Loading...
Logo TinLit
Read Story - Me and a Piece of Memories
MENU
About Us  

Aku tidak pernah bosan jika harus berada di ruangan ini selama seharian. Berbaring dan menatap keluar jendela.

Dalam ruanganku ada sebuah vas berwarna biru transparan dan setangkai bunga segar yang selalu diganti setiap harinya. Di sampingnya, ada sebuah jam weker—yang tidak pernah berbunyi untuk membangunkan siapapun. Lalu ada beberapa pucuk surat dan juga selalu ada benda itu. Sebuah bingkai foto.

Apa yang aku lakukan? Yah, aku suka menulis. Oleh karena itu, ranjangku pasti akan penuh dengan kertas tulisan dan coretanku. Saat Ibu masuk, dia pasti akan melipat tangan di dada dan berdiri di ambang pintu. Tentu saja, yang dia lihat adalah sebuah ruangan yang berantakan.

Aku akan meminta maaf sambil tersenyum nakal. Setelah itu Ibu akan menggelengkan kepala pelan.

 “Apa hari ini dia akan datang?” tanya Ibuku ketika pandangannya menatap keluar jendela.

“Jika sudah selesai urusannya, dia pasti akan segera melesat kemari dan membuka pintu itu dengan keras. Seperti-”

 “Luna, aku datang lho!” Panjang umur. Selalu membuka pintu dengan keras dan membuat sedikit kerIbutan. Ya, sedikit.

“Yah, seperti itu. Lihatkan,” lanjutku. Aku terkekeh.

“Karin, sudah lama sekali. Kau masih penuh semangat seperti biasa ya.” Dan itu tanggapan dari Ibuku.

“Tante!” Karin memeluk Ibuku dengan erat. “Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan Tante. Setiap kali ke sini Luna bilang Tante sedang keluar.”

Karin mulai bermanja-manja dengan Ibuku. Kurasa itulah yang membuat kami selalu merindukan kehadirannya. Dia selalu bisa merubah suasana menjadi lebih menyenangkan.

“Luna, ayo kita pergi ke taman,” ajaknya. Aku mengangguk dan segera meraih jaket yang menggantung di sudut ranjang. Karin menungguku di luar ruangan.

“Ibu, aku pergi dulu ya,” pamitku.

***

Seperti hari lainnya—saat Karin datang—kami akan berjalan-jalan ke taman. Walau penuh dengan orang, tempat ini selalu membuatku tenang. Di tengah taman ada sebuah pohon besar, lalu ada kursi taman berwarna coklat mengkilap yang berada tepat di bawahnya. Aku dan Karin menjadikan tempat itu sebagai tempat favorit kami.

Aku duduk, meregangkan tubuh dan ototku yang kaku karena bergulat dengan kertas dan pena hampir setiap harinya. Pergi keluar memang bisa merilekskan tubuh ini. Dan aku selalu senang saat Karin mengajakku keluar.

“Hah, aku harus mencari inspirasi baru untuk karyaku,” desah Karin.

“Semangat!” kataku seraya menopang dagu dan melirik ke arahnya.

Aku dan Karin adalah teman SMA. Karin punya hobi melukis dan dia punya bakat menjadi seorang seniman. Dulu aku sering melukis dengannya karena hobi kami sama, tapi setelah lulus SMA kami berjalan di jalan yang berbeda. Jika aku punya pena dan kertas yang selalu menemani, dia punya kuas dan cat air.

Ada sebuah sanggar melukis yang letaknya tidak jauh dari sini. Itulah sebabnya dia selalu datang setelah selesai.

“Mereka ceria sekali ya,” kata Karin saat beberapa anak kecil berlarian tak jauh dari pandangan kami. Kali ini dia menopang dagu sama sepertiku.

“Kau benar,” jawabku. Lalu kami mulai terdiam dan tenggelam dalam lamunan masing-masing.

Aku bisa mendengarnya. Suara angin yang menerpa. Suara gemerisik dedaunan di atas kami. Tawa anak-anak yang bermain. Bahkan suara orang-orang yang bercakap. Semuanya menjadi satu dalam suasana saat ini. Hanya duduk di sini kenapa bisa membuatku tenang ya?

“Sudah hampir satu tahun,” kata Karin tiba-tiba. “Kita masih saling berhubugan kan?”

“Aku masih berhubungan dengan Mira. Kadang-kadang dia menghubungiku juga,” sedikti jeda. “Menjadi anak kuliahan pasti sibuk.”

“Itu pasti. Tapi, yang lebih sibuk mungkin Silvi. Apa dia masih sulit dihubungi?”

Aku mengangguk. “Terakhir kita bertemu di hari pernikahannya.”

“Yang penting kita tidak kehilangan kontak dengan semuanya.”

Itu benar. Memang dulu kami semua selalu berkumpul bersama. Namun setelah itu kami pasti akan memilih jalan hidup masing-masing. Tidak peduli seberapa jauh dan seberapa lama. Asalkan kami masih saling menghubungi dan sesekali menanyakan kabar, aku yakin ikatan kami tidak akan pernah putus. Kami tetap menjadi sahabat di manapun kami berada.

***

Beberapa hari ini cuaca sering hujan. Bahkan hari ini juga sedang mendung. Aku seharian hanya duduk di dekat jendela dan memandang keluar—melihat orang-orang yang berlalu-lalang di bawah. Sesekali aku melambaikan tangan dan menyapa mereka yang kukenal saat lewat.

Terdengar nada dering ponsel, tapi bukan punyaku. Saat kudapati suara itu berasal dari luar, aku menengok pintu geser ruanganku. Sedikit demi sedikit pintu itu bergerak, sampai sebuah mata terlihat seperti mengintip ke dalam.

“Siapa?” kataku.

“Aku hanyalah gadis polos yang kebetulan lewat,” suaranya terdengat dibuat-buat. Aku menyipitkan mata dan mulai memperhatiannya sampai pintu terbuka sepenuhnya.

“Apa yang kau lakukan?” tanyaku lagi begitu mengenali sosok tersebut.

“Maafkan aku yang super sibuk ini.” Suaranya membuat tawaku pecah.  “Ehem..” dehamnya. “Sudah lama ya kita tidak bertemu, Luna.”

Dia berbicara seperti biasa. Seperti Mira yang aku kenal. Terlihat hangat, penuh percaya diri dan suka bercanda.

“Aku rindu padamu Mira.”

“Benarkah? Kemarilah, biar aku memelukmu.” Mira merentangkan kedua tangannya, begitu juga aku. Kami saling berpelukan dalam tawa senang.

Setelah lulus Mira melanjutkan ke sebuah universitas. Dia masuk dalam Jurusan Fotografi. Mira senang sekali memotret alam di sekitarnya. Tidak jarang juga dia akan ikut mendaki gunung untuk memuaskan jiwa fotografernya. Rela berjalan jauh dan melewati hutan untuk mendapat hasil foto yang memang sangat keren sekali.

Tidak seperti Karin yang bisa datang saat dia senggang. Mira hanya bisa datang beberapa bulan sekali karena dia suka pergi ke banyak tempat untuk mencari spot bersama komunitasnya.

Saat Mira datang kami akan menghabiskan waktu ngobrol begitu lama. Dia akan menceritakan setiap pengalamannya mengunjungi banyak tempat dan keasyikannya saat memotret. Aku senang mendengar ceritanya. Aku bisa membayangkan tempat-tempat yang selalu dia ceritakan. Kadang Mira juga membawakan beberapa fotonya untuk ditunjukkan padaku secara langsung. Aku berpikir Mira pasti sangat bebas karena bisa berjalan-jalan kemanapun.

“Ah, aku lupa. Aku tadi membeli kue. Ayo kita makan bersama.” Aku mengangguk. Mira selalu membawakan oleh-oleh untukku.  “Aku lupa belum membeli minuman. Aku akan keluar membelinya.”

“Tunggu Mira. Aku ikut.” Aku segera berdiri. Tanganku meraih tongkat abu-abu alumunium yang bersandar tak jauh dari ranjangku. Aku baru mendapatkannya kemarin lusa. “Aku butuh udara segar,” kataku pada Mira yang disambut dengan senyum lembutnya.

Dia meraih tanganku dan membantuku berjalan. “Ayo kita beli bersama.”

Dengan susah payah aku berjalan. Memakai tongkat ini rasanya aneh. Atau aku hanya belum terbiasa memakainya saja. Untunglah Mira dengan sabar membantuku saat aku kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh.

Aku duduk di kursi dekat mesin penjual minuman. Aku tidak tau jika akan jadi perjalanan yang melelahkan. Mira duduk di sampingku. Tangannya asyik bermain ponsel. Kemudian dia menoleh ke arahku.

“Ayo kita buat grup chat,” ajaknya. Rupanya dari tadi dia sedang berkirim pesan dengan Karin. Aku mengangguk setuju, lalu Mira mulai kembali asyik dengan ponselnya.

Tring! Satu pemberitahuan di layar ponselku. Sebuah grup chat baru dan dinamai dengan ‘Perkumpulan Orang Sibuk’. Aku tertawa dengan nama grub kami.

Tring! Pemberitahuan baru—dari Karin. Dia mengirim foto dirinya yang sedang berada di sanggar. Dia sedang menggambar bunga yang indah. Tidak mau kalah. Mira mengajakku untuk berfoto dan mengirimnya ke grup.

Grup ini beranggotakan aku, Karin, Mira dan Silvi. Walau sekarang hanya tiga orang yang aktif, tapi aku yakin Silvi akan segera ikut berkomentar dalam grup ini.

“Luna, sudah waktunya lho.” Tanpa disadari waktu cepat berlalu dan Ibuku sudah memanggil.

“Maaf Mira. Hari ini aku sudah ada janji.”

“Tidak apa-apa. Kuenya akan aku tinggalkan untukmu. Aku akan mengambil barang-barangku.”

Mira membantuku berdiri. Aku memeluknya, “Rasanya senang bisa ngobrol lagi denganmu.”

“Aku akan datang lagi.”

***

Sudah beberapa hari ini lidahku tidak bisa merasakan enaknya makanan yang masuk dalam mulut. Rasanya hambar dan kadang membuatku mual. Ibu membuatkan makanan kesukaanku, tapi hanya sedikit saja yang berhasil aku telan.

“Maaf, padahal sudah susah payah membuatnya,” kataku pelan. Ibu menggeleng. Dia tau jika kondisiku memang sedang memburuk.

Setelah kunjungan Mira waktu itu, jadwalku jadi semakin banyak. Bahkan saat Karin mampir, kami hanya akan berbicara sebentar. Sebenarnya aku ingin berbicara dengannya lebih lama lagi. Tapi, terlihat jelas jika aku kelelahan.

“Aku akan datang lagi besok. Pasti.” Selalu kata-katanya membuatku terus berharap waktu segera berlalu. Esok datanglah lebih cepat, doaku. Dan saat aku mulai terlelap, kadang setelah membuka mata tiba-tiba Karin sudah ada di ruanganku. Tersenyum. Dan tubuhku terasa lebih baik setelahnya.

Grup chat kami masih ramai. Walau Karin dan Mira yang terus aktif. Setidaknya Silvi sudah ikut bergabung juga. Meski hanya sekedar menyapa dan butuh waktu lama untuk kembali membalas pertanyaan-pertanyaan yang selalu ditanyakan oleh yang lain. Kadang di tengah pembicaraan dia tiba-tiba menghilang.

Tring! Sebuah pesan masuk. Pesan dari Silvi. Tidak biasanya. Saat kubuka pesan darinya aku hanya bisa membulatkan mata dan menahan rasa senang ini. Dia bilang akan datang ke sini. Aku mengatakan padanya jika aku menunggunya.

Dia memang tidak bilang kapan pasti dia datang. Tapi, aku terus menunggu dan percaya jika Silvi akan datang ke sini. Karena itu aku harus membuat tubuhku kembali sehat, agar saat dia datang kami bisa bersenang-senang bersama.

***

Dan dua minggu sudah berlalu. Aku padahal sudah bertekad akan membuat tubuhku kembali sehat. Namun yang ada tubuhku malah lebih parah dari sebelumnya. Aku sungguh terlihat tidak baik-baik saja. Terlihat jelas di pantulan cermin kecil yang Ibu bawa. Kurus, pucat dan terlihat lesu. Ini yang terburuk setelah sekian lama.

Hari-hariku tidak lagi bergulat dengan pena dan kertas. Sekarang benda-benda itu hanya tertumpuk di atas meja. Aku kehilangan semangat. Tanganku tidak mau bergerak seperti dulu lagi. Dan tubuhku seperti tidak berpihak padaku. Sepanjang hari tidak banyak hal yang aku lakukan. Hanya berbaring seharian.

***

Udara masuk perlahan lewat jendela dan menerpa tirai putih ruanganku. Suara kicau burung dan teriakan orang-orang di luar sana terdengar sampai sini. Entah kenapa rasanya akan terjadi sesuatu yang baik hari ini. Aku juga bisa sedikit bergerak bebas walau masih di atas ranjangku.

Tok! Tok! Tok! Seseorang mengetuk pintu. Kurubah posisiku sedikit bergeser ke atas dan bersandar.

“Siapa? Masuk saja tidak apa-apa,” kataku dari dalam—sedikit berteriak. Pintu bergeser dan sebuah kepala menyembul dari balik pintu.

“Hai,” sapanya. “Maaf aku lama. Kau tidak bosan menungguku kan?”

“Aku tidak pernah bosan menunggu. Apalagi dirimu.”

Penantian panjangku berakhir. Silvi. Teman yang lebih lama menghabiskan waktunya denganku saat di sekolah.

“Yah. Kau tau, aku hanya sedikit sibuk. Atau memang sibuk.”

Mataku membulat. Tatapanku tidak bisa lepas dari dirinya. Mulutku menganga tidak percaya dengan apa yang aku lihat sekarang. Sesuatu yang pasti akan membuat siapapun terkejut setelah sekian lama tidak bertemu dengannya.

“Apa ini? Kau tidak sendirian ternyata,” ucapku akhirnya.

Silvi adalah teman pertamaku di sekolah dasar. Aku dan Silvi sering menghabiskan waktu bersama. Sampai kami melanjutkan ke SMP yang sama. Tidak banyak perubahan di antara kami. Walau dengan sekolah baru atau teman baru. Kami tetaplah kami. Silvi tetaplah Silvi yang selalu punya waktu untukku.

Di SMA kami bertemu dengan Karin dan Mira. Teman baru kami yang lainnya—yang mungkin masih terus terhubung sampai sekarang. Tentu saja setelah lulus, kami semua sudah memutuskan jalan masing-masing. Namun, siapa yang menyangka Silvi akan menikah setelah beberapa bulan kami semua berpisah.

“Apa kau mau mengusapnya?” tanya Silvi yang duduk di dekatku. Dia menyadarinya. Aku tersenyum lalu dengan perlahan mengangkat tangan kananku, menyentuh perut Silvi yang tengah mengandung. Aku mengusapnya perlahan. Begitu bulat dan terlihat besar. “Umurnya 7 bulan.”

Tanganku masih menyentuhnya. Lalu tiba-tiba aku bisa merasakan sesuatu. Bergerak. “Dia menyukaimu,” senyum Silvi mengembang. “Lihat. Dia menendang-nendang di dalam. Apa kau bisa merasakannya juga?” Aku hanya bisa mengangguk.

Terlalu sulit untuk mengungkapkan perasaan yang sedang aku rasakan ini dengan kata-kata. Sebuah kehidupan, hanya tinggal menghitung waktu untuk keluar menuju dunia ini.

Aku bisa melihatnya di wajah Silvi. Senyum kebahagiaan terpancar jelas. Dia begitu senang saat ini. Menunggu anak pertama mereka lahir.

Aku ikut berbahagia untukmu.

 “Dari kalian semua baru kau saja yang tau jika aku hamil,” Silvi tertawa nakal.

“Kalau begitu ini akan jadi kejutan untuk semuannya.”

Silvi mengeluarkan ponselnya lalu mengambil potret dirinya yang tengah mengandung. Pesan pemberitahuan dan komentar-komentar dari Karin juga Mira tak hentinya bermunculan. Akhirnya empat sekawan ini bisa mengobrol dengan asyik walau lewat pesan chat semata.

Karena sudah sore, Silvi berpamitan untuk pulang. Tertutupnya pintu membawa kembali keheningan dalam ruanganku.

“Bayi ya,” gumamku. Kulihat tanganku yang tadi mengusap perutnya. Masih terasa jelas sensasi yang aku rasakan saat bayinya bergerak. “Aku tidak sabar menunggunya lahir. Hah, aku ingin menyentuhnya secara langsung. Pasti lucu sekali.”

Sebuah kehidupan baru akan terlahir setiap harinya. Menggantikan kehidupan lama yang telah pergi dari dunia ini. Menjalani hidup di dunia yang semakin berbeda setiap waktunya. Dunia baru yang mungkin sebentar lagi akan memulai cerita tanpaku.

***

Karin datang lagi.  “Apa kau bosan?” tanyanya.  

Tepat sekali. Dan untuk pertama kalinya aku merasa bosan. “Apa kau bisa membaca pikiranku?”

“Lihat ini,” Karin mendekatkan tubuhnya—memperlihatkan layar ponselnya padaku. Aku melihat malaikat kecil di layar ponselnya. “Dia anak yang lucu ya.”

Aku hanya bisa mengangguk. Aku tau itu anak siapa. Matanya mirip dengan Ibunya. Dia anaknya Silvi. “Dia mirip dengan Silvi,” kataku. Karin mengangguk setuju.

Jika sudah diperbolehkan untuk dibawa jalan-jalan dalam perjalanan jauh, Silvi mengatakan akan pergi ke sini. Aku tidak sabar. Benar-benar tidak sabar. Semoga secepatnya.

“Semoga aku masih sempat menggendongnya,” ucapku lirih.

Karin tiba-tiba berdiri, membuat kursi yang dia duduki terjatuh. “Pasti sempat!” teriaknya. Aku tertegun. Lalu aku sadar jika aku sudah mengatakan hal yang bodoh.

“Maaf,” kataku. Karin masih berdiri. Tangannya mengepal dan wajahnya tertunduk. Kata-kataku membuatnya sedih. “Maafkan aku Karin,” ucapku lagi.

“Kita semua akan berkumpul bersama lagi. Aku percaya, kami semua percaya jika Luna adalah orang yang kuat. Jadi,  jangan berpikiran seperti itu lagi.”

***

Kemoterapi. Cek darah. Obat-obatan. Setiap harinya aku harus berurusan dengan semua itu. Tubuhku kurus, pucat dan terlihat tidak bertenaga. Rambutku perlahan rontok. Aku meminta Ibu untuk memotong rambutku lebih pendek.

Leukemia atau kanker darah. Aku sudah didiagnosa penyakit ini sejak kelas 2 SMP. Berat badanku menurun drastis, sering mimisan terutama saat jam olahraga, sakit kepala, demam bahkan pingsan. Aku sering tidak sadarkan diri di sekolah karena lemas. Aku terbiasa menjalani hidup seperti itu.Walau berat aku tetap menjalaninya dan tetap melanjutkan sekolahku sampai lulus SMA. Teman-temanku tentu saja tau. Dan aku tidak pernah menyembunyikan hal itu dari siapapun.

Dokter bilang suatu keajaiban jika aku bisa bertahan beberapa tahun menjalani hidup normal—yang bukan lagi hidup normal bagiku. Setelah lulus SMA dokter menyuruhku untuk melakukan perawatan di rumah sakit—yang seharusnya sudah aku lakukan sejak dulu. Dan aku mulai tinggal di rumah sakit sejak saat itu.

Aku tidak pernah takut dengan penyakitku ini. Tentu saja aku tidak ingin semua menjadi lebih buruk, karena itu aku berjuang. Apa yang masih bisa aku lakukan akan aku lakukan. Jika bisa aku tidak ingin membuat orang-orang di sekitarku khawatir, tapi aku tidak bisa. Seceria apa aku terlihat di mata mereka, tetap saja ada rasa khawatir dalam diri mereka yang melihatku.

Tentu saja mereka selalu mendukungku. Seperti Ibu yang tidak pernah lelah merawatku. Karin, Mira dan Silvi yang selalu ada untukku, memberikan dukungan dengan cara mereka sendiri. Tidak harus seperti Karin yang menjengukku setiap hari, hanya sebatas menanyakan kabar saja aku sudah menghargai mereka. Setidaknya mereka masih mengingatku.

Beberapa hari ini sedikit tenang menurutku. Dokter hanya menyuruh perawat untuk memantau perkembanganku setelah penggunaan obat baru kemarin.

Terlalu tenang. Tubuhku terasa ringan. Namun mata ini terasa berat untuk terbuka. Aku belum mendengar suara Karin hari ini. Aku dengar tadi dari perawat bahwa hari ini dilarang ada yang menjenguk. Itu berarti Karin tidak bisa berkunjung. Padahal aku ingin bertemu dengannya.

“Aku pasti akan berjuang. Aku tidak akan membuat kalian kecewa. Aku janji.”

Dunia baru tanpa diriku. Kapan itu? Aku harap tidak secepatnya, karena aku masih ingin melihat banyak hal bersama mereka.

***

Aku lihat keluar jendela di mana hijaunya dedaunan bergerak pelan diterpa angin. Sinar matahari pagi yang masuk lewat jendela begitu hangat. Aku menutup mata dan kembali mendengarkan lagu yang mengalun dengan merdu dari earphone milikku, sampai suara gaduh terdengar dari luar.

“Tidak bisakah kau sedikit tenang? Ini rumah sakit.”

“Maaf. Sudah kebiasaan.” Aku melepas earphone dan menengok ke pintu. Perlahan pintu abu-abu itu bergeser terbuka. “Luna!” pekik Karin yang langsung melompat masuk.

“Kariinnn…” geram Mira yang menyusul masuk.

“Tenang saja. Aku sudah biasa membuat keributan di sini.” Dengan percaya diri Karin mengatakannya. Mira hanya bisa mendengus.  

“Luna, kau sudah siap?” tanya Mira.

Aku mengangguk lalu bergeser ke tepi ranjang. Mengenakan jaket tipisku dan mengembalikan iPod-ku ke atas nakas.

Karin mendekatiku dan membantuku berdiri. Mira mendekat dengan kursi roda yang terdiam di sudut ruanganku. Aku perpindah dari ranjang ke kursi roda. Karin membukakan pintu lebar-lebar lalu Mira mendorongku. Aku duduk dengan tenang. Suara roda kursi ini berdecit saat bergesekan dengan lantai lorong yang mengkilap.

“Foto itu. Foto yang kita ambil saat lulus SMA kan?” tanya Mira.

“Hmm,” aku mengangguk.

“Ayo kita ambil foto lagi.” Aku mendongak ke belakang. Mira dan Karin tersenyum sambil melihatku.

 “Ya,” balasku juga tersenyum.

Begitu sampai di bawah, sinar matahari menyambutku dengan semangatnya. Aku bisa merasakan suasana yang sangat berbeda.

Kami bertiga terus lurus melewati jalan taman yang terbuat dari batu bata. Anak-anak berlarian kesana-kemari. Banyak pasien yang juga sedang jalan-jalan hari ini. Kami menuju tempat favoritku dan Karin. Saat melihat kursi cokelat di bawah pohon itu aku bisa tersenyum senang. Kursinya tetap sama, tapi kali ini ada yang sudah menempatinya.

“Kau tidak bosan menunggu kan?” Silvi. Dia sekarang sudah menjadi seorang Ibu.

“Tidak pernah. Jika aku bosan maka kita tidak akan pernah berkumpul bersama lagi kan.”

Aku bisa mendengarnya. Suara tawa kecil di dekat Silvi. Sebuah kereta bayi. Aku melihat Mira di belakangku. Dia tersenyum lalu melepaskan tangannya. Aku mendekati kereta itu dengan cara memutar roda di kursiku dengan kedua tangan. Semakin dekat dan aku bisa melihat dengan jelas wajah kecil yang dulu aku lihat di layar ponsel Karin.

Bayi itu melihat ke arahku. Senyumnya mengembang saat aku tersenyum melihatnya. Tangan kecilnya bergerak ingin meraihku. Kudekatkan tanganku dan tangannya meraih jari telunjukku.

Hangat. Dia mengenggam erat jariku.

Lembut. Aku bisa merasakan sentuhannya yang lembut.

“Dia mengenalimu. Mengenali tangan yang dulu mengusapnya dengan lembut sewaktu di dalam perut,” kata Silvi yang mendekatiku. Disusul dengan Karin dan Mira yang mengitari kereta bayi.

Kami semua melihatnya. Sebuah kehidupan yang baru saja terlahir. Sebuah dunia yang masih ada aku di dalamnya.

“Aku beruntung. Aku masih ada dalam kisah hidup anak ini. Syukurlah aku berjuang.”

 Tidak perduli seburuk apa kehidupan yang aku jalani. Mereka selalu ada untukku. Teman-temanku. Berkumpul kembali seperti ini memang sulit, tapi bukannya mustahil. Aku memang harus berjuang—untuk hidupku dan untuk orang-orang yang mungkin akan aku tinggalkan nantinya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • dear.vira

    bagus ceritanya ka Yulia, jika berkenan tolong Like ceritaku juga ya https://tinlit.com/read-story/1436/2575
    terima kasih , smoga sukses selalu :)

Similar Tags
Heartbeat
228      180     1     
Romance
Jika kau kembali bertemu dengan seseorang setelah lima tahun berpisah, bukankah itu pertanda? Bagi Jian, perjumpaan dengan Aksa setelah lima tahun adalah sebuah isyarat. Tanda bahwa gadis itu berhak memperjuangkan kembali cintanya. Meyakinkan Aksa sekali lagi, bahwa detakan manis yang selalu ia rasakan adalah benar sebuah rasa yang nyata. Lantas, berhasilkah Jian kali ini? Atau sama seper...
Love in the Past
574      426     4     
Short Story
Ketika perasaan itu muncul kembali, ketika aku bertemu dengannya lagi, ketika aku harus kembali menyesali kisah itu kesekian kali.
Bulan dan Bintang
6100      1625     1     
Romance
Orang bilang, setiap usaha yang sudah kita lakukan itu tidak akan pernah mengecewakan hasil. Orang bilang, menaklukan laki-laki bersikap dingin itu sangat sulit. Dan, orang bilang lagi, berpura-pura bahagia itu lebih baik. Jadi... apa yang dibilang kebanyakan orang itu sudah pasti benar? Kali ini Bulan harus menolaknya. Karena belum tentu semua yang orang bilang itu benar, dan Bulan akan m...
Misteri pada Mantan yang Tersakiti
858      494     6     
Short Story
98% gadis di dunia adalah wujud feminisme. Apakah kau termasuk 2% lainnya?
A Missing Piece of Harmony
349      265     3     
Inspirational
Namaku Takasaki Ruriko, seorang gadis yang sangat menyukai musik. Seorang piano yang mempunyai mimpi besar ingin menjadi pianis dari grup orkestera Jepang. Namun mimpiku pupus ketika duniaku berubah tiba-tiba kehilangan suara dan tak lagi memiliki warna. Aku... kehilangan hampir semua indraku... Satu sore yang cerah selepas pulang sekolah, aku tak sengaja bertemu seorang gadis yang hampir terbunu...
Dark Fantasia
5236      1553     2     
Fantasy
Suatu hari Robert, seorang pria paruh baya yang berprofesi sebagai pengusaha besar di bidang jasa dan dagang tiba-tiba jatuh sakit, dan dalam waktu yang singkat segala apa yang telah ia kumpulkan lenyap seketika untuk biaya pengobatannya. Robert yang jatuh miskin ditinggalkan istrinya, anaknya, kolega, dan semua orang terdekatnya karena dianggap sudah tidak berguna lagi. Harta dan koneksi yang...
KETIDAKBAHAGIAAN
503      359     0     
Short Story
seorang siswa penyendiri yang terlihat paling cuek namun dia-lah yang paling perhatian. Esa
Inspektur Cokelat: Perkara Remaja
343      240     1     
Short Story
Elliora Renata, seorang putri dari salah satu keluarga ternama di Indonesia, hal itu tak menjamin kebahagiaannya. Terlahir dengan kondisi albinis dan iris mata merah tajam, banyak orang menjauhinya karena kehadirannya disinyalir membawa petaka. Kehidupan monoton tanpa ada rasa kasih sayang menjadikannya kehilangan gairah bersosialisasinya sampai akhirnya...serangkaian kejadian tak menyenangkan...
That Devil, I Love
3829      1500     0     
Romance
Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi Airin daripada dibenci oleh seseorang yang sangat dicintainya. Sembilan tahun lebih ia memendam rasa cinta, namun hanya dibalas dengan hinaan setiap harinya. Airin lelah, ia ingin melupakan cinta masalalunya. Seseorang yang tak disangka kemudian hadir dan menawarkan diri untuk membantu Airin melupakan cinta masa lalunya. Lalu apa yang akan dilakukan Airin ? B...
When I\'m With You (I Have Fun)
673      391     0     
Short Story
They said first impression is the key of a success relationship, but maybe sometimes it\'s not. That\'s what Miles felt upon discovering a hidden cafe far from her city, along with a grumpy man she met there.