Mall di hari biasa tak pernah seramai akhir pekan, kecuali kalau ada acara fashion show, lomba anak-anak, atau malah konser di dalam mall. Yuna dan Hadi sengaja memilih kencan di hari biasa, kebetulan mereka sama-sama tidak ada mata kuliah sore di hari Jum’at. Biasanya mereka kencan di akhir pekan, tetapi karena Hadi ada kesibukan di esok hari jadilah kencannya diajukan.
Yuna dan Hadi sedang makan di salah satu restoran, mengobrol bersama sambil sesekali mengecek ponsel untuk memastikan urusan kuliah baik-baik saja. Bisa dibilang, mereka berdua sangat sibuk dengan rutinitas kuliah. Yuna sibuk dengan kegiatan akademis dan penelitiannya, sedangkan Hadi sibuk dengan organisasi dan tugas kuliah yang setiap hari harus berkutat dengan bahasa pemrograman yang tidak semua orang mengerti.
Di tengah canda tawa mereka, ponsel Hadi berbunyi. Tertulis nama Joko di layarnya. “Na, aku angkat telepon dulu ya. Halo.”
“Di, lagi dimana?”
“Kencan nih, nganggu aja kau. Ada apa?”
“Aduh, gimana ya. Aku nggak mau ganggu, tapi ini penting banget. Cepetan ke kampus, cewekmu bawa gapapa. Penting banget, gak bisa ditunda. Harus kesini,” suara teman Hadi terlihat sangat panik hingga raut wajah Hadi terlihat tegang.
Yuna ikut bermain ponselnya sejak Hadi menelpon, dia sedikit terkejut dengan apa yang ia temukan di grup angkatan. Ia melirik Hadi yang wajahnya ikut tegang karena perbincangan di telepon.
“Oke oke, aku kesana sekarang,” Hadi menutup sambungan telepon. “Na, kamu ikut ke kampus atau kuantar pulang? Temenku tadi telepon, katanya ada—.”
“Aku ikut,” jawab Yuna dengan cepat. Mereka cepat-cepat menghabiskan pesanan makanan mereka, lalu langsung bergerak menuju parkiran mobil. Hadi menyetir dengan sedikit ngebut.
“Say, tenang. Jangan ngebut dong,” Yuna mengelus bahu Hadi yang sangat tegang. “Aku tau kamu ikut tegang karena telepon dari temanmu. Tapi tolong jangan ngebut ya.”
Hadi melirik perempuan di sampingnya, dengan wajah memohon. Duh bidadarinya, ia sangat beruntung mendapatkan perempuan sesempurna ini. Kecepatan mobil sedikit menurun, menjadi lebih santai. Yuna mencoba menghibur Hadi, agar lelakinya itu melupakan sejenak tentang perbincangan telepon tadi.
Setengah jam kemudian, Yuna dan Hadi sampai di kampus. Hadi memarkirkan mobilnya di dekat gedung area teknik, lalu menghubungi temannya. Yuna berkali-kali membuang napas panjang, seperti mempersiapkan sesuatu. Lelaki yang di sampingnya sadar dengan aktifitas Yuna. “Daritadi napas sampe segitunya, emang kamu kenapa?”
Yuna kembali membuang napas panjang, kali ini lebih keras. “Say, di grup kelasku lagi rame bicarain seseorang yang bunuh diri di markas BEM Teknik.”
Hadi terkejut, tanpa pikir panjang ia langsung keluar mobil meninggalkan Yuna. Kunci mobilnya sampai tak diambil. Yuna pun mengambil kunci mobilnya, lalu menyusul Hadi dengan raut bersalah. Ini pertama kalinya ada kasus bunuh diri di kampusnya.
Markas BEM menjadi sangat ramai karena kasus bunuh diri yang dialami Udin, mahasiswa jurusan Teknik Mesin. Orang-orang yang masih ada di kampus penasaran melihat lokasi kejadiannya. Karena terlalu ramai, pintu dan jendela markas BEM ditutup. Teman-teman BEM, termasuk Hadi tak menyangka cara kepergian Udin yang sangat disayangkan.
Mayat Udin sudah diturunkan, mereka menutupi jasadnya dengan kain seadanya. Tali dan kursi yang digunakan untuk bunuh diri tetap dibiarkan demi kepentingan penyelidikan polisi yang masih dalam perjalanan menuju kampus. Sejak Yuna tiba di markas, ia selalu melihat sekeliling. Pikirannya merasa ada yang aneh ketika anggota BEM bergumam kalau Udin tidak mungkin depresi sampai bunuh diri.
“Kak, boleh ndak aku lihat-lihat markas?” tanya Yuna.
Mereka hanya mengangguk sebagai tanda memperbolehkan. Yuna langsung pergi ke berbagai sudut, mencari keanehan yang ia curigai. Ia sudah memeriksa dengan detail, bahkan mengambil foto dan video untuk dokumentasinya. Tapi, tak ada keanehan yang mengarah pada kematian Udin.
“Di, apa anak psikolog memang kayak gitu tingkahnya? Liat dia berasa kayak di fim-film detektif,” Joko, salah satu anggota BEM berbisik pada Hadi.
“Ngga tau, aku baru pertama kali ngeliat dia seserius itu,” Balas Hadi.
“Tapi, kalau dipikir-pikir aneh juga sih. Udin nggak mungkin bunuh diri. Keluarganya baik-baik aja, urusan kuliah lancar, nggak ada alasan yang bikin dia bunuh diri,” timpa anggota yang lain. “Kamu kan tau sendiri aku ini lumayan deket sama Udin.”
Yuna yang sedari tadi berdiri diam, ikut berbicara. “Kak, hapenya kak Udin mana? Terus di sakunya ada sesuatu nggak?”
“Hilang. Barang yang tersisa dari Ucup cuma dompet kosong ini. Tasnya juga hilang,” Toni, salah satu teman Hadi memberikan dompet milik Ucup kepada Yuna. Ia melihat-lihat isi dompet milik Ucup. Yuna tersenyum, ide cermelang baru saja singgah di kepalanya.
“Ini, nggak mungkin bunuh diri Kak,” seisi ruangan spontan menatap ke arah Yuna.
Toni merogoh sakunya lagi mencari sesuatu. Lipatan kertas yang ia kantongi diberikan kepada Yuna. “Tapi, kita nemuin surat wasiat Ucup. Nih, kita semua tahu betul ini tulisan tangannya Ucup.”
“Hmm…” Yuna berpikir sejenak, dia sangat yakin ini bukan bunuh diri biasa. Ia melihat isi suratnya. “Kalau bunuh diri, seharusnya isi dompet yang berisi surat-surat penting, uang, tas, bahkan ponselnya tak mungkin hilang. Pasti ada seseorang yang membawanya pergi.”
Semua orang yang ada di ruangan itu menerima perkataan Yuna. “Benar juga.”
“Lalu, siapa yang mengambil barang Ucup dan membunuhnya? Lalu kenapa ada surat wasiat semacam ini?” ujar Joko.
Yuna tidak menjawab, ia lebih memerhatikan satu persatu ekspresi wajah yang ada disana. “Ohya Kak, tadi ada satu ruangan yang dikunci. Bisa bukain ndak? Siapa tahu ada petunjuk di dalamnya.” sambil menunjuk ruangan yang dimaksud.
Salah satu anggota yang berdiri menyikut pelan teman disebelahnya. “Ngga, bukain tuh.”
“Buat apa? Gak mungkin lah ada hal aneh disana. Isinya Cuma barang-barang nggak penting. Ngapain sih pada ngikutin bocah kayak dia?”
Yuna sudah menduga reaksinya seperti itu. Sejak kedatangannya, hanya dia yang cemas. Sepertinya orang itu sudah tahu siapa Yuna. Hadi berdiri dari tempatnya sambil menggeram, tak terima perempuannya diremehkan. “Kau—”
“Saya Cuma minta dibukain ruangannya Kak, kok nolak? Atau jangan-jangan, barang-barangnya Kak Udin, ada di gudang?” Yuna tersenyum penuh kemenangan, kegugupan mahasiswa yang membawa kunci gudang itu semakin menjadi-jadi.
“Gini aja deh Kak. Kalau memang tak ada barangnya kak Udin disana, kakak boleh minta apapun padaku. Tapi kalau ada… silakan kakak tanggung jawab ke polisi.”
“Tapi Na—”
Yuna hanya berisyarat pada Hadi untuk tutup mulut. Semua mata tertuju pada Rengga, pemilik kunci gudang. Menunggu siapa yang benar, Yuna ataukah Rengga.
Akhirnya, Rengga tersungkur. Yuna tersenyum. “Tolong. Jangan serahkan padaku ke polisi—”
Seluruh anggota BEM disana langsung terkejut. Bahkan teman yang tadi disebelahnya sudah bersiap meninju wajah Rengga. “JADI KAMU??”
Pukulan wajah sukses mendarat di wajah Rengga. Ia meringis kesakitan sambil memegangi wajahnya yang sakit. Para perempuan terkejut, kecuali Yuna. Kericuhan pun tak dapat dihindari.
Yuna kembali buka suara sebelum Rengga babak belur dihajar kawan-kawannya satu persatu. “Tunggu Kak. Dia memang mengambil barang milik Kak Udin, tetapi bukan dia yang membunuhnya.”
“Itu benar, aku Cuma mengambil barangnya Udin. Aku terpaksa, karena keluargaku di rumah butuh uang. Biarkan aku membawa barang Udin,” Rengga berdiri lalu membuka pintu gudang. Ia masuk, lalu keluar membawa barang-barang Udin yang ia simpan.
Beberapa orang memeriksa barang curian Rengga, yang berisi uang, STNK, kunci motor, serta laptop milik Udin. Tak ada yang mencurigakan, semuanya masih utuh kecuali ponsel Udin yang hilang entah kemana. Yuna membantu Rengga agar terbebas dari dugaan membunuh Udin dari teman-temannya. Meskipun agak sulit meyakinkan orang biasa, Yuna bisa mengembalikan kepercayaan teman-teman Rengga.
Tak lama, polisi datang ke tempat kejadian. Seluruh orang disana dimintai keterangan oleh tim penyidik, tak terkecuali Yuna. Hadi sempat ijin ke toilet saat penyelidikan berlangsung. Hasilnya masih belum diketahui, sebelum otopsi dari jasad Udin selesai.
Setelah urusannya selesai, Yuna pulang diantar Hadi. Entah mengapa, ia merasa kalau Hadi lebih pendiam sejak kasus tadi. Tak ada percakapan di mobil, yang ada hanya keheningan semata. Begitu sampai di rumah, Yuna hanya berterima kasih dan masuk ke rumah.
Di rumah, ia sudah dihujani pertanyaan oleh ayah dan ibunya. Setelah menjelaskan semuanya, ia mandi, mengerjakan tugas kuliah, lalu tiduran sambil bermain ponsel. Yuna memandangi berbagai foto yang ia dapatkan ketika ada di markas BEM Teknik, berharap mendapat sebuah titik terang agar pikirannya sedikit tenang. Ia menggeram, lalu menghubungi seseorang lewat ponselnya.
“Halo. Bisa minta tolong analisa foto yang nanti kukirim? Oke. Kapan kira-kira kamu bisa tahu hasilnya? Hmm… oke, makasih ya.” Yuna meletakkan ponselnya di meja, lalu beranjak tidur karena sudah jam sebelas malam.
***
Yuna’s PoV
Tiga hari setelah kasus kematian Udin
Hari-hari kampus seperti biasa. Tugas selalu datang, panggilan dan pesan dari organisasi yang memintaku memberikan materi, dan teman-teman yang hampir setiap hari ada aja yang curhat. Rutinitas ini membuatku benar-benar bosan, kecuali kalau pergi sama Hadi. Lagipula, ada hal yang kejadian menarik kemarin di kampus.
Meninggalnya Kak Udin, temannya Hadi menyita seluruh pikiranku. Di kelas saja, aku tak begitu fokus mendengarkan apa yang dikatakan dosen. Untung teman-temanku tak ada yang menyadari perubahan sikapku. Coba kulihat, apa yang bisa kulakukan hari ini. Ah, ternyata tak ada jadwal apapun kosong, kalau begini sih aku bisa istirahat panjang di rumah sambil main game.
Makan siang kali ini aku beruntung bisa ditemani Hadi. Sejak tadi, dia terdiam menikmati makanannya tanpa berbicara sepatah apapun padaku. Aneh, dia kan orangnya banyak bicara. “Oi! Melamun aja” kataku sambil menggebrak meja.
“Jangan bikin orang jantungan bisa nggak? Bikin nggak mood makan aja,” dengan tatapan kesal, dia pergi meninggalkanku.
Aku masih memandangi ia berjalan menjauh dari kantin sambil heran, kok sikapnya sensitif? Apa masalahnya? Biasanya aku bercanda nggak sampai bikin dia nggak mood gitu. Tapi tadi, aku melihat ada sedikit rasa takut di ekspresi wajahnya. Hmmm kira-kira kenapa ya?
Begitu makananku selesai, aku langsung cabut dari kantin. Seharusnya kelas dimulai setengah jam lagi, sebaiknya aku kembali ke kelas saja. Nggak tahu harus kemana dan ngapain. Andai tadi makan bareng temen-temen, mungkin sekarang kegabutanku bisa teratasi.
Ngomong-ngomong soal Hadi, akhir-akhir ini dia sedikit aneh. Biasanya, dia periang, ceria, cerewet, kalau ada masalah pasti cerita. Tapi kali ini, dia sedikit menghindariku dan sensitif. Aku pernah tanya pada ibunya langsung, katanya tak ada masalah di rumah.
“Ngalamun terus kau, Yun.”
Una, salah satu teman akrabku menyapaku ketika aku mau masuk kelas. “Keliatan ya?”
“Banget. Nggak kayak biasanya, kalau abis makan sama Hadi pasti auranya seneng. Lah ini, serem. Berantem ya?”
Aku tak menyangka perubahan sikap Hadi bisa mempengaruhi moodku dan tebakan Una bisa tepat sasaran. Oh iya, dia kan terkenal bucin di kelas. “Begitulah, sikapnya agak aneh akhir-akhir ini sejak kasus kematian temennya.”
“Mungkin dia lagi butuh waktu sendiri, Yun. Nanti juga baikan lagi moodnya. Ditunggu aja,” katanya sambil minum teh kotak.
Aku mengangguk pelan menerima sarannya. Tak lama, teman-temanku sudah mulai memenuhi kursi kelas. Ya wajar lah, ini memang sudah saatnya kelas dimulai. Kali ini, aku berusaha fokus untuk mata kuliah ini karena aku tak begitu mengerti cepat.
Kuliahku hari ini selesai jam lima sore, maklum lah hari Senin selalu menyita waktu banyak. Kali ini, aku menghabiskan sebagian waktu malam di café langgananku sendirian sambil mengerjakan tugas kuliah tadi siang dan sedikit mencurahkan isi pikiran lewat cerita. Menurutku, waktu seperti ini membuat pikiranku sedikit tenang.
Tak terasa sudah jam sembilan malam, saatnya aku pulang ke rumah. Ayah dan ibuku sudah tahu kebiasaanku tentang ini, jadi aku tak perlu khawatir kena marah walaupun belum ijin. Ngomong-ngomong aku masih curiga dengan Hadi, tadi siang benar-benar terlihat sekali ekspresi takut dibalik amarahnya. Sebenarnya, apa yang dia takutkan sampai membuat dirinya berubah?
Sesampainya di rumah, aku langsung mandi, menyempatkan diri untuk makan malam dan mengobrol dengan Ibu di ruang utama sambil menonton televisi. Hari ini ayah sedang ada pekerjaan, katanya dia akan terlambat pulang. Aku sering ngobrol dengan ibu agar kejenuhanku dengan rutinitas sehari-hari sedikit berkurang. “Bu, boleh tanya nggak?”
“Apa nak?”
Aku mengambil cemilan di toples, lalu memakannya. “Suntuk deh Bu hari ini, apalagi tadi Hadi aneh banget. Masa aku kagetin dikit dia langsung nggak mood. Terus, dia sempet takut gitu sama sesuatu.”
“Hmmm, kamu udah ngehubungi dia lagi sejak saat itu?”
“Udah, tapi nggak dibales sejak aku pulang dari café. Isi chatnya aja nggak kayak biasanya,” kataku.
“Tapi orang nggak mood kok takut? Pasti ada yang nggak beres itu,” ujar ibuku dengan rasa penasaran. Beliau seorang psikolog, jadi tau sendiri kan jiwa analisaku berasal dari siapa. ”Kamu liat sorot matanya nggak?”
***
Seminggu setelah kematian Udin
“Fiuuh, akhirnya selesai juga tugas ini,” kataku lega sambil meregangkan tanganku yang sejak tadi sibuk mengetik.
“Eh, ajarin lah Yun. Kita masih nggak ngerti nih,” kata temanku, Farah. Sekarang ini aku sedang ada di kamar asrama kampus milik Farah, dan disini banyak teman-teman lain yang pengen ngerjain PR bareng aku.
“Oke. Mana yang kalian nggak paham?” aku melihat satu persatu pekerjaan temanku yang tugasnya masih bermasalah. Membantu mereka sebenarnya cukup melatih kesabaranku, karena ada yang masih belum paham sama sekali. Untun saja moodku hari ini cukup baik, kemarin Hadi sudah tidak marah lagi seperti beberapa hari sebelumnya.
Samar-samar, aku mendengar suara keributan di lantai atas. “Sore-sore gini ada apasih? Kok ribut?” tanyaku.
“Nggak tau. Sore gini sih biasanya tenang-tenang aja,” kata Farah. Teman-temanku lain yang juga penghuni asrama mengiyakan perkataannya. Firasatku nggak enak, aku pun keluar dari kamar. Kebetulan ada anak kelas sebelah dengan wajah panik yang lewat.
“Yanti, diatas ada apaan?” tanyaku.
“Itu, Karin ditemukan mati gantung diri. Aku kesana dulu ya, lagi dimintai keterangan sama polisi nih,” katanya, ia langsung pergi ke lantai atas.
Aku kaget mendengar kabar kematian Karin. Dua kali? Apa yang terjadi dengan kampus ini? Aku kembali ke kamar dan memberitahu lainnya, lalu kami menunda pekerjaan rumah dan langsung mengecek lokasi kejadian. Dan benar saja, di lantai atas sudah banyak yang ribut dengan kesaksian mereka masing-masing.
“Lho, ketemu lagi. Kok kebetulan sekali kamu ada di sini saat ada kasus pembunuhan,” ujar salah satu polisi yang ternyata ikut serta menyelidiki kasus kematian Kak Udin. Wajahku ternyata dikenali beliau.
“Hehe, tau tuh Pak. Kalau ini saya lagi belajar di lantai bawah, terus saya mendengar keributan disini. Karena penasaran, ya saya kesini,” jawabku sambil terkekeh pelan. Dilihat dari ekspresinya, polisi ini sepertinya tak asing dengan wajahku. “Gimana mayatnya, Pak?”
“Kemungkinan korban sudah meninggal hampir 24 jam yang lalu. Itu saja yang bisa saya sampaikan padamu,” katanya. Lalu ia mengeluarkan sebuah kartu nama.
“Aku tau kamu anaknya Ibu Wanti, psikolog ternama di kota ini. Saya akan memberikan informasi yang kamu ingin tahu karena ayahmu sudah tahu kalau kamu sangat penasaran dengan kasus ini. Sebagai bayarannya, kamu perlu mendapatkan informasi dari orang-orang terdekat korban. Saya punya firasat kasus ini ada hubungannya dengan kasus yang sebelumnya,” bisiknya padaku.
Aku hanya mengangguk mendengarnya, sudah kuduga dia tau tentang diriku. Setelah menerima kartu namanya, aku pamit pergi dari tempat kejadian. Teman-temanku yang lain kuajak untuk kembali mengerjakan tugas dan menyerahkan kasus ini kepada polisi. Ini sudah hampir malam, aku juga harus menyelesaikan tanggungjawabku untuk mengajari teman-teman.
Setelah kejadian itu, fokusku mulai terpecah menjadi dua. Teman-teman sempat menegurku ketika aku melamun. Hingga akhirnya, Yanti menyaranku pulang ke rumah untuk mengistirahatkan pikiran. Aku juga sempat bilang pada mereka akan mengajari tugas itu lagi ketika aku sudah tenang.
Ketika aku hendak keluar dari parkir asrama, seseorang menelponku. “Halo, gimana?”
“Yun, tulisan yang kamu kirim memang ditulis oleh korban. Tetapi penulisnya dalam keadaan tertekan, tergesa-gesa, dan stress. Aku tak tahu apa yang sedang menimpanya, tetapi itu yang kira-kira bisa aku katakan padamu.”
“Oke, makasih Don. Aku mau perjalanan pulang. Bye,” kuputus saluran teleponnya. Seperti yang aku duga, ada yang tidak beres dengan kasus kematian kak Udin. Sudahlah, weekend kali ini tak boleh berpikiran macam-macam lagi seperti sebelumnya. Lebih baik aku pulang ke rumah dan menikmati liburan singkat ini.
***
3 hari kemudian
“Begitulah kira-kira, Yun. Hanya itu yang kutau tentang Udin,” kata kak Toni. Ini sudah tiga orang yang kutanyai tentang Kak Udin. Semua informasi yang kudapatkan tidak ada yang membantuku untuk menemukan petunjuk tentang kasus ini.
“Makasih Kak sudah memberi informasinya padaku. Aku pamit dulu,” aku berdiri, hendak kembali ke kelas.
“Lho, udah mau pergi?” suara Hadi terdengar tepat di belakangku. Aku menoleh dan ternyata memang dia. “Kok buru-buru sih?”
“Ohya, kenapa kamu nggak nanyain soal Udin ke Hadi? Dia salah satu temen deketnya lho,” kata Kak Toni. Aku menatap Hadi, dan sekilas aku melihat rasa takut dan amarah dari ekspresinya. Tiba-tiba dia memelukku, dan tentunya disaksikan oleh seluruh orang di markas BEM Teknik.
“Lho, kamu masih penasaran sama Udin? Kok nggak bilang ke aku?”
Ini Hadi kenapa sih, tiba-tiba sweet di depan orang. Benar-benar memalukan, tapi aku paham dia memelukku untuk menyembunyikan sesuatu yang tak kuketahui. Aku juga sengaja menyembunyikan penyelidikanku darinya. “Tadinya mau bilang, tapi aku ada kelas. Kamu juga baru nongol sih,” kataku.
Ekspresinya aneh, aku tak bisa menebak apa yang ada di pikirannya. Begitu juga nada suaranya yang terdengar seperti dipaksakan. “Yaudah deh”, katanya dengan nada sedih sambil melepas pelukannya. “Nanti pulang kuliah aku antar ya?”
Kebetulan sekali aku tak bawa motor hari ini, karena mau ketemu dengan Pak Jaya, polisi yang sebelumnya memberiku kartu nama Jum’at silam. “Oke.”
Aku pun langsung pergi dari markas BEM. Aneh, Hadi tak pernah blak-blakan menunjukkan sikap seperti tadi di depan teman-temannya. Oh iya, aku lupa kalau nanti malam aku akan bertemu dengan pak Jaya. Bagaimanapun caranya, aku harus cari alasan agar bisa menyembunyikan penyelidikanku darinya.
Kuliah kali ini aku terpaksa ijin demi mendapatkan informasi tentang kematian Karin. Aku pergi ke asrama kampus, bertanya tentang kepribadian dan kesehariannya di asrama. Cukup sulit untuk mendapatkan informasi Karin, karena rata-rata orang yang kutanyai sebagaian besar menjawab bahwa Karin tipe orang tertutup. Tak sengaja ketika aku bersantai sebentar di depan kamar Karin, ada Yanti yang kebetulan lewat.
“Lho, Yuna. Nggak masuk kelas?” tanyanya.
“Nggak nih, lagi cari-cari info tentang Karin. Abisnya, aku kepo sih,” kataku. Yanti hanya terkekeh pelan. “Apa yang lucu?”
“Orang-orang disini nggak bakal ngasih tau hal sedetail itu padamu,” katanya. Ya benar juga, semuanya dari program studi yang lain. Pantas saja mereka sedikit mengabaikanku. “Aku sebenarnya nggak begitu paham sih, tetapi kudengar dari temanku disini katanya Karin sempat pergi dengan seseorang sebelum ditemukan meninggal.”
“Siapa?”
Yanti menjelaskan detail kejadiannya padaku hingga membuatku terkejut. Aku paham, sekarang tinggal menunggu hasil informasi dari Pak Jaya. Jika dugaanku benar, aku bisa tahu siapa pelakunya.
“Yun?” aku tersadar dari lamunanku. Tinggal sedikit lagi, aku bisa menyelesaikannya. Ini sangat sederhana. “Oi, malah bengong.”
“Eh, iya. Makasih informasinya,” aku langsung pergi meninggalkan Yanti yang bingung melihatku pergi.
Begitu dari asrama, aku menunggu Hadi di depan kampus. Pak Jaya sudah memberitahuku bahwa ia sudah ada di café langgananku. Aku sengaja memilih tempat itu agar Hadi tak curiga, tinggal membuat alasan me time, lalu aku bisa mengelabuhinya. Yang penting ekspresi dan perkataanku harus sempurna ketika membohonginya.
Aku menunggu Hadi di depan kampus hampir satu jam, katanya dia ada urusan sebentar dengan temannya. Begitu ia menjemputku, aku minta diantar ke café langganan. Prosesi pembohonganku berhasil, dia percaya denganku. Maaf Hadi aku bukannya nggak jujur, tapi ini demi kepentingan orang banyak.
Di dalam café, mataku langsung menangkap sosok pak Jaya di dekat spot favoritku. Pak Jaya ini usianya masih muda, sekitar 25-30 tahun. “Pak, sudah lama ya?”
“Nggak sih. Aku sengaja memilih tempat terpencil agar kamu bisa membaca berkasnya,” sambil mengeluarkan sebuah berkas di dalam tasnya. Aku mulai membaca isi berkas tersebut sambil mendengarkan penjelasan dari pak Jaya.
Berdasarkan hasil otopsi, kak Udin meninggal pada jam duabelas siang karena kehabisan napas. Sebelum digantung, kepala kak Udin dipukul dengan suatu benda tumpul yang membuat dirinya tak sadarkan diri. Di markas BEM Teknik tidak ditemukan kejanggalan apapun, orang terakhir yang ada di markas BEM adalah kak Toni. Markas BEM Teknik sering dibiarkan tidak terkunci, apalagi itu adalah waktu dzuhur.
Lalu untuk ponsel milik Kak Udin ternyata ditemukan di TPA kampus dalam keadaan hancur dan terbakar pada keesokan harinya. “Lalu, ini adalah hasil otopsi beserta penyelidikan Karin yang baru keluar tadi siang.”
Aku membaca berkas selanjutnya, yang menyatakan bahwa Karin sudah tidak bernyawa kurang lebih tengah malam pada hari Kamis dimana aku sudah berbaikan dengan Hadi. Lalu Karin dibunuh dengan cara yang sama seperti kak Udin, dipukul sampai pingsan lalu digantung. Bedanya, tidak ada surat wasiat serta ponsel milik Karin masih ada. Barang-barang berharga milik Karin masih utuh, yang menandakan kalau dia dibunuh oleh seseorang.
“Nah, aku rasa kamu sudah mulai paham dengan berkasnya. Sekarang, apa yang kamu dapat dari penyelidikanmu?”
Aku menceritakan hasilku yang tak ada gunanya itu. Tetapi hasil analisa tulisan dari temanku dan tentang perilaku Hadi patut kuceritakan. Saat aku menceritakan tentang Hadi, aku menurunkan suaraku karena aku merasa ada yang memperhatikanku sejak tadi. Sepertinya pak Jaya juga merasakan hal yang sama.
“Saya lebih curiga kepada pacar saya, Hadi. Sejak kematian kak Udin, emosinya sering tak terkendali. Lalu ketika kematian Karin, dia malah jadi lebih romantis. Dan satu lagi, saya mendapat informasi bahwa Hadi sempat bertemu dengan Karin sebelum ditemukan wafat”
Pak Jaya mengedarkan pandangan ke arah pengunjung lain. Kebetulan besok hari libur, jadi café hari ini cukup ramai. “Bisa kamu beritahu ciri-cirinya?”
Aku menjelaskan pada Pak Hadi, dan dia cukup terkejut dengan apa yang dia temukan. Aku langsung paham, benar firasatku sejak awal kalau Hadi sedang mengintaiku. Wajar sih karena aku sedang bersama laki-laki lain.
“Dia sudah pergi, tetapi terlihat tertekan. Sepertinya dia masih mengingat saya,” ujar pak Jaya. Ponselku berbunyi, ada pesan dari Hadi.
Baik-baik ya tanpaku :)
Firasatku sudah tidak enak, jariku bergerak dengan sendirinya menelpon ayah Hadi. Semoga beliau di rumah, dan semoga waktunya masih sempat. “Pak, saya punya firasat buruk.”
“Halo Yuna?”
“Halo Pak, saya minta tolong bapak melakukan sesuatu untuk saya. Ini demi keselamatan Hadi.”
“Iya, bagaimana?”
***
Author’s PoV
Yuna menatap tajam Hadi yang terlihat putus asa. Di taman belakang jam sepuluh pagi seperti ini sangat sepi orang yang berlalu lalang di sekitar kampus. Hanya ada mereka berdua disana. “Di, aku pengen kamu jujur. Kenapa sikapmu seperti ini? Dan apa maksudnya kamu ngirim pesan kayak kemarin?”
“Aku pikir kamu sudah tahu semuanya tanpa harus kujelaskan,” kata Hadi.
“Tahu apa? Ngobrol dengan polisi kemarin bukan berarti aku tahu semuanya. Tolong jelaskan, apa yang terjadi padamu,” kata Yuna dengan nada lembut. Dia tak ingin Hadi mengambil langkah yang tak sesuai dengan keinginannya. “Ini bisa dijelasin baik-baik sayang, nggak perlu ada yang ditutupi.”
Hadi terdiam cukup lama, raut putus asanya sangat terlihat jelas. Ia menarik nafas dalam-dalam, lalu membuangnya dengan keras. “Yun, sejak kematian Udin aku sudah tahu kalau dia dibunuh. Aku mendapat surat ancaman, untuk menukar nyawaku dengan orang lain.”
Emosinya tak dapat dipendam lagi, ia benar-benar memperlihatkan betapa depresinya dia selama berminggu-minggu. “Aku terpaksa membunuh Karin, karena dia bisa kumanfaatkan. Kalau tak begitu, aku bisa dibunuh olehnya. Kau tahu setelah membunuhnya, aku terus dibayangi oleh dosaku sendiri.”
Yuna terkejut mendengar pengakuan Hadi. “Sayang—”
Kata-katanya berhenti ketika Hadi mengeluarkan sebuah pistol dari sakunya yang ia arahkan di kepalanya. “Aku tahu ini salah, tetapi hanya ini yang dapat menebus kesalahanku. Dan aku tak ingin ayah dan ibu tau kalau anaknya seorang pembunuh. Maaf sayang, kita akan bertemu di alam lain dan maaf kamu harus melihat ini. Aku menyayangimu.”
“Jangan!”
Hadi menarik pelatuknya, membuat suara tembakan yang cukup keras. Tak terjadi apa-apa, Yuna langsung memeluk Hadi sambil menangis. “Di, tolong jangan bersikap bodoh. Kamu salah, tapi tak sepenuhnya salah. Aku tahu kamu diancam olehnya untuk tidak melapor ke polisi. Maaf soal pistolnya, aku sudah meminta ayahmu untuk merusaknya.”
Hadi bengong melihat Yuna memeluknya serta dia masih hidup. Ia sangat yakin kalau pistol yang dibawanya sudah diisi peluru. “Jadi, kamu sudah tahu kalau aku mau bunuh diri?”
“Tentu saja aku sudah tahu semuanya. Perkataanmu itu kubuat bukti bahwa kamu tidak membunuh kak Udin,” ujar Yuna dengan nada senang.
“Lalu, mengapa kamu merencanakan ini?”
Yuna menjelaskan secara singkat yang ia lakukan sebelumnya. “Pak Jaya, polisi yang dulu menangani kasus kematian kak Udin ingin bukti darimu. Dia berjanji akan meringankan hukumanmu. Dan kami tinggal mencari tahu siapa otak dibalik semua ini. Termasuk siapa yang mengirimu ancaman dan melimpahkan seluruh kesalahan padamu.”
Pak Jaya keluar dari persembunyiannya sambil berdehem. “Bisakah kamu lepaskan pelukannya? Urusan ini masih belum selesai.”
Aku melepas pelukanku sambil terkekeh. “Maaf Pak. Sandiwaranya terlalu real, saya sampai menghayati.”
“Lalu, bagaimana kita menemukan pelaku utamanya?”
“Kami ada rencana bagus,” kataku dan pak Jaya hampir bersamaan.
***
Yuna’s PoV
“Ini, bayaran karena kamu sudah membantu saya,” kata Pak Jaya sambil menyerahkan amplop padaku. Sebenarnya aku tak meminta ini sih, tetapi ibu pasti sudah bilang ke beliau kalau aku harus dibayar. Aku menerima amplop itu, lalu kumasukkan ke dalam tas. Bisa kulihat Hadi sedang marah-marah tak jelas kepada sahabatnya, Yono.
Singkat cerita, setelah aku menjebak Hadi agar menceritakan semuanya di depan Pak Jaya, kami membuat sebuah sandiwara kalau Hadi hendak bunuh diri di depanku. Bedanya, kami melakukan itu dengan sedikit menarik perhatian di lapangan pusat dimana gedung fakultas teknik terhubung. Dengan berbekal teknik microexpression dari para dosen psikologi, kami bisa menemukan pelaku dengan mudah.
Tak kusangka pelakunya adalah Yono, sahabatnya Hadi sendiri. Yah, Hadi memang sudah menduga kalau dia pelakunya. Katanya, dia sudah curiga kalau sikapnya terlalu tenang ketika kematian kak Udin. Aku tak peduli, yang penting kasus ini selesai.
“Sayang, udah selesai ngumpatnya? Pulang yuk, aku mau es krim,” kataku dengan manja.
Ohya aku hampir lupa dengan Hadi. Aku berhasil membuat dia tidak dipenjara, tetapi harus wajib lapor seminggu dua kali selama enam bulan. Setidaknya itu lebih baik daripada dia harus dipenjara. Masa iya aku harus kencan di penjara? Kan nggak lucu
“Eh, udah. Ayo, kamu mau es krim apa?” katanya sambil menggandeng tanganku. Cukup sudah drama kali ini, kali ini aku ingin istirahat dengan menjadi budak cinta seharian.
bagus ceritanya, jika berkenan tolong Like ceritaku juga ya https://tinlit.com/read-story/1436/2575
terima kasih , smoga sukses selalu :)