesan yang ternyata dari Adi. Dia mengajakku makan siang, ahh padahal ia tahu aku sudah memiliki Juna namun ia seakan tak peduli,
apa hubungan kami tak terlihat serius di matanya?
Aku menolaknya dengan halus, aku tak percaya ia senekat ini, padahal semalam Juna menulis pesan atas namaku untuk berhenti menghubungiku. Tak berapa lama Juna menelponku, segera kuterima panggilannya.
"Bii.. udah makan siang?" Tanyanya dari seberang.
"Belum Candra.. kamu udah makan??" Tanyaku balik.
"Nanti jam 2 sebelum berangkat survey kita makan dulu yaa.." ajaknya.
Aku mengangguk, ku iyakan ajakannya dan kami akan bertemu beberapa saat lagi untuk makan bersama.
*******
Aku berjalan menuju seseorang yang tengah sibuk dengan ponselnya di samping tukang mie ayam kesukaanku, ia terlihat sangat serius ketika aku melihatnya dari jauh, Apa ada hal serius saat ini?
Aku belum pernah melihat Juna mengerutkan dahinya dengan sangat kuat selama ini, kuurungkan niat untuk menyapanya, ku pelankan kakiku dalam berjalan, sebuah perasaan tak nyaman menempel di benakku, entahlah..
"Candra.." Sapaku hangat dengan sebuah senyuman.
"Duduk Bii.." ia melepaskan pandangan dari ponselnya, segera ia mematikan layarnya dan menyimpannya di tengah-tengah kami.
"Udah pesan?" Tanyaku, kulambaikan tanganku pada bik Uci -tukang mie ayam- memanggilnya.
Ia hanya menggeleng, ia menatapku dengan mata lelahnya.
"Pesan yang biasa ya neng Febri?" Tanya Bik Uci, ia sudah tahu benar bagaimana selera mie ayam-ku. Ku anggukkan saja pertanyaannya.
"Candra.. pesan apa?" Tanyaku.
"Mie ayam biasa saja bik.." Juna tersenyum pada bik Uci.
"Bentar ya neng Febri, mas Candra.." pamitnya menuju ke gerobak.
Aku tersenyum mendengar kata-kata bik Uci, ia menyebut Juna dengan Candra. Kutatap Juna, ia juga tersenyum, namun senyumannya terlihat begitu hambar. Hatiku tergelitik dan pertanyaan itupun keluar dari lisanku.
"Apa ada masalah, Candra-ku?" Kuelus tangannya lembut, kutatap matanya. Ia hanya berkedip beberapa kali dan tersenyum semu.
"Cerita saja.. aku akan dengarkan.." kataku.
"Bintang.." ia menatapku, sebuah garis hitam di bawah matanya tak bisa membohongiku bahwa dia tidak tidur semalam sepulang dari kost ku "aku sepertinya akan mengundurkan diri dari pencalonan menjadi ketua BEM.."
"Kenapa??" Kagetku, aku tahu ia sangat ingin menjadi ketua BEM, dia sangat optimis untuk hal ini. Tapi kenapa ia tiba-tiba ingin menyerah.
"Mungkin kamu pernah dengar, kemarin-kemarin aku bertengkar di depan sekre dengan Hikma?"
Aku mengangguk, aku tahu dari Listi ketika malam itu.
"Itu membuat banyak omongan, entah itu di Facebook dan Twitter.. masa kampus mulai membully-ku secara tertulis.. dan itu membuat tim suksesku satu persatu mundur.." jelasnya. Aku hanya menatapnya "namun yang membuatku ingin mundur bukan itu.."
"Apa?"
"Aku merasa bukan calon seorang pemimpin yang baik untuk masa kampus disini.. aku merasa tak bisa menjaga Hikma dan membuatnya mengamuk dan bertengkar denganku.."
"Kenapa Hikma marah?" Tanyaku penasaran, namun aku juga peduli pada Candra-ku itu.
"Aku menonaktifkan 'akun Juna' yang ia buat sebagai pembanding, lalu aku mengganti kata sandi akun asli Facebook-ku dan tak ku berikan penggantinya.."
Dhegh!
Berarti benar, itu akun bandingan dengan akun Juna selama ini.
Juna mengetahuinya? Tapi kenapa ia tak marah, padahal akun itu telah ada beberapa tahun yang lalu.
Ahh.. Candra-ku.. kenapa kau begitu baik??
"Haruskah ia semarah itu padamu?" Aku mengelus punggung tangannya.
Pesanan sampai dan kami makan terlebih dahulu, ia melahap mie ayamnya dengan semangat.
Ahh apa ia belum makan setelah makan malam bersamaku semalam? Mungkin saking sibuknya, ia sampai lupa makan. Ahh.. Candra-ku.. jagalah dirimu baik-baik.. Aku tak ingin kamu sakit.
Selesai makan siang Juna mengantarku pulang untuk bersiap-siap mensurvey lokasinya.
"Bii.. apapun yang di katakan Hikma tentangku, tolong jangan percaya.." gumamnya, ia duduk di dekat pintu kamar kost ku menungguku berkemas.
"Hmm..baiklah.." jawabku, kumasukkan benda terakhir kedalam tasku, ponsel.
Juna telah berdiri di dekat gerbang ketika aku memakai sepatuku, Juna tersenyum dan aku menghampirinya. Kami menunggu beberapa panitia lainnya di depan sekre BEM hingga semua terkumpul dan bersiap.
Kami semua berangkat pada sore hari, kami sampai di daerah lokasi survey tak lama setelah itu, suasana pedesaan yang masih lekat dengan aroma mistis terasa menyeruak ketika kami mulai memasuki daerah yang terdapat beberapa patung aneh dan rumah-rumah yang masih sangat sederhana. Beberapa warga hanya lewat seperti biasa, namun ada pula yang menatap heran.
Sekilas seekor burung hitam besar melayang terbang diatas kami, suaranya yang keras dan serak membuatku sedikit merinding dan tak bisa jauh dari Juna, aku berusaha berjalan di dekat Juna, namun ada Adi yang selalu di belakangku dan Hikma yang ada di sampingku, kini aku berada di tengah-tengah Juna dan Hikma.
Beberapa orang berbincang untuk menghindari keheningan dan kebosanan, sedang aku hanya memotret sekitarku sebagai bukti.
"Menurut temen aku, di daerah ini ada lokasi yang cocok untuk pengambilan video nanti.." ungkap Hikma, ia tersenyum padaku dan pada semua orang yang ikut bersama kami.
"Sebelah mana Ma?" Tanya Adi.
"Jalan 10 menit lagi deh kayaknya Kak Adi.." jawab Hikma.
Ia seakan menjadi tour guide bagi kami semua, ia menunjuk beberapa tempat dan menjelaskan tentang tempat itu.
"Kayaknya kamu sering kesini ya, Hikma.." celetuk Azura teman UKM-ku.
"Yaa.. mm.. pernah saja beberapa kali.." jawab Hikma sedikit tertunduk.
Tempat meneyeramkan seperti ini.. Hikma tahu betul tempat seperti ini? Ada yang mengganjal di hatiku.
Kami berjalan sekitar lima menit dan Hikma bilang jika disini adalah gerbang tempat itu, tinggal masuk dan berjalan beberapa ratus meter lagi. Sebuah gubuk kecil berdiri di samping papan penunjuk arah, beberapa orang mengeluh dan menyarankan untuk kembali, mereka terlihat sangat takut.
"Kakak, lebih baik kita kembali saja.. kita cari dan survey tempat lain saja.." pinta Sely, anak BEM tingkat satu.
"Iyaa.. sekarang sudah sore dan sebentar lagi mulai senja.." ungkap Azura, ia melihat ponselnya dan mengangkatnya "gak ada sinyal juga nih.." keluhnya.
Aku setuju padanya, lagipula aku takut dan aku tak ingin sampai kemalaman di tempat seperti ini. Beberapa orang memilih untuk menunggu di rumah warga terdekat, namun Hikma tetap bersikukuh untuk meneruskan dengan dalih takkan lama.
"Tinggal sebentar lagi kok, yuk Feb.." Hikma membawaku pergi, aku tak bisa menolaknya karena jujur saja ada sebuah kekuatan aneh yang membuatku tak bisa menolaknya.
Juna berjalan di belakangku, dan Adi berada di samping Hikma membersamaiku.
Ya Tuhan, bagaimana ini? Aku takut..
Kakiku berjalan tanpa perintah hatiku, ia berjalan dengan sendirinya, aku tak bisa mengendalikannya, tanganku digenggam Hikma dengan erat dan aku hanya mengikutinya di belakang.
"Ini hampir jam lima Hikma.." ungkap Adi, "di sini tak ada sinyal sama sekali.. dan ponselku low bat.."
"Sebentar lagi kak, hehe" Hikma sudah melepaskan tanganku beberapa menit lalu, ia kini berjalan di sampingku bersama Adi, dan Juna tetap di belakangku.
Kenapa Juna selalu di belakangku sedari tadi? Ada apa?
Adi mengajakku berbincang ringan, ia menanyakan kabar ibuku dan berniat untuk datang menemui ibuku nanti, aku hanya mengangguk dan mengiyakan kata-kata Adi, hatiku tertaut pada sosok yang selalu di belakangku, Juna.
Langit menampakkan kegelapan dan beberapa Bintang muncul disana, indah namun hatiku mulai gusar, tempat yang kini ada di hadapanku sangatlah gelap, apalagi tak ada perbincangan apapun diantara kami yang menambah suasana yang menurutku mistis karena selain gelap tanpa penerangan juga angin dingin terus saja berhembus tak ramah pada kami.
"Berapa jauh lagi Hikma?" Tanya Adi, keadaan sudah sangat gelap dan itu membuatku tak tahu bagaimana keadaan mereka.
"Aku lupa kak.." jawabnya.
"Lebih baik kita kembali.." suara Juna di belakangku membuatku menoleh dan Juna telah menyalakan senter yang ada di ponselnya.
Dhegh!
Wajah Juna terlihat memucat, matanya terlihat lurus dan tertunduk, tatapannya terlihat kosong, bibirnya seperti membisikan sesuatu.
"Jun.. kenapa lo?" Tanya Adi, dia menghampiri Juna dan mengguncang tubuhnya yang terlihat menggigil, ponselnya terjatuh dan ia mematung sembari berkomat-kamit.
Segera aku menyalakan senter di ponselku dan menyorot sekitar kami, suara gemerisik daun yang ditiup angin mengitari kami, sebuah aura yang berbeda menjalar ke tubuhku.
Ya Tuhan..
Aku berdebar dan Juna menatapku tajam, ia berteriak dan kami mulai panik.
"Aaaarrrggghhh!!!!! FEBRIIIIIII!!!"
"Juna?" Aku mundur, senterku masih menyorot pada Juna namun tanganku bergetar tak tertahan.
"PERGI FEBRI!! PERGIII!!!" teriaknya, ia mendorongku dan aku terjatuh, ponselku terjatuh, semuanya menjadi gelap.
"AAARRGGHH!!" suara Juna terdengar melengking.
Aku yakin itu bukan Juna, itu bukan Juna yang aku kenal, itu orang lain. Aku menelan ludahku, sebuah cahaya senter menyorotku dan membuat anak mataku membesar dan mengecil, ponsel Adi.
"Nas.. kamu gapapa?" Tanyanya, ia menghampiriku dan hendak menolongku bangkit, namun Juna meloncat lalu menerkamnya. Adi terjatuh dan Juna berada diatas tubuh Adi siap menerkamnya dengan buas.
"Aaarrrgghh!! Lo kenapa sih Jun?"
Ya Tuhan.. kenapa? Ada apa dengan Juna?
Semua gelap, aku bangkit dan mencari ponselku dan aku meraba sebuah benda kotak yang ternyata ponselku.
Dhegh!
Aku merasa seseorang berbisik di dekat telingaku. Suara yang tak ku kenal dengan bahasa Sunda yang kental
"SIA KUDU PAEH AYEUNA, DUNUNGAN AING NGEWA KA SIA*" bisiknya namun sangat jelas menggema di benakku.
(Kamu harus mati sekarang, majikanku membencimu)
"Nyebut Jun.. nyebut!!" Teriak Adi.
"SIA! FEBRIII!!" Juna melepaskan Adi dan matanya membelalak tertuju padaku, dia meloncat padaku dan memburuku.
"Aaarrrgghh!!" Aku merasa Juna meremas lenganku sangat keras "Junaa? Ya Tuhan.. apa yang kamu lakukan.." teriakku, rasanya sangat perih dan aku mencoba melepaskan diri.
"Apa-apaan lo?!!" Adi menghadang Juna hingga ia melepaskan diriku, ia menahannya supaya ia tak bisa menerkamku untuk kedua kalinya "SAHA MANEH? SAHA MANEH? KALUAR TI JASAD BABATURAN URANG!!*" Adi berteriak sembari menahan tangan Juna.
(Siapa kamu? Siapa kamu? Keluar dari jasad temanku!!)
Juna kesurupan?
"AAARRGGHHH!! BINTANG PERGI DARI SINI! CEPAT!"
Ah? Juna?
"Juna.. kenapa kamu?" aku menghampiri Adi yang menahan Juna yang meronta-ronta sembari berteriak kata-kata kasar.
"ANJ*NG SIAAAAA! LEPASKEUN URANG SIA ANJ*NG.. AARGHH! FEBRI.. MANEH PAEH SIAAH!*" teriaknya.
(Anj*ng kamu! Lepaskan aku anj*ng aargh! Febri.. mati kamu!)
"Nyebut Junaa!! Nyebut!!" Adi berteriak dan membacakan ayat-ayat Tuhan dan Juna berteriak histeris.
"Juna.. ingat Tuhan Junaa!!" Aku ikut memegang Juna dan membisikan ayat-ayat Tuhan.
Juna melemah dan nafasnya menenang. Sesuatu yang dingin berhembus dan berbisik di telingaku "AWEWE LAKNAT SIA!! PAEH!!*"
(Perempuan laknat kamu!! Mati!!)
Jantungku berdebar dengan sangat kencang, ketakutan itu menyeruak kedalam jiwaku dengan sangat agresiv, sebuah aura sangat keras terasa menghancurkan moodku.
Damn!
"AAUUUUUUUUNNGG"
Suara anjing liar melolong terdengar menggema di alam bebas ini, suasana menjadi semakin mencekam. Cahaya bulan purnama yang muncul dari balik awan tebal itu membuat sekitarku terlihat sedikit jelas. Adi terduduk lemas, Juna membuka matanya perlahan dan nafasnya mulai menenang meski terlihat sangat lemas.
Aku merasa berada dalam pikiran yang sangat dangkal karena aku merutuki Juna dan membiarkan diriku mendakwa Juna dan menyalahkan Juna atas semua kejadian ini.
Juna bangkit dan ia menatapku dengan tatapan lemasnya, sekelebat aku membencinya dan aku berpaling darinya.
"Bii.. kenapa??" Tanya Juna.
"Lo gapapa kan Jun?" Tanya Adi, ia menepuk pundak Juna.
Entah mengapa aku kesal pada Juna dan malah bersimpati pada Adi "kamu gak luka kan Di?" Tanyaku sembari mengelus pipi Adi.
"Gapapa Nas.." jawab Adi sembari menggeleng dan tersenyum, butiran keringat meluncur bebas di dahinya.
Baru kuingat Hikma tak kulihat sejak kejadian yang menimpa Juna baru saja.
"Hikma?" Adi menyapukan matanya ke alam sekitarnya, "dimana Hikma?" Tanyanya.
Aku ikut mencari sosok gadis itu namun tak kutemukan, kami mulai kembali ke jalan untuk pulang. Kami berjalan bertiga dengan menyusuri jalan setapak yang ada.
π*******π
Romantiiiiiiissssss si Juna itu ya....
Comment on chapter #PrologBerkunjung balik ke ceritaku juga ya.