Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Diary : You Are My Activist
MENU
About Us  

#The Choice
Life is Choice
Choose or be choice forever
*Author*
**********


Pikiranku mulai kacau dan aku tak tahu harus melakukan apa saat ini. Hatiku terasa hancur, seperti sebuah porselen keramik yang dijatuhi pendulum raksasa dari besi. Luluh lantak tak bersisa barang sedikitpun, hanya menjadi puing kecil yang sudah tak berupa.
Aku berharap semua ini hanyalah mimpi dan aku ingin segera bangun, aku ingin saat-saat barusan itu tak pernah aku alami. Saat dimana Juna menangis dan tersedu dalam pelukanku.
Tak terasa airmata jatuh perlahan di pipi chubbyku, wajahku terasa panas dan aku mulai larut pada euforia kesakitan dan kebingunganku.


Bagaimana ini? Juna.. bagaimana ini??


Aku masih merasakan Juna yang bersandar di dadaku, ia meremas bajuku, entah apa yang ia rasakan, namun aku masih bisa merasakan basah bajuku.
Rasanya aku tak ingin berkata sepatah katapun saat ini, sekelebat ingatan kebersamaan kami itu muncul tiba-tiba. 
Ahh aku ingin kembali ke saat itu ketika aku berada disamping Juna sebagai sosok yang bahagia, bukan seperti saat ini yang menangis seperti anak kecil yang tahu ia akan segara kehilangan ibunya.
Aku mulai terisak, aku memikirkan banyak kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada hubunganku dengan Juna, pikiranku mulai kacau balau dan semua ini sangat menekanku.


Apa aku harus merelakan Juna? Apa aku harus mundur dan membiarkan Juna bersama gadis itu? Aku tak mau!  Aku tak akan melepaskan Juna!!  
Aku mencintainya!  Aku harus berjuang untuk Juna.


Beberapa pikiran positif itu sedikit menguatkanku dan membantuku untuk bangkit.


Tapi gadis itu... Gadis itu sedang sakit.. Aku tak ingin menambah kesakitan gadis itu..


Bagai menelan buah simalakama, aku terhanyut dalam pikiranku, sesuatu berbisik dalam benakku.


Tenanglah Febri, tenangkan hatimu.. Kini Juna sedang ada dalam pelukanmu, itu berarti Juna ingin bersamamu.


Aku tersadar, bisikan itu perlahan menghilang dan aku merengkuh lengan dan membangkitkan Juna. Kutatap matanya yang masih berurai airmata dan kuseka dengan tanganku.


Lelakiku..
Janganlah kau menangis.. Aku tak tahan melihat airmatamu itu, Airmata yang membuat hatiku hancur, Airmata kebingungan dan kesakitan.. Tolong berhentilah turun dari mata kesayanganku itu.
Akan ku hapus.. Akan ku hapus airmata itu..
Akan ku ganti dengan sebuah senyuman.. Aku berjanji.


"Bi.." panggilnya.
"Hm?" Aku menegakkan tubuh Juna yang sempat tumbang di pelukanku itu.
Aku berhenti menangis dan berusaha untuk menguatkan diriku, akan sangat merepotkan jika aku ikut menangis dan terlihat lemah di hadapan kekasih tercintaku itu, Juna menyeka airmataku dan menatapku penuh arti.
"Aku sayang kamu.." bisiknya.
Aku mengangguk paham. Aku tahu itu Juna, karena aku juga.
"Bisakah kamu bertahan?" Tanyanya.
Aku menunduk, ingin rasanya aku mengangguk, aku benar-benar ingin mempertahankan Juna, namun entah mengapa rasanya begitu berat.
"Bersamaku.." pintanya.
"Apa yang akan kamu lakukan?" Tanyaku pada akhirnya.
Ia melepaskan pelukannya dan membiarkanku menyeka airmatanya,
ya Yuhan.. ini kali pertama aku melihat seorang laki-laki menangis hingga seperti ini.
Apa ini semua seberat itu?


Kurapikan rambut Juna yang mulai tak beraturan itu, aku mencoba untuk tersenyum.
Ahh.. aku merasa sangat bodoh ketika aku tersenyum di saat-saat seperti ini.
"Aku ingin tetap bersamamu, tolong bersamai aku apapun yang terjadi" pintanya.
Selama ini hubunganku dengan Juna memang terkesan backstreet. Dan kami tak pernah terlihat bersama di depan umum dari awal kami berhubungan, tak ada seorangpun yang tahu bagaiama hubungan kami selama ini. 
Namun Juna akhir-akhir ini memberanikan diri bermain ke tempat kostku, dan menemui beberapa temanku disini.
Mungkin itu adalah awal untukku, awal untuk kami bisa memberitahu orang-orang bahwa kami bersama. Bahkan mungkin untuk bersama dihadapan gadis bernama Laras Hikma itu. Gadis masalalu Juna.
Aku jadi ingat, bagaimana pertama kali kami bersama. Bagaimana perjuangan kami dalam hubungan ini.
Sekelebat bayangan itu perlahan menghilang, namun ia sangat berkontribusi untuk menguatkan hatiku saat ini.
"Aku memilihmu.." katanya.
Kata-kata itu seperti secercah cahaya yang hadir ketika kegelapan pekat menyelimuti hatiku.
Aku mencoba menguatkan hatiku, berusaha untuk berpikir positif bahwa semua badai akan menemukan ketenangan, bahwa semua kesakitan akan menemukan kenikmatan. Aku mengangguk dihadapan Juna dan tersenyum semampuku.
Juna memelukku dan berbisik "Mulai saat ini, kita akan berjuang bersama-sama, kita akan saling menguatkan lagi dan lagi.."
Jantungku yang tadinya berpacu bak kereta api yang kehilangan remnya, kini mulai menenang dan kembali stabil. Pikiranku mengganti semua ketakutan dan kekhawatiranku dengan rasa percaya yang kuat terhadap Juna.


Juna yang memilihku, Aku akan berjuang lebih dari perjuanganku dulu, 
Dan kini, dalam perjuanganku akan ada Juna disampingku.


Sebuah kecupan ia bubuhkan di keningku, ia menghirup aroma rambutku dengan tenang. Tangisnya mereda dan aku ikut terhanyut dalam ketenangan itu.
Juna kembali memelukku, ia membenamkan wajahnya di pundakku, tangan besarnya mengelus punggungku hangat dan perlahan. Sebuah perasaan yang tak ku mengerti menjalar di dalam darahku, darahku seperti mendidih dan membuatku begidik dan menelan ludah dalam-dalam. Keringat dengan cepat muncul di dahi dan leherku, lalu butiran-butiran itu meluncur melewati sela-sela kulitku, 
ya Yuhan.. kenapa rasanya sangat panas..??


Aku membuang napasku panjang dan menghirupnya perlahan, mataku menoleh ke samping dimana Juna menempelkan wajahnya di bahuku. Perlahan aku menoleh padanya, tanpa sengaja kucium wangi rambut Juna, wangi yang calm dan aku menyukainya.
Aku senang bisa sedekat ini dengan Juna, dulu aku tak pernah bisa melakukan hal seperti ini bersama lelaki manapun karena aku memang tak membuka hati pada orang-orang diluar, aku lebih suka sendiri, aku berpikir bahwa orang-orang diluar sana hanya merepotkan.
Namun, ketika Juna hadir dalam hidupku, ia merubah cara berpikirku dan cara pandangku dalam menjalani hidup ini.
Aku berhutang banyak pada Juna.. Terima kasih Juna.
Terima kasih untuk menumbuhkan semangatku ketika aku merasa jatuh dan terhempas..
Terima kasih untuk tetap ada di sampingku ketika banyak orang meninggalkanku..
Terima kasih untuk senyuman yang selalu jadi obat penenang kegundahanku..
Terima kasih untuk pelukan hangat yang menjadi pelipur kesakitanku..
Terima kasih untuk selalu mengalah dan tak meninggalkanku ketika aku egois..
Yaa..Terima kasih, Juna..


Aku merangkulnya dan kurasakan hangat tubuhnya, merasakan kebersamaan kami yang aku harap itu adalah selamanya.


Tetaplah seperti ini Juna.. Aku mohon.
Jangan pernah tinggalkan aku.. Akan kulakukan apapun asalkan kau slalu bersamaku.


Jika aku adalah musim panas,
Maka kamu adalah musim hujan yang mampu mendinginkan gejolakku..
Kamu adalah jawaban untuk semua pertanyaanku..

Kamu adalah penyebab senyumanku..


Juna mengelus rambutku dan tersenyum, matanya masih sembab dan aku tak suka itu.
Itu membuatku ingin berjanji untuk tidak membuat lelaki kesayanganku itu menangis barang sekalipun.


Tik - tok - tik - tok - tik - tok


Semuanya hening, hanya suara deru napas kami dan suara jam dinding di kamarku.
"Bi.." bisiknya, ia menatapku dengan mata sayunya.
"Apa?" Tanyaku, aku melepaskan rangkulan tanganku di bahunya.
Ia menggenggam kedua pergelangan tanganku, ia terlihat menyembunyikan sebuah tanya ketika ia melihat tanganku.
"Kenapa?" Tanyaku, aku masih menerka-nerka apa yang ada di pikirannya.
"Gelang itu.." Juna menatap tangan dan wajahku bergantian, "mana?" Tanyanya.
Aku tersenyum, ternyata gelang..
"Ada.." jawabku.
"Kenapa tak dipakai?" Tanyanya, raut wajahnya berubah seperti kesal.
Aku tak dapat menahan senyumanku melihat wajah Juna yang seperti anak kecil yang marah karena tidak dibelikan balon.
"Maaf..." kataku "aku menyimpannya di tempat aman.." jawabku.
"Pakai sekarang.." pintanya sembari merengut.
Eeehhh.. kenapa kamu begitu imut Junal?? Aahhh.. aku tak tahan..
"Pakai!" Nadanya meninggi beberapa oktav.
"Iyaa.." jawabku, aku bangkit dan mengambil benda keramat itu dan memakainya. Aku kembali pada Juna, wajahnya kembali tersenyum. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku heran, aku suka sikapnya yang kekanak-kanakan itu.
Kembali aku tersenyum ketika aku duduk berhadapan dengannya dan menunjukkan tanganku padanya "nihh.. sudah aku pa..."
Dhegh!!


Deg - deg - deg - deg - deg - deg


Sesuatu membuncah di dalam hatiku, sesuatu yang hangat dan nyaman. Jantungku seperti berhenti berdetak sedetik yang lalu.
Tangan besar dan hangat itu menggenggam tanganku dan memijitnya perlahan, Aku menutup mataku dan tak berani membukanya, aku hanya mulai menikmati sentuhan Juna dan mengikuti gerakan bibirnya.
Hangat? Ya...
Lembut? Ya..

Dan sangat perlahan, aku masih saja berdebar padahal sudah beberapa kali kami melakukan ini bersama. Dalam beberapa detik kubiarkan dia menguasaiku, tangannya meremas tanganku lembut.
Bibir itu, Bibir yang sangat aku suka,
Karena ia selalu memberikan kehangatan lewat senyumannya yang calm.
Dalam debaran itu hatiku tergelitik oleh rasa penasaran akan wajah Juna yang sangat dekat itu, sementara bibirnya menghisap pelan bibirku, kuberanikan diri untuk membuka mataku perlahan.
Aku ingin melihat Juna.. Aku ingin melihat matanya..
Jantungku berdebar dan kubuka mataku perlahan.
Ahh.. buka pelan-pelan.
Kubuka mataku, namun ketika aku hendak melihatnya, Juna melepaskan ciuman itu.
Aarrgghh Hampir saja!! Padahal...


Aku membuang napasku dan menunduk malu, aku merasa ia tersenyum menertawakanku yang bodoh ini.
"Bi.." panggilnya, ia melepaskan genggamannya, napasnya masih belum stabil.
"Hm?" Aku masih tetap menunduk karena malu.
"Boleh aku..." Juna mendekatiku, jarak kami sebenarnya sudah dekat, namun Juna lebih dekat dan mendekat lagi denganku hingga aku merasa tak ada jarak antara kami.


Aarrgghh..  apa yang akan kamu lakukan Juna?


Aku mulai panik dan berpikir macam-macam.
Ia memejamkan matanya perlahan dan menindihku. Aku berteriak kaget dan kusingkirkan tubuhnya dariku, ia tergolek lemas.
Aku kaget dan segera melihat keadaannya, ia terpejam dengan napas yang mulai menenang.


Aiiisshh, ternyata ia tidur.
Aku menepuk jidatku pelan dan tertawa kecil melihat Juna. Ahh.. maaf aku berpikir yang tidak-tidak padamu Candra-kuu.


Aku membiarkannya tergeletak tidur di samping tempat tidurku, kuberikan ia bantal kecil untuk menyangga kepalanya. Wajahnya terlihat tenang. Mungkin hari ini ia sangat lelah dan semua kegiatannya menyita banyak tenaganya. Aku tersenyum, aku berniat meneruskan tugas untuk besok, namun aku juga sangat lelah, besok hanya baca-baca sumber untuk membahas matakuliah secara berdiskusi.
Ahh sudahlah..
Kulihat jam menunjuk angka tujuh, ternyata obrolan kami beberapa saat lalu cukup lama dan cukup menyita tenaga.
Aku telah menentukan pilihan, dan aku akan bertanggung jawab pada pilihanku itu. Aku duduk di samping Juna yang tertidur, ku tatap ia dengan lekat tanpa bosan. Detik demi detik berlalu, mataku mulai merasakan kantuk yang sangat hebat dan mataku ingin terpejam.
Ahh.. lelah nya.. Selamat istirahat Juna..
Selamat malam Candra-ku..

๐ŸŒน*****๐ŸŒน


Tok tok tok
Dhegh!

Apa..?  Siapa..?
Kubuka mataku dan kudapati diriku tengah tertidur di sandaran Juna yang juga sepertinya tengah tertidur, wajahnya terlihat tenang dan polos. Untuk sesaat aku menikmati wajah Juna, kulihat matanya yang terpejam. Wajah yang aku suka.


Aku tersenyum dan bergerak bangkit, namun ketika aku mulai bangun tangan besar Juna menarikku dan mendaratkanku di dadanya. "Tetaplahh disiniiihh hh.." gumamnya masih dengan mata terpejam.
Aku menatapnya kaget, ia kembali ke posisinya dan tertidur. Aku menggelengkan kepala dan segera bangkit, pintu sudah tak ada yang mengetuk, mungkin Listi atau Mika yang memastikan diriku ada di dalam atau tidak.
Jam sudah menunjukan angka enam, ternyata sudah pagi. Rasanya aku bermimpi sangat indah semalam, tapi aku tak tahu bermimpi apa.


Aku membuka pintu dan tak kudapati siapapun disana, hanya sebuah bungkusan besar seperti kado ada di depan kamar kost ku.  Aku mengambilnya dan kulihat kotak itu, ada secarik kertas terselip di kotak itu, aku membuka kertasnya dan sangat kaget.


Jika ini pilihanmu, kau akan mendapatkan balasan yang setimpal gadis j*lang.!!


Aku terdiam, kulihat kado yang ada di tanganku itu, kado yang cukup besar.
Harus kah ku buka?    


Kuberanikan diri membuka kotak itu,


Degh!!


Aku membuang kotak itu ke tempat sampah segera dan kembali ke kamarku mencoba seperti biasa.
Bagaimana mungkin gadis itu tega melakukan ini?
Kamu tahu apa yang ada di kotak itu? Pembalut yang dipenuhi darah!


Ku simpan kertas itu dan kubereskan barang-barangku.
"Pagi Bi.." sapa Juna, sepertinya ia baru bangun dari tidurnya.
Aku tersenyum dan membalas sapaannya "pagi Candra.."
************

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • nuratikah

    Romantiiiiiiissssss si Juna itu ya....
    Berkunjung balik ke ceritaku juga ya.

    Comment on chapter #Prolog
  • Chaelma

    @Ardhio_Prantoko wahhh makasih kak, aku juga kemaren udah ikutin saran kakak, dan ngedit banyaaak hehe.. makasih saran waktu kmaren ya kak ๐Ÿ˜Š

    Comment on chapter #Flashback
  • Ardhio_Prantoko

    Kayak kisah nyata ya. Save dulu, mau aku baca habis. :D

    Comment on chapter #Flashback
Similar Tags