Pagi kembali menyapa. Udara masih begitu sejuk saat itu. Luluk yang sudah sedari tadi datang pagi-pagi ke sekolah begitu kaget melihat pintu kelasnya. Ia selalu menjadi pertama yang tiba di kelas. Kali ini, ia mendapatkan pagi yang berbeda.
“Luk, kamu sudah membaca surat dariku?”
Luluk menoleh ke sumber suara. Leon, seniornya yang begitu populer di sekolah, berdiri di sampingnya. Laki-laki ini yang masih membuatnya berdebar, laki-laki yang disukai banyak orang termasuk Raisa, sahabatnya, yang membuat ia harus menjaga jarak agar peristiwa satu tahun sebelumnya tidak terulang kembali. Kini bisa berdiri di sampingnya dengan senyum tanpa bersalah.
“Iya. Sudah,” jawab Luluk singkat.
“Bagaimana menurutmu, Luk?” tanya Leon dengan ekspresi gugup. Lalu memasang earphone untuk menghilangkan kecanggungan.
Luluk mengangkat bahu sambil menghela napas pelan. Ia menggigit bibir bawahnya dan mengatur emosi, pikiran yang kalut masih menginginkan setidaknya satu menit untuk berpikir. Setidaknya, ia harus mengesampingkan egonya, tidak perlu serakah menjadi pemeran utama. Ia hanya perlu menolak dengan santai. Dan cepat atau lambat, kisah ini akan selesai.
Luluk menghadap Leon di sebelahnya. Laki-laki itu sedang asyik dengan gerakan tubuhnya mengikuti irama musik dari earphonnya. Sesekali ia menyesap minuman susu kalengnya, lalu menawarkan satu kaleng susu bersegel yang di sebelah tangan pada Luluk. “Aku membeli satu lagi. Ini.”
Kaleng susu itu di ambil Luluk. Lalu ia mencari posisi nyaman untuk duduk di sekitar mereka, mengingat sedari tadi mereka hanya berdiri menghadap lapangan di depan kelas Luluk.
“Kak,” gumam Luluk setelah sekali menyesap minumannya.
“Hm..?” Leon melepaskan earphonnya. Sepertinya Leon hanya berpura-pura sedang mendengarkan musik. Nyatanya, ia cepat tanggap ketika di sapa.
Luluk menatap mata Leon. “Kakak kenapa masih ingin berjalan bersamaku?” tanyanya sambil menggigit bibir bawah. Seharusnya pertanyaan itu ia lontarkan dari dulu. Sebelum tahun keduanya dimulai.
Ada raut terkejut di wajah Leon sebelum menjawab pertanyaan Luluk. “Maksudmu?”
Luluk mengembalikan pandangan ke depan, enggan menatap wajah Leon. “Bukannya Kakak sudah tahu kalau aku menolakmu? Kenapa masih mengirimkan ini?” tanya Luluk pelan. Ia tahu pertanyaan itu terkesan tidak sopan, apalagi pada orang yang lebih tua darinya, pada orang yang pernah mengaku menyukainya. Tapi, ia hanya ingin memberikan penegasan pada seniornya itu, supaya tindakannya tidak menyakiti siapa pun, tak terkecuali Raisa, sahabatnya.
Leon berdeham sebelum akhirnya menjawab. “Luk, kamu masih sakit hati pada Sarah, teman sekelasku itu? Aku...”
“Aku tidak bermaksud mengungkit masalah itu lagi,” sela Luluk. “Aku hanya ingin tahu jawabanmu, Kak. Jadi, tolong jawablah” Tegasnya.
Luluk memejamkan mata. Sesuatu telah mengganjal memorinya ketika ia mengingat sebuah kenangan pahit yang begitu ingin dibuangnya jauh-jauh.
“Jadi, kamu yang bernama Luluk Syarif?”
Pertanyaan itu terlontar dari seorang senior dengan tatapan sinis.
Saat itu Luluk hanya mengangguk sebagai jawaban. Lalu, membiarkan perempuan yang tak dikenalnya itu kembali melempar muka masam padanya. Apa salahku?
“Kita perlu bicara,” sahutnya tegas.
Senior yang tak dikenalnya itu membawa Luluk ke sisi pojok gedung sekolah yang sepi. Mata sinis perempuan itu berkobar mengiringi ucapannya yang menyakiti hati Luluk. Semua yang diungkapkan begitu menusuk, seakan lawan bicaranya memiliki hati layaknya batu. Keras dan tidak berperasaan.
Luluk yang murahan!
Dan beberapa kalimat menyakitkan hingga sebuah ayunan tangan hendak menamparnya. Namun, tangan itu tidak mendarat pada wajahnya. Beruntung, Rayyan datang tepat waktu. Tidak. Rayyan datang terlambat karena Luluk sudah lebih dulu dihujani kalimat cercaan.
Tubuhnya tidak terluka pada saat itu. Tapi hatinya? Hanya Luluk dan Tuhan yang tahu.
Leon berdehem. Laki-laki bertubuh tinggi itu tersenyum. Senyum yang menghipnotis untuk perempuan manapun yang melihatnya.
“Luk, kamu tahu kalau aku menyukaimu. Tentu saja aku senang menghabiskan waktu bersamamu.
Aku senang memercayaimu sejak awal sebagai seorang yang bisa berbagi cerita denganku. Harapanku tidak berubah untuk mendapatkan kesempatan darimu,” lanjutnya tanpa ragu.
Luluk menghela napas panjang. “Kalau sejak awal Kakak menganggapku sebagai teman untuk bercerita, kenyataan itu tidak akan berubah. Pikiranku masih sama. Aku tidak bisa memberimu kesempatan.”
“Ah, kamu jahat sekali, Luk.”
“Maaf...”
“Luk...”
“Aku hanya tidak ingin menyakiti hati siapa pun. Maafkan aku, Kak,” tukasnya. “Dan aku tidak ingin diganggu oleh penggemarmu di sekolah. Aku juga ingin lulus dengan baik di sekolah ini.” Sayangnya kalimat terakhir tidak diucapkannya.
Luluk pun bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam kelas.
Leon ingin menyusul. Sayang, langkahnya harus berhenti begitu melihat Rayyan yang baru datang pagi itu menatapnya dengan sorot tajam.
Sial! Rutuknya kesal.
Tak jauh dari mereka, sepasang mata menghangat satu detik kemudian.
***
Begitu sampai di mejanya, Rayyan langsung menghempaskan tubuhnya ke kursi. Dia mencoba menenangkan diri sambil menyandarkan pandangan ke seluruh kelas. Di meja terdepan, dia melihat Andri sedang berbicara dengan Luluk. Sepertinya mereka membicarakan sesuatu yang penting. Entahlah, Rayyan tidak begitu peduli selama teman kecilnya itu masih menghindari Leon, dia akan terus menjaganya. Ya, menjaga Luluk.
Rayyan tersenyum. Luluk benar-benar mempertimbangkan keadaannya saat ini. Ia lebih berhati-hati dalam mengambil setiap keputusan. Tidak seperti dirinya yang dulu begitu ceroboh. Ketika ia kesulitan karena cinta.
Laki-laki paling tersakiti saat momen perpisahan. Bagaimanapun, momen itu juga membentuk laki-laki menjadi dewasa.
Rayyan menghela napas panjang. Tiga hal yang ia kira adalah takdirnya telah menghilang. Mendali emas, Juan dan Luluk.
Rayyan menatap tajam Luluk.
PTAK!
Rayyan mengaduh ketika sebuah buku mendarat hebat di kepalanya. Ia menghentikan sorot tajamnya dan mengaduh.
“Ingin balas dendam?” protes Rayyan.
Luluk tersenyum mengejek, “Apa yang kamu pikirkan?”
“Aku tidak memikirkan apa pun.”
Luluk menatap tajam lawan bicaranya. “Sungguh?”
Rayyan membetulkan posisi duduknya. “Aku sedang melihatmu. Mengapa aku harus berpikir?”
Luluk terdiam.
“Aku berpikir saat aku tak melihatmu.”
“Ray, kamu tahu..”
“Aku tahu.” Tatapan Rayyan melunak. “Aku tahu apa yang akan kamu katakan. Itulah sebabnya aku tahu, yang harus aku katakan padamu menjadi tak berguna.”
Luluk pun beranjak dari tempat duduknya.
“Aku masih menyukaimu.” Rayyan berusaha mencegah Luluk pergi dengan meraih tangannya. Tapi gadis itu sudah lebih dulu pergi.
“Maafkan aku.”
Rayyan menatap pundak Luluk yang semakin menghilang.
Kamu ada di hatiku.
Entah siapa yang ada di hatimu.
Tapi, kamu ada di hatiku.
Entah siapa yang kamu tatap, tapi aku hanya menatapmu.
Kamu tahu itu?
***
“Kamu mau roti, Sa?” tanya Luluk sambil menodorkan kotak bekalnya pada Raisa.
Raisa tersenyum tipis tanpa menatap Luluk. “Terima kasih, tapi aku tak pernah suka dengan roti isi telur,” jawabnya datar.
Luluk menyerngitkan alis. Lalu, ia mengangkat bahu dan kembali dengan makanannya, tak ingin ambil pusing dengan sikap Raisa yang mendadak ketus menanggapinya.
Dalam duduknya, Raisa tak ingin banyak berbuat. Lalu, ia mengambil sehelai roti yang dibelinya sebelum berangkat ke sekolah dan menggigitnya.
“Luluk, apa rencanamu hari ini?” tanya Laras mencoba menghangatkan situasi.
“Aku mau ke ruang Osis untuk mengurus sesuatu sekaligus bertemu dengan Kak Leon,” jawab Luluk di sela mengunyah rotinya. “Kamu sendiri?”
Nama itu lagi! Raisa melirih.
“Hari ini aku dan Mega akan sibuk di ruang musik untuk rekaman soundtrack. Kalau tak keberatan, kamu bisa bantu kami di sana, sekalian untuk bertemu Kak leon. Pasti dia ada di ruang musik terlebih dahulu. Kamu mau kemana setelah ini, Sa?”
Nama itu lagi! Tubuh Raisa seakan ingin mendidih.
“Aku mau ke perpustakaan.” Jawabnya, asal.
Meskipun hatinya diam-diam masih ingin menguntit seniornya itu, tetapi untuk kali ini, otaknya enggan untuk mengingat nama Leon.
“Jadi, Raisa, kamu akan tetap ke perpustakaan sendirian atau ikut Laras ke studio?” tanya Luluk. “Ada Kak Leon, loh.”
“Perpus,” jawab Raisa tak acuh dengan kepala yang tak teralih dari ponsel.
“Kalau begitu, aku akan ikut bersamamu.” Cetus Luluk.
Raisa mengangkat wajah, melihat Luluk di sampingnya dengan mata dipincingkan. Lalu, ia berdecak tanpa peduli ekspresi Luluk yang keheranan.
***
“Bagaimana persiapannya?”
“Oke.”
Bella mendengar suara dan spontan menutup bibirnya.
Suara cempreng itu terdengar samar dari ruang kosong. Bella tidak yakin ia benar mendengarnya. Namun, ketika terdengar tawa, ia perlahan melangkah mundur dan tanpa sengaja menginjak sesuatu yang menimbulkan suara yang cukup keras.
Seketika dua orang gadis dari dalam ruang koson keluar, disusul satu orang lagi yang dikenal sebagai ketua geng. Gadis itu menatap Bella dengan sorot tajam.
"Sudah seberapa jauh kamu mendengarkan rencana kami, Bella Pratiwi?”
***
@yurriansan Terima kasihh. Semangat juga buat kamu yaa :)
Comment on chapter Prolog