Nania meletakan seikat mawar putih di makam mamanya pagi Minggu itu, menggantikan bunga – bunga yang telah layu, membersihkan makam itu, merajut kembali rindu dan sedih yang telah terurai pada hari – hari yang lalu.
Suasana di tanah pemakaman itu begitu lengang, cuma ada 2 – 3 keluarga saja yang tampak sedang berziarah disitu. Nania sejenak memandangi makam mamanya, menghela nafas, sebelum akhirnya melangkah pergi meninggalkan makam itu.
Deg! Jantung Nania berdegup kencang. Pandangannya tertumbuk pada seorang pemuda berkostum hitam – hitam yang sedang berdiri membisu memandangi dua makam batu yang letaknya tak jauh dari makam mama Nania.
“Itu...Itukan Fairro...Hantu Jelangkung itu....” batin Nania terkejut. “Kapan dia datangnya? Kok gue tadi nggak melihat?”
Merasa dipandangi, Fairro menoleh. Nania merasa darahnya mendesir. Untuk beberapa saat keduanya cuma saling memandang tanpa berkata – kata.
Dibawah pandangan sepasang mata elang abu – abu itu, Nania menggidik. Masih sulit rasanya untuk menghilangkan ingatan tentang peristiwa mengerikan malam itu. Nania merasa kakinya mulai sulit berdiri tegap di tanah, rasanya seperti ada hawa dingin yang ditiupkan ke dalam tubuhnya.
“Oh Tuhan...Kenapa harus gue yang selalu bertemu dengan mahluk yang menyeramkan ini??” batin Nania ketakutan.
Kilauan rantai emas kalung yang terikat di pergelangan tangan kiri Fairro membuat perhatian Nania sejenak teralih pada kalung itu. Liontin berbentuk pentagram tergantung terayun – ayun di rantai kalung yang seharusnya tidak cocok menjadi gelang itu. Gadis itu terkejut melihat liontin pentagram yang sudah sangat familiar dimatanya itu, wajahnya langsung pucat pasi.
“Hey...Kalung Pentagram itu!!” pekikan Nania menyebabkan Fairro tampak terjengah mendengarnya. Pemuda itu entah kenapa buru – buru menyembunyikan tangan kirinya ke belakang punggungnya seolah tak suka kalung berliontin pentagram yang terikat di pergelangan tangannya itu terlihat oleh Nania. Gadis berambut ikal itu menggigit bibirnya.
“Itu...Itukan kalung berliontin Pentagram yang gue cari – cari itu...Yang gue temukan di pemakaman ini tempo hari...Kalung itu mendadak hilang sehabis peristiwa jelangkung itu...Kok bisa ada pada dia?? Bagaimana bisa??” batin Nania di dalam hati. “Nggak salah lagi...Kalung itu kan unik sekali, nggak mungkin ada duanya...”
Nania bisa melihat kalau pemuda bermata abu – abu itu tampak risau karena Nania mengetahui soal kalung pentagram itu.
“Apakah dia yang mengambil kalung pentagram itu?? Tapi kapan? Oh tidak....” terlintas pikiran itu dibenak Nania. “Apakah...Apakah....Malam itu dia datang ke kamar gue karena mau mengambil kalung itu?? Apakah sebenarnya kalung itu miliknya yang tercecer di dekat makam mama...Soalnya...Soalnya dia kan memang ada waktu itu...Waktu menolong gue...Ya Tuhan....”
Nania mundur beberapa langkah dari tempatnya berdiri semula. Gadis berambut ikal itu mendekap mulutnya, shock menatap Fairro. Hampir saja dia memutuskan untuk kabur karena tak dapat menahan kengerian berhadapan dengan Fairro, kalo saja pemuda gondrong itu tidak membuka suara.
“Maaf...Maafkan gue...” kata Fairro dengan nada pelan. “Gue nggak bermaksud untuk membuat lo dan teman – teman lo takut waktu itu di toko buku...”
“Mau apa lo sebenarnya?? Kalung pentagram itu...Kenapa bisa ada pada lo?? Lo itu manusia atau hantu??” pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Nania.
“Gue bukan hantu...Gue manusia biasa seperti lo...” sahut Fairro dari balik geraian rambut panjangnya yang menutupi hampir separuh dari wajahnya itu.
“Tapi kenapa malam itu...Itu lo kan, yang mendatangi kami...Lo datang karena mau mengambil kalung pentagram itu kan??” ada nada kepanikan di dalam suara Nania.
“Gue nggak pernah datang ke rumah lo...”
“Kalo lo nggak pernah datang, kenapa kalung itu bisa ada dengan lo?...Kalung itu gue temukan di sini tempo hari, dan gue simpan di kotak perhiasan gue, kenapa sekarang bisa ada dengan lo? Kapan lo mengambilnya??”
“Gue...”
Sekilas Nania melihat Fairro seolah sangat ingin mengatakan sesuatu padanya, tapi sesuatu itu tiba – tiba ditahannya dengan sekuat tenaga untuk tidak terucap. Nania melihat sorot mata elang abu – abu itu tiba – tiba saja menjadi sangat sedih.
“Oh sudahlah, gue nggak peduli bagaimana lo mengambilnya...Sekarang kalung itu sudah lo dapatkan....Please, jangan ganggu kami lagi...Siapapun atau apapun elo...Jangan ganggu kami lagi...Gue mohon...”
“Kalo lo gak menginginkan gue...Baiklah...Gue akan pergi...” kata Fairro, mata abu – abunya yang begitu jernih seperti kristal itu memandangi Nania dengan pandangan yang membuat Nania harus memalingkan wajahnya dari Fairro. Entah apa arti pandangan itu, tapi yang pasti sudah membuat nafas Nania terasa sesak. Nania nggak tau, seolah ada tangan tak tampak yang sedang mencekik lehernya saat itu. Ada apa dengan pandangan mata abu – abu itu? Seperti ada sihir...Seperti ada...
Fairro akhirnya pergi meninggalkan Nania, dan menghilang di balik rerimbunan pohon di pemakaman itu.
Seperti baru terlepas dari sesuatu yang sangat mencekam, Nania menyeka wajahnya dan mengatur nafasnya. Perasaan lega dan gelisah bercampur menjadi satu di hati Nania. Kenapa Fairro memandanginya seperti itu tadi? Pandangan itu begitu menakutkan! Semoga nggak ada kejadian mengerikan lagi sesudah ini...Nania bersender di pohon yang terdekat dengan tempatnya berdiri. Sekilas terlihat oleh gadis manis itu tulisan yang terpahat di batu – batu makam dimana Fairro berziarah tadi.
‘Disini beristirahat dengan tenang, orang tua ke - 6 ku, dengan penuh cinta aku akan mengenang kalian selamanya.’
“Orang tua ke – 6??” Nania bingung membaca tulisan yang terlihat sangat aneh itu. Kata – kata itu seolah sengaja dipahat secara khusus di bawah nama dan sederet tanggal di batu nisan kedua makam itu.
Nania tidak mengerti. Sejak pertemuannya dengan Fairro di Kompleks Pemakaman itu pada hari Minggu kemarin, dia seolah memiliki suatu rasa yang sangat mengganggunya. Fairro, setiap kali dia ingin melupakan pemuda gondrong itu, maka bayangan Fairro semakin menghantui benaknya. Tatapan mata elang abu – abu Fairro pada saat mereka bertemu di pemakaman pada hari Minggu itu sangat merisaukannya, tatapan itu seolah menusuk jantungnya begitu dalam, sehingga nafasnya serasa terhenti membeku dingin dalam tatapan itu. Tapi di saat yang bersamaan, dia juga merasakan suatu gejolak sensasi yang begitu lembut tapi juga begitu sedih....Sangat sedih...Menyentuh kalbunya Seolah mata elang abu – abu itu ingin menceritakan sesuatu padanya...Sesuatu...Tapi apa??
“Astaga, kenapa si Fairro itu? Sebetulnya mahluk apa dia?” bisik Nania sambil meletakkan pena Hello Kitty-nya ke atas buku Diary – nya yang terbentang lebar di hadapannya malam itu. “Kenapa gue nggak bisa berhenti memikirkan dia? Sebetulnya dia itu hantu apa bukan sih?? Kenapa dia bisa menjadi mengerikan tapi juga sekaligus baik?”
Nania merebahkan dirinya ke atas kasurnya. Jam dinding berdentang satu kali menandakan waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari.
“Ya Tuhan...Gue nggak bisa tidur...Setiap kali gue memejamkan mata, bayangan Fairro pasti muncul..Rasanya sulit dipercaya...Sikapnya ketika di makam mama, ketika di pantai itu....Di toko buku itu...Gue kan menabraknya...Membuat bukunya terjatuh...Mana ada hantu bisa mencari buku di toko buku, di siang bolong lagi...Tapi...Peristiwa malam itu? Kenapa dia tampak begitu mengerikan dan ghaib...Seperti hantu...Dan kenapa dia sangat takut kehilangan kalung pentagram itu??” keluh Nania kebingungan. “Gimana sih sebetulnya? Apa Fairro dan hantu Jelangkung itu adalah 2 orang yang berbeda? Tapi...Wajahnya mirip sekali...Rambutnya...Mata abu – abunya...Kan jarang banget ada orang yang memiliki mata abu – abu...Jadi nggak mungkin itu orang yang berbeda! Itu pasti dia!!”
Nania menelungkup memeluk bantal pink-nya yang berbentuk hati itu. Nania teringat lagi dengan peristiwa sesudah mereka keluar dari toko buku itu tempo hari, kelebatan bayangan Fairro yang berlari ke tengah jalan, merentangkan kedua tangannya, memejamkan matanya, membiarkan rambutnya berkibaran tertiup angin, berdiri menghadang bus besar yang hampir mencelakai Nania dan teman – temannya itu, seolah terbayang jelas dimatanya...Oh God...Nania menggigit bibirnya, semua yang dilakukan Fairro saat itu begitu membuatnya merinding sekaligus terpesona. Terpesona? Ah mana mungkin! Nania membatin. Mana mungkin gue terpesona dengan Fairro si hantu jelangkung yang mengerikan itu...Fairro pastilah hantu jelangkung...Tapi kenapa dia...Ah, tidak! Tidak! Nania menggeleng – gelengkan kepalanya mencoba mengusir pikiran – pikiran itu dari kepalanya.
“Aduuuh...Kenapa sih gue ini?? Kok jadi memikirkan Fairro begini?? Aneh!” rutuk Nania setengah kesal pada diri sendiri.
Jarum jam perlahan bergeser, pukul satu lewat empat puluh lima menit dini hari ketika gadis berambut ikal itu akhirnya jatuh tertidur juga karena kelelahan, dan hal itu jelas – jelas membuat Nania tidak mendengar alunan biola yang mulai mendayu-dayu lirih memecah kesunyian dini hari itu. Alunan biola yang lebih membuat bulu kuduk berdiri daripada dinikmati. Entah siapa yang nekad memainkan biola itu pada dini hari itu. Tak ada yang tau.