Brukk!!
Nata meletakkan tas punggungnya yang berat. Dia menatap jam di tangannya. Tepat pukul satu lewat dua puluh lima menit. Pantas saja dingin sekali. Dia merestleting jaket abu-abu kesayangannya.
“Sekarang gimana nih? Drone-nya udah siap. Kita terbangin sekarang ya.” Nata menghampiri Farah yang sudah menunggu di balik semak-semak.
Malam ini mereka akan melakukan pengintaian di rumah tua yang tepat berada di ujung kompleks perumahan tempat mereka tinggal. Rumah ini hampir sebulan lebih kosong sejak peristiwa yang menimpa penghuni rumahnya. Om Bayu dan Tante Dila yang ditemukan tak sadarkan diri di rumah yang besar itu. Rumah besar ini terdiri dari dua lantai dengan taman dan kolam renang. Namun sejak sebulan terakhir, tidak ada tanda-tanda kehidupan kecuali Mb Minah dan Pak Munif yang menjadi penjaga rumah—sejak kedua majikannya mendapatkan rumah bergaya klasik itu sebagai warisan.
Mereka masuk melalui pintu rahasia yang sengaja mereka buat tepat di bagian tembok yang bolong. “Dikit lagi Nat. Kita harus pastikan nggak ada orang yang lihat. Eh, tapi drone ini bener-bener nggak bakal ketahuan kan?” tanya Farah setelah mengambil drone dari Nata.
“Ketahuan siapa? Kakak gue? Tenang aja, gue kan udah izin.” Nata menjinjing tasnya dan berjalan bersama Farah sambil mengendap-endap.
“Bukan. Suaranya. Berisik ngga sih?” tanya Farah tanpa melihat ke arah Nata.
“Nah, soal itu gue nggak janji deh. Gue coba kemarin bareng Kak Angga. Nggak terlalu bising. Apa mungkin karena siang ya? Tapi gue udah bawa penangkalnya kok.”
Farah menengok ke belakang, tepat saat Nata terkejut karena berhenti mendadak. “Penangkal? Lo bawa apaan?”
“Gue bawa Goofy. Gue taruh dia di samping rumah ini, dekat rumah Pak Gandi.”
“Maksud lo? Goofy? Anjing Pak Satpam kompleks? Kenapa dia bisa jadi penangkal??” Tanya Farah. Terkadang dia tidak tahu jalan pikiran sahabatnya sendiri, ide-ide gila selalu keluar dari mulut gadis pecinta abu-abu itu.
“Lo tahu kan, si Goofy bakal keganggu kalau ada orang asing yang lewat. Apalagi Pak Gandi kan punya dua anjing tuh. Suara gonggongan Goofy bisa meminimalisir suara bisingnya drone. Apalagi kalau ada orang lewat, kita bisa tahu yang dateng pasti asing buat Goofy.” Nata menunjuk kantong yang dia gantung di tasnya. “Gue juga udah bawain biskuitnya Goofy. Well prepared!”
“Gue nggak mau nanggung kalau ini termasuk ketidakperihewanan.” Sepertinya dia tidak punya pilihan lain, selain mengikuti aturan main Nata.
Nata mengangguk paham. Keduanya melanjutkan perjalanan mereka menuju taman belakang rumah penuh misteri itu.
“Fa, berhenti.” Nata menarik lengan Farah dan menyuruhnya lebih menunduk lagi. Ada bayangan yang terlihat di tembok dari pantulan jendela samping. Nata mengamati sekelilingnya. Dan baru tersadar kalau ternyata rumah besar ini tetap terawat walau tidak ada penghuninya. Bahkan semua lampu hampir tidak pernah padam di malam hari.
“Nat, drone-nya kita terbangin sekarang aja ya. Keburu ketahuan orang. Biar kita juga cepet balik. Makin lama makin serem.” Ujar Farah. Dia sedikit merinding melihat sekitarnya yang gelap, walau lampu rumah ini menyala.
“Ok. Siap-siap ya Fa.” Nata mulai menerbangkan drone secara perlahan. Ternyata suara baling-balingnya tidak terlalu bising. Dengan lihai dia menggerakkan drone itu tanpa kesulitan. Berkat Kak Angga. Dia berguru pada orang yang tepat.
Nata menerbangkan drone ke lantai dua, mencari cerobong asap yang berada di sisi kanan rumah. Saat sore biasanya Pak Munif mampir untuk menutup semua jendela dan mengunci pintu. Jadi celah yang bisa dimasuki hanya cerobong asap. Agar drone-nya bisa masuk dengan sempurna dan mereka bisa mengetahui letak ruangan sebelum membuat denah rumah itu.
“Udah masuk Fa.” Bisik Nata pada Farah yang sedang mengamati sekitar. Dia mencoretkan gambar-gambar di kertas.
“Ya udah, keliling lantai dua aja Nat. Lantai satu kita udah tahu ruangannya. Lo masih inget nggak pas pertama kali kesini, acaranya Om Bayu. Waktu itu acaranya di lantai satu kan. Kalau area luar, gue lagi bikin sketsanya. Tinggal di lantai dua aja.”
“Siap.” Nata melanjutkan menerbangkan drone-nya menyusuri ruangan demi ruangan di lantai dua. Namun belum sampai selesai mereka mendengar suara gonggongan Goofy.
“Nat....” jantung Farah seperti berhenti berdetak. Dengan cepat Nata menerbangkan drone-nya kembali melewati cerobong asap. Beberapa menit kemudian drone itu berhasil keluar dari dalam dan mendarat dengan sempurna.
“Yash... Lo udah selesai buat sketsa denahnya, Fa?”
“Bagian luar udah. Yuk buruan.” Farah membereskan peralatannya. Sedangkan Nata memasukkan drone ke dalam tasnya.
Srekk..srekk...srekk
“Sst.. Ada yang datang.” Seru Farah dengan suara yang hampir tidak terdengar. Nata lagi-lagi menabrak punggung Farah yang berhenti tiba-tiba. Untung saja dia menopang tubuhnya dengan kedua tangan. Sehingga tidak menimbulkan bunyi keras saat tubuhnya hampir terjatuh tadi.
“Itu kucing kali Fa. Kita harus cepet-cepet. Lo masih denger suara gonggongan Goofy nggak?!” Tanya Nata memastikan pendengarannya.
Farah menggeleng. Dia menarik tangan Nata. Menuntunnya kembali menuju pintu rahasia mereka berdua.
Hap!
Akhirnya mereka berhasil keluar dengan keadaan selamat tanpa ketahuan siapapun.
“Fa, lo langsung ke rumah gue ya. Bawain tas gue juga. Gue mau balikin Goofy ke Pak Satpam.” Nata mengambil kantong biskuitnya. “Buruan. Sebelum ada yang keluar.” Farah mengangguk dan menuruti perkataan Nata.
Nata berlari tanpa suara menghampiri Goofy yang sedang berdiri seperti menunggu seseorang datang. Dia melepaskan tali anjing berwarna coklat itu, yang diikatnya pada pagar rumah orang.
“Anjing pintar.” dia memberikan satu biskuit kesukaan Goofy. Sambil menggerakkan ekornya, Goofy menggigit biskuit itu.
“Ayooo...” Nata membawa Goofy kembali ke pos satpam depan kompleks. Dia memberikan sekantong biskuit dan mengembalikan Goofy kepada pemiliknya.
“Udah beres Mbak?”
“Sudah. Terima kasih Pak.” Setelah selesai mengantar Goofy, Nata bergegas kembali ke rumahnya. Dia memasuki rumahnya pelan-pelan. Membuka pintu dengan sangat pelan agar tidak membangunkan kedua orang tua dan kakaknya.
“Aman?” tanya Farah sesampainya Nata di kamar kesayangannya itu.
Nata mengacungkan jempol kanannya. “Eh, gimana hasilnya? Lo udah bikin denahnya?” Dia mengambil kartu penyimpanan mikro dari dalam drone.
“Coba kita lihat hasilnya.” Ajak Nata. Dia memasukkan kartu penyimpanan itu ke laptopnya.
Farah memperhatikan tiap ruangan yang berhasil di rekam sambil mencoret-coret sketsa denahnya di kertas. Dengan sigap Nata juga mengambil kertas dan mencoba menggambarkan denah lantai pertama yang diingatnya.
“Bentar lagi jadi.” Farah fokus pada bagian terakhir dari denah itu. Nata yang duduk disampingnya berhasil menggambarkan denah lantai pertama sesuai apa yang dia ingat.
“Gue masih inget Fa. Gila nggak sih.” Nata tersenyum puas.
“Gue tahu, ingatan lo nggak main-main. Nah.... denah lantai dua juga udah jadi nih.”
Farah meletakkan hasil karyanya di meja berdampingan dengan milik Nata. Mereka berdua mengamati denah rumah tua itu. Antara takjub dan bingung. Ternyata rumah tua itu benar-benar megah dan merupakan bangunan yang sangat kokoh.
“Ok. Semua beres. Kita lanjut besok aja. Gue ngantuk banget. Selamat malam partner detektif.” Ujar Nata sebelum merebahkan tubuhnya diatas kasur empuk.
“Akhirnyaaa! Misi kita hari ini selesai.” Farah juga merebahkan tubuhnya di atas kasur di sebelah Nata. “Selamat malam duniaaa... Selamat tidur.” Serunya pelan.
“Ewwhh...”
***
“Kalian lagi ngapain sih?” tanya Tristan yang baru saja bergabung dengan kedua gadis itu.
Hari ini mereka harus menyelesaikan tugas kelompok fisika tentang .......
“Lo mau gabung sama kita?” tanya Nata. “Ngeliatin denah.”
Tristan menggeleng. “Nggak. Denah apaan sih?” dia tidak peduli tapi penasaran.
“Lo tahu rumah tua di ujung jalan kan. Gue sama Nata lagi melakukan penyelidikan tentang rumah itu.” Jawab Farah kemudian.
Tristan mengangguk, pura-pura paham. Cukup dua saja dia punya teman aneh seperti ini. Doanya dalam hati.
Nata dan Farah masih berkutat pada denah di hadapan mereka. Tanpa sedikitpun menyentuh tugas fisika yang seharusnya mereka kerjakan sebelum minggu depan.
Tristan yang sedari tadi uring-uringan mencoba menarik perhatian mereka dengan membolak-balikkan halaman demi halaman dengan cepat. Sehingga menimbulkan bunyi yang mampu mengganggu mereka berdua.
“Pelan-pelan Tris. Kita lagi konsentrasi.” Timpal Nata.
“Menurut gue kalian buang-buang waktu. Mending kita fokus ngerjain tugas fisika aja.” Tristan yang mulai habis kesabaran, kembali mengingatkan kedua gadis di depannya yang sangat terobsesi dengan penyelidikan misteri rumah tua itu.
Nata mengalihkan pandangannya dan menatap tajam Tristan. “Abisnya lo ngapain sih satu kelompok sama kita. Mending lo sekelompok sama Gadis and the gank sana. Dia kan naksir lo dari kelas satu.”
“Ogah,” Tristan bergidik. “Cewek itu kadang emang nyusahin ya.” Tambahnya pelan, namun masih terdengar jelas.
“Jadi lo pikir kita bukan cewek??” sahut Nata. Di sampingnya, Farah masih fokus meneliti tiap bagian dari denah itu.
“Bukannya Farah doang disini yang cewek?” jawab Tristan.
“Rese lo.” Nata melempar buku fisikanya ke arah Tristan.
“Kalian tuh selalu ngeributin hal yang nggak jelas. Awas aja, jangan-jangan kalian entar jadian ya.” Tiba-tiba Farah menimpali pembicaraan mereka berdua.
“Jadian? Sama bocah satu ini? Please Fa, beliin gue tiket ke planet Mars.” Timpal Tristan.
“Emangnya gue mau jadian sama lo. Najis!!” Nata membalas dengan tatapan tajam.
“Ssst.. Kalian malah bikin gue nggak konsen.” Farah menatap denah lagi. “Eh bentar deh. Nat, ini kayaknya kalau dilihat dari denah, ada jalan masuk lain. Selain di depan dan belakang.”
“Masa sih gue lihat sini.” Tiba-tiba Tristan mengambil denah itu.
“Katanya tadi nggak tertarik. Dasar.” Nata menggerutu “Eh Fa... gimana kalau besok kita masuk ke rumah itu lagi. Lo ikut nggak?” pertanyaan terakhir ditujukan pada Tristan.
“Besok? Nggak bisa. Kita harus ngerjain tugas fisika. Titik.” Tristan menunjuk buku fisikanya.
“Bentar Nat...” lagi-lagi Farah kembali fokus pada denah itu. Dia masih penasaran dengan apa yang digambarnya di samping kolam pada denah.
“Bilang aja, lho takut kan, Tris. Cemen.” Ledek Nata.
Tristan meninju lengan gadis itu. “Emangnya lo, lo pernah saking takutnya sampai nangis dan meluk gue.”
“Ih itu kan udah lama banget. Sekarang ya sekarang. Dulu ya dulu.” Raut wajah Nata menjadi cemberut.
“Iya deh iya.” Rajuk Tristan.
“Hello, masih ada gue disini. Sumpah deh. Dunia serasa milik berdua ya.” Kini giliran Farah yang hampir habis kesabarannya mendengar celotehan kedua sahabatnya yang mengapa sampai sekarang belum jadian.
“Ok..ok kembali ke topik.” Tristan menengahi. “Jadinya gimana Fa?”
“Besok kita selidiki dan coba masuk ke rumah itu.”
“Kalau gitu gue ikut. Harus ada yang jagain kalian berdua terutama bocah kecil satu ini.” Tristan merangkul pundak Nata.
“Oke... Besok jam empat pagi, kita ketemu di taman bermain depan rumah tua itu.” Farah beralih menatap Tristan. “Lo beneran ikut kita?” tanyanya.
Tristan menjawab dengan angguan kecil.
Nata mendengus. Dia mencoba melepaskan rangkulan tangan Tristan di pundaknya. “Dan besok hidup gue bakalan nggak tenang.”
“Ya terserah, lo sih Nat. Gue boleh ikut atau nggak. Gue kan jagain kalian berdua. Kalau terjadi apa-apa gimana? Eh, tapi gue nggak nanggung akibatnya juga nanti kalau gue nggak ikut. Ngapain gue pusing ya.” Tristan mulai mengeluarkan jurus andalannya. Dan dapat dipastikan setelahnya, kalau jurus ini tidak berhasil Tristan akan meminta izin pada Mama Nata—Tante Ika—untuk tidak membiarkan anak cewek satu-satunya pergi tanpa penjagaan. Entah sejak kapan, Nata diizinkan kemana saja asal bersama Tristan. Kecuali tadi malam, ya karena Nata tidak meminta izin mamanya, jadi hidupnya masih aman sampai saat ini.
Nata menghela napas berat. “Lo kenapa jadi mirip Kak Angga sih. Cerewet. Ribet. Ya udah deh lo boleh ikut.” Akhirnya Nata mengalah.
Tristan tidak menghiraukan ucapan Nata. Namun diam-diam dia tersenyum penuh kemenangan.
“Jadi besok kita masuk lewat mana, Fa.” Tanyanya kemudian.
“Pintu rahasia menuju ruang bawah tanah.”
***
Farah hilang?!
Nata menyingkirkan pikiran buruknya. Tidak pasti Farah ada. Dia mengetuk jendela kamar Farah yang berada di samping rumah. Beberapa kali dia mengetuk namun tidak ada jawaban apapun setelahnya. Akhirnya dia menyerah dan memutuskan untuk menghubungi Tristan. Dia mencoba berkali-kali namun tidak ada jawaban.
Setelah hampir setengah jam memutuskan, kini dia berdiri tepat di depan rumah Tristan. Menunggu sang empunya rumah untuk membukakan pintu. Dia mencoba menghubungi Tristan lagi. Bahkan sampai meneror kalau sampai tidak dibukakan pintu.
Memang, ini bukan waktu yang tepat untuk berkunjung ke rumah orang. Apalagi saat penghuni rumahnya masih tertidur pulas. Sekarang tepat pukul empat lewat tiga puluh lima menit pagi. Harusnya kami berkumpul di taman depan rumah tua itu. Tapi sejak menunggu dari pukul empat, tidak terlihat tanda-tanda kedatangan Farah dan Tristan. Nata berusaha menghubungi handphone Farah tapi tidak aktif. Terakhir kali Farah memberitahukan bahwa dia sedang mempersiapkan barang-barangnya dan akan memastikan sesuatu. Semenjak chat terakhir itu handphone Farah tidak aktif. Nata khawatir terjadi sesuatu pada Farah. Akhirnya dia memutuskan pergi ke rumah Tristan untuk mendiskusikan apa yang seharusnya dia lakukan setelah ini.
Tiba-tiba pintu di hadapannya terbuka. Sesosok laki-laki bertubuh jangkung menatapnya dengan ekspresi terkejut.
“Natasya...?” Matanya membelalak. “Sorry Nat. Gue ketiduran. Jadi berangkat sekarang?” tanyanya sambil menahan kantuk. Tristan menggendong tas ransel hitam di tangan kirinya.
“Sini pinjem handphone lo.” Tristan mengambil handphone di kantong celana lalu memberikannya pada Nata.
“Lihat nih. Gue udah nelpon lo belasan kali, dan chat gue nggak lo baca. Lo ngebo atau pingsan sih?!”
“Sorry..sorry.. gue semalem begadang.” Tristan beralasan.
“Oke. Sekarang bukan itu masalahnya.” Ujar Nata. “Farah hilang, Tris.”
“Hilang gimana?” tanya Tristan memastikan info yang didengarnya dari Nata.
“Ya hilang. Nggak ada.” Jawab Nata sekenanya.
“Coba lo telpon. Palingan dia ketiduran.” Tristan masih mencoba berpikir positif. Siapa tahu Farah sekarang benar-benar sedang tidur di kamarnya.
“Nggak. Gue udah telpon dan samperin ke rumahnya juga. Tapi nggak ada tanda-tanda Farah di rumah.” Nata memberitahukan chat terakhir dari Farah. “Nih. Terakhir dia chat jam satu pagi. Setelah itu nggak ada apa-apa lagi. Gue baca chatnya jam empat, pas gue lagi nungguin kalian berdua di taman.”
Nat, gue lagi mastiin sesuatu. Entar gue chat lo lagi ya.
Tristan membaca ulang chat terakhir Farah. “Oke. Lo masuk dulu ke kamar gue. Kita diskusi disana. Orang rumah belum pada bangun nih.”
Beberapa menit kemudian mereka berdua sampai di kamar Tristan yang cukup luas berwarna abu-abu yang dipadu-padankan dengan krem. Untuk ukuran kamar laki-laki, kamar Tristan termasuk yang paling rapi. Semua barang tersusun rapi di tempatnya. Ada satu kasur dan sofa menghadap ke jendela. Lemari dan meja TV juga berwarna senada.
“Oke. Jadi menurut lo, si Farah hilang? Kira-kira dia hilang kemana?” tanya Tristan memulai diskusi tentang Farah.
“Sepertinya dia mencoba untuk menyelidiki rumah tua itu sendirian.”
“Tapi kenapa Nat?” tanya Tristan memastikann.
“Nah, itu yang gue juga nggak tahu.” Jawab Nata pasrah.
“Dugaan sementara Farah hilang karena menyelidiki rumah tua. Bisa jadi hilangnya nggak jauh dari rumah itu. Pokoknya sekarang kita atur rencana untuk menemukan Farah sebelum menyelidiki kasus rumah tua. Saat matahari sudah terbit nanti, kita langsung beraksi.” Tristan bergegas mengeluarkan kertas dan alat tulis dari dalam tasnya lalu mulai menuliskan beberapa kata.
“Kronologis kejadian. Fakta tentang rumah tua. Hilangnya Farah.” Tristan membaca catatannya. “Lo inget nggak, Farah bilang ada jalan masuk selain dari pintu depan dan belakang?”
Nata mengangguk cepat. “Ruang bawah tanah.”
“Lo bawa denahnya nggak? Pasti ada hal yang terlewat oleh kita.” Mereka berdua mengamati dengan teliti denah itu.
“Nat... Ini.” Tristan menunjuk gambar kotak yang diarsir pada denah. “Pasti ini jalan masuk menuju ruang bawah tanah. Tapi gue penasaran. Kenapa hal ini tidak pernah ada di laporan polisi? Apa kasus kematian Om Bayu dan Tante Dila bukan bunuh diri. Tapi pembunuhan??”
Nata tersadar. Semuanya nampak jelas sekarang. Dugaan awalnya bisa jadi benar tentang kasus yang menimpa Om Bayu dan Tante Dila itu bukanlah bunuh diri. “Gue berhasil ngumpulin informasi warga yang tinggal di sekitar rumah tua itu. Bahkan Om Gandi juga berpikiran bahwa masih ada kehidupan di rumah itu.” Nata menatap Tristan yang sedang berpikir keras.
“Atau .... pembunuhnya tinggal disana?!!” tambahnya kemudian.
***
Disisi lain, Farah duduk terdiam menunggu seseorang dihadapannya menceritakan alasan kenapa gadis itu bisa sampai tinggal di ruang bawah tanah tanpa diketahui siapapun.
Farah sedikit bersyukur karena berhasil masuk ke ruang bawah tanah rumah tua yang penuh dengan misteri ini. Awalnya dia hanya mencoba untuk memastikan bahwa dia tidak melewatkan satu hal saat membuat denah. Tapi ternyata rasa penasarannya itu membuat dia berada di sini dan menemukan satu rahasia yang orang lain tidak tahu. Gadis di hadapannya kini adalah anak kandung Om Bayu dan Tante Dila. Gendis namanya. Dia merupakan anak perempuan pertama yang tidak pernah tinggal bersama Om Bayu dan Tante Dila. Sejak kecil dia diasuh oleh kakak Om Bayu. Diadopsi menjadi anak mereka karena mereka tidak memiliki anak.
Selama ini warga sekitar—termasuk dirinya, Nata dan Tristan—hanya mengetahui bahwa Om Bayu memiliki satu anak bernama Robby, yang ikut adik Tante Dila pindah ke luar negeri karena trauma atas peristiwa yang menimpa orang tuanya.
“Kamu bisa bantu aku kan untuk menyelidiki kasus ini. Aku sudah mengumpulkan banyak berkas-berkas sebagai penunjang penyelidikan kita.” Gendis memulai pembicaraannya lagi.
“Gue bisa bantu. Tapi untuk urusan begini, gue harus minta bantuan sahabat gue, namanya Natasya. Rumahnya masih satu kompleks disini. Tapi pasti sekarang dia berpikir gue menghilang tiba-tiba.” Farah beranjak menghampiri Gendis.
“Kita harus cari cara untuk kasih tahu Nata tentang keberadaan gue. Handphone gue mati. Jadi cara terbaiknya kita harus keluar tanpa harus ketahuan orang lain. Terutama keberadaan lo di rumah ini.”
“Kalau gitu aku siap-siap. Tapi gimana kita memberitahu temanmu tanpa ketahuan?”
“Gue punya ide.” Dia mengambil sebuah foto dari dalam dompetnya. Lalu menuliskan sesuatu dibalik foto itu. “Lo ada amplop coklat?”
Gendis mengangguk, dia segera mengambil amplop coklat di atas rak buku. Ruang bawah tanah ini termasuk ruangan yang bersih menurut Farah. Walau banyak yang tidak tahu, pasti rumah sebesar ini dengan gaya klasik khas 80’an, pasti punya ruang bawah tanah yang keren.
“Gimana rencanamu, Fa?” tanya Gendis kemudian.
“Menulis petunjuk...dan kita akan meletakkannya di taman depan rumah ini.” Farah memasukkan foto itu ke dalam amplop coklat.
“Ayo... Sebelum pagi mulai cerah.” Ajak Farah. Gendis mengangguk setuju. Dia mengikuti langkah Farah di belakang. Sepertinya hanya itu yang bisa mereka lakukan untuk saat ini. Tidak sampai Nata dan Tristan menemukan mereka nanti.
***
Hampir setengah jam mereka mencari petunjuk dimana keberadaan Farah. Namun kini Tristan dan Nata kehabisan ide harus mencari kemana lagi. Mereka duduk dibawah pohon mangga di taman depan rumah tua. Terik matahari mulai menyengat kulit. Untung saja, di salah satu sisi taman masih tumbuh pohon mangga yang rindang.
“Eh itu ada amplop Nat!!” seru Tristan. “Punya siapa ya? Isinya uang barangkali.” ucap Tristan asal.
Nata membaca tulisan di depan amplop itu. “Tristan Natasya. Ini nama kita Tris.” Dia mengeluarkan benda yang ada di dalam amplop. Ada foto pemeran James Bond 007, Pierce Brosnan yang sedang memperlihatkan jamnya. Dan dibalik foto itu ada angka acak yang tertulis.
77788624408-882
“Maksudnya ini apa?” tanyanya kemudian.
“Ini bisa jadi petunjuk dari Farah.” Tristan mengamati dengan teliti foto itu. Lalu tiba-tiba dia berhasil memecahkan kodenya. “Kamu lihat foto Pierce Brosnan ini, dia sedang memperlihatkan jam. Dan disini tertulis James Bond 007.” Tristan menjelaskan pada Nata.
Nata mengerti maksud Tristan. “Foto ini berarti ‘Jam 7’. Terus angka dibaliknya itu kira-kira apa ya?”
“Ini bisa berarti sesuatu. Bisa jadi ini artinya tempat bertemu? Jam 7.” Tristan mengulangi angka-angka di foto itu.
“Tapi kenapa banyak angka yang diulang. Kalau urutan ke 7 di alfabet adalah huruf F. Karena angka 7 nya ada tiga berarti FFF.”
“Bukan.. Bukan itu.” Tristan memutar otak mencari jawaban yang tepat. “Kita harus cepat memecahkan kode ini.”
“Aaa!!! Gue tahu!!” seru Nata. “Keypad handphone lama. Kode yang biasanya gue pakai sama Farah. Kalau dituliskan jadinya akan seperti ini. Angka 7 dipencet tiga kali menjadi huruf R. Selanjutnya U, M, A, H....” Nara mengganti semua angka menjadi huruf menggunakan cara kerja keypad handphone lama.
“Angka 0 berarti spasi. Selanjutnya T, strip U dan A.” Tristan membantu memecahkan kodenya.
“RUMAH TUA!!” seru mereka berbarengan.
“Jadi kita harus ke rumah tua jam tujuh.” Dia melihat jam ditangannya. “Oke, kita kesana jam tujuh malam ini.”
“Karena pasti Farah yang mengirim pesan ini sudah memperhitungkan segala sesuatunya. Termasuk kode di foto ini.” Tambahnya kemudian. “Nggak mungkin ini dari orang lain.”
“Tapi bisa saja ini dari orang lain.” Nata tidak ingin menjatuhkan harapan, tapi dia curiga dengan apa yang sebenarnya terjadi.
“Terus siapa?” tanya Tristan.
“Pembunuhnya....” seru Nata. Wajahnya pucat.
***
Tepat pukul tujuh malam.
Nata dan Tristan bersiap di taman depan rumah tua. Suasana sedikit mencekam saat dirasa malam ini lebih sepi dari biasanya. Mereka berdua memutuskan untuk melakukan penyamaran dengan memakai topi dan jaket hitam. Tristan pun berjaga-jaga dengan pisau lipat di kantong jaketnya.
“Kira-kira menurut lo yang bakal dateng siapa Tris?”
“Farah..” jawab Tristan singkat.
“Kalau bukan Farah gimana? Tapi pembunuhnya...”
“Gue cuma nyaranin untuk lari.” Ini hal pertama yang terpikir olehnya. Dia tidak sedang bercanda. “Nat, kalau kita selamat. Gue mau ngomong sesuatu ke lo.”
“Apaan sih lo, Tris. Ya udah ngomong sekarang aja.”
“Nggak bisa. Harus nanti.”
Nata mendengus. “Oke. Semoga kita berdua selamat.” Lalu dia terdiam. Sedangkan Tristan mengamati sekitarnya.
“Nat, ada mobil datang. Sembunyi.” Dengan sigap Tristan menarik lengan Nata yang membuatnya tak seimbang. Namun dia berhasil menangkap Nata yang jatuh tepat di atas dada bidangnya.
Buukk!!! Punggungnya cukup keras menghantam tanah.
“Lo nggak apa-apa Nat?” Tristan masih sempat bertanya keadaan Nata disaat keadaannya sendiri sedang kesakitan. Sendi di punggungnya sedikit kaku dan dia merasakan kram di kaki kanannya.
“Bukan gue, Tris. Lo..lo baik-baik aja kan? Sakit banget nggak? Harusnya lo biarin gue jatuh aja. Nggak apa-apa. Gue jadi ngerasa bersalah sama lo.”
Dengan cepat Tristan membungkam mulut Nata. Dia mengisyaratkan Nata untuk tidak bersuara sampai situasi benar-benar aman.
Posisi ini membuat mereka berdua canggung beberapa saat, sampai akhirnya Nata mencoba mengintip dari balik semak-semak.
“Sepertinya udah aman Tris.” Dia membantu Tristan berdiri. Posisi barusan membuatnya sedikit canggung. Apalagi dia harus membantu laki-laki itu karena kecerobohannya sendiri.
“Sorry gue nggak sengaja bikin lo kayak gini.”
“Nggak, gue yang salah. Tadi gue narik lengan lo tanpa perhitungan. Tapi sekarang udah nggak sakit kok. Kan ada lo di samping gue.” Tristan mencoba mencairkan suasana.
“Dasar..” Nata memukul pelan lengan Tristan.
Dari jarak tiga meter, Tristan melihat dua orang mendekati mereka. “Waspada, Nat. Arah jam sepuluh. Kalau itu orang jahat, lo tinggal dengerin aba-aba gue aja untuk lari.”
Nata mengangguk.
Kedua orang itu berjalan semakin mendekat. “Sst... Nat. Ini gue Farah.”
“Farah??!” seru Nata.
“Sekarang kalian berdua ikut kami. Gue bakal jelasin semuanya disana.” Farah menunjuk rumah tua itu. “Di ruang bawah tanah yang nggak bakalan kalian sangka sebelumnya.” Farah mengamati situasi sekitar. “Mereka sudah pergi.” Ujarnya kemudian.
“Mereka siapa? Dan dia ini siapa Fa?” tanya Tristan sesaat matanya tak sengaja menatap manik mata gadis yang datang bersama Farah.
“Dia Gendis. Ceritanya panjang. Buruan. Sebelum ada orang yang datang.” Dia tersadar akan satu hal. Peristiwa paling langka dalam hidupnya. Tristan merangkul Nata.
“Setelah ditinggal dalam satu hari. Kalian berdua sudah mengalami perubahan banyak ya. Hubungan kalian berkembang. Bentar lagi ada yang nggak jomblo lagi nih.” Sindir Farah.
“Rese lo. Kalau gue jelasin juga lo nggak mau dengerin. Intinya gue lagi bantuin Tristan karena gue, kaki dan punggungnya sakit.”
“Ya udah, jelasinnya nanti aja. Ayoo!!”
Mereka berdua mengangguk patuh mengikuti Farah dan Gendis.
“Tris, berhubung kita selamat. Lo mau cerita apa tadi?” tanya Nata.
Tristan menggeleng. Dia pikir pertualangannya tidak akan seperti di film-film yang menegangkan. Ternyata lumayan membuatnya berpikir kalau saja orang-orang tadi melihat mereka berdua, pasti dia tidak akan berada disini.
“Gue jadi penasaran, kan. Lo mau ngomong apaan sih?”
“Nanti aja Nat. Kalau gue udah siap.”
“Mau siap-siap kemana?” Kalau dipikir-pikir lagi, Nata termasuk siswi terpintar di kelasnya. Tapi kenapa disaat begini otaknya jadi konslet ya.
Sesampainya di ruang bawah tanah yang membuat mereka berdua kagum. Tristan duduk sambil meluruskan kedua kakinya.
Farah dan Gendis mulai menceritakan permasalahannya dari awal sampai akhir. Juga tentang perkembangan kasus Om Bayu dan Tante Dila dari sudut pandang Gendis. Serta rencana pemerataan rumah tua ini karena tidak ada yang menempati. Gendis pun memperlihatkan berkas-berkas tentang kasus yang sedang ditanganinya itu.
Setelah Gendis menceritakan semuanya. Satu persatu puzzle tentang kasus Om Bayu dan misteri rumah tua ini terpasang membentuk sebuah kesimpulan yang hampir tidak terpikir oleh mereka bertiga.
“Kita mungkin tidak bisa membantu menyelesaikan kasusnya. Tapi sepupu gue punya kenalan Detektif terkenal yang akan menangani kasus ini sampai selesai tentu saja dengan bantuan polisi.” Nata memberikan respons terhadap penjelasan Gendis.
“Gue akan kirim email ke Detektif Ronald. Semoga dia mau mengambil kasus ini.”
“Terima kasih, Nata. Terima kasih juga untuk Farah dan Tristan. Akhirnya aku bisa bernapas lega merelakan kepergian Ayah dan Ibu kandungku.”
“Apa kita harus berpelukan seperti teletubbies?” pertanyaan Tristan membuat mereka bertiga tertawa. Malam ini mereka akan menghabiskan waktu bersama, selagi membahas tindakan yang akan dilakukan setelahnya.
***
Keesokan harinya Nata mendapat balasan dari Detektif Ronald dan diminta bertemu saat makan siang. Dia memberitahukan kabar baik itu kepada Gendis yang disambut dengan pelukan hangat seorang teman baru.
“Aku akan fokus menangani kasus ini. Cukup menarik, aku dan kepolisian setempat pasti akan sangat bekerja keras agar kasus ini cepat selesai.” Ujar Detektif Ronald. “Kalau boleh tahu, kamu masih ada hubungan saudara dengan Alea ya?”
“Iya, Kak Alea adalah sepupu saya. Dan dia yang menyarankan kami untuk meminta bantuan Detektif Ronald.” Jawab Nata.
“Apa aku harus memasukkannya ke dalam tim detektifku? Sepertinya dia cukup berkompeten dalam bidang ini.”
“Kalau begitu apa saya juga bisa?” tanya Nata kemudian.
“Dan jangan lupakan kami berdua.” Tiba-tiba Tristan dan Farah datang menghampiri mereka.
“Tentu saja. Kalian bisa mengambil jurusan yang berhubungan dalam bidang ini nanti setelah lulus SMA. Tapi untuk saat ini cukup bantu aku dan polisi untuk menangani kasus misteri rumah tua. Nata, deduksimu bagus. Aku sudah membaca email dan membaca kasus ini secara keseluruhan. Dan siapa tadi nama anak pemilik rumah ini? Dia sangat jenius. Bahkan hal-hal kecil bisa saja terlewat oleh polisi.”
“Namanya Gendis. Dia pasti sangat berterima kasih pada Detektif Ronald. Saat ini dia sedang mengunjungi makam kedua orang tuanya. Sebentar lagi dia sampai sini.” sahut Nata.
“Aku juga akan lebih berterima kasih.”
“Ah, itu dia.” Seru Fara.
“Maaf, aku terlambat sampai disini.” Ujar Gendis lemah lembut.
“Saya Detektif Ronald.” Detektif Ronald memperkenalkan diri.
“Saya Gendis.” Gendis membalas jabatan tangan itu. “Saya sangat berterima kasih karena Detektif Ronald mau menangani kasus ini. Mohon bantuannya.” Gadis itu membungkukkan tubuhnya.
Detektif Ronald membalas dengan anggukan kecil. Lalu bergegas bergabung dengan para polisi yang ditugaskan dalam kasus ini.
Kini tinggal mereka bertiga dan Gendis yang terpaku menatap lurus ke arah rumah tua yang penuh dengan misteri itu.
“Gue ikut sedih saat tahu rumah ini mau dihancurkan.” Farah memecah lamunan mereka.
“Tidak masalah. Aku harap semua kenangan yang ada di rumah ini ikut pergi bersama pemiliknya, kedua orang tuaku.” Gendis tersenyum. “Aku juga tidak akan melupakan bantuan kalian.”
“Gue juga ikut senang bisa membantu lo, Gendis. Gue rasa, akhirnya Om Bayu dan Tante Dila mendapatkan keadilan. Mereka bisa tenang di alam sana.”
Gendis mengangguk pelan lalu tersenyum. “Kalau aku main kesini lagi. Boleh kan aku menginap di rumah kalian.”
“Tentu saja. Lo juga boleh kok menginap di rumah gue.” Sahut Tristan.
Ucapan Tristan mendapat cibiran dari dua perempuan yang saat ini ingin sekali meletakkan kaca di depan wajah Tristan. Dimanapun ada perempuan cantik, pasti disitu ada Tristan.
“Sekarang kita udah bisa pelukan ala teletubbies?” tanya Nata.
“Tanpa ditanya lagi....” sahut Farah.
Mereka berempat berpelukan bagai teletubbies yang sudah lama tidak bertemu satu sama lain.
***
Nata dan Tristan memisahkan diri dari kerumunan. Tidak, sebenarnya Nata yang berhasil menarik Tristan menjauh dari yang lain. Dia masih penasaran dengan hal yang ingin Tristan bicarakan saat itu kalau mereka selamat.
“Gue bakal tagih janji lo. Jadi apa yang mau lo omongin?”
“Lo penasaran banget ya.” Tristan menggoda Nata.
“Udah cepet bilang. Apa sih?”
“Tapi ada syaratnya.”
“Apa?” tanya Nata.
“Ada deh.. rahasia.”
“Tristan!!! Gue serius nih.”
“Gue juga serius Nat.” Kalau gue suka sama lo. Tambahnya dalam hati.
“Jadi apa yang mau lo omongin itu?”
Tristan mengeluarkan secarik kertas bertuliskan angka-angka yang tidak asing lagi baginya. Dan pasti Nata akan langsung memahami. Dibawahnya ada catatan panjang dengan tulisan tangan Tristan yang paling Nata kenal.
4056830968
Terkadang, apa yang terlihat tidak selamanya seperti yang terlihat. Ia bisa berubah tergantung pada waktu. Kalau kamu bisa menemukan maksud dari angka itu. Temui aku di tempat pertama kita bertemu dulu.
Satu kasus terakhir yang harus Nata pecahkan. Kali ini untuk dirinya sendiri.
bagus ceritanya Isna, jika berkenan tolong Like ceritaku juga ya https://tinlit.com/read-story/1436/2575
terima kasih , smoga sukses selalu :)