“Sesuatu yang terlihat dekat, belum tentu sedekat itu. Boleh jadi, jaraknya jauh dan sangat menyedihkan. Kita merasa dekat, tapi nyatanya tidak.
Coba lihat hari Minggu dan Senin. Dekat dua hari ini? Nggak. Jarak Minggu ke Senin memang cuma sehari, besoknya. Nempel. Tapi jarak Senin ke Minggu? Jauh. Apalagi 31 Desember dan 1 Januari, si ‘31 Desember’ sih merasa dekat, tapi kalau dilihat dari 1 Januari ke 31 Desember, jaraknya jauh banget.”
Luluk menutup bukunya.
Kedua tangannya menyembunyikan buku tulisnya ke dalam saku jaketnya, sementara wajahnya menampilkan ekspresi fokus dengan bibir yang melengkungkan sedikit senyum. Ia tidak peduli pada terik matahari yang ikut bersemangat menyinarinya siang ini. Ia sudah menyiasati dengan duduk di pojok yang terlindung dari sinar matahari oleh pohon besar.
Getar ponsel menghampiri saku rok abu-abu-nya di tengah-tengah diskusi. Luluk merogoh saku dan matanya membelalak ketika mengetahui siapa yang menelepon siang-siang begini. Ia membungkuk, lalu meletakkan telapak tangannya di dekat ponsel.
“Halo, selamat siang, Pak!” ucapnya dengan nada pelan.
“Kamu dimana Luluk? Bisa kita bertemu sekarang?” sahut seseorang dari seberang sana dengan nada sedikit tinggi. “Ada hal penting yang harus saya bicarakan!” lugasnya yang terdengar kesulitan menangkap suara Luluk.
“Saya..saya berada di sekolah. Ada rapat OSIS di sekolah, Pak. Maaf kalau suara saya terdengar berbisik. Kita bertemu di mana, Pak?” ucapnya sambil memutar otak untuk berbohong. Ia menggigit bibir sambil berdoa semoga rapat OSIS yang panjang ini segera selesai.
Orang di seberang jalan menyebutkan tempat untuk mereka bertemu. Luluk bergumam sejenak, kemudian menyanggupi. Hubungan telepon mereka terputus dan Luluk kembali memasukkan ponsel ke dalam kantong sambil mengacak-acak rambut hitam panjangnya yang terurai lurus. Ini benar-benar menyebalkan. Ia harus meninggalkan rapat OSIS dan menuju kedai teh untuk bertemu orang yang meneleponnya tadi, Pak Agus, laki-laki separuh baya yang menjadi bos tempatnya bekerja paruh waktu. Ia tahu persis sifat bosnya yang tak suka pada siapa pun yang terlambat atas perintahnya. Apalagi karena alasan yang menurutnya sepele, padahal, Luluk susah payah meraih posisinya dalam organisasi ini. Lalu apa yang harus ia lakukan? Rapat belum selesai dan ia harus secepat mungkin sampai di kedai agar tidak di pecat dari pekerjaannya.
Luluk mendesah panjang.
“Jadi, MOS yang akan kita adakan ini harus sesuai dengan prosedur yang sudah di tetapkan dari sekolah. Tidak ada yang namanya kekerasan.” Mega Ningtyas, Ketua OSIS, sedang menyimpulkan hasil rapat kegiatan MOS tiga hari kedepan. Ia mengetuk spidol yang dipegangnya ke papas tulis kecil di bawah pohon. Lalu menatap Wakil Ketua OSIS dengan alis terangkat. “Begitu, Ndri?”
“Betul!” tukas Andri sambil mengangguk. “Jadi, ada yang punya saran atau pendapat untuk kegiatan MOS kita kali ini?”
Seorang gadis berambut keriting mengangkat tangan. Diikuti oleh laki-laki berkacata-mata. Kemudian disusul oleh gadis berwajah pucat. Dan disusul lagi oleh gadis centil di sebelah Luluk, namanya Raisa. Seketika Luluk melotot kepada sahabatnya, Raisa.
“Apa yang kamu lakukan, Sa?” tanya Luluk dengan nada kesal.
“Aku hanya ingin menyampaikan pendapat, Luk.” Ucapnya polos.
“Astaga. Bahkan sahabatku sendiri pun tidak mendukungku.” Keluh Luluk sambil menunjuk ke arah jam dinding.
“Aku selalu mendukungmu, Luk.” Balas Raisa, santai.
“Lalu, ini apa?” tanya Luluk sambil menunjuk tangan Raisa yang masih diangkat.
“Aku hanya ingin menyempaikan pendapat, Luk,” ulang Raisa. “Apa aku salah?”
Luluk mendekatkan wajahnya ke telinga Raisa. “Aku harus pergi ke kedai. Bos memanggilku. Bagaimana aku bisa menemuinya kalau rapat ini tidak selesai-selesai dari tadi.”
“Kamu bisa minta izin, Luk.” Cetus Raisa.
Mega membetulkan letak kacamata dan melihat jeli temannya yang sedang berbisik.
“Hei, kalian yang sedang berbisik di ujung sana!” teriak Mega sambil menunjuk ke arah Luluk dan Raisa. “Jangan ada forum di dalam forum. Apa yang kalian bicarakan?”
“Luluk mau izin pulang duluan, Meg.” Jawab Raisa.
“Oh ya, apakah begitu penting?” Mega menjentikkan jarinya.
Luluk mengangguk sambil mengeluarkan ponsel. “Aku ada urusan penting di luar.”
“Wow, urusan penting?” seorang laki-laki yang duduk di samping Mega menyela dengan nada agresif. “Sepenting apa urusanmu, Luk? Kamu melupakan sumpahmu sebelum menjadi bagian dari organisasi ini?”
“Aku masih mengingatnya,” jawab Luluk diplomatis sambil menaikkan ujung bibirnya. Ia kembali menghadapkan kepalanya pada Mega untuk meminta persetujuan.
“Kita diajarkan untuk mengesampingkan urusan pribadi kita dan harus mendahulukan kepentingan umum. Artinya kita disuruh untuk melupakan masalah atau keperluan diri kita, kemudian kita dahulukan segala sesuatu yang berkaitan dengan orang lain. Itulah hal yang sewajarnya jika kita tinggal di negara ini. Itu jawaban yang kamu berikan saat sesi wawancara.” Ucap Mega sebagai jawaban atas tatapan Luluk padanya.
Luluk dan Mega saling berpandangan.
“Tidak semua menganggap kepentingan orang lain harus didahulukan. Tapi alangkah lebih baik karena hal itu perlu dilakukan. Rasanya mendahulukan kepentingan umum tak selamanya hal itu mudah untuk dilakukan. Di saat-saat tertentu pasti kita pernah dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama berat. Harus memilih antara kepentingan orang banyak atau kepentingan diri kita sendiri yang juga tidak kalah genting.” Seorang laki-laki mengerutkan kening. “Saat wawancara, aku menambahkan kalimat itu, Meg.” Tambahnya.
“Betul! Rayyan mengatakan itu saat wawancara.” Tukas Ali sambil membenarkan.
Di tempatnya, Mega Ningtyas sedang berusaha memendam emosi yang hampir meluap, kalau ia sendiri tidak ingat bahwa ada banyak orang yang duduk di hadapannya saat ini, sudah pasti gadis itu telah memasang kuda-kuda pada Rayyan yang membuat suasana semakin panas.
“Kenapa tiba-tiba jadi berpindah topik?” suara seorang laki-laki mencairkan suasana panas diantara sesama anggota Rapat.
“Ah, itu...” Mega berusaha mengembalikan topik.
Laki-laki itu menghampiri Mega dan menjabat tangannya. Ia tersenyum sambil berusaha mencuri-curi pandang pada orang yang hadir dalam rapat. Alisnya menyatu dan bibirnya terbuka lebar ketika menemukan seseorang. Ah, dia ada di sana.
“Kalian tidak perlu bertengkar untuk masalah ini,” tuturnya. “Sebagai seorang yang sudah berpengalaman, aku ingin mengatakan ini. Menyeimbangkan dua kepentingan ini memang tidak mudah. Jika ingin menjadi orang yang ramah maka dahulukan kepentingan umum. Jika ingin menjadi orang yang tidak peduli, dahulukan kepentingan pribadi. Pilihan selanjutnya tergantung pada pribadi masing-masing.”
Luluk mengangkat sebelah alisnya. Sementara itu, Raisa sudah fokus menatap senior di depannya.
“Ya ampun, Luk, itu Kak Leon. Aduh, aduhhh, ganteng bangettt....,” yang kemudian akan diakhiri dengan cubitan tak jelas pada Luluk, hanya seorang Raisa yang selalu melakukannya ketika bertemu seseorang yang dipandangnya ganteng.
Luluk sendiri sudah lama maklum. Tidak mengeluh. Sejak Raisa mulai tertarik dengan film drama korea, ia memang selalu nge-fans berat kepada siapa pun yang dipandangnya ganteng. Waktu itu, ia masih duduk di kelas sepuluh, dan Raisa sudah terlalu sering mencubit lengannya setiap bertemu dengan Kak Leon.
Sementara itu, mata Leon dan Rayyan bertemu.
***
Suara dengusan terdengar lagi dari Mega. Kali ini disusul dengan bunyi decakan dan mimik muka yang masam. Suasana kantin sekolah yang saat ini sudah sepi karena aktivitas ekskul untuk persiapan tampil pada saat MOS di hari ketiga, sudah selesai dua jam yang lalu menambah rasa jengkel yang menggerogoti pikirannya. Mega berdecak lagi. Seakan-akan tidak ingat bahwa apa yang ia lakukan itu terlalu sering selama satu jam terakhir.
“Masih sebal pada Kak Leon?” Laras yang duduk di depan Mega akhirnya membuka suara. Ia menyeruput sebotol green tea dingin sambil menunggu jawaban yang ditanya.
Mega mendesah keras. “Bukan, aku hanya khawatir. Ini hari ketiga kita rapat dan sampai sekarang masih ada beberapa kesepakatan yang belum pas. Padahal besok, MOS sudah dimulai. Seandainya persiapan kita lakukan di jauh hari sebelumnya, mungkin hasilnya akan...”
“Berbeda? Berhasil?” sergah Laras. “Jaminan apa yang bisa kamu janjikan setelah kami lebih banyak menghabiskan waktu libur dengan rapat?” lanjutnya, kembali menghujani tanya. “Sudahlah, kamu tahu sendiri teman-teman kita gimana. Mau selama apa pun kita ngadain rapat, hasilnya akan tetap sama. Dan yang terpenting, acara kita sukses.”
Sayangnya, kalimat Laras masih membuat wajah Mega tertekuk. “Tapi, setidaknya kita mencoba untuk melakukannya, bukan?”
“Jadi, kamu ingin memutar ulang waktu?”
Mega mengangkat bahu. Ia merebut botol minum green tea di tangan Laras dan meneguknya sekali. Kesekian detik kemudian ia kembali menghadap Laras.
“Kenapa? Ada yang salah?”
Laras menghembuskan napas pendek. “Kamu selalu membahas masalah umum denganku. Bagaimana dengan masalah pribadimu sendiri, Meg?”
Mega masih diam dalam duduknya. Pikirannya masih menampilkan kejadian rapat OSIS tadi. Bodoh sekali, mengapa ia begitu terbawa suasana.
Laras membuka suara lagi. “Nah, menurutmu, nanti kita bakal sekelas atauu...?”
“Sebentar!” Mega menyela kalimat tanya Laras yang belum terselesaikan. Tadi, matanya sempat menangkap sosok yang begitu dikenal sedang berjalan membeli sesuatu di kantin yang masih terbuka. Lalu ketika sosok itu hendak keluar, mata Mega yang masih mengekorinya tak ingin kehilangan arah. Mau pergi ke mana orang itu?
“Kalau kamu mau pulang duluan, silahkan. Aku mau pergi dulu.”
Laras juga mengikuti penglihatan Mega, melengos sebal. Jelas saja ia tahu bahwa Mega akan membuntuti Kak Leon begitu ia menemukannya. Temannya selalu terobsesi dengan point. Tidak sopan. Bahkan Mega yang mendadak pergi itu tidak membiarkan dirinya menyelesaikan kalimatnya tadi.
Nah, menurutmu, siapa yang mau berteman dengan orang secuek kamu, Meg. Kapan kamu mau memandangku sebagai sahabat daripada rekan organisasi? batin Laras.
***
“Luluk Syarif.” Laki-laki separuh baya itu bersuara lagi. Pelan. Namun, sempat membuat Luluk terperanjat di tempatnya. “Saya memergokimu. Kenapa kamu memperhatikan saya seperti itu?”
Telak!
Luluk menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. Ia masih ingat betul tanggapan teman-teman kerjanya tentang Pak Agus. Kalau Pak Agus marah, maka suasana akan kacau dan ia sendiri tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya. Dan sialnya, ia ketahuan memperhatikan gerak-gerik Pak Agus sebagai bentuk perlindungan ketika Pak Agus akan memarahinya karena datang terlambat.
Tetapi, Pak Agus tersenyum tipis. Ia mengambil minuman di kulkas dan duduk di salah satu kursi.
“Duduklah.” Ia mempersilahkan Luluk yang sedari tadi berdiri untuk duduk. “Tenang saja, saya tidak marah padamu karena datang terlambat.”
Mata Luluk berbinar begitu Pak Agus menyelesaikan kalimatnya. “Terima kasih, Pak. Selanjutnya, tidak akan saya ulangi.” Ia menghembuskan napas lega. Ternyata ketakutannya tadi sangat berlebihan.
“Hanya untuk hari ini, Nak.”
Luluk mengangguk.
“Luluk, saya ingin memberikan sebuah tanggung jawab besar padamu, Nak. Kamu dan Nathan akan saya beri ini.” Ucapnya sambil memberikan sebuah kunci.
Luluk menatap bingung kunci yang diberikan Pak Agus padanya.
“Kamu akan mengurus salah satu cabang kedai teh milik saya bersama Nathan. Kali ini, kamu bisa mengatur jadwal kerjamu sesuai waktu luangmu bersama Nathan.”
Mata Luluk terbelalak, bibirnya terbuka, wajah polosnya terpancar. “Sungguh, suatu kehormatan, Pak. Terima kasih.” Ucapnya kemudian.
Tepat saat itu, Nathan tiba. Seperti bersekongkol dengan kunci di genggaman tangannya untuk menyelamatkan kesadaran Luluk akibat rasa senangnya.
***
Leon baru akan beranjak pulang setelah mengikuti kegiatan les bersama teman-temannya. Ketika ia menyusuri lapangan parkir, ia melihat seseorang yang dikenalnya tertidur dengan sebuah kopi kotak di depan mini market.
Pukul sepuluh malam, dia melirik jam tangannya. Siapa yang nekat tidur sendirian pukul segini di luar?
Leon duduk di hadapan gadis itu. Matanya terus mengawasi.
“Cari masalah nih.” Cetus Leon. Ia pun beranjak dari tempat duduknya hendak membeli kopi kotak juga untuk menemaninya menunggui gadis itu hingga terbangun.
Tak lama, setelah melakukan transaksi dengan kasir mini market, gadis itu menghilang.
“Eh, kemana Luluk?”
Ia pun mengamati sekitar berusaha menangkap sosok gadis berseragam merah dengan topi mungil di kepalanya. Tiba-tiba matanya menangkap tubuh gadis yang dicarinya sedang digendong oleh seorang laki-laki. Siapa laki-laki itu? batin Leon.
“Kenapa aku tiba-tiba ingin beli kopi? Ah, sepertinya aku sudah gila.” Gumam Leon setelah matanya menemukan yang di cari.
Leon pun menghampiri sepeda motornya dan melaju meninggalkan lapangan parkir dengan perasaan campur aduk.
Di arah yang berlawanan, Aban menggerutu sebal sambil menggendong Kakaknya. “Bangun, dong, Luk. Mentang-mentang punya badan kecil, seenaknya pulang minta di gendong!”
***
Waktu telah menginjak pukul 08.00 ketika Leon menangkap sosok Rayyan. Setelah keluar dari pintu mobil hitam miliknya, laki-laki itu berjalan menunduk, bersembunyi di belakang tiang, lalu berlari-lari kecil menuju pohon terdekat seakan yakin pohon kecil itu mampu menyembunyikan tubuhnya.
Dari depan pintu gerbang sekolah, Leon tersenyum. Bahkan dari jarak jauh saja, ia sudah dapat mengendus rencana adik kelasnya. Laki-laki itu pasti tahu kalau saat ini teman-temannya sedang melaksanakan sarapan pagi di lapangan belakang sekolah. Rayyan pasti berencana untuk masuk sekolah melalui tembok kantin belakang. Dari situ, ia bisa melenggang santai masuk kedalam rombongan siswa-siswa baru, selamat dari hukuman apa pun. Tidak. Leon tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Leon tersenyum tipis dan berjalan perlahan mendekati Rayyan. Ia menempel di dinding dan menunggu adik kelasnya itu muncul.
Satu... dua...
“Selamat pagi, Rayyan!”
Rayyan nyaris menjerit begitu melihat Leon yang menempel di dinding kantin.
“Eh, Leon!”
Leon melotot, “Panggil aku dengan sebutan kakak, kamu masih ingat peraturannya, Ray?”
“Usia kita hanya terpaut satu tahun. Kenapa harus kupanggil dengan sebutan Kakak?”
Leon melotot, sedangkan Rayyan membalas dengan tersenyum santai.
“Terlambat lagi, Ray?” sapa Leon, kali ini dengan nada santai.
Rayyan meringis. “Aku tidak terlambat.”
“Terus, kenapa baru datang?”
Rayyan meringis. “Hah, kamu saja yang datangnya terlalu cepat.”
Leon mengangkat sebelah alisnya. “Aku datang terlalu cepat?”
Rayyan membuat jeda sebentar. Kemudian setangah mata Leon mendelik. “Apaan?”
“Itu, bubur kacang ijo.” Rayyan menunjuk ke arah tiga orang temannya yang sedang menuangkan beberapa sendok bubur kacang hijau ke dalam mangkuk plastik. “Aku harus segera ke sana sebelum kehabisan.”
Leon mengalihkan perhatian kepada tiga orang adik kelasnya yang sedang sibuk menuangkan bubur kacang hijau ke dalam mangkuk. Alisnya lagi-lagi menyatu dan bibirnya terbuka lebar ketika menemukan seseorang. Ah, dia ada di sana juga.
Rayyan pun meninggalkan Leon yang masih diam di tempat.
Luluk menyimpulkan senyum. Ia yang bertugas membagikan sarapan panitia MOS pagi ini menuangkan beberapa sendok bubur kacang hijau ke dalam magkuk plastik yang kosong, mendadak menghentikan menuangkan bubur dan menoleh pada Rayyan. “Berusahalah untuk bangun pagi agar tidak terlambat. Buburnya hampir dingin”
Rayyan menghentikan gerakan tangannya saat ingin mengambil sebuah mangkuk yang belum ber-tuan. “Kamu sedang memberi nasihat padaku, atau sedang memperhatikanku?”
“Aku... apa?” Luluk membelalak. “Aku melakukan hal yang sama pada semua panitia.”
“Benarkah? Padahal aku mengharapkan kamu berkata ‘iya’.”
Luluk memicingkan mata. Sebuah tanda tanya tergambar jelas di wajahnya.
Rayyan menyeringai. Kedua tangannya sudah menggenggam semangkuk bubur. “Tidak. Oh sudahlah, aku akan menaati nasihatmu, Luluk Syarif.”
Luluk menatap Rayyan dengan kesal. Ia membalikkan badan dan enggan menatap laki-laki itu lagi.
Sebuah senyum menghiasi wajah Rayyan saat matanya menangkap gerak-gerik Luluk. Kemudian ia menyendok bubur ke dalam mulut setelah mendapatkan tempat duduk yang nyaman.
Ia menatap Leon yang bergegas menyusul Luluk. Kemudian beralih mendelik ke arah Luluk yang dibalasnya dengan tatapan melotot seolah berkata “Apa lo lihat-lihat?”
***
@yurriansan Terima kasihh. Semangat juga buat kamu yaa :)
Comment on chapter Prolog