Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Mobil Demian terparkir didepan sebuah rumah. Setelah melepas sabuk pengaman Demian dan Juli keluar dari mobil. Udara malam sangat dingin, Demian merapatkan jaketnya ke tubuhnya.
Mereka berjalan bersama menuju pintu depan rumah itu, keadaan rumah itu gelap karena lampu yang sudah dimatikan.
“Sepertinya orang tuamu sudah tidur”
Juli mengerutkan dahinya, “Aneh, biasanya mereka belum tidur sebelum aku pulang”
Demian ikut heran, tapi ia hanya diam karena tak tahu apa-apa.
Setelah mereka sampai di depan pintu, Demian menekan tombol bel dua kali, lalu menunggu pintu dibukakan. Beberapa menit, masih belum ada yang datang. Demian kembali membunyikan bel.
Janet terbangun dari tidurnya karena bunyi suara bel.
TINGTONGTINGTONG
Menyadari langit masih gelap, ia membangunkan suaminya karena ketakutan jika harus membuka pintu itu sendiri.
“Ken!Ken! Bangun! Ada yang membunyikan bel” Seru Janet sambil menggoyang-goyangkan badan suaminya.
Ken yang tadi terlelap sekarang jadi terbangun karena Janet. Tangannya meraba-raba ke meja dekat kasurnya untuk mencari kacamatanya.
TINGTONGTINGTONG
Kepala Ken masih pusing, ia duduk di pinggir kasur sebelum sepenuhnya bangun.
“Siapa yang datang malam-malam begini?” Kesalnya.
“Aku juga tidak tahu” Jawab Janet.
Ken beranjak dari kasur lalu berjalan keluar kamar, Janet mengikutinya di belakang. Mereka berjalan bersama menuju ke pintu depan. Sebelumnya, Ken mengambil sapu yang tergantung di dinding, siap-siap menghantam jika tamu yang datang bukan oorang baik-baik.
Ken membuka pintu itu perlahan, lalu dilihatnya orang yang menganggu tidur pulasnya.
“Ada apa nak?” Tanya Ken.
Demian menatap Ken bingung, “Um..anda bertanya kedapa saya?”
“Ya. Lalu kepada siapa lagi?”
“I-ini anak anda, Pak” Mata Demian menatap Juli yang berdiri di sebelahnya.
“Apa maksudmu? Anak saya sudah meninggal sebulan yang lalu”
DEG!
Jantung Demian seakan terkena serangn sesaat setelah mendengar pernyataan pemilik rumah yang berdiri di hadapannya.
“Apa aku sudah mati, Dem?” Tanya Juli, suaranya lirih.
Mata Demian yang awalnya bertatapan dengan Ken sekarang beralih kepada Juli. Ia bisa melihat kepala Juli yang hancur dan berdarah-darah, sekujur tubuhnya pun hampir hancur. Ekspresi Demian dipenuhi kengerian. Ia hanya diam, tertegun.
“Apa benar?” Juli menangis.
Juli menatap kedua orang tuanya yang hanya menatap Demian sedari tadi. Orang tuanya seakan tak bisa mengetahui keberadaannya. Ia semakin yakin dengan perkataan ayahnya, Juli berlari meniggalkan rumahnya sembari menangis.
“Juli!” Teriak Demian.
Janet yang awalnya bersembunyi di balik Ken, memberanikan diri untuk melihat situasi. Lalu sesaat, ia bisa melihat sosok Juli yang sedang berlari menjauhi rumahnya.
“Ya Tuhan, itu Juli” Janet memegang dadanya setelah melihat kejadian itu.
Demian berusaha mengejar Juli, tapi ia sudah tak bisa menemukan kemana perginya sosok Juli. Tiba-tiba, badan Janet terjatuh ke lantai.
“Jane! Jane!” Teriak Ken sembari berusaha mengangkat tubuh istrinya itu.
Demian yang mendengar suara jatuh itu langsung mengalihkan perhatiannya pada orang tua Juli. Melihat Ken yang sedang kesulitan, Demian langsung berlari untuk membantunya, lalu kedua lelaki itu menggotong badan Janet untuk ditidurkan di atas sofa ruang tamu.
Tangan Janet masih memegang dada, nafasnya sesak.
“Tunggu disini, Nak. Saya akan mengambil inhaler-nya di atas” Pinta Ken.
Demian mengangguk. Ken langsung berlari ke kamar. Dalam sesaknya, Janet memanggil-manggil nama Juli. Demian mengusap-usap pundak Janet untuk membantu menenangkannya.
Tak lama, Ken kembali dari kamar, memberikan inhaler yang sudah diambilnya kepada Janet. Janet menghirupnya dengan cepat, dan lama – kelamaan sesaknya mulai hilang, nafasnya pun kembali teratur.
Janet melepas inhaler dari mulutnya. Sebelah tangannya memegang tangan Ken, “Aku melihat Juli..anak kita...aku yakin itu Juli, aku bisa mengenalnya” lalu Janet kembali menangis.
Ken mengenggam tangan Janet lalu menciumnya, “Bukan Jane, anak kita sudah tenang bersama-
Nya”
Janet kembali menangis, Ken mengusap rambut Janet, mencoba menenangkan istrinya. Demian yang duduk di sebelah Ken sedari tadi hanya diam, masih tertegun dengan apa yang baru saja terjadi.
Aku tidak mengerti, semuanya terasa nyata! Saat aku pertama memegang bahunya, lalu kita berbicara, dan kita menghabiskan malam di perjalanan. Apa semua itu!?
Demian memegang kepalanya frustasi. Selain kebingungan, ia juga merasa kehilangan, karena ini berarti ia tak akan lagi bertemu dengan Juli. Kehilangan kali ini berbeda, mungkin ia masih bisa saja bertemu Aria walau perempuan itu sudah memutuskan hubungan dengannya, tapi tidak dengan Juli.
Hatinya sakit, perempuan itu sudah mengambil sedikit hati Demian. Kehilangannya terasa berat untuk Demian. Dalam hati ia berbisik, berharap Juli bisa mendengarnya.
Juli, jika memang hubungan kita harus berbeda dunia, aku rela. Aku tak ingin kehilanganmu. Kembalilah Juli.