Keluarga yang kini aku miliki tetap
tidak cukup untuk menyembuhkan
luka yang terlalu dalam dan lama
bersemayam.
-o-
INI hari minggu, Alvaro tengah sarapan dengan hati tak sabar menunggu kedatangan Okta dan Ibra yang akan mengajaknya ke timezone di salah satu pusat perbelanjaan terkenal sesuai dengan janji Kala kemarin.
"Pagi, Varo!" sapa Ibra dan Okta bersamaan saat mereka sampai di ruang makan rumah Kala. Alvaro yang terlihat sedang menyuapkan makanannya hampir tersedak karena kaget.
"Pagi amat lu pada," ucap Kala seraya duduk di kursi ujung meja yang biasanya diduduki oleh kepala keluarga.
"Kan biar banyak waktu sama Varo-nya, ya, gak, Varo?" tanya Ibra. Alvaro mengangguk sambil menyuapkan sesendok nasi.
"Gua titip ya, awas kalo adik kesayangan gua ini lecet."
"Lah, lu gak pergi?" Okta mengoles selai coklat pada roti yang dia rebut dari Kala. Kala menggeleng bersamaan dengan matanya yang tajam menatap Okta karena telah merebut rotinya.
"Ada kerjaan."
"Lu sebenernya kerja apaan?" tanya Okta penasaran.
"Hu'uh. Lu bisa beli mobil lagi. Anjir gua juga mau," tambah Ibra. Kala hanya tertawa tanpa berniat untuk menjawab.
"Serius gua," desak Okta.
"Lu gak macem-macem kan?" tambah Ibra lagi dengan nada penasaran.
"Kepo, lu!" Ibra dan Okta memutar bola matanya.
"Jangan lupa makan siang, awas aja kalo Varo bilang gak di kasih makan. Mati lu pada!" ancam Kala dengan intonasi bercandanya.
"Santai, brother!"
"Nih," Kala memberikan beberapa lembar uang pecahan seratus ribu kepada Ibra.
"Wait, apaan nih?"
"Gak perlu, Ka."
"Gua gak enak aja, nyusahin mulu."
"Najis."
------
Kala duduk di single sofa. Kepalanya menyandar, matanya terpejam. Entah untuk keberapa kalinya ia merutuki dirinya sendiri. Bodoh! Mengapa dengan mudahnya Kala masuk ke dalam dunia seperti ini. Kala menyesal tapi terlambat, ia sudah tidak dapat keluar. Ingin sekali Kala berubah, ingin sekali Kala hidup seperti remaja lainnya. Ah, bodoh!
"Tuh, alamatnya udah gua kirim ke lu." Seorang lelaki berbadan gembal menaruh sesuatu berbungkus kertas coklat ke meja di hadapan Kala. Kala menghela napas panjang. "Kalo udah, lu hubungin gua, ntar gua transfer." Kala mengecek handphone-nya dan melihat alamat yang akan ia datangi itu.
"Oke." Kala berdiri dan keluar dari rumah yang tak seharusnya ia kunjungi itu.
Kala serba salah dibuatnya. Jika Kala memutuskan berhenti, ia akan di hajar habis-habisan oleh bos-nya itu seperti beberapa temannya. Jika Kala terus melanjutkan pekerjaannya itu bukan hal tidak mungkin jika suatu saat nanti ia akan tertangkap juga oleh polisi. Mati atau di penjara. Tidak ada pilihan lain. Mati maupun di penjara, Kala tetap akan meninggalkan Alvaro. Meninggalkan adik kecilnya itu sendirian tanpa orangtua yang bisa menemaninya.
Semua kesalahan ini berakar dari perceraian kedua orangtuanya. Fakta itu semakin membuat Kala benci pada kedua orangtua juga pada dirinya sendiri.
Jika bisa, Kala ingin melarikan diri. Kabur membawa Alvaro ke luar kota dan memulai hidup baru. Tapi itu tak akan mudah, Kala pasti akan terus dikejar dan dicari oleh bos-nya itu.
------
Setelah Kala mengantar barang pesanan itu, sekarang Kala sudah berada di depan rumah Lula berhubung Okta, Ibra dan Alvaro belum pulang dari timezone. Entahlah, ia nyaman berada di rumah itu. Kala merasa sudah sangat dekat dengan keluarga kecil itu meskipun ia baru pertama kali bertemu kemarin sore.
"Assalamu'alaikum!" Kala mengetuk pintu utama rumah bergaya minimalis itu. Setelah menunggu beberapa saat pintu dibuka oleh ibunya Lula dengan senyum lebar saat melihat siapa yang datang.
"Eh, Nak Kala. Masuk-masuk." Kala mengangguk dan tersenyum. "Sendiri? Alvaro mana?" tanya Ibu.
"Iya, Bu. Kala cuma mau mampir, kebetulan lewat ke daerah sini." Kala berjalan di belakang Ibunya Lula. "Sepi, Bu. Ayah, Lula sama Mas Ganta kemana?"
"Ada kok, ada. Mereka lagi kumpul di balkon ruang keluarga atas. Kamu naik aja. Ibu ke dapur dulu."
"Ah, jadi gak enak. Kala ganggu quality time keluarga disini." Kala menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Enggalah, ibu senang kalo kamu main. Ayah, Lula sama Ganta juga pasti begitu." Ibu menatap Kala lembut. "Udah sana, kamu naik ke atas."
"Iya, Bu."
Kala menaiki satu persatu anak tangga, berjalan lamban menyusuri rumah seraya menatap setiap sudutnya.
Kala sampai di pintu balkon, ragu-ragu ia ingin bergabung. Ayah dan Ganta terlihat sedang tertawa sementara Lula memberenggut.
"Nih," Ganta memberikan sebuah biola pada Lula. "Main lagi, jangan ngambek gitu."
Lula mulai bermain dengan biolanya itu. Gesekan biola itu terdengar merdu di telinga Kala. Ia tak menyangka, Lula ternyata bisa memainkan biola.
"Eh, ada Kala, sini, Kal." Ganta menyuruh Kala bergabung saat ia melihat Kala sedang berdiri di ambang pintu. Kala tersenyum kikuk dan menghampiri mereka.
"Hebat! Kamu jago main biola ternyata." Kala memuji Lula setelah ia duduk di antara Ayah dan Ganta. Wajah Lula tampak bersemu kontan membuat tiga lelaki di depannya itu tersenyum menggoda.
Lula mengambil note dan pulpennya, kemudian menulis sesuatu.
NYEBELIN!!
"Maaf," Kala menatap Lula sementara yang ditatap memalingkan wajahnya.
"Yahh, marah," keluh Kala.
"Kalian itu kaya pacaran, tau. Padahal baru dekat kemarin," ucap Ganta dengan nada meledek. Sekarang, bukan hanya Lula yang malu tapi Kala juga. Bedanya Kala tidak bersemu seperti Lula.
"Kala, udah punya pacar?" tanya Ganta. Kala diam bingung harus menjawab apa. Jika Kala jujur bilang dirinya sudah punya pacar, Kala takut Ganta menjadi tidak suka padanya dan melarangnya untuk bertemu dengan Lula.
"Kok diem? Udah punya ya?" tanya Ganta lagi.
"Udah, Ta.. Kala malu mungkin." Ayah menatap Kala seraya menahan senyum. Sementara Lula menatapnya seakan penasaran dengan jawaban Kala.
Ragu, Kala menggeleng. "Enggak, saya baru putus." Lula tersenyum lebar mendengarnya.
"Wah, wah." Ayah Lula tampak melirik anak gadisnya itu. "Ada yang senang. Ganta lihat adik kamu."
Wajah Lula lagi-lagi bersemu merah karena tatapan ayah dan kakaknya itu. Kali ini Kala juga ikut bersemu malu.
"Oh iya, Alvaro mana?" tanya Ayah Lula.
"Varo lagi saya titip sama teman biar diajak main, tadi saya ada urusan dan kebetulan lewat sini," jelas Kala.
"Lho dititip? Orangtua kamu kemana?" tanya Ganta. Kala menggeleng-geleng pelan.
"Orangtua Kala udah pisah. Dan, dan.. Kala cuma tinggal berdua sama Varo."
"Maaf, Gan--"
"Gak apa-apa. Semuanya juga udah lama, Mas. Kala juga udah gak terlalu mikirin mereka sekarang."
"Sudah berapa lama kamu tinggal berdua?" tanya Ayah Lula.
"Sejak kelas satu SMP, Kala sekarang kelas tiga SMA."
Ibu Lula datang dengan nampan berisi minuman dan beberapa camilan setelah sebelumnya diam di ambang pintu ikut mendengarkan.
"Lagi ngobrol apa nih?" tanya Ibu Lula berbasa-basi seraya menaruh nampan di meja.
Lula cepat-cepat menulis sesuatu di note nya. Kemudian memperlihatkannya pada orang-orang yang ada di hadapannya.
Lula mau main biola lagi, ini khusus buat Kala. Dengar ya :)
Ayah, Ibu, Ganta dan Kala mengangguk kemudian memusatkan perhatiannya pada Lula.
Lula mulai menggesek biolanya. Matanya terpejam menghayati alunan yang ia mainkan. Tak ada suara yang terdengar selain gesekan biola Lula. Semuanya tampak merasakan pilu dari alunan itu. Terutama Kala, mati-matian ia menahan air matanya yang mendesak ingin segera keluar dari peraduannya.
Satu jam kemudian Kala berpamitan karena Ibra menelepon memberitahu bahwa mereka sudah pulang.
Kala menjalankan motornya dengan lamban. Sebenarnya ia ingin menangis karena ucapan Ibu Lula kepadanya tadi sebelum ia pulang.
"Kala, jangan sungkan. Kala dan Alvaro itu keluarga baru kami. Kalau Kala ada apa-apa datang saja kesini, ajak Alvaro juga. Atau lain waktu, kalau Kala ada urusan Kala bisa membawa Alvaro ke sini."
-o-
@aiana fighting kak!
Comment on chapter Prolog