"Rosaline...Rosaline...Kamu pulang..." Grey menyentak bangkit dari tempat tidurnya, menghembus nafas terputus-putus ditengah gigilan tubuhnya yang bersimbah keringat, matanya nyalang seperti sedang mencari-cari sesuatu.
Sudah pukul dua dini hari, pemuda berusia sembilan belas tahun itu tampaknya tidak bisa tidur, akhirnya terhuyung – huyung turun dari tempat tidurnya, seperti orang yang sedang terpengaruh obat - obatan, berjalan perlahan mendekati jendela kamarnya. Semilir angin dingin dini hari segera menerpa tubuhnya ketika Grey membuka jendela itu.
"Rosaline sayang, aku tau kamu pasti kembali...Aku tau kamu tak betah berdiam bisu ditanah merah itu, yang sudah memisahkan cinta kita...Aku tau.." tapak kaki telanjang Grey memanjat tepi jendela kamar gelap di tingkat lima apartemen itu. "Rosaline...Butterly kecilku..Aku tau..."
Tak ada yang bisa menahan, ketika angin malam menderas laju mengiringi tubuh Grey yang melayang, angin itu mempermainkan rambut Grey yang gondrong tak terurus sejak perginya si butterfly, Rosaline yang cantik. Angin juga mempermainkan kaus hitam itu, celana jeans hitam itu, dan rentangan tangan yang merindukan pelukan Rosaline si bidadari hatinya.
Lihat....lihat.....Rosaline telah berdiri di bawah sana, tangannya terentang seolah merindukan diriku ini, batin Grey dengan seulas senyum.
“Rosaline sayang...Aku datang....Tunggu...Aku ikut kamu...Kita tak mungkin berpisah lagi" tubuh Grey melewati jendela lantai empat yang temaram dingin memandang. Dan Rosaline masih menunggu dibawah.
"Rosaline...Aku udah siapkan tempat tidur indah untuk kamu, gaun pengantin kesukaan kamu, semua hanya untuk kamu. Tapi kenapa kamu lebih memilih tanah merah itu untuk bersemayam?" Grey menggerung putus asa.
Lantai dua dilewati dengan api kekecewaan berkobar dimata Grey.
"Rosaline...Kenapa? Apakah karena usia dini adalah hina dalam merajut kasih? Apakah hadirnya buah hati adalah dosa yang tak terampunkan? Sehingga kamu harus membayar dengan nyawamu?"Grey menjengit penuh kesedihan ketika melayang melewati lantai satu. "Rosaline...Anak itu tak berdosa...Haruskah dia selalu menangis merindukan kamu? Haruskan dia menyaksikan aku hancur oleh jarum-jarum surgawi maya itu?"
Kerasnya lantai pelataran parkir gedung apartemen sekarang basah oleh merahnya cinta Grey dan Rosaline. Sunyi dingin di pukul 2. Tak ada yang tau. Hanya sesosok tubuh mungil menjenguk dari jendela lantai lima yang terbuka, si kecil itu menangis dalam ketidak mengertiannya.
"Papa?
Tak ada yang tersisa dari Grey kecuali secarik kertas bisu bertuliskan puisi pendek :
=Puisi Ingin Mati=
Tiada lagi
Tiada lagi Butterfly yang berterbangan
Menari – nari menghangatkan hidupku
Kini hanya sepi yg mengaliri kamar.
Rindu mengirim bayangmu ke dalam mimpi - mimpiku
Janji setia kita merajut kasih selamanya
Janji kita merangkai waktu bersama
Hilang!
Pupus!
Bersama keranda.
Sungguh!
Aku ingin menjengukmu di liang kubur.
Kita tidur berselimutkan kematian.
Bukankah kenangan itu menyakitkan?