Luluk melongokkan kepala ke dalam kelas. Guru matematika belum tiba.
Ia berusaha melihat sekitar sepuluh kepala anak dari belakang. Matanya bergerak ke sana kemari, mencari temannya. Kerumunan sepuluh orang yang saling berpamer merk tas sekolah sangat mengganggu penglihatannya.
“Kamu lihat tasku? Ini dibeli ayahku dari Jerman.” Kata Citra sambil menggoyang-goyangkan punggungnya.
“Eh, tasku juga gak kalah keren, loh,” kali ini Bujur angkat bicara. “Tas ini hanya ada satu dari tiga yang ada di dunia. Keren, bukan?”
Meli dan Rani serempak menyahut. “Yang Bener?”
“Iya!” kata Bujur. “Papaku selalu memilih yang terbaik untukku.”
“Hebaatt..,” seru Lia kagum.
“Papamu memang hebat!” Nadia mengamini.
“Kamu selalu beruntung, ya, Bujur.” Ucap Poppy.
“Aku juga beruntung, loh,” Citra angkat bicara. Matanya melotot.
“Ya, ya. Kamu juga beruntung.” Kata Poppy salah tingkah.
“Bukan Papamu,” ujar Mega, “Maksud aku, TAS-nya beruntung jadi milik kamu. Jadinya ke urus, kan?”
Bujur dan yang lainnya tertawa.
“Berapa harga tasmu, Cit?” tanya Laras.
Citra menoleh lalu menaikkan salah satu ujung bibirnya. “Pastinya, uang jajanmu selama satu tahun tak akan cukup untuk membeli ini.”
“Oh, ya?” kali ini Eka yang angkat bicara, “Ini sih bukan tas sekolah namanya.”
Ah!
Luluk menemukan seseorang yang dari tadi dicarinya.
“Hai,” sapanya.
Raisa yang sibuk dengan bukunya, terkejut dengan kehadiran Luluk. Ia mengangkat wajah dan tersenyum seperti biasa. “Bagaimana kakimu?”
“Tidak terlalu buruk.”
Raisa tertawa. “Tapi, kamu terlihat buruk, Luk.”
Luluk tersenyum pahit. Ia menghela napas kemudian mengeluarkan sebuah amplop dari saku roknya.
“Dari siapa?”
“Kak Leon.”
Raisa tampak menelan ludah. “Apa isinya surat cinta?”
Luluk mengedikkan bahu. “Gak tahu. Belum di buka. Katanya baca di rumah.”
“Ooh.”
Luluk mengerutkan kening. Perasaan jahil menggodanya. “Kamu cemburu?”
Raisa seperti di jerat. “Aku..tentu saja.”
Luluk tertawa, “Aku tahu kamu ingin memukulku karena kejadian tadi, kan?”
Raisa menoleh, “Maksudmu?”
Luluk meraih tangan Raisa. “Sa, seperti kata Laras. Semua orang menyukainya. Akupun juga. Tapi, aku lebih suka kamu daripada Kak Leon.”
“Kamu lebih suka aku? Sungguh?”
“Tentu saja.”
Tak lama, guru matematika pun masuk. Kelas langsung hening.
Luluk menatap guru yang datang.
Mereka memulai kelas dengan perkenalan dengan guru baru di depan kelas. Ini tahun pertamanya di kelas dan juga tahun pertama bagi Luluk dan teman-temannya duduk di kelas sebelas.
Guru itu langsung mulai mengajar.
Tiga puluh menit pertama, Luluk tahan. Tiga puluh menit selanjutnya, ia sudah menguap tujuh belas kali. Matanya berair dan hampir menutup. Ia melihat ke sekeliling kelas dan sepertinya tidak hanya dirinya yang mengantuk di jam siang ini. Teman-temannya yang duduk di bangku belakang sudah banyak yang tidur. Dengan berbagai gaya hingga tidak mencolok, seperti Rayyan yang tidur dengan kepala dimasukkan ke dalam tas.
“Jangan tidur. Berbahaya.” Raisa telah memperingatkan Luluk beberapa kali.
Luluk mengangguk. Ia tahu. Jadi, ia memaksa dirinya bertahan. Ia diam-diam membuka ponsel.
“Kamu.” Suara itu menghentak Luluk. “Ya, kamu, maju bantu saya.”
Luluk menatap tidak mengerti saat Ibu Novi menunjuk dirinya. Matanya terlihat memicing. Ia mengetuk papan tulis dua kali. Memberitahu Luluk mana yang harus dikerjakan.
Luluk menelan ludah. Ia tertangkap basah di pertemuan pertamanya.
***
Bella berpikir sebentar, lalu menyalakan komputer di ruang komputer. Ia mengambil beberapa tumpukan kertas di meja.
“Hei, muka plastik!”
Bella menoleh, “Kamu mau apa?”
“Bantu,” jawab Citra enteng.
“Nggak usah,” tolak Bella. “Aku nggak perlu bantuan! Kamu pulang aja!”
Tiba-tiba Citra membanting tumpukan kertas itu ke atas lantai. Ia mendengus kesal sikap Bella. Dan menginjak kertas yang terjatuh tepat di bawah kakinya.
“Denger, ya!” kata Citra dengan nada tinggi. “Aku nawarin buat bantuin kamu baik-baik. Jadi gini, balasannya?” Ia meraih kerah baju Bella.
“Kubilang, pulang!” Bella berusaha melawan.
Citra menarik kerah baju Bella lebih kuat hingga gadis itu kesulitan bernapas dan memukul pundak gadis itu dengan sekali tepuk.
Wajah Bella memucat, sepertinya dia tidak menyangka akan diberi reaksi seperti itu. Bella menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan diri. Setelah tarikan pada kerahnya melemah, ia mendorong tubuh Citra kuat-kuat dan mengambil lagi tumpukan kertas yang tadi di banting Citra dan pergi.
“HEI!!!” teriak Citra.
Bella tidak menghiraukan. Ia terus berlari tanpa tahu tujuan pasti. Satu menit di dekat Citra seperti sedang berada di dalam neraka.
“Bella?”
Bella menoleh melihat Luluk. Ia berhenti berlari.
“Kamu baik-baik saja?” Tanya Luluk.
Dengan ragu, Bella mengangguk.
Luluk pun membaca ketakutan Bella. “Tulisan di punggung kamu. Tidak ingin di lepaskan?”
Dan saat itu juga, Bella merasa disambar petir. Ia meraba punggungnya dan menarik lepas kertas yang tertemptl di sana.
I’m The Loser. Model hasil Oplas. Mau tanda tanganku?
Wajah Bella merah padam saat membacanya. Ia kembali berlari dengan air mata. Luluk ingin mengejarnya, tapi sebuah suara memanggil namanya.
“Luk?”
Kali ini Luluk menoleh sebal melihat Rayyan yang tersenyum lebar menghampirinya.
“Kenapa senyum-senyum?” tanya Luluk.
Rayyan memiringkan kepalanya menatap luluk dengan sorot tajam. “Apa kali ini aku tidak boleh tersenyum padamu?”
Luluk balas melotot.
“Aku tidak melakukan ini kepada sembarang orang.” Protes Rayyan.
“Aku tidak peduli.” Jawab Luluk tak acuh.
“Astaga.” Rayyan merangkul pundak Luluk yang kecil hingga gadis itu merasa seperti dicekik.
“Kamu sungguh ingin membunuhku sekarang, Ray?” protes Luluk sambil berusaha melepaskan rangkulan Rayyan.
Rayyan melonggarkan rangkulannya tanpa melepaskannya dengan ekspresi cengengesan. “Sedang kupertimbangkan. Ayo pulang. Aku sudah lapar.”
***
Lima menit berlalu, mobil yang dikemudikan Mama Mega sudah melesat di jalanan.
“Kamu sudah makan?” tanya Mama Mega
“Sudah.” Jawab Mega pendek.
“Baguslah. Bagaimana sekolah hari ini?”
“Lumayan.”
“Nilai-nilaimu? Ada latihan atau ujian hari ini?”
Mega menoleh. “Ma, ini bahkan masih hari kedua, bagaimana bisa sudah ada latihan ataupun ujian sedekat ini?”
“Begitu.” Mama Mega menarik napas. “Itu bagus untukmu.”
“Aku tahu.”
“Kamu akan membanggakan Mama sama seperti kedua kakakmu, kan?”
Mega mengangguk, “Tentu saja.”
Mama Mega mengacak rambut anaknya.
***
Leon menghempaskan diri ke sandaran kursi panjang dengan mimik yang terlihat putus asa.
“Sudah kubilang. Jangan libatkan aku dalam masalah ini.”
“Jadi, kamu tidak ingin membantuku?”
Rayyan menggeleng tegas.
“Ayolahh..”
“Dengar.” Rayyan mencondongkan tubuhnya. “Kamu pasti tahu Luluk dan aku sudah berteman sangat lama.”
“Lalu?”
Leon menatap tajam kearah Rayyan.
***
@yurriansan Terima kasihh. Semangat juga buat kamu yaa :)
Comment on chapter Prolog