“Manusia-manusia kehilangan kesabaran” Protes Juli karena klakson yang dibunyikan sangat keras tadi.
“Kehidupan di jalanan memang keras, Jul”
Juli hanya tertawa mendengar pernyataan Demian yang absurd itu.
“Sebenarnya apa yang akan kamu lakukan di pinggir jalan tadi?”
Ada hening sejenak sebelum Juli menjawab, “Aku...tidak bisa ingat”
“Kenapa aku bisa berada disana, juga kenapa kepalaku sangat sakit”
Tak mau merusak suasana hati Juli yang sudah bersemangat, Demian pun berusaha mencairkan suasana.
“Tidak apa, kau tidak harus memaksa untuk ingat. Kau tahu? Kukira kau akan menabrakkan dirimu pada bus yang lewat” Demian tertawa pelan di akhir katanya.
Juli juga ikut tertawa pelan, “Itu gila”
“Itulah alasan aku menghampirimu saat itu. Aku takut setengah mati jika kau memang melakukan itu”
Juli tersenyum lalu menatap Demian, ia kagum bagaimana orang yang tidak mengenalnya bisa begitu peduli pada dirinya, “Kupikir, kau lelaki yang baik. Jangan merasa rendah diri karena keputusan kekasihmu”
Mereka diam sejenak, menikmati lengangnya jalan di malam hari.
“Menurutmu aku harus menyelesaikan mimpiku?”
“Aku rasa iya” Jawab Juli meyakinkan Demian.
Tak tahu kenapa, tapi cara Juli meyakinkan Demian seperti sihir baginya. Seperti lahir keberanian dalam dirinya untuk memutuskan bahwa ia akan melanjutkan mimpinya. Mungkin ini memang saatnya untuk melepas Aria, dan mungkin memulai hubungan yang baru dengan Juli.
Demian punya perasaan bahwa mungkin saja keputusannya ini terlalu tergesa-gesa, ia belum mengenal Juli lebih dalam, dan mungkin saja karena parasnya yang cantik Demian menjadi selalu luluh dihadapannya.
Tapi sepertinya ia harus berhenti memperbanyak “mungkin” dalam hidupnya, dan mulai untuk tegas dalam memilih jalan hidup. Maka malam itu, ia yakin. Ia memutuskan untuk meraih mimpinya dan mengejar Juli.
“Kenapa diam?” Tanya Juli.
Demian tersadar dari dunia dalam pikirannya, “Ah, tidak apa-apa”
“Ngomong-ngomong, kenapa kau bepergian sendiri? Tak ada yang menemanimu?”
Juli tertawa pelan, “Aku lajang kok, Dem”
Muka Demian terlihat agak memerah, jawaban Juli seakan memojokkannya. Tawa Juli semakin keras melihat ekspresi Demian.
“Pertanyaanmu itu terlalu jelas”
Sederet gigi nampak di senyum Demian, “Maaf, aku tidak bermaksud lancang”
“Oh ayolah, tidak apa-apa kok. Jangan jadi canggung begini”
Demian hanya tertawa pelan.
“Kau mungkin bingung, kenapa aku masih lajang. Dan, bukannya aku narsis, tapi memiliki wajahku ini membuatku lebih selektif dalam memilih pasangan hidup. Terlalu banyak yang datang dan pergi setelah mengetahui sifat asliku. Dulu, seringkali aku membenci diriku. Tapi, sekarang aku sadar, bahwa aku memang belum menemukan yang tepat”
Demian menelan ludah, ragu untuk mengatakannya atau tidak, tapi ia harus berani,
“Apakah..kamu melihat aku bisa menjadi yang tepat?”
Ada sesuatu dalam diri Juli yang membuatnya ragu menjawab pertanyaan Demian. Sesuatu itu seperti menahannya untuk melihat masa depan dengan Demian. Seperti hanya malam ini waktu yang tersisa baginya.
“Juli?” Demian bingung karena Juli hanya diam.
Juli tersadar dari lamunannya, bingung harus menjawab apa.
“Um...Dem, yang aku tahu kamu adalah lelaki yang baik. Apa yang kamu lakukan padaku malam ini, itu baik. Aku..tidak tahu apa jawaban pertanyaanmu. Tapi bagaimana kalau kita lalui malam ini dulu saja? Mungkin kita akan dapat jawabannya”
Sedikit kekecewaan muncul di hati Demian. Tapi ini membuatnya sadar bahwa langkahnya terlalu terburu-buru. Dan Juli benar, mungkin di akhir malam ini, ia akan mendapat jawabannya. Sedikit waktu bisa memberi jawaban, bukan?
“Baikah, semoga kita mendapat jawaban malam ini”