ENDING [NANA]
Aku tak pernah berharap mempunyai orangtua seperti yang dimiliki kebanyakan orang. Aku menjalani hidupku dengan begitu ceria meskipun tanpa Ibu. Aku bangga dengan Ayahku yang selalu ada buatku. Sejak lahir aku kehilangan Ibu namun kasih sayang seorang Ibu masih tetap bisa kurasakan seperti anak lainnya meskipun Ibuku hanya datang di waktu tertentu di tiap tahunnya.
Dari kecil aku mengerti bahwa dia adalah Ibuku. Aku bahkan mengerti jika hanya aku yang dapat melihatnya. Meskipun tak ada yang menjelaskan namun entah mengapa aku paham dan menjadikan semua itu sebagai rahasia antara aku dan Ibuku.
Setelah usiaku lima tahun, aku bisa mengingat dan merekam kejadian dengan jelas. Sejak waktu itu aku bisa berkomunikasi dengan Ibu dan diwaktu usiaku hampir genap tujuh tahun Ibu datang disaat hari pertama aku masuk sekolah. Pagi itu disaat aku diantar oleh Ayahku ke sekolah, Ibu juga ikut dan tentu saja Ayah tak dapat melihatnya.
Pada hari itu juga untuk pertama kalinya aku melihat seorang wanita yang bernama Fina di sebuah lokasi di dekat halte. Aku ingat disaat jam makan siang disebuah warung aku kembali bertemu dengannya. Ibu mengarahkan aku untuk berkenalan dan berbicara dengannya. Sejak hari itu kami saling mengenal dan akrab. Bagiku seorang Fina begitu baik dan ceria, kami merasa ada kecocokan. Aku merasa nyaman saat dengannya, rasanya seperti saat bersama Ibu, aku bebas bercerita apapun dengannya bahkan hingga saat ini.
Ibu selalu bercerita padaku tentang kasih sayang seorang Ibu. Tak pernah sekalipun ia bercerita buruk tentang seorang Ibu meskipun itu tentang Ibu tiri. Sering Ibu memancing dengan pertanyaan bagaimana jika Ayah akan menikah lagi? Dalam hatiku yang paling dalam aku tak pernah menginginkannya bagiku tak ada yang bisa menggantikan Ibu. Namun itu berbeda setelah seiring berjalannya waktu, aku perlahan mulai bisa menerima apalagi itu adalah Kak Fina, dia memang seperti seorang kakak sekaligus Ibu bagiku.
Di hari ulangtahun ku, Kak Fina dan Ayahku terlihat semakin akrab. Setiap yang ku alami dan yang ku lihat selalu ku ceritakan kepada Ibu jika ada kesempatan buat kami berdua. Ibu selalu meyakinkanku untuk bisa menerima Fina sebagai Ibu disuatu saat nanti. Di hari ulangtahunku itu seharian kami bersama di rumah, bahkan Kak Fina tertidur di kamarku di sore itu. Kemudian di malam hari kami mengantarkan Kak Fina pulang ke rumahnya. Di rumah Kak Fina kami diajak untuk masuk, Ayahku dan kedua orangtua Kak Fina juga tampak akrab. Disitulah seolah aku ikut merasakan perasaan Ayahku. Hatiku sepakat untuk membuat Ayah dan Kak Fina semakin dekat, tentu saja dengan bantuan Ibuku.
Hingga akhirnya tak butuh waktu lama mereka semakin dekat dan akrab. Meski tak begitu banyak yang ku ketahui tentang hubungan mereka diluar sana namun terkadang Ibu menceritakannya dengan versi yang mudah dipahami seorang anak yang berumur tujuh tahun.
Memang tak begitu lama akhirnya Ayahku dan Kak Fina menikah. Awalnya aku begitu bersedih karena merasa takkan pernah lagi bisa bertemu dan sedekat ini dengan Ibuku. Namun lagi-lagi Ibu meyakinkanku dengan bahasa yang lembut dan lagi-lagi aku bisa menerimanya dengan senang hati.
Kini setelah sepuluh tahun berlalu aku tak pernah lagi bertemu dengan Ibuku. Jujur kukatakan aku merindukannya dan ingin memeluknya.
"Nana... Buka pintu ada tamu nak..." Teriak Kak Fina ehh sekarang aku memanggilnya dengan sebutan Bunda karena adikku juga memanggilnya dengan sebutan Bunda.
Oh iya sekarang aku mempunyai adik yang namanya Afifah, ia sudah berumur delapan tahun, anak yang cantik dan sangat hiperaktif.
"Iya Bundaa..." Aku berlari membuka pintu.
Setelah kubuka pintu itu tampak seorang pria yang tampan yang umurnya mungkin sedikit lebih tua dariku.
"Silahkan masuk Kak." Aku mengajaknya masuk.
Kemudian ia pun masuk dan duduk di kursi.
"Maaf kak, mau ketemu Ayah atau Bunda?" Tanyaku.
"Aku hanya seorang mahasiswa yang ingin menyelesaikan studi, boleh aku minta waktunya untuk menjawab beberapa pertanyaanku?" Tanya mahasiswa itu.
"Hmm... Baiklah..." Jawabku.
"Oke, aku ingin bertanya tentang seorang Ibu. Apa yang kamu rasakan dengan Ibumu saat ini?"
"Saat ini aku merasa bahagia dengan seorang Ibu. Seja kecil aku tidak mempunyai Ibu namun saat ini aku sudah punya Ibu meskipun bukan Ibu kandung namun aku sangat menyayanginya begitu pun dengannya. Kami saling menyayangi layaknya Ibu dan anak." Jawabku.
Setelah beberapa pertanyaan tentang Ibu telah ku jawab, mahasiswa itu seolah memberi kata bijak mengenai Ibu.
"Ibu terbaik itu banyak namun hanya ada satu yang terbaik diantara semuanya. Menjadi anak yang patuh, tidak pernah menyakiti perasaan orang lain, itulah yang paling diinginkan seorang Ibu. Baik itu Ibu yang telah pergi untuk selamanya maupun Ibu yang ada saat ini untuk kamu, mereka adalah seseorang yang akan selalu ada ketika orang lain meninggalkan kita. Doakan dia yang telah tiada dan sayangilah dia selagi masih ada." Kata mahasiswa tampan itu.
Kemudian ia melanjutkan, "Berbuat baiklah kepada siapa saja, jangan lupa atau telat makan karena untuk menghadapi hari kamu harus sehat, ingat jangan pernah mengganggu hubungan atau kehidupan orang lain, tetap sabar terhadap segala ujian hidup dan kamu harus selalu ingat bahwa seorang Ibu akan selalu mendoakan anaknya, tidak ada istilah mantan anak ataupun mantan Ibu sekalipun kalian sudah terpisah dunia. Itulah pesan dari Ibumu Hanifa. Ia sangat mencintaimu." Ucap mahasiswa itu sambil menatapku tersenyum.
Kemudian ia berdiri bermaksud pamit dan pergi.
"Maksudmu Ibuku? Darimana kamu tau jika Ibuku adalah Hanifa? Siapa kamu sebenarnya?" Tanyaku yang mengikutinya ke arah pintu.
Ia kemudian berbalik dan tersenyum. "Aku adalah Raihan." Ucapnya.
"Siapa disana nak?" Teriak Bunda yang ada di belakangku.
Aku berbalik menatap ke belakang kemudian kembali menatap ke depan. Raihan pun tiba-tiba menghilang.
"Bukan siapa-siapa Bun... Hanya seorang mahasiswa yang ingin survey." Jawabku yang merahasiakan pertemuan tadi.
Aku tak menyangka bisa bertemu dengan seseorang yang selama ini yang hanya ku dengar kisahnya dari Bunda. Aku tetap percaya jika Ibuku Hanifa masih tetap melihatku dan masih tetap menyayangiku seperti dulu.
Ibu... sekarang aku sudah besar. Semua harapan Ibu untuk bisa melihat aku dan Ayah bahagia kini sudah terwujud. Lihatlah Ayah yang ada di hadapanku ia begitu ceria bersama Bunda dan Afifah. Ibu harus tau nama Afifah itu sengaja mereka berikan agak mirip dengan Ibu supaya kami takkan pernah lupa dengan Ibu. Ibuu... Aku menangis lagi... Aku sangat bahagia, aku mencintai Ayah, Ibu, Bunda dan Adik Afifa. Aku menyayangi kalian semua.
@Rifad ohh, oke...oke
Comment on chapter FINA [DUA]sama ya, dengan ceritaku yang Rahasia Toni, tokokhku juga terserang leukimia.
mampir2 juga ya, ke cerita terbaruku :D