SANTA GIRL
Litlagea, sudah siap dengan atribut musim saljunya malam ini dari rangkaian kabel iluminasi lampu hias di pagar kayu, balkon emperan, ambang pintu, bis surat, terutama di anak cemara yang ditanam dadakan. Biar saja butiran salju membuat itu semua sedikit atau cukup basah, tak perlu khawatir soal natal besok. Desa itu menyenangkan punya satu lapangan luas dengan pohon yang jarang, lantai es di tengah-tengah, juga belasan terowongan pohon tumbang biasa menjadi tempat main petak umpet.
Itu sekitar perjalanan dua kilo meter dari rumah Snella di perbatasan uptown Loughrea. Lihat! Bulan tiga perempat itu mengikuti gadis berbaju santa membawa sepeda kayuhnya pergi. Tenaganya tidak tampak sekuat itu mengayuh beban rajutan rantai adaptasi ban trail dan tiga kotak tertutup seperti dagangan di boncengan belakang, jika bukan karena semangat seindah senyum santa-nya. Siapa kira dia punya rute bebas hambatan di luar aspal.
Daerah pepohonan yang remang bisa Snella maklumi dengan senter kecil yang dia gigit supaya kedua tangannya tetap menyetir sampai melihat papan kayu bertulisan Liltagea, sebelah terusan sungai kecil yang terdengar alirnya. Itu memang nyali perempuan, Snella sudah melihat rumah-rumah terdekatnya, tampak sepi juga menyala dari dalam saat dia lalui, tapi itu memang saat untuknya.
Snella taruh satu per satu dari isi tiga kotaknya ke bawah depan pintu rumah-rumah, dan tidak lagi menggigit senter. Tidak kurang dan tidak ada rumah yang terlewat, Snella masih punya beberapa sisa barang yang bisa diberikan secara rahasia, tapi mengintip orang-orang yang ramai di lapangan untuk ice-skating, memasak, minum-minum, bermain salju dan anak-anak petak umpet, cukup menghiburnya setelah sengaja berkeringat malam yang tidak tercium.
Sudah berapa lama Snella lebih asyik melihat para jagoan ice-skating, lalu menyadari seorang anak perempuan sendang sendiri menyandar pohon, yang tadi bermain petak umpet? Sebenarnya menyandar di pohon saat bermain petak umpet maksudnya menyerah dan menunggu teman-temannya kembali lalu berjaga lagi kalau masih melanjutkan permainan, tapi gadis kecil itu terlalu lama bersabar.
“Apa mereka pulang untuk mengambil kostum hantu lalu menakutiku dari belakang?” Gadis kecil penyandar pohon mengira ada seseorang di baliknya setelah menyadari sekotak kado di sebelahnya, dia ambil, lalu berkeliling pohon untuk memastikan kado itu bukan keisengan temannya, dan tidak ada siapa pun. Lalu kenapa suara patahan dahan pohon harus sambil menjerit, mengagetkannya? Lebih kaget mengetahui ada gadis santa seperti kakak perempuan yang habis jatuh bersama patahan dahan.
“Itu pasti sakit, biar kubantu!”
“Terimakasih, kau baik sekali.”
“Jadi, kado ini darimu?”
“Hmm, mungkin.”
“Hebat, seperti yang kakakku bilang, kau santa girl?”
“Oh, apa kakakmu mengenalku?”
“Dia bilang pernah melihatmu di malam natal tahun kemarin. Jadi kau yang membagikan kado ke semua rumah di Litlagea tanpa terlewat? Hebat! Akan kukenalkan kau ke mereka.”
“Jangan! Aku tidak bisa menjadi terkenal. Jadi tolong rahasiakan, ya!”
“Begitu? Apa itu sifat pengabul harapan yang baik.”
“Aku? Haa, bukan pengabul harapan, hanya ingin menghibur saja, okay, menghibur.”
“Wow, ya! Kau putri santa? Siapa namamu?”
“Panggil saja Santa Girl, bukan putri santa yang gendut dan berkumis tebal, aku juga tidak punya rusa terbang. Aku gadis biasa.”
“Aku Undiney. Jadi kau suka menghibur?”
“Apa kelihatannya aku tidak begit?” Snella merasa entah bagaimana dengan cara Undiney melihatnya kali ini. “Kenapa?”
“Tolong hibur kakakku!”
Snella tidak berpikir apa yang bisa menolak permintaan itu, sampai di rumah Undiney yang sederhana dan hangat.
“Duduklah! Akan kupanggil Dreyant.”
Undiney memaksa kakakknya keluar kamar dengan celoteh berisiknya.
“Ada apa, Undin? Pestanya sudah selesai?” Dreyant keluar.
“Pestamu akan dimulai, aku punya teman yang hebat dan dia juga akan menjadi temanmu.” Undiney berpaling ke arah lain, ke ruang tamu yang dekat.
Di atas kursi roda, Dreyant merasa jackpot, dari wajahnya tidak bohong apa yang dia lihat pada gadis santa yang baju dan sweaternya tampak baru, yang tidak tampak kedinginan dengan rok terusan tidak sampai lutut. Asalkan tidak ada canggung, juga karena Undiney, mudah saja Dreyant dan Snella akrab atau membicarakan suatu hal.
===
“Minggu kemarin acara fotografi di downtown Loughrea, ada insiden tenda roboh yang akan menimpa Ariene, untung sempat kuselamatkan dia, lalu sudah kau lihat akhirnya,” Dreyant maksud kaki kanannya yang tak lagi punya lulut. “Rabu aku selesai amputasi, tentu dengan sepengetahuan Ariene. Tapi...” Wajah Dreyant jadi lebih muram.
“Kenapa?”
“Dia tidak menerima kenyataanku yang sekarang, sorenya aku dibolehkan pulang, tanpa dia lagi.”
“Oh!?" Separuh sesal Deeyant mulai Snella rasakan. "Dia gadis downtown?”
“Gadis sini, karirnya di downtown.”
“Ini malam natal, mungkin di luar lebih menyenangkan.”
“Tapi aku lebih senang menonton salju dari balik jendela kamar.”
===
“Terimakasih, Snella. Sweater darimu bagus. Dan pintar kau pasang snow-wipper depan roda kursiku. ”
“Ya, lihat! Mereka lupa gimana caranya tidur.”
Snella membawa Dreyant ke tepi lapangan es. Tinggal dua pasangan ice-skater yang tampil.
“Jadi mereka finalisnya, romantis.”
Hanya Snella yang terhanyut irama performa dan keromantisan dua pasangan ice-skater itu, sepertinya Dreyant tidak begitu sampai berakhir dan satu pasangan jawara terpilih.
“Aku juga ingin mereka high-light di instagramku. Tunggu sebentar, aku akan ajak mereka foto dengan kita.”
Snella seperti lupa dengan penampilannya karena hal itu. Pasangan jawara juga memuji outfit-nya yang dia bilang rahasia. Sepertinya Snella berhasil mengajak keduanya ke Dreyant lebih dulu sebelum ke yang lain.
“Dreyant!? Dreyaant!”
Tidak ada di sekeliling lapangan, Snella pikir dia kembali ke rumah. Memang belum sampai rumah, Snella temukan Dreyant masih di jalan, tapi kondisinya harus ditolong segera.
“Dreyant!” Snella merangkul Dreyant, mengembalikan ke kursi roda yang sudah di kondisikan lebih dulu. “Kau tidak apa-apa?”
“Ada lubang jalan tertutup salju kurasa, tidak apa-apa, salju selalu empuk.”
“Kenapa kau meninggalkanku? Apa yang salah?”
“Tidak ada, aku tidak tahan ingin ke toliet sebentar.”
Snella baru sadar satu hal.
“Ariene!? Oh, maaf Dreyant. Aku sangat bodoh.”
“Kau tidak salah, aku memang ingin kembali.”
“Oh ya, kita kembali ke lapangan. Kita harus tahu bagaimana dia merasa bersalah.”
“Tidak usah!”
“Bagaimana dia jadi jawara ice-skating dan lupa bagaimana dia hampir mati di lokasi foto, itu hebat!”
“Sudahlah! Tidak penting lagi.”
“Telinganya perlu dijewer sedikit.”
“Aku bilang tidak usah.”
“Dia pikir hidupnya seindah itu.” Snella ingin mendorong Dreyant kembali ke lapangan.
“Cukup!!!”
Hati Snella tertancap, sampai tidak sanggup bicara lagi.
“Kalau dia tidak menerima kenyataanku sekarang, ya sudah. Kalau itu membuatnya jawara malam ini, bagus. Selama karirnya masih hidup, semoga dia lebih berhati-hati di bawah tenda,” jelas Dreyant dengan keras. “Meski mengecewakanku, menyakitkan. Salah jika dia pura-pura masih menerimaku, aku tidak ingin itu. Tapi aku suka caramu menghiburku, manis sekali. Jadi tolong jangan membuatku terbiasa dengan yang pahit kurasa.”
Itu membuat Snella tersenyum, semanis cara dia menghibur Dreyant.
“Dreyant, ajari aku ice-skating!”
Mereka jadi kembali ke tengah lapangan, Dreyant lupa rasa ingin ke toilet. Siapa kira Snella sangat ahli menggunakan sepatu skate, mengesankan Litlageaner selama pesta belum berakhir, bersama Dreyant dengan kursi rodanya.
DA_Prantoko
Batam, 24 Desember 2016
@Ivaumu iya, mudah-mudahan kalau dapat ide buat outline versi novelnya hehe :) makasih reach-nya