Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Diary : You Are My Activist
MENU
About Us  

#Almost

Almost is never enough
**************


Udara dengan pongah memaksa kulitku untuk mencari perlindungan dibalik kehangatan jaket yang kusimpan di pangkuanku.  Anginnya semilir menerpa rambutku, dingin. 
Kayu itu berderit-derit pelan mengikuti gerak kaki telanjangku yang ku ayun pelan, mentari yang telah kembali ke peraduannya kini lenyap digantikan langit yang bergemintang ceria, sekilas senyumanku mengembang hanya untuk menghargai indahnya ciptaan Tuhan malam ini.
Rasanya masih sesak, Yaa.. hati ini masih sangat terasa sesak.


Kuhabiskan liburan panjangku selama dua minggu ke belakang dengan pulang ke desa yang masih asri dan sangat nyaman, udaranya masih sangat segar dan pohon besar berdiri gagah di sekeliling rumah nenekku, yaa.. ini desa nenekku, desa kesukaanku, desa yang masih memberikan kenikmatan hati untukku.
Ku buang napasku pelan dan ku hirup.

Semuanya masih terasa mimpi. Bahkan hari-hari yang berlalu selama seminggu ini hanya terasa hampa, tak ada yang aku lakukan kecuali hanya merenung dan berpikir keras tentang Juna.
Selama beberapa hari ini aku tak menghidupkan ponselku, aku tak ingin bergelut dengan media-media sosial yang menjengkelkan itu. Juna yang punya dua akun facebook dan akun facebook gadis bernama Laras Hikma itu. Itu semua mengesalkan dan membuatku bingung. Aku tak mau memikirkan lebih jauh lagi, saat ini yang aku lakukan adalah berusaha untuk egois dan mengobati rasa sakit bekas kemarin.


"Neng..." seseorang memanggilku dengan suara rentanya, nenekku.
Aku menoleh dan mendapati nenek sedang berjalan kearahku dengan membawa sebuah keresek putih besar.
"Kenapa nenek?" Tanyaku, aku bangkit dan menghampiri nenekku itu.
"Ini makanan buat keluarga bu Dewi di dusun sebelah.." kata nenekku yang sudah mulai ringkih "rumahnya warna biru pager besi warna cokelat yahh" pesannya.
Aku mengangguk, kuterima keresek putih itu, ternyata makanan olahan nenek yang selama ini ia produksi mandiri, mungkin pesanannya sudah mulai keluar dusun. Bisnisnya meroket juga ternyata hingga ke luar dusun.


"Kasih tau harganya 75 ribu ya neng.." katanya.
"Iya nenek.. Neng anterin dulu yaa.." kataku sembari pamit, aku keluar dan segera mengambil motorku ke luar rumah nenek.
Aku menyusuri beberapa rumah warga dan mencari rumah yang dikatakan oleh nenek, namun sampai setengah jam lamanya aku tak menemukannya, ditambah jalanan gelap dan aku hanya memaksimalkan lampu motorku untuk mencarinya.
Ahh.. nenek kenapa memintaku mengantar pesanan menuju malam begini?? Tidak biasanya, hmm..
Lagipula pelanggan nenek sekarang meluas, dulu pelanggannya hanya sekitar rumahnya saja, dan aku yang biasa mengantarnya.

Suasana sangat hening dan gelap, aku berhenti di sebuah rumah yang aku pikir adalah rumah yang nenek sebutkan tadi.
 

Rumah biru, pagar cokelat.. Mm.. tapi...
Yang ada di depanku rumah biru dengan pagar abu-abu gelap..

Aku mengira-ngira, sejauh mata memandang tak ada rumah berwarna biru dengan pagar cokelat. Aku sudah keluar dari dusunku cukup jauh, dan ini dusun sebelah yang nenek sebutkan, aku yakin.
Udara dingin membuat wajahku terasa membeku, semilir angin menerpa rambutku hingga melambai-lambai. Jantungku tiba-tiba berdebar dengan cepat dan bulu kudukku sedikit merinding. Kok rasanya beda ya??
Aku diam memastikan rumah itu, hingga seseorang berbicara di belakangku dengan bisikan yang seduktiv.  "Hati-hati malem kayak gini di sini sepi neng.." ucapnya, jelas itu suara laki-laki.
Aku sontak berteriak dan berlari ke dalam rumah yang ada di depanku karena pagarnya setengah terbuka, aku berdiri di depan pintu rumah itu terengah-engah.
Ya Tuhann.. aku takuut..
Aku terduduk dengan kaki bergetar cukup kencang, aku takut pada hal-hal ghaib seperti itu.


krriiiiieeeetttt
Seseorang membuka pintu dan aku segera berdiri, seorang ibu menatapku heran.
"Kenapa neng?" Tanyanya.
"Eh ibu.." aku tersenyum malu "gak apa-apa bu.. cuma tadii.. di luar adaa.. mm..." aku menunjuk ke luar pagar.
"Neng siapa ya?" Tanyanya ramah.
"Saya... mm.. saya Febri bu.." jawabku seadanya karena masih berdebar tak karuan.
"Hmm.. cucunya nenek Sekar ya?" Tanyanya.
"Loh kok ibu tau?" Aku mengangguk "jangan-jangan ibu yang pesen rengginang ini ya bu..??" Tanyaku.
Ibu itu mengangguk, aku tersenyum.
Ahh.. ternyata benar.. bu Dewi..

Aku lega dan segera bergegas mengambil pesanan itu ke luar,
Ehh...tapii... Apa sosok itu masih ada?


Aku berjalan pelan dan ke luar rumah dengan kembali berdebar.
Semoga ga ada.. Semoga ga ada.. Semoga ga ada..


Seseorang masuk lewat pagar itu membawa kresek putih yang aku pikir isinya adalah pesanan bu Dewi -pemilik rumah itu-
Aku melihatnya berjalan menghampiriku dari kegelapan.


Dug - deg - dug - deg - dug - deg 


"Maa.. kayaknya ini pesenan mama deh.." katanya, suara seorang laki-laki, sepertinya laki-laki yang tadi.
Aku mengerutkan dahiku dan melihatnya yang perlahan-lahan keluar dari kegelapan. Dan ternyata memang seorang lelaki,
"Mm.. kamu yang bisik-bisik tadi?" Aku menghampiri sosok lelaki tinggi dengan senyum kecil itu.
Aku ingin menegurnya dan marah-marah padanya karena telah membuatku takut.
"Adi.. sini bawa aja.." panggil bu Dewi.
Hah? Yahh.. ga jadi deh marahnya..  Dia anak yang empunya rumah..


Lelaki itu melewatiku begitu saja dan menghampiri bu Dewi yang ia panggil dengan sebutan 'mama' itu.
Bu Dewi tersenyum setelah melihat isi kresek itu dan segera memanggilku.
Aku mendekat padanya "mm.. kata nenek itu 75 ribu bu.."
"Oohh.. haha.. iya neng.." ibu itu tertawa dan mempersilahkan masuk padaku. Ia masuk ke kamar dan dengan cepat kembali dengan sebuah pertanyaan.
"Jadi ini cucunya nenek Sekar? Hmm.. cantik yah.." ungkap bu Dewi.
Aku hanya tersenyum, bu Dewi memberikan uang pecahan 100 ribu padaku.
"Bu.. maaf ga ada kembalian.." kataku.
"Mm.. gitu yah? yaudah kamu gapapa ibu suruh ke warung beli sesuatu buat ngerecehin uangnya?" Pinta bu Dewi.
Yaahh.. daripada ga ada kembalian.. Oke laaahh..
"Tapi bu.. maaf warungnya di sebelah mana ya?" Tanyaku, aku tak tahu daerah sini, ini masih asing untukku.
"Di.. anter si neng nya sana, kasih tau di mana warungnya.." bu Dewi menyuruh lelaki -yang baru aku tahu namanya Adi-' itu untuk mengantarku ke warung. Adi hanya mengangguk dan lekas berdiri.
****


"Jadi.. kamu cucunya nenek Sekar?" Ia memulai pembicaraan ketika kami menuju warung yang ada di pojok gang kecil dekat rumah bu Dewi.
Aku mengangguk, jalanan begitu gelap dan aku tak yakin masing-masing dari kami tahu apa yang kami lakukan dalam kegelapan. Aku mengupil dan beberapa kali menggaruk kepalaku karena gatal. Namun entah apa yang dilakukan lelaki di sampingku itu. Hahh.. biarlahh..


"Hey..." panggilnya.
"Apa?" Jawabku dengan pertanyaan.
"Cucunya nenek Sekar kan?" Tanyanya lagi, sepertinya anggukkan tak bisa ia lihat. Yaa.. karena gelap.
"Iya mas.." jawabku singkat.
"Nenek Sekar baik banget deh.." katanya.
"Iya.. nenek emang baik ke semua orang, heheh semua anak muda dia anggap cucu.." aku terkekeh.
"Oohh.. hahhahaa.. pantesan.." dia ikut terkekeh "aku juga jadi ngerasa punya nenek lagi.." kelakarnya.
"Mm.. emang nenek kamu...." aku merasa sedikit tak enak sekarang.
"Meninggal dua tahun lalu" katanya.
"Ya ampun.. maaf ya mas.." sesalku.
"Namaku bukan Imas atau Dimas atau Kemas.. panggil aja Adi.." ia tertawa.
Aku mengangguk kembali dalam kegelapan.
"Tadi nama kamu... Febri kan?" Tanyanya.
Aku kembali mengangguk.
"Oya tuh warungnya di depan.." katanya.
"Oke.." aku segera masuk ke warung itu dan membeli barang-barang yang diminta oleh bu Dewi.  Dan segera setelah selesai aku pamit pada Adi dan bu Dewi.
"Makasih ya neng.. udah bawain pesenan ibu.." ucap bu Dewi ramah.
Aku mengangguk dan tersenyum. Adi mengantarku hingga depan pagar, ia menatapku dan memberikan sebuah senyuman.
"Mm.. tadi maaf ya.. aku gak niat buat bikin kamu takut, tadinya aku cuma mau kasih tau kalo di lingkungan ini sepi dan jarang banget ada yang lewat malam-malam..." jelasnya.
Aku mengangguk "iya gapapa Di.."
"Ya udah.. hati-hati ya Feb.." Adi melambai "makasih.."
Aku menstarter motorku dan berlalu dari daerah yang gelap itu dengan cepat. Aku ingin segera kembali dan bercerita pada nenek tentang Adi -teman baruku-
******


Aku berjalan di sekitar rumah nenek, mencoba menikmati udara pagi yang masih sangat segar melewati paru-paruku yang sesak. Jalanan disini masih sangat sederhana dan tak banyak kendaraan yang melintas, jadi tak perlu takut untuk berjalan di jalanan yang lenggang ini.


Diiidd diiiidd
Suara klakson motor terdengar ketika aku menyebrang menuju dusun lain di daerah sini, aku terkaget dan segera menyebrang dengan cepat. Motor yang mengklakson memang masih jauh, namun samar-samar aku dapat melihat pengendara motor itu. Dua orang dengan seorang perempuan berada di depan.
Sebuah senyuman tersungging di bibir perempuan itu dengan mata yang menyorot padaku, aku tak percaya apa yang mataku saksikan saat ini, aku merasa sangat dangkal
Kamu tahu siapa yang mengklaksonku itu? Gadis itu, Gadis bernama Laras Hikma itu,
Dan orang yang ada di belakangnya adalah Juna, ia terlihat menunduk dan tak melihatku.


Motor itu dengan perlahan melewatiku yang tak percaya, seperti sebuah gerakan slow motion yang konyol dengan diriku yang menganga di sisi jalan.
Kenapa mereka bisa disini?? Apa yang mereka lakukan? Kenapa mereka berduaan seperti itu? Aaaaarrrrrrrgggghhh!!!!!!!!
Aku tak habis pikir, kenapa dunia ini terkadang terasa begitu sempit dan kenapa aku harus bertemu dengan makhluk yang dengan tega menyakitiku, melukai hatiku. Rasanya wajahku sangat panas, aku ingin marah dan sesuatu dalam hatiku rasanya sangat sesak dan ingin membludak.
Aaarrgghh!!!


"Neng.. maaf jam berapa ya..?"
Dhegh!
Seseorang menepuk pundakku dan bertanya, dari suaranya aku sedikit mengenalnya, suara yang ringan dan ceria, apakah itu dia?? Aku menoleh dan mendapatinya tengah tersenyum, aku membalas senyumanya.
"Maaf Di.. ga bawa jam tuh.." jawabku terkekeh, namun sebutir bening itu malah turun tanpa izin di depan si ceria.
Sekejap ia hapus cairan bening yang turun dari mataku itu, ia melihat airmata yang ada di jari telunjuknya. Dia menatapku, dia mengusap rambutku spontan.
Dhegh!!
Aku menatapnya kaget dan menghindari tangannya.
Apa yang dia lakukan..??


"Aku gak suka liat perempuan nangis.." gumam Adi "kamu kenapa..?" Tanyanya.
Aku menggeleng, bukan apa-apa Adi adalah orang baru untukku, aku bahkan baru tahu namanya semalam.
"Pagi-pagi udah nangis, kayak bayi aja.." celetuknya sambil tertawa.
Aku ikut tertawa mendengar kata-kata Adi, tak ada rasa tersinggung atau marah dari kata-kata Adi hanya saja ada sebuah ketenangan muncul menggantikan rasa sesak itu.
"Ngapain kamu disini Di?" Tanyaku SKSD (sok kenal sok dekat, cieelaahh)
"Lari pagi dong.." jawabnya, sebuah senyuman tersungging di bibirnya,
ahh.. laki-laki ini mudah sekali tersenyum ya.. aku senang melihatnya..
"Hmm.. rajin banget Di.." kataku.
"Hahaaa.. iya dong.. mensana incorporesano " celetuknya, "kamu juga ngapain Feb, jalan-jalan sendiri, jomblo ya? Hahaa"
Aku mendelikkan mataku padanya, ia hanya terkekeh.
"Aku terusin lari ya Feb.. daaagghh.." ia berlari kecil sambil melambaikan tangannya. Kubalas lambaian nya dengan senyuman.
*****


Sudah hampir dua minggu aku menghabiskan liburanku di rumah nenek, aku hanya menikmati alamnya tanpa bersenang-senang. Aku masih terpikirkan Juna dan Hikma yang merenggut kebahagiaanku. Aku berniat untuk kembali ke rumah dan menghabiskan waktuku bersama ibu yang selama ini tinggal sendiri di rumah, aku merindukannya, yaa sangat rindu.


Tok tok tok tok 
Seseorang mengetuk pintu rumah nenek, segera aku bergegas membukakannya dan mendapati Adi membawa sebuah kresek kecil berwarna hitam.
"Kenapa Di?" Tanyaku.
"Ini buat kamu Feb..." katanya "oleh-oleh dari ibuku.." ia menyerahkannya padaku.
"Ahh.. apa ini?? Terima kasih Adi.." aku menerimanya dengan sebuah senyuman.
"Mau aku anter pulang nya?" Tawar Adi.
Lho.. kok Adi tahu aku mau pulang??
Aku hanya menatapnya dengan sebuah tanda tanya.


"Nenek Sekar yang bilang Feb, dia tadi pagi nelpon aku, katanya minta buat nganterin kamu pulang.." jawabnya.
Aduuhh nenek suka ada-ada aja deh..


Semenjak ia punya ponsel, ada saja tingkahnya itu. Salah kirim sms lah, Salah sambung lah, Sms ga jelas lah, Semua yang nenek lakukan dengan ponselnya itu pernah aku alami, aku mungkin adalah korbannya yang ke sekian kalinya. Duuhhh...
"Ngga kok Di.. gapapa.." jawabku sedikit sungkan.
"Ohh.. yaudah.." katanya "aku pulang dulu. hati-hati di Jalan ya Feb.." pesannya. Lelaki berbadan tinggi itu segera pergi dari hadapanku.


Aku hanya mengerutkan keningku, ini anak emang gitu adanya kali ya? Orang di tolak sekali harusnya nyoba lagi, siapa tau ajakan kedua di setujui.. ahh.. ga peka ahh..


Aku pamit pada nenek dan segera pergi, karena aku dengar ibu di rumah sedang sakit dan katanya ingin bertemu denganku.
Aku memacu maticku dengan cepat, jarak rumah nenek dengan rumah kami cukup jauh, 2 jam perjalanan jika naik motor atau jalanan lancar, namun jika macet bisa hingga 3-4 jam perjalanan. Aku sampai di rumah dengan cepat, aku segera menemui ibu yang berada di kamar bersama bibi dan keponakanku, aku memeluknya, sebuah pelukan rindu dan khawatir dari seorang anak.


"Nanas..." panggilnya (Nanas, panggilanku dari Ibu | Febri Anastasya | Anastasya | Anas- | Nanas)
"Ibu kenapa?" Tanyaku "sudah makan obat?" 
Ibu hanya mengangguk, "ibu cuma kecapean Nas.. gimana liburan di rumah neneknya? Gimana kabar nenek.?"
"Seru bu.." jawabku, jelas aku berbohong "Nenek sehat bu, bisnisnya maju.." 
"Hahaa syukurlah.. uhukk uhuukk.." ibuku melepaskan pelukannya, ia menatapku dengan sebuah senyuman "kabar Juna gimana Nas?"


Dhegh!!
Kenapa ibu mengingat Juna sih..??
Ahh...itu memang salahku, aku menceritakan beberapa hal tentang Juna pada ibu.

"Juna sehat bu.." jawabku sekenanya, jujur saja tadi pagi aku melihatnya dan ia tak terlihat sakit sama sekali.
"Syukurlah Nas.."
"Iya bu.." aku memberikan keresek yang tadi siang Adi berikan padaku, isinya makanan dan camilan khas daerah nenekku.
"Kapan kamu mau ngenalin dia ke ibu?" Tanyanya senang "ibu udah ga sabar nih.." katanya.
Aku hanya tersenyum pahit pada ibu, kubuang napasku dan kuhirup hingga beberapa kali.
"Nanas mau mandi dulu ya bu.." kataku, jelas itu hanya pengalihan topik dariku.
Ibu mengangguk dan menerima kresek itu,
"Dari siapa Nas?” Tanyanya.
"Bu Dewi bu.. dari dusun sebelah.." jawabku.
"Ohh.. bu Dewi mana nih?" Tanyanya "apa yang anaknya itu kuliah itu ya..??" Gumamnya sendiri.
"Adi bu, nama anaknya Adi.." jawabku.
"Ahh iya.. berarti benar!" katanya sumringah seperti menemukan titik temu.
"Apa..? Apa yang benar?" Aku masih penasaran.
"bu Dewi tuh temen masa kecil ibu, Adi juga dulu berteman denganmu.."
Ia terkekeh. Aku mengerutkan dahiku.


"Dulu tuh kita udah janji buat jodohin kalian kalo kalian udah lulus.."
What?

Apa-apaan ibu ini?
🍁********πŸ€

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 1 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • nuratikah

    Romantiiiiiiissssss si Juna itu ya....
    Berkunjung balik ke ceritaku juga ya.

    Comment on chapter #Prolog
  • Chaelma

    @Ardhio_Prantoko wahhh makasih kak, aku juga kemaren udah ikutin saran kakak, dan ngedit banyaaak hehe.. makasih saran waktu kmaren ya kak 😊

    Comment on chapter #Flashback
  • Ardhio_Prantoko

    Kayak kisah nyata ya. Save dulu, mau aku baca habis. :D

    Comment on chapter #Flashback
Similar Tags