#Flashback II
Ketika ada seseorang yang tertawa bersamamu dan juga menangis untukmu
Pertahankan dia!!
*Author*
๐พ**************๐พ
Udara dingin masuk ke paru-paruku dan membangunkanku dari tidur yang lelap, aku merasa aku bermimpi sangat panjang namun aku tak ingat mimpi tentang apa. Mimpi panjang yang membuatku lelah.
Dimensi mimpi itu buyar seketika dan kubuka mataku perlahan, samar-samar aku melihat Nayra yang masih tertidur dengan pulasnya.
Ahh jam berapa ini?
Aku bangkit dan melihat jam dinding dan menempel mesra di dekat pintu, jarumnya menunjuk angka lima dan aku segera bangkit untuk mempersiapkan diriku hari ini. Kuregangkan tubuhku dan turun dari hangatnya kasur dan belaian Nayra yang sedari tadi menempelkan tangan dan kakinya di atas tubuhku dengan mulut sedikit menganga.
Rasanya pagi ini sebenarnya aku tak ingin bangun, aku tak mau ada kejadian-kejadian yang melibatkanku, Juna dan gadis itu. Aku sedang tak ingin terluka dan aku masih lelah dengan semua kenyataan yang hadir dalam hidupku. Segera aku mandi dan membersihkan diriku, aku harus bersiap-siap untuk perjalanan bersama Nayra hari ini.
Hari ini Nayra akan mengajakku pergi hiking dan pergi ke sebuah tempat yang indah, yaa setidaknya itu yang Nayra janjikan padaku.
"Feb.. semalem..." Nayra bangkit dari tidurnya ketika aku keluar dari kamar mandi.
"Kenapa Nay??" Tanyaku, aku meneruskan berdandan di depan cermin.
"Kak Juna memintaku untuk memberikan ini.." ia bangkit dan menghampiriku, dia memberikan sebuah kartu ponsel padaku, aku menerimanya dengan sebuah tanda tanya.
"Pakailah itu, segera lah ganti nomormu.." pinta Nayra.
"Nay?" Aku menatapnya bingung.
"Aku tahu Feb.." ia membuang napasnya berat "kak Juna adalah kakak kelasku dan Hikma adalah temanku dulu sewaktu SMA.." jawabnya.
Aku menatapnya tak percaya, aku menggeleng-gelengkan kepalaku dan mundur.
Jangan-jangan Nayra bersekongkol dengan Hikma.. Aku tak percaya ini!!
"Feb.." ia menggeleng "aku ada di pihakmu, meskipun aku adalah teman Hikma, aku tak berteman baik dengannya, dia gadis yang arogan dan aku adalah salah satu korban kearogansiannya, aku diteror olehnya, itu sudah menjadi kebiasaannya pada orang-orang yang mendekati kak Juna atau yang kak Juna dekati.." jelasnya.
"Kamu pernah dekat dengan Juna?" Kagetku menyimpulkan.
Nayra menggeleng "Kak Juna yang bikin aku deket sama sosok yang tiga bulan lagi bakal jadi tunangan aku.." jawabnya.
"Tapi kenapa?" Aku penasaran.
"Hikma memang seperti itu, dia sangat arogan dan semena-mena pada orang yang ada di sekitar Juna yang membuatnya cemburu, dia memaki-maki dan meneror orang-orang dengan kata-kata kasarnya.." jelas Nayra.
Aku mengangguk membenarkan ucapan Nayra, itu sungguh sama persis dengan apa yang terjadi padaku selama ini. Aku terdiam dan melihat kartu nomor baru itu, apa maksud Juna memberikan nomor ini padaku?
"Pakailah.. kak Juna memberikan itu supaya kamu tidak tersiksa dengan teror-teror menjijikan Hikma.." katanya.
"Tapi...." aku menatap Nayra masih dengan tatapan heran.
"Kenapa Feb?" Penasarannya.
"Kenapa Juna lebih memilih Hikma?" Tanyaku.
"Hikma bisa melakukan apapun sesukanya, ia bahkan bisa saja mengendalikan Juna dengan kelemahannya..." jawabnya.
"Maksudmu..??" Aku semakin penasaran saja, Nayra mengajakku ke balkon untuk berbincang sembari menikmati udara pagi itu, namun tak dapat kupungkiri udara pagi ini sama sekali tidak berpengaruh pada diriku sedikitpun, aku hanya peduli tentang Juna dan Hikma saat ini.
Nayra duduk dan memasang mimik muka yang mulai serius seakan ia akan mulai bercerita tentang sesuatu yang sangat penting, aku mengikuti suasana itu dan aku mulai siaga.
"Sudah menjadi rahasia umum jika Hikma mudah terpengaruh hal-hal yang berbau mistis, bahkan ketika ia sedang baik-baik saja ia bisa saja berubah menjadi monster.."
"Monster?" Kagetku, aku jadi teringat apa yang dikatakan Juna ketika ia memintaku untuk menemaninya apapun yang terjadi, Juna benar, Hikma mungkin memang punya penyakit kejiawaan yang berbahaya.
"Iya.. ketika ia marah, tubuhnya akan melemah dan ia akan mudah dirasuki oleh sesuatu diluar dunia kita, dunia manusia.." Nayra menuturkannya dengan perlahan, ia seolah menerawang pada masalalunya "ketika kemarahannya memuncak dan emosinya tak dapat lagi terkontrol, ia akan menggila dan menghancurkan apa yang ada di hadapannya sesuka hatinya yang tertutup gejolak amarah yang dahsyat.. dia bahkan melukai dirinya sendiri dan orang lain jika ia inginkan.."
"Nay.." aku begidik membayangkan sosok Hikma yang anggun dan polos itu mengamuk dan menghancurkan apa yang ada di hadapannya.
"Maka dari itu tak ada yang bisa menghentikan Hikma kecuali kak Juna.." Nayra menatapku, "ketika aku tahu kak Juna kini bersamamu, awalnya aku kaget karena kak Juna selama ini tak pernah dekat dengan siapapun dan perempuan manapun di media sosialnya, hanya dengan Hikma sajalah ia mesra.."
Aku terdiam, aku memikirkan Juna. Apa mungkin selama ini Juna tak mau memberitahukan keberadaanku ini karena Hikma? Karena ia tak ingin Hikma marah dan cemburu padaku hingga menerorku dengan gencar dan tak ada habisnya..?
Ahh.. Juna..
Aku menatap Nayra, aku ingin memeluknya untuk meredam rasa sakit ini. Nayra bangkit dan memelukku erat, ia seperti memberikan kepercayaan dan energi positiv padaku yang kini hanya terdiam seperti orang bodoh.
"Aku cuma bisa sampein itu Feb.." bisiknya "kamu yang kuat ya.." katanya.
Aku mengangguk, "makasih Nay.."
Nayra tersenyum dan segera ke kamar mandi.
********
Aku mencoba untuk menikmati perjalanan Hikingku dan melupakan masalah Juna dan Hikma, aku beruntung Nayra kini ada di sampingku, setidaknya kini dialah yang menghibur dan membuatku senang hingga melupakan rasa sakit yang bertubi-tubi datang pada hatiku, ahh thanks Nayra.
Perjalanan panjang kami diakhiri dengan menikmati matahari terbenam diatas bukit dengan tawa dan keceriaan kami, saling berbagi cerita dan pengalaman masing-masing, di sela-sela menikmati senja yang hangat itu aku teringat ketika Juna memberikanku sebuah permen yang bertuliskan im yours! dan momen dimana Juna memintaku untuk selalu bersama dengannya, itu adalah senja yang terindah yang pernah aku nikmati dalam hidupku.
"Feb.. pernah ga sih kak Juna ngajak ke tempat kayak gini?" Tanya Nayra.
Aku mengangguk dan mulai bercerita bahwa ketika aku masih belum mengenal Juna sedekat kini, aku mengira Juna adalah seorang maniak karena slalu mengikutiku di sekeliling kampus ketika kebetulan lewat dan berpapasan, hingga akhirnya ketika musim hujan dan dia meminjamkan jaketnya karena aku kebasahan di sekitar halte bus depan kampus.
Aku tersenyum mengingat itu, mungkin kini aku bercerita sambil tersenyum dan tertawa bersama Nayra, tapi sungguh itu sangat manis.
Flashback๐
Hujan turun begitu lebatnya, aku berlari menuju tempat untuk berteduh terdekat dari tempatku kini dan memutuskan untuk berada di halte bus. Petir menggelegar dan kilat seakan membelah langit sore itu, mentari tak mampu menahan awan-awan hitam yang bergumul mesra di sekitaran daerah kampusku, sejauh mata memandang langit bagai berduka dengan airnya yang tumpah ruah.
Aku termenung menunggu hujan reda di halte sendirian, beberapa mobil mengklakson dengan harapan aku adalah penumpang pengisi pundi-pundi rupiahnya, namun sayang aku diam disini karena aku hanya menunggu hujan reda bukan menunggu mobil yang akan mengangkutku menuju tujuan. Ahh.. maafkan aku mang angkot.. (Angkot : Angkutan Kota)
Musik yang kuputar di mp3 tak dapat mengubah suasana hatiku yang sebenarnya takut ini, aku mencoba menaikkan volumenya dan berkonsentrasi pada lagunya. Kilatan yang sekejap tampak bagai cahaya lampu sorot yang kontras dan menyilaukan menghampiri di depan mataku, jantungku rasanya sangat sesak dan aku sungguh takut, kutundukkan pandanganku dan mencoba setenang mungkin.
BLEDARRRR!! BLLEDAAARR!!!
Kakiku bergetar dan jantungku rasanya ingin keluar dari tubuhku, ingin rasanya aku berteriak dan berlari pada siapapun disana untuk mengurangi rasa takutku, tapi tak ada siapapun di halte, hanya ada aku, sendiri.
Petir itu berlalu dan aku mencoba menenangkan diriku sendiri hingga rasanya aku ingin mati saja, aku sangat takut. Bajuku basah kuyup dan rambutku seperti seekor anjing yang kuyu. Aku menggigil dan berusaha menghangatkan diriku dengan menggosok kedua telapak tangan berulang-ulang namun masih terasa dingin.
Dari kejauhan, mataku menangkap seseorang tengah berlari menuju ke tempat ini dengan sebuah payung hitam, ia berhenti tepat di sampingku dan menyimpan payung itu di bawah. Dengan cepat ia mengelap bajunya dengan tangan mencoba mengurangi kadar basah di bajunya.
"Hey Feb.." sapanya, aku menoleh dan mengerenyitkan dahiku merasa heran. Dia berhenti mengelap bajunya dan tersenyum padaku "nunggu bus?" Tanyanya, ia mengacak-acak rambutnya yang basah, mungkin mencoba mengeringkannya. Air menetes dari ujung rambut klimisnya pada kemeja cokelatnya yang juga basah, ia masih memperlihatkan senyumannya dan matanya masih tertuju padaku, untuk beberapa detik pandangan kami saling terpaut. Aku memikirkan apakah aku mengenalnya dan mungkin ia berpikir bahwa aku adalah orang asing yang basah.
Tapi, tadi ia memanggilku 'Feb' .... mungkinkah ia mengenalku??
"Febri Anastasya?" Tanyanya, aku mengangguk spontan "nunggu angkot ya?" Tanyanya sekali lagi.
"Ahh? Mm.. enggak.." jawabku, untuk beberapa saat aku terdiam melihat alis tebal dan kumis tipis dengan senyuman ramah makhluk yang ada di depanku.
Kembali ia tersenyum, "trus disini ngapain? Nunggu hujan reda ya?" Lagi lagi ia bertanya.
Lagi-lagi aku mencoba memaksakan ingatanku, siapa ya laki-laki ganteng ini? Kok aku gak inget si??
Aku mengangguk ramah, angin berhembus membawa air hujan menciprat padaku dan mungkin pada lelaki di sampingku. Aku menggigil dan mencoba memeluk tubuhku sendiri untuk menghangatkannya.
"Baju kamu basah ya Feb..mm..." lelaki itu membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah jaket, ia memberikannya padaku "pake aja.. daripada nanti kamu sakit" tawarnya, sebuah senyuman lagi-lagi menghiasi bibirnya yang penuh.
Ahh berapa kali ia tersenyum padaku? Apakah ia tak bosan memandangku dengan matanya yang tajam itu?
Dia mencoba memakaikan jaket itu padaku, aku hanya memandangnya tak percaya.
"Mata kamu cantik.." katanya.
Seketika saja aku menunduk dan merasakan wajahku memanas, aliran darahku serasa naik ke ubun-ubun, jantungku berdebar dan aku menutup wajahku dengan kedua tangan.
Aku maluuu!! Ahhh... Febri Anastasy!!
Apa yang laki-laki itu katakan barusan? Apa mungkin telingaku salah mendengar? Lelaki ganteng di sampingku.. Apa dia kesambet jin yaa? Kenapa tiba-tiba bicara seperti itu??
Sebuah tawa renyah menyadarkanku, tawa lelaki itu. Aku membuka tanganku dan berhenti bertindak bodoh dan kekanak-kanakan, lelaki itu memainkan rambutnya yang basah.
"Kenapa sih Feb?" Tanyanya "jangan-jangan lupa sama aku ya?"
Bravo!! Benar, sepertinya aku memang lupa.
Aku mengangguk mantap, ia terkekeh sambil masih memainkan rambut klimisnya.
"Aku Juna.. yang waktu itu minta bantuan bawain barang pas baksos.." jelasnya.
Aku masih berpikir dan mencoba mengingat-ingat.
"Ya ampun Feb.. kamu bener lupain aku? Padahal baru dua bulan yang lalu.." Tanyanya dengan wajah kaget.
Aku mengangguk, aku sungguh tak ingat Juna saat itu.
"Ya sudah, kita kenalan aja lagi.." katanya, ia menyodorkan tangannya menyebutkan nama "Juna Satria.."
Ku sambut tangannya dengan nama yang ikut terucap "Febri.."
"Anastasya.." ia nyengir "jadi, kita berteman ya mulai sekarang.."
Aku hanya mengangguk, benar-benar hanya mengangguk seperti orang bodoh. mungkin aku terpesona pada senyumannya atau mungkin pada alis tebal dan kumis tipisnya.
Apa ini mimpi? Aku berkenalan dengan lelaki ganteng di bawah hujan lebat dan petir yang menggelegar?
Itulah kali pertama aku dekat dengan Juna, benar kata orang-orang..
"Hujan adalah waktu yang tepat untuk menciptakan kenangan.."
Aku tersenyum "terima kasih untuk jaketnya Juna.."
Juna hanya mengangguk, kami menikmati hujan dengan berbincang ringan dan mengenal satu sama lain. Ahh... indahnyaa..
Flashback end๐
Nayra menggenggam tanganku untuk pulang dan kembali ke villa tempat kami menginap, langit telah gelap dan rembulan mulai menampakkan dirinya dengan anggun.
Aku menjatuhkan diri pada kursi yang ada di balkon kamar kami yang berhadapan langsung dengan pemandangan super indah ala luar negeri yang tak kalah cantiknya. Keringat membasahi punggung dan dadaku, angin semilir mendinginkan keringat itu dan membawaku seakan melayang.
Ponsel.. Ahh.. iya, ponselku!
Selama seharian ini aku tak menyalakan ponselku, namun aku ingat ibu dan aku harus tahu kabarnya hari ini. Ku ambil ponsel itu dan menyalakannya.
Biip
Ponsel menyala, beberapa notifikasi muncul dan semuanya dari Juna, sembilan pesan menumpuk di inboxku. Aku membukanya dan membacanya satu persatu.
Pesan 1
Aku akan menunggumu malam ini di hutan kecil jam 7..
Pesan 2
Bi..
Pesan 3
Bi.. kamu gak matiin ponselnya kan?
Pesan 4
Bi.. apa pesanku sampai?
Pesan 5
Bi.. malam ini temui aku, aku mohon.. ada sesuatu yang ingin aku sampaikan?
Pesan 6
Bi.. apa kau membenciku?? Tolong jawab..
Pesan 7
Aku akan menunggumu..
Pesan 8
Bi.. aku udah di tempat..
Pesan 9
Kamu dimana?
Kulihat jam di kamar menunjuk angka 7 dan aku segera saja keluar kamar menuju tempat yang Juna pinta.
Dhegh!
Tunggu.. Apa itu benar dari Juna?
Aku ragu dan berhenti melangkah keluar villa, aku ingat jika Hikma bisa melakukan apapun sesuka hatinya tanpa berpikir panjang. Aku mencoba menepis pikiran burukku dan mulai berjalan kembali menuju hutan kecil di belakang villa itu, aku sudah menyiapkan diriku untuk kemungkinan terburuk yang terjadi jika kelak memang Hikma yang menjebakku.
Lampu temaram berpendar di kegelapan hutan kecil buatan itu, beberapa sumber cahaya mulai berkedip-kedip menyeramkan membuatku takut dan ingin kembali.
Kubuka ponselku dan mencoba menghubungi Juna, bunyi sebuah nada dering terdengar samar di telingaku, aku mencari asal suara itu, aku tahu benar nada panggil Juna untukku adalah musik yang kini berbunyi karena aku yang dulu mengaturnya.
Ku sapu pandanganku dan rasakan sedikit demi sedikit bunyi itu berasal dari mana, aku hanya mendengarnya namun aku tak yakin dari mana asalnya. Bunyi itu berhenti, suara di seberang sana membuatku terhenyak. Segera saja aku bertanya pada Juna tentang keberadaannya, namun Juna tak kunjung menjawab.
Beberapa detik terasa hening dan mencekam, aku benci berada pada posisi seperti ini, aku tak mau, sungguh!
"Febri?" Suara di seberang jelas adalah suara Juna "tunggu disana, aku sudah melihatmu.. diamlah.."
"Kamu dimana??" Tanyaku, aku mulai terisak ketakutan, aku sungguh takut suasana seperti ini. Beberapa burung terbang tiba-tiba dari pohon satu ke pohon lainnya, dan aku yakin itu adalah burung hantu karena suaranya yang.
Whooo whooo
"Aku di belakangmu.." katanya,
Aku berbalik dan mendapatkan dirinya tengah memegang ponselnya, panggilanku diakhiri.
Segera saja ku tanyakan mengenai apa yang akan ia sampaikan padaku malam ini. Ia hanya diam membisu dan perlahan-lahan menghampiriku, ia menarikku dan memelukku hangat.
Perasaan apa ini?? Kenapa ini begitu nyaman??
Aku hanya menikmati pelukan itu, napasnya berhembus di rambutku hingga terasa dingin. Jantungnya terasa berdebar-debar, ia terengah-engah.
"Aku rindu..." bisiknya seduktiv di telingaku, aku merinding dan begidik mendengar kata-kata itu.
Ya Tuhan... apa yang aku lakukan? Kenapa aku menerima pelukannya? Tapi aku merasa sangat nyaman.. Arrghhh! Jadi, apakah sebenarnya yang terjadi disini??
๐**********๐
Romantiiiiiiissssss si Juna itu ya....
Comment on chapter #PrologBerkunjung balik ke ceritaku juga ya.