Jika saja saat itu aku menahanmu, apa hari ini akan berubah?
Jika saat itu aku mengikis 10 cm antara kita, apa kau akan bersamaku hari ini?
Aku ingin percaya pada legenda itu, bahwa kita dihubungkan oleh benang takdir agar aku bisa bertemu denganmu lagi.
Tidak peduli selama apa pun, bahkan jika dunia kita berbeda, aku ingin jatuh cinta padamu lagi.
***
Seruan para penggemar memenuhi venue ketika lagu yang dinyanyikan boygroup evE berakhir. Cahaya lighstick berwarna perak mendominasi, mengalahkan lampu panggung yang menyinari empat lelaki yang sedang membungkuk sebagai tanda perpisahan. Lampu panggung perlahan meredup ketika empat lelaki itu beranjak menuju belakang panggung seraya melambaikan tangan, memberi senyuman dan love sign.
Beda dengan lelaki berambut hitam lurus bergaya comma hair yang menuruni panggung dengan tergesa-gesa. Tak peduli dengan staf yang memberikan air padanya dan terus mempercepat langkah menuju pintu keluar. Saat ini, bukan pekerjaan yang menjadi fokusnya, tapi Ji-Eun.
"Hei! Seo-Jun!" seru manajer menahan lengan Seo-Jun, namun lelaki itu menghempasnya.
"Aku sudah menyelesaikan konser ini dengan baik, jadi jangan halangi aku untuk menemui Ji-Eun!" Suaranya meninggi dengan mata yang menatap tajam sang manajer, kemudian berlalu tanpa memedulikan para member yang memanggil namanya.
Dengan tangan gemetar, ia menyetop taksi. Rasa takut akan kehilangan seakan menghantamnya dengan keras, membuat lelaki itu mengacak rambut frustasi. Berbagai macam pikiran tentang kemungkinan yang terjadi seolah merasukinya, membuat Seo-Jun tak bisa berpikir rasional lagi.
"Tidak akan ada yang terjadi padamu, 'kan, Ji-Eun? Kamu harus menungguku, kamu adalah satu-satunya yang aku punya saat ini. Bertahanlah, kakakmu akan segera datang," gumamnya.
Kedua kakinya gemetar dengan jemari yang saling bertaut. Ia menundukkan pandangan, berdoa agar taksi itu bisa melaju dengan cepat. Beberapa kali ia meminta pada supir untuk mempercepat lajunya, namun gagal karena kemacetan Seoul hari ini. Ia mengumpat beberapa kali, lalu tak lama mereka tiba di sana. Seo-Jun bergegas membayar dan berlari memasuki rumah sakit.
Ada banyak pasien baru bersama dengan perawat yang mendorong brankar rumah sakit. Seo-Jun terus berlari seraya menghubungi perawat yang menangani adiknya.
"Halo? Aku sudah berada di sini, bagaimana keadaannya?"
"Maaf, Seo-Jun ssi...." Suara perawat itu tampak gemetar, kemudian ia melanjutkan, "Adikmu telah meninggal."
Langkah Seo-Jun terhenti bersamaan dengan jantungnya yang seakan berhenti berdetak. Air mata tak terbendung lagi. Dunianya seakan runtuh ketika kalimat itu menyusup dalam pendengarannya.
"Tidak mungkin...." Seo-Jun bergumam seraya menggenggam ponselnya erat. Ia kembali melajukan langkahnya dengan cepat. Tidak peduli pada tatapan sekitar yang menyudutkannya, seolah ia adalah pendosa yang tak bisa diampuni.
Ada beberapa perawat serta dokter yang menundukkan kepala ketika Seo-Jun menghampiri mereka. Tanpa berkata apa pun, Seo-Jun melesat masuk, matanya menatap kosong tubuh yang ditutupi kain putih. Seo-Jun mengepalkan tangannya di dada, kemudian memberi pukulan kecil agar sesak yang ia rasakan bisa menguap. Segalanya sia-sia. Tubunya melemas, pikirannya porak-poranda dengan detak jantung yang tak karuan.
Selama lima tahun ia berusaha menjadi yang terbaik untuk Ji-Eun, menutupi kehidupan kerasnya sebagai idola agar gadis kecil itu bisa tersenyum. Kini semua hancur karena kebodohannya sendiri yang menganggap Ji-Eun 'baik-baik saja' selama ini.
Ia menyeka air mata, seakan berusaha melawan rasa nyeri ketika ingatan itu kembali menariknya ke hari kemarin, saat terakhir ia melihat senyum gadis itu.
"Kakak akan konser besok?"
"Ya, jangan khawatir. Kakak akan menyelesaikannya dengan cepat, jadi kau harus menungguku, ya."
"Ne, Ji-Eun akan menunggu kakak di sini."
Seo-Jun berkedip, bersamaan dengan tetesan air mata yang mengalir disusul tetesan lainnya. Tatkala Ji-Eun membuat janji malam itu dan sekarang Ji-Eun pula yang mengingkari semuanya.
Seo-Jun meremas tangannya sendiri, ketika potongan demi potongan itu kembali memeras ingatannya tanpa henti. Ia melihat dirinya dan Ji-Eun sedang bercanda. Ketika Ji-Eun tertawa ria ketika ia bercerita tentang pekerjaannya, seolah menjadi idola adalah kebahagiaan.
Seo-Jun menahan napas, rasanya seperti mengulang kenangan yang seakan baru terjadi kemarin. Semua tampak jelas dalam ingatan, bagaimana ia dan Ji-Eun melalui semuanya dengan ceria.
Ia membuka kain putih itu. Seketika lututnya melemas dan tubuhnya merosot ke lantai.
"Ji-Eun .... Kau tidak akan pergi, 'kan? Kau hanya butuh istirahat, 'kan?" Seo-Jun menggenggam jemari adiknya yang kaku dan dingin.
"Tidurlah. Kau pasti sangat lelah dan kakak akan menjagamu di sini sampai kau terbangun. Setelah ini aku akan berhenti dari semuanya, lalu hidup bahagia bersamamu. Tidak ada seorang pun yang boleh membawamu pergi."
-ssi = Akhiran dalam bahasa Korea yang digunakan untuk memanggil orang yang dihormati/ atau lebih tua