Read More >>"> For One More Day
Loading...
Logo TinLit
Read Story - For One More Day
MENU 0
About Us  

Pagi ini, tepatnya pukul 07.15, aku sudah berada di Stasiun Tugu Yogyakarta. Dengan sebuah tas ransel besar dipunggungku, dan sebuah tas kamera di tangan kanan, serta ice latte di tangan kiri, aku siap berangkat menuju Jakarta. Aku siap pulang.

Profesi ini menuntutku untuk bepergian kapanpun dibutuhkan. Aku benci itu, dulu. Aku tidak suka bepergian, lontang-lantung tidak jelas, jauh dari rumah, membuang-buang uang. Namun, seseorang, yang sekarang menghilang entah kemana, mengajarkanku arti baru tentang traveling.

"Kamu akan menemukan hal-hal baru, orang-orang baru, bahkan pandangan-pandangan baru terhadap dunia. You need to explore more, Ray."

Ia benar. Gadis itu benar. Setelah tiga tahun menjalani profesi sebagai fotografer majalah yang meliput tentang traveling, aku menemukan hal-hal baru yang tidak mungkin akan aku dapatkan jika hanya diam di dalam zona nyamanku.

Gadis itu sangat suka traveling, bepergian ke tempat antah berantah, menemukan informasi baru dan orang-orang baru.

Namun, aku menyadari sesuatu, hobi travelingnya, membuatnya dapat pergi dari hidupku kapanpun ia mau.

Sialan.

---

Kereta Eksekutif Taksaka Pagi, gerbong tiga, nomor kursi 9C. Aku mengecek tiketku sekali lagi, agar tidak ada kesalahan. Kemudian aku meletakkan ransel besarku di atas kursi kereta dan duduk di kursi dekat jendela. Baru saja aku menundukkan wajah dan ingin menyumbat telingaku dengan earphone, saat sebuah suara, suara yang tidak asing, membuat tubuhku membeku.

"Maaf, boleh saya duduk di dekat jendela?"

Itu dia. Gadis yang menghilang. Dan kini, ia menatapku dengan kedua bola mata cokelatnya. Pipi nya merah, masih seperti dulu. Rona merah yang selalu membuatku ingin menyentuhnya. Rambut hitam kelamnya sudah tidak panjang lagi, kini bahkan tidak melampaui bahu. Wajahnya tidak setirus dulu, mungkin sekarang ia sudah tidak malas makan. Namun, wajahnya masih sempurna seperti dulu.

Aku menatapnya tanpa berkedip.

Senyumnya perlahan padam seiring dengan ekspresi wajahnya yang berubah saat mengetahui bahwa aku yang sedang duduk di situ, menatapnya.

"Ray?"

Ia memanggil namaku. Dengan suaranya. Ada sesuatu yang berbeda tentang caranya memanggil namaku, sejak dulu. Seperti sesuatu yang hangat, dan nyaman, layaknya rumah.

"Nadine," balasku, dengan suara yang sedikit bergetar.

Kemudian dia tersenyum. Senyum itu, senyum yang paling mematikan. Senyum yang membuatku rela mengalah demi apapun hanya untuk kebahagiaannya.

"Ray, it's you," ucapnya.

Iya, Nadine, ini aku. Seseorang yang sudah kamu tinggalkan dua tahun lalu. Bisa-bisanya kamu hadir kembali di sini, sambil tersenyum seperti itu. Kamu pikir aku harus merespon seperti apa, Nadine?

Namun, kata-kata itu hanya tersimpan di benakku. Aku berdiri, dan mempersilahkannya duduk di dekat jendela. Kemudian aku duduk disampingnya, dengan canggung.

Nadine masih sibuk membereskan barang-barangnya. Dia mengenakan sweater hijau muda (warna kesukaannya), jeans hitam semata kaki yang di lipat sampai betis, serta sepatu conversebiru donker yang sudah ia pakai sejak masih bersamaku. Gaya berpakaiannya masih seperti dulu. Rupanya tidak banyak yang berubah darinya, setidaknya itu yang aku harapkan.

Ia berdiri, hendak menaruh sebuah paperbag yang cukup besar di bagasi yang ada di atas kursi. Namun ia seperti kesulitan karena mungkin isinya terlalu berat. Aku ingin membantu, tapi terlalu takut membuatnya merasa risih.

"Ray, boleh bantu?" sahutnya, sambil melontarkan senyuman tipis kepadaku, dan tatapan memohon.

Aku segera berdiri dan mengambil paperbag itu dari tangannya, kemudian meletakkannya di atas dengan cepat dan kembali duduk.

"Terima kasih," ucapnya pelan. "Mau pulang ke rumah ibumu?"

"Iya," jawabku cepat, tanpa basi-basi.

Aku benci momen ini. Bagaimana bisa setelah bertahun-tahun tidak bertemu dengannya, kini ia bisa tiba-tiba berada disampingku? Apa semudah itu baginya?

"Bagaimana kabar ibu kamu? Baik? Oh, ya, Kak Reno juga gimana kabarnya?" tanyanya lagi, seolah-olah tidak ada hal apapun yang pernah terjadi di antara kita. Aku benci basa-basi ini.

"Baik, Nad."

"Salam ya buat mereka, bilang ke ibu kamu kalau Nadine kangen nasi goreng buatannya hehe.." sahutnya diikuti dengan tawa kecil.

Apa!? Kangen katanya!? Bisa-bisanya gadis ini....

"Iya, nanti aku bilang ya. Aku ngantuk mau tidur dulu."

Aku terpaksa berbohong, aku tidak kuat jika harus meneruskan percakapan ini. Saat kereta sudah mulai berjalan, aku memaksakan diriku untuk tidur.

---

Nadine Arniansa, gadis cantik yang akan membuat semua orang jatuh cinta, termasuk aku. Ia adalah seorang penulis artikel, khususnya tentang traveling. Aku bertemu dengannya pertama kali pada empat tahun lalu. Saat itu aku yang masih membenci dunia traveling, di paksa menemani kakakku, Kak Reno, yang merupakan seorang blogger terkenal untuk mengunjungi suatu tempat di Bali yang akan menjadi konten baru di dalam blog-nya.

And there she was. Rupanya Kak Reno berkolaborasi dengan Nadine. Singkat cerita, Kak Reno memperkenalkan kita berdua. We spent few days together in Bali, which was the greatest days in my life. Dalam waktu beberapa hari, aku bisa menyatakan bahwa dialah yang selama ini aku cari, the missing puzzle. I love her souls, and her views about the world. Nadine berbeda, dan hanya Nadine yang mampu membuatku akhirnya berani untuk traveling.

Kemudian aku mendapatkan tawaran menjadi seorang fotografer di sebuah majalah yang meliput tentang traveling. And that was the best thing ever, aku mengunjungi berbagai tempat bersama Nadine. Aku yang memotret, dan ia yang menulis. We discovered new things together, we made a great team.

But then i realized nothing lasts forever.  Setelah dua tahun kebersamaan kita, Nadine mengatakan bahwa ia tak butuh aku lagi, ia ingin bebas, ia ingin waktu sendiri. Then i thought maybe it was just for few days or weeks. Setelah kurang lebih dua bulan, aku menghubunginya lagi, tapi ia tidak membalas, ia tidak pernah membalas. Aku menghampiri rumahnya di Jakarta, tapi ia tidak pernah ada di sana.

Aku mencarinya kemana-mana, menghubungi semua teman-temannya. Everyone told me to give up, bahkan Kak Reno juga mengatakannya.  Dan aku menyerah.The hardest times of my life.

---

Aku terbangun dari tidurku, berharap pertemuanku dengan Nadine hanyalah mimpi. Tapi gadis itu benar-benar berada disampingku. Ia tertidur pulas dengan penutup mata merah mudanya. Ah iya, gadis ini tidak bisa tidur tanpa mematikan lampu, jadi ia selalu membawa penutup matanya kemana-mana.

Aku bangkit dan melangkah menuju restoran di kereta untuk bekerja. Aku tidak akan bisa fokus bekerja di samping wanita yang pernah aku cintai beberapa tahun yang lalu, atau  mungkin masih aku cintai sampai sekarang.

Aku membuka laptopku untuk melakukan beberapa proses  editing  terhadap foto-foto yang telah aku ambil selama di Jogja tiga hari terakhir ini.

I love my job, aku bersyukur tidak perlu berurusan dengan kemacetan lalu lintas karena harus bekerja nine-to-five di ibukota, seperti yang selalu dikeluhkan teman-temanku. Aku senang bisa berpergian tanpa harus mengeluarkan sepeser pun uang, bahkan aku yang mendapatkan bayaran. Aku bahkan bangga pada diriku sendiri bisa bekerja di majalah ternama di Indonesia, Views.

"Gue iri sama lo, apa yang lo lakuin sekarang adalah dream job semua orang, lo bisa jalan-jalan kemanapun lo mau, bertemu orang-orang baru, you're a lucky man," kata Dino, sahabatku yang sekarang bekerja sebagai assistant manager di daerah SCBD, pusat kemacetan ibukota.

Dino benar, tidak salah. But i wonder kenapa setelah dua tahun kebelakangan ini, setelah berbagai tempat yang aku kunjungi di dalam maupun luar negeri, setelah ratusan orang yang aku temui, tidak ada yang bisa menggantikan Nadine?

Seketika, gadis yang sedang ada dipikiranku itu, muncul dari pintu gerbong sambil memeluk laptopnya dan berhenti di samping kursiku. 

"Udah aku duga, kamu pasti di sini," katanya, kemudian ia duduk di hadapanku dan membuka laptop-nya.

"Masih suka kerja di kereta?" tanya Nadine sambil menatapku yang sedang berusaha sibuk menghindari tatapannya, namun akhirnya luluh juga.

"Kamu sendiri?" aku malah balas bertanya.

Nadine mengangguk. "Kamu tau, kan, kerjaan kita menuntut untuk bisa kerja dimana pun."

Apa katanya? Kita? Apa bahkan kata itu berarti untuknya?

"Anyway, kamu masih jadi fotografer buat Views?" tanyanya lagi sebelum sempat aku membalas.

Aku mengangguk cepat. "Sekarang kamu kerja dimana? Kalau aku boleh tau."

Nadine terdiam sejenak, seperti ragu untuk memberi jawaban namun akhirnya ia membuka mulut juga. "Aku udah nggak nulis artikel lagi."

Wajahku langsung terangkat dan mataku langsung menatapnya lekat. "Kenapa?"

"Aku......hanya memutuskan begitu," jawabnya pelan, aku melihat sesuatu yang berbeda dari wajahnya, Nadine terlihat cemas.

"Terus sekarang kamu ngapain?"

"Aku tetap menulis kok," ujarnya. "Naskah film."

Aku terkejut mendengarnya. "Film?! You hate movie, Nadine. Kamu sendiri yang bilang nggak akan pernah bikin naskah film walau kamu suka menulis, kamu bahkan benci bioskop. Please tell me that this is just a joke."

"Semua orang bisa berubah, Ray," sahutnya pelan sambil menatapku dalam-dalam.

Aku benci ini. Aku benci betapa pedulinya diriku kepada Nadine. Aku benci menyadari meski telah dua tahun menghilang, Nadine masih yang nomor satu di hidupku.

"Oke, aku tahu kamu udah berubah sejak dua tahun yang lalu, that's why kamu ninggalin aku tanpa sebab," cetusku tajam. Aku harusnya tidak mengangkat topik ini, tapi dua tahun adalah waktu yang lama bagiku, i've had too much.

Aku bisa melihat mata Nadine yang sudah berkaca-kaca. "Ray.. aku tahu aku salah, tapi aku nggak pernah bermaksud untuk nyakitin kamu," ujarnya.

"Nggak bermaksud untuk nyakitin aku? Tiba-tiba kamu bilang udah nggak butuh aku lagi, dan oke aku kasih kamu waktu. Tapi kamu malah menghilang entah kemana. Aku bahkan nggak tau salah aku dimana, kamu tiba-tiba pergi gitu aja. Aku mencari kamu kemana-mana tapi percuma, aku tau kamu nggak mau ditemuin. I thought what we had was real, i thought you loved me."

Aku tahu bukan kata-kata itu yang ingin Nadine dengar, tapi kata-kata itu yang selalu ingin aku katakan selama dua tahun ini. I'm so done. Aku menutup laptopku, segera bangkit, dan meninggalkan Nadine sendirian di sana.

---

Pikiranku campur aduk tidak karuan. Aku masih tidak mengerti mengapa Tuhan mempertemukanku dengan Nadine lagi, whether it's going to heal me or hurt me even more.

Nadine tidak langsung mengejarku ke tempat duduk. Membutuhkan waktu sekitar lima belas menit sampai akhirnya ia menghampiriku ke tempat duduk.

"Ray.." panggilnya dengan suara serak, i can tell she's crying hard right now just by hearing her voice

Aku masih mengabaikannya, aku tidak ingin luluh.

"Ray, please..."

Namun rupanya aku tidak cukup kuat. Egoku masih menginginkannya, aku masih menginginkannya.

Aku mengambil sapu tangan dari dalam saku jaketku, dan menghapus air matanya. "Jangan nangis di sini, nanti aku di kira jahat sama orang lain."

"Ray, i loved you and what we had was real.." 

"Aku berharap kamu bilang itu dua tahun yang lalu."

"Ray, aku menyesal," ujar Nadine. "Meninggalkan kamu berat banget untuk aku."

"Terus kenapa?"

"Ray, aku benar-benar minta maaf, you know i love you so much."

"Terus kenapa kamu ninggalin aku?"

Nadine memalingkan wajahnya, ia tidak menatapku lagi. Aku yakin pasti ada sesuatu yang tidak beres. 

"Kamu ngerti, kan, mama aku keras kepala dan semua permintaannya harus diturutin? Mama mau aku kenal sama seseorang, namanya Niko. Aku nggak bisa nolak, Ray."

Aku benar-benar kehabisan kata-kata. She should've me told sooner.

"Dan..." Nadine melanjutkan. "Kita akan menikah satu minggu lagi."

Aku merasa duniaku berhenti sampai di sini. Aku tidak tahu apakah ada yang lebih menyakitkan daripada kata-katanya barusan. It gets hard so breath, oh God i love her so much even after all these years...

"Dia seorang sutradara, jadi keinginan untuk menulis naskah film bukan karena diriku sendiri, Ray."

"Lalu kenapa tetap kamu lakuin itu? Kenapa kamu ngelakuin hal yang kamu nggak suka, Nad? Kenapa?! Kamu bilang ke aku always do what we love, tapi kenapa kamu nggak?!" aku merasakan air mata yang menetes dari mataku. Bukan ini yang aku inginkan, Nadine. Bukan ini.

Nadine langsung memelukku erat. Pelukan yang telah aku dambakan sejak dua tahun yang lalu, pelukan yang selalu membuatku tenang, pelukan yang dulunya adalah milikku. 

"Tolong ngertiin aku, Ray, aku sayang kamu bahkan sampai detik ini. It's been so hard for me too. Aku bahagia dan sedih ketemu kamu hari ini, aku sempat berpikir untuk kabur aja sama kamu, untuk menjadi egois, tapi aku nggak boleh lari dari kenyataan. Aku ingin memeluk kamu selamanya seperti ini, tapi aku nggak bisa."

"Meskipun aku nggak akan berakhir sama kamu, but please know that i'm always gonna love you," bisiknya lembut.

I need more days with her. If i had a chance, i would take it in a heartbeat. For one more day. For one more day. Give me one more day.

Tapi mungkin akhir bahagia bukan milik semua orang, dan aku adalah salah satunya. Di momen ini, dia meninggalkanku lagi. Dan aku kehilangan dirinya, lagi.

"I'm always gonna love you too, Nadine."

---

The end.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Another Word
596      343     2     
Short Story
Undangan pernikahan datang, dari pujaan hati yang telah lama kamu harap. Berikan satu kata untuk menggambarkannya selain galau.
NADI
5674      1518     2     
Mystery
Aqila, wanita berumur yang terjebak ke dalam lingkar pertemanan bersama Edwin, Adam, Wawan, Bimo, Haras, Zero, Rasti dan Rima. mereka ber-sembilan mengalami takdir yang memilukan hingga memilih mengakhiri kehidupan tetapi takut dengan kematian. Demi menyembunyikan diri dari kebenaran, Aqila bersembunyi dibalik rumah sakit jiwa. tibalah waktunya setiap rahasia harus diungkapkan, apa yang sebenarn...
Hello, Kapten!
1135      603     1     
Romance
Desa Yambe adalah desa terpencil di lereng Gunung Yambe yang merupakan zona merah di daerah perbatasan negara. Di Desa Yambe, Edel pada akhirnya bertemu dengan pria yang sejak lama ia incar, yang tidak lain adalah Komandan Pos Yambe, Kapten Adit. Perjuangan Edel dalam penugasan ini tidak hanya soal melindungi masyarakat dari kelompok separatis bersenjata, tetapi juga menarik hati Kapten Adit yan...
LUKA TANPA ASA
6969      1997     11     
Romance
Hana Asuka mengalami kekerasan dan pembulian yang dilakukan oleh ayah serta teman-temannya di sekolah. Memiliki kehidupan baru di Indonesia membuatnya memiliki mimpi yang baru juga disana. Apalagi kini ia memiliki ayah baru dan kakak tiri yang membuatnya semakin bahagia. Namun kehadirannya tidak dianggap oleh Haru Einstein, saudara tirinya. Untuk mewujudkan mimpinya, Hana berusaha beradaptasi di ...
SURAT CINTA KASIH
553      399     6     
Short Story
Kisah ini menceritakan bahwa hak kita adalah mencintai, bukan memiliki
Yang Terukir
731      467     6     
Short Story
mengagumi seorang cowok bukan lah hal mudah ,ia selalu mencurahkan isi hatinya melalui sebuah pena,hingga suatu hari buku yang selama ini berisi tentang kekagumannya di temukan oleh si cowok itu sendiri ,betapa terkejutnya ia! ,kira kira bagaimana reaksi cowok tersebut ketika membaca buku itu dan mengetahui bahwa ternyata ada yang mengaguminya selama ini? Yuk baca:)
KSATRIA DAN PERI BIRU
146      123     0     
Fantasy
Aku masih berlari. Dan masih akan terus berlari untuk meninggalkan tempat ini. Tempat ini bukan duniaku. Mereka menyebutnya Whiteland. Aku berbeda dengan para siswa. Mereka tak mengenal lelah menghadapi rintangan, selalu patuh pada perintah alam semesta. Tapi tidak denganku. Lalu bagaimana bisa aku menghadapi Rick? Seorang ksatria tangguh yang tidak terkalahkan. Seorang pria yang tiba-tiba ...
Noterratus
375      253     2     
Short Story
Azalea menemukan seluruh warga sekolahnya membeku di acara pesta. Semua orang tidak bergerak di tempatnya, kecuali satu sosok berwarna hitam di tengah-tengah pesta. Azalea menyimpulkan bahwa sosok itu adalah penyebabnya. Sebelum Azalea terlihat oleh sosok itu, dia lebih dulu ditarik oleh temannya. Krissan adalah orang yang sama seperti Azalea. Mereka sama-sama tidak berada pada pesta itu. Berbeka...
Bait of love
2075      998     2     
Romance
Lelaki itu berandalan. Perempuan itu umpan. Kata siapa?. \"Jangan ngacoh Kamu, semabuknya saya kemaren, mana mungkin saya perkosa Kamu.\" \"Ya terserah Bapak! Percaya atau nggak. Saya cuma bilang. Toh Saya sudah tahu sifat asli Bapak. Bos kok nggak ada tanggung jawabnya sama sekali.\"
ALACE ; life is too bad for us
1022      617     5     
Short Story
Aku tak tahu mengapa semua ini bisa terjadi dan bagaimana bisa terjadi. Namun itu semua memang sudah terjadi