“Jadi.. apa lo bisa bantuin gue?”
…
“kalau bukan situasi mendesak, gue gak akan minta bantuan lo kaya gini. Lo liat tadi gimana reaksi Riana, Pai dan Risa kan.”
…
“Iya gue ngerti, tapi please sekali ini aja lo bantuin gue yah.”
…
“Oke, besok gue kabarin lagi. Thanks.”
Sepulang dari mengantarkan Risa pulang ke rumahnya, gue langsung balik ke kosan dan tetap mengecek keadaan dua sahabatku yang lain. Setelah memastikan mereka aman, gue langsung menghubungi kenalan di kampus yang mungkin tau lebih banyak tentang kejadian ini daripada gue.
Semenjak kepindahan Pai ke apartemen itu beberapa hari yang lalu, selalu aja ada kejadian yang aneh. Mungkin bukan aneh tapi lebih tepatnya tidak terduga. Apalagi setelah kejadian Risa kesurupan di kampus hari ini.
Apartemen.
Ya apa hubungannya dengan apartemen itu?
Entahlah, tetapi firasat gue mengatakan ada hubungannya dengan apartemen itu. Tetapi gue belum tau pasti apa dan kenapa. Tetapi yang pasti perkataan Riana saat kami mengantarkan pulang Risa membuatku merasa terusik.
“Gue gak tau ini berhubungan atau engga, tapi lo sadar gak kalau ini semua mulai sehabis Pai pindah ke apartemen itu?” kata Riana sambil menyetir mobilnya. Gue dan Riana mengantarkan Risa pulang dengan memakai mobilnya, dan sekarang dia harus mengantarkan gue lagi ke kampus untuk mengambil motor yang terparkir di sana.
“ Memangnya kenapa sama apartemen si Pai? Lo pikir Pai yang bikin Risa kaya gini?” tanya gue.
“Bukan njir, makanya dengerin dulu napa sih gue ngomong.” Riana memang paling tidak suka jika dia belum selesai ngomong dipotong. “Maksud gue itu, semenjak Pai pindah ke apartemen itu, dia juga dapet gangguan gitu.”
“Gangguan gimana maksud lu? Hantu?” tanya gue lagi.
Emang sih gue bisa dibilang percaya sama hal takhayul macam hantu, dedemit dan semacamnya. Tapi gue juga gak pernah nemuin suatu kejadian yang ada di depan mata gue sendiri. Boro-boro, ngeliat orang kesurupan aja baru tadi si Risa.
“Lo inget gak Riana pernah cerita suara cewek nangis di kamar sebelahnya terus mimpi-mimpi anehnya hari pertama dia tinggal di apartemen itu?” Riana menceritakan lagi apa yang Pai alami ke gue.
“Itu mah kebetulan doang kali, si Pai lagi kecapean abis pindahan.” sanggah gue
“Terus lo bisa jelasin maksud ucapan Risa pas dia kesurupan itu? Yang bilang kalau Pai harus keluar dari tempat itu?” sambung Riana. Dan itu yang ngebuat gue diam dan berpikir untuk mencari alasan yang logis.
Bukan hanya itu, tadi sore sepulang dari kampus juga gue sempat mendapatkan kabar lain lagi dari ibu kost tentang asal-usul tempat itu.
“Ditempat itu mah emang banyak a kejadian anehnya. Da itu teh kan awalnya pemandian tertua disini, belum lagi banyak pohon bambu juga. Sebelum jadi bangunan itu juga, udah banyak kejadian aneh.”
“Aneh gimana bu?”
“Dulu pas awal-awal, para pekerja kan mau ngebersihin wilayah itu, nebang pohon bambu aja susah banget. Sampai-sampai beberapa pekerja mogok gara-gara digangguin dedemit disana. Terus juga dulu ada kecelakaan pas pondasi dibikin. Katanya ada yang roboh dan nimpa rumah warga, atau ada yang meninggal jatuh ke mesin cor semen.”
“Wah masa sih, bu?”
“Iya, katanya sih gitu. Cuman ibu gak tau pasti sih.”
“Terus pihak proyek pembangunannya gimana?” tanya gue penasaran
“Iya gitu, cuman dikasih kompensasi buat keluarga yang mengalami kecelakaan sih ibu denger begitu. Gak tau tuh berapa duit.”
Sepertinya memang besok gue harus cari tau lebih jelas tentang ini, semoga masalah ini hanya kebetulan dan tidak ada sangkut-pautnya dengan apartemen yang ditempati Pai.
★★★
Sejak pagi tadi gue sudah berada di kampus menunggu Pai datang, karena Risa sedang diungsikan ke rumah saudaranya dan Riana juga bilang tidak akan masuk kuliah karena sesuatu hal. Entahlah apa yang terjadi, tetapi saat gue mencoba untuk menghubungi Riana tetapi ia hanya menjawab dengan pesan singkat jika ia tidak bisa datang.
Agak lama gue menunggu di kantin kampus yang tidak terlalu ramai, menikmati asupan kopi pertama di pagi hari, Pai datang menghampiri dan duduk di kursi yang menghadap ke arah gue. Wajahnya berantakan seperti orang yang kurang tidur itu terlihat dari kantong matanya yang lebih gelap dari hari sebelumnya.
“Kenapa lo? Gak bisa tidur?” tanya gue saat melihat ia terus saja menghela nafas.
“Sial banget hidup gue! Siang hari harus mikirin tugas kuliah yang numpuk, eh malamnya malah gak bisa tidur gara-gara digangguin mulu.” Mata gue yang semula terfokus pada tugas akhirnya langsung memandang kearah Pai.
‘Diganggu?’ kata itu yang menarik perhatian gue.
“Diganggu gimana maksudnya?” tanya gue sambil mengeluarkan handphone dari saku. ‘kayaknya sekarang aja ngehubungin si Reihan.’ Pikir gue.
“Gue mimpi lagi. Tapi mimpi yang sekarang jelas banget berasa kayak nyata dan itu mengerikan, gue gak bisa lagi ngebedain yang mana yang mimpi dan yang bukan.” Melihat wajah frustasi Pai gue jadi kasihan banget. Mungkin apa yang dikatakan oleh Riana ada benarnya, Pai adalah orang pertama yang diganggu.
Gue langsung dial nomer Reihan dan gak butuh waktu lama untuk Reihan mengangkat panggilan gue.
“Han, lo dimana?” tanya gue tanpa basa basi.
“…”
“Gue di kantin bareng Pai, lo nyusul aja ya. Di meja biasa. Thanks bro.”
Setelah selesai menghubungi Reihan, fokus gue kembali pada Pai yang kebingungan. Lucu sebenarnya melihat wajahnya yang bingung dan juga terlihat kesal itu, ah gue lupa kalau Pai selalu tidak suka jika diabaikan.
★★★
Reihan Anugrah Ramadhan, pria yang sedang bersiap untuk keluar kelas itu mendapatkan sebuah telepon dari teman angkatannya di komunitas pecinta alam itu. Memang sejak semalam Herman sudah menghubunginya apalagi semenjak kejadian Risa di kampus kemarin.
Dia sebenarnya tidak ingin ikut campur dalam hal ini tetapi ia juga tidak mungkin tidak menolong Herman saat kawannya itu benar-benar meminta tolong untuk teman perempuannya itu.
Dari semalam ia sudah mulai mencari tau kejadian ataupun mungkin beberapa kecurigaan tentang apapun yang berhubungan dengan Risa kerasukan itu. Dan ia bisa tau siapa sebenarnya yang merasuki Risa tempo lalu, tepatnya beberapa orang yang berada di tempat kejadian itu juga mengetahuinya.
‘Gue ke kantin nyusul si Herman sama Pai. Lo ikut juga.’ Reihan mengirimkan pesan pada temannya yang juga adalah senior yang tau bagaimana kejadian yang hampir sama terjadi di kampus itu.
Rian, seniornya dari fakultas Jepang yang juga adalah teman sepermainan Reihan itu sempat memberitahukan Reihan jika kejadian Risa ini sama persis dengan apa yang dialami oleh teman seangkatannya sebelum temannya tersebut meninggal dunia.
Tidak berapa lama iapun sudah sampai di kantin yang dipenuhi oleh mahasiswa lainnya dan ia berjalan menghampiri meja Herman dan Pai. Pai yang terheran-heran dengan kedatangan Reihan ini hanya memandang Herman dengan pandangan bertanya tetapi diacuhkan oleh Herman.
“Duduk, Han. Lo mendingan pesen dulu deh atau makan dulu biar enak ngobrolnya.” Kata Herman sesaat pantat Reihan susah mendarat mulus di kursi panjang itu.
“Baru duduk, Man. Bentar dulu napa, ngaso dulu kek.” kata Pai yang juga kesal mendengar ucapan temannya itu. Yakali baru duduk tapi udah disuruh berdiri lagi.
“Yaelah, Pai. Kan biar sekalian gitu, lo sensi banget sih sama gue padahal ‘kan gue mah ngomongnya sama si Reihan.” kata Herman sok ngambek sama si Pai yang cuma bisa memasang wajah jijiknya ke arah Herman, sedangkan Reihan cuma bisa menganggukkan kepalanya dan beranjak pergi ke dalam kantin untuk memesan makanannya.
“Eh, lo suka ya sama Reihan. Cieee ngaku lo..” tuduh Herman pada Pai sambil memasang wajah yang menurut Pai sangat menyebalkan itu.
“Mingkeeem.. Mingkem lo yah! Awas kalau ngomong ni mulut!” kata Pai sambil meraup mulut temannya itu dengan kesal.
Oh, jangan bilang kalau apa yang dikatakan oleh Herman itu benar?
Sebelum Pai dan Herman melanjutkan pembahasan unfaedah mereka, akhirnya Reihan kembali duduk di kursinya sambil membawa sepiring nasi goreng dan segelas es teh manis. Selama menemani Reihan yang sedang menyantap makan siangnya, mereka bertiga hanya membicarakan masalah ringan seperti tugas kuliah dan semacamnya.
“Si Ikbal bakal datang kesini.” kata Reihan mencoba untuk masuk ke dalam pembahasan inti yang seharusnya mereka bahas sekarang.
“Kak Ikbal?” kata Pai kebingungan.
“Iya, gue udah minta tolong juga sama dia. Siapa tau dia bisa cari tau lagi orang yang dulu nolongin kak Desi.” kata Reihan sambil memandang kedua temannya yang duduk di hadapannya itu.
Desi, mahasiswi fakultas Jepang yang berusia 22 tahun saat ia masih hidup. Ia mendapatkan suatu peristiwa yang tidak disangka bahkan oleh semua orang yang mengenalnya, kejadian yang berawal hampir sama seperti kejadian yang dialami Risa tempo hari. Tetapi karena tidak ada seorangpun yang menganggap apa yang terjadi itu suatu kejadian yang besar, maka mereka hanya mengira jika Desi kerasukan pada hari itu saja. Sampai akhirnya, suatu hari Desi dengan pandangan kosong berjalan menuju arah atas kampus yang mempunyai ketinggian hingga 7 lantai itu. Saat teman-teman seangkatannya ataupun orang lain yang melihatnya berusaha untuk menariknya untuk turun, ia hanya tertawa tetapi sorot matanya seolah meneriakkan ketakutan yang sangat dan itu bisa dilihat oleh semua orang yang berada di tempat itu. Dan hingga akhir pemandangan mengerikan yang menjadi mimpi buruk bagi setiap orang yang berada disana saat mereka melihat tubuh Desi dengan cepat terjun dari lantai 7 hingga membentur lantai 1 yang sedang dijadikan tempat latihan para mahasiswa Theater.
Pemandangan mengerikan yang membuat siapa saja merasakan mual di perut dan sebagian lainnya berteriak histeris saat melihat tubuh tak bernyawa Desi tergeletak di sana, dengan isi kepala yang pecah dan berceceran di sekitar lantai.
Kejadian yang mungkin tidak akan pernah dilupakan oleh seluruh penghuni kampus pada saat ini.
lanjut kak seru.. orang sunda wajib kudu merapat!
Comment on chapter Menilik Tabir