BORU SIBOLANGIT
Sibolangit dengan esensial alamiannya, orang-orang di desa terdekat menasihati supaya jangan menjamah terlalu dalam, dulu banyak lebih dari seminggu ada orang yang baru bisa keluar, ada yang tak pernah keluar selamanya. Seringnya Framon dikira anak crosser yang suka terabas, padahal daripada harus lari sampai kejang kelelahan sebelum tiba di air terjun -yang harus turun kaki dulu kalau ke sana, lewat batuan lereng paling landai, tidak dengan motocross-nya.
Setelah menapaki batu-batu di terusan pangkal sungai kalau tidak mau kaki kebasahan melawan arus, Framon terhenti di satu batu yang paling besar, melonjong, permukaan yang tidak tenggelam cocok untuk duduk sambil memandangi air terjun yang derunya -mungkin- sampai masuk ke dalam gua yang melubangi salah satu dinding tebing batu.
“Imora!”
Framon memanggil, tertuju ke pangkal sungai –titik jatuhnya air terjun, sampai yang ketiga kali baru benar-benar mengubah suasana, dengan hadirnya seorang perempuan berbaju jarik putih yang tidak kusam, keluar dari dasar pangkai sungai, yang dalamnya bisa ditaksir dari setengah perut ke atas perempuan itu yang tidak tenggelam. Kejanggaalan hanya pada satu melati putih, tersemat di atas telinga kanan Imora semenjak dari dalam.
Selain itu, penampakannya tetap berkesan sebagai puncak keindahan alamiah Sibolangit. Setelah beri senyum, Imora mendekat ke Framon, duduk bersebelahan, awalnya sapa dan sedikit basa-basi, lalu agaknya serius.
“Jadi kapan, Bang?” tanya Imora.
“Asal ma ho boi songon ni saleleng na dioloi ho, ” Framon jawab, "Asalkan kamu bisa seperti ini selama yang kamu mau."
“Iya, Bang. Seperti perempuan lainnya, aku juga bisa kerja di kota. Jadi kapan, Bang siapnya?” desak Imora.
“Kasih aku, sehari lagi, ya! Sehari lagi!”
“Kalau bulan ini gak bisa tunda, Bang. Kami cuma punya waktu besok, hari besok itu. Imora gak kasih bulan depan. Besok atau hari ini yang terakhir.”
“Eeh, iya iya…”
“Yasudah kalau gak bersedia,” gerutu Imora.
Framon sempat mencegah Imora masuk sungai. “Baiklah, hari ini bukan yang terakhir.”
“Janji?”
***
Framon ke tujuan lain setelah memengang janjinya dengan Imora. Masih dalam Sibolangit, jauh dari air terjun, menuju ke dekat pohon beringin besar sebelah gubuk bambu tua yang lembab.
Framon memanggil ke gubuk, “Nale!” lalu menghampiri.
Yang dia panggil tidak sedang di dalam, tapi seorang perempuan berbaju jarik warna hijau tipis dari sebatas dada sampai lutut, hadir semenjak keluar dari belakang beringin, Framon kenali, selain dari batang basah berdaun-daun kecil yang melingkar di atas rambutnya. Framon hampiri, lalu duduk di akar beringin, berhadapan dengannya.
“Abang, ro ummalam?” tanya dia, "Aban, datang sorean?"
“Iya, Nale. Sorry jo dah, adong ulaon di jabu gabe leleng ho mamette,” Framon jawab, "Iya, Nale. Maaf, ada urusan di rumah, kamu jadi lama nunggu."
“Tak apa, Bang. Jadi, gimana besok?"
Framon malah dilema, “Besok? Besok…”
“Besok harinya!” Nale bangkit. “Nale gak mau nunggu tahun depan. Kalau Abang yakin, kenapa masih ada ragu? Nale memang gak punya keluarga, tapi siap ikut adat di kampung Abang. Memang Nale harus disentuh dulu, biar jadi seperti perempuan lain. Janji, jadi besok atau sore ini yang terakhir?”
“Ee…, ya. Besok jelang magrib Abang kemari.”
***
Memang sebentar, asal melegakan hati Framon sampai rumah setibanya awal magrib. Di kamar, bimbangnya menghabiskan setengah malam, terus kepikiran soal melunasi dua hutang janjinya. Hanya menjelang magrib esok penentunya. Salah sendiri memang, tapi tak usah dipersalahkan jika hati seorang laki-laki dilemahkan keindahan tutur dua Boru Sibolangit. Atau lubuk kebohongan Framon tak mengakui penghalusan keserakahan yang dikira angan semata, andai miliki keduanya.
Mana mungkin, selama lubuk jujurnya dia sadari, yatim piatunya Nale tak beralasan peroleh dua restu dari keluarga Imora. Imora atau Nale? Framon putuskan esoknya kemarin yang sudah jadi hari ini, ditaksir dua puluh menit sebelum magrib bersiap, jika tidak perlu memperlama waktu dandan.
“Mau kemana sorean begini?” heran Emak.
“Ke hutan, eh! Pengen beli rambutan maksudnya.”
“Dandan cakep bukannya ke mall malah ke hutan. Tebar pesona sama monyet? Ini sore bukan pagi, mau magrib.”
Apa pun itu, tak bisa Framon urungkan, meski rintangan berupa cerewetnya Emak kesayangan. Masa bodoh dan diamnya karena suara knalpot motocross-nya lebih keras dari omelan.
“Heran! Nga lam golap bgabe lao mangallang rambutan. Eh! Lao ma tu hutan," kata Emak, "Heran! Sorean gini pengen rambutan. Eh! Pergi ke hutan." Lalu Emak mendadak sadar. "Hutan!? Eh, hutan! Sibolangit!” Emak mengejar Framon yang knalpot berisiknya tak lagi terdengar. “Framon! Baliiik!”
Rute biasanya masih jelas, hanya satu jalur yang bisa dilalui Framon setelah simpang dua. Sampai di tepi lereng bebatuan sudah semakin remang ruang pandangnya, sedangkan sahutan krik-nya alam terdengar keras, selain derunya sungai di bawah air terjun. Setelah turun kaki lewat lereng terlandai, Framon hampiri perempuan yang duduk di atas batu terbesar, memunggunginya.
Pahamnya Framon, tubuh dia tidak familier Imora biasanya, terutama batang basah berdaun banyak yang dibuat melingkar di atas rambut perempuan itu, yang berpaling mendahului sapaan Framon.
“Nale!?” Framon benarkan dugaannya tadi. “Kenapa kamu di sini?”
“Nale sudah tahu, yang buat Abang meragui janjiku. Memang tak Nale katakan sebelumnya, karena perempuan perlu kepastian. Nale tahu Abang akan ke sini.”
“Abang Framon!”
Sapaan yang Framon kenal pemilik suara itu, yang membuat Framon balikkan badan.
“Abang memang tepati janji atau mendilema lagi karena dia? Waktuku singkat.” Langkah anggun Imora ke sebelah Nale, sejajar.
“Janji siapa yang kau tepati?” desak Imora.
“Benar Abang mau ingkar janji denganku?” tambah Nale.
“Kalau Abang memang pilih Imora, ingat baik-baik!”
Tatapan mata Imora diperkuat, mengkaleidoskopkan tentang dirinya sendiri dalam ingatan Framon. Bahwa Imora, Boru Sibolangit pertama yang Framon kenal, paling Framon hayati keindahannya, dan teman kebasahan bermain di bawah air terjun. Nale lakukan serupa Imora ke Framon, bahwa laki-laki itu orang pertama baginya yang mengucap permisi saat berlidung di gubuk tua nan lembab, tanpa niatan mengotori beringin di sebelah.
Lubuk jujur Framon membisik soal ketegasan laki-laki membuat keputusan, antara Imora yang terlihat setahun lebih muda darinya atau Nale yang seusia, selain pada kecantikan sepenuh mental dan fisik yang maksimum kedua Boru Sibolangit itu. Labil jika Framon bilang punya kadar cinta yang sama untuk keduanya, kecenderungan adalah satu. Hanya satu boru yang harus dia pilih.
“Imora!”
Nama itu yang membuat jantung Nale bergejolak, terlebih lagi karena Framon menghampiri hadapan Imora.
“Maaf membuatmu banyak berharap padaku, dan aku sangat melukai perasaanmu pada akhirnya. Karena harus kupilih satu.” Framon berpaling ke Nale, dihadapan. “Kutepati janjiku untukmu, Nale!”
Gejolak jantung Nale menjadi berbeda.
“Maukah jadi milikku, dan menjadi seperti perempuan lainnya?”
“Ya, karena kau, Abang.”
Senyum Nale bersinkron dengan senyum Framon, terbungkus sinkronisasi layer-layer perasaan keduanya saat magrib baru mulai, yang membuat cemberut kecut sepasang bibir Imora.
“Imora!” tegur Nale. “Maaf, gua itu bukan punyamu, kan?”
“Sesuka kalian saja,” Imora jawab dengan cuek tanpa membuat wajahnya terlihat masam, justru terlihat manis dengan versi lain.
“Mulailah miliki aku di dalam, Bang! Biar aku jadi perempuan seperti manusia.”
Framon bantu Nale melawan arus sungai, demi transaksi sesuai kesepakatan, ke dalam gua yang sepenuhnya gulita. Imora tenggelamkan dirinya ke sungai untuk tak nampak lagi setelah terdengar teriakan panjang laki-laki yang menggaung hebat sampai ke luar gua.
*
Di jauh lain hari, saat sore, gua dan sungainya masih sama, batuannya juga tidak berubah. Hanya dijamah seorang laki-laki yang bawa senter, penasaran dengan rongga guanya, dia masuk. Tanpa heterogenitas di dalam, kecuali satu tengkorak utuh manusia yang bermotif sarang laba-laba dan sedikit lumut hijau, dipahami dari lebar dada bahwa dulunya tengkorak itu laki-laki, membuatnya jadi merinding dan ingin segera ke luar saja.
Tapi kawasan itu jadi tak sehoror yang dia pikir ketika menyaksikan keindahan Sibolangit sedang pada puncaknya. Dia lihat perempuan sangat cantik wajah, rambut juga tubuhnya yang terbalut baju jarik putih terang, juga mengenakan melati putih tersemat di atas telinga kanan. Laki-laki itu seperti setengah tak sadar langkahnya menginjak arus yang datang dari pangkal sungai, pada ronanya sangat berbunga-bunga, menghampiri perempuan itu, mendekat, hingga sangat dekat tanpa celah antara keduanya.
Dhimas Ardhio Prantoko
Batam, 23 Juni 2019
@[dear.vira] terima kasih, Vira. Oke aku mampir