Ini adalah hari terburuk dalam hidup Demian. Ia baru saja diputuskan oleh kekasihnya yang sudah menemaninya selama tiga tahun karena perempuan itu tak tahan lagi dengan lelaki pengangguran seperti dirinya.
“Dem, aku sudah terlalu tua untuk menunggu kamu. Maaf, aku sungguh masih sangat mencintaimu, tapi aku tidak bisa melihat masa depan denganmu”
Demian memegang tangan Aria, memohon agar perempuan yang sangat dicintainya itu menarik kembali keputusannya.
“Aria, please, beri aku waktu sebentar lagi. Ini akan berhasil, aku janji”
Demian adalah seorang sarjana manajemen, tapi ia masih bermimpi ingin menjadi musisi, selama ini ia menghabiskan waktunya untuk mengejar mimpinya itu, meninggalkan kenyataan bahwa ia seharusnya mencari pekerjaan di bidang bisnis, bukan di bidang musik.
Sedangkan Aria adalah tipe yang merencanakan setiap langkah hidupnya. Dan tahun ini, adalah tahun dimana seharusnya ia sudah mencapai rencananya untuk menikah, tapi semua terhambat karena kekasihnya, Demian, masih terlalu sibuk dengan mimpinya.
Aria masih sangat mencintai Demian, keputusan ini sudah terpikirkan sejak lama, tetapi ia pendam karena cintanya pada lelaki itu. Tapi, akhirnya keputusan ini jatuh pada kesimpulan untuk mengakhiri hubungannya dengan Demian, setelah seorang lelaki yang dahulu adalah kerabat Aria saat kuliah tiba-tiba datang kerumah orang tuanya hendak melamar Aria.
Orang tua Aria menasihati bahwa menikah bukan hanya sekedar cinta, tapi lebih banyak faktor di dalamnya yang terlibat. Dan orang tua Aria melihat bahwa lelaki bernama Erik yang datang kerumahnya beberapa hari lalu itu lebih siap untuk menanggung semuanya dibandingkan Demian. Mana lagi, kedatangan Erik tepat sesuai rencana menikah Aria.
Aria menghela nafas, sungguh, hatinya masih berdetak untuk Demian, ia tahu kata-kata ini beresiko besar, tapi rasa ibanya pada lelaki ini sulit dibendung.
“Kalau begitu, tunjukkan padaku kalau kamu siap. Carilah pekerjaan, berhenti bermimpi, karena aku tidak tahu harus menunggu sampai kapan hingga kamu menjadi penerus Chris Martin”
Aria menarik tangannya dari genggaman Demian, ia pergi meninggalkan lelaki itu sendirian di kafe. Beberapa orang di sebelah mereka yang mendengar percakapan itu menjadi agak canggung. Demian membiarkan Aria pergi, ia tahu Aria tak akan bisa ditahan bila sudah memutuskan, jadi ia hanya diam menatap Aria pergi, dengan pikiran yang kacau balau.
Demian melangkahkan kakinya ke sebuah minimarket, berjalan menyusuri lorong dan berhenti didepan lemari pendingin minuman, ia membuka pintunya dan mengambil dua botol minuman beralkohol.
Pikirannya terlalu kacau, di satu sisi ia tak mau kehilangan Aria karena perempuan itu adalah perempuan dalam mimpinya, pintar, percaya diri, independen, mandiri, dan banyak sifat dari kekasihnya itu yang selalu membuatnya tak pernah berhenti kagum. Tapi di sisi lain, ia juga tak mau menyerah akan mimpinya.
Ia merasa buntu. Tak tahu harus mengambil jalan yang mana. Sehingga alkohol adalah jawaban, untuknya. Walaupun sebenarnya minuman itu hanya akan membuatnya tidak sadarkan diri selama beberapa saat dari tanggungjawabnya.
Setelah membayar di kasir, ia melangkah keluar minimarket, membuka salah satu tutup botol itu. Saat hendak meminumnya, Demian melihat seorang wanita yang berdiri tepat di tepi jalan. Sangat dekat dengan jalan. Demian langsung berpikir selayaknya manusia yang melihat kejadian seperti itu.
“Hei!Hei!” teriaknya pada wanita itu.
Tapi wanita itu tidak menjawab, ia hanya diam. Dari ujung jalan terlihat lampu bus yang semakin mendekat, tak mau membiarkan wanita itu melakukan aksinya, Demian berlari menghampirinya secepat mungkin sebelum bus melewati wanita itu.
“Hei! Apa yang akan kamu lakukan?” Tanya Demian sambil memegang bahu wanita itu.
Wanita itu membalikkan badannya ke arah Demian. Parasnya sangat cantik, sesaat hati Demian terpincut. Sebelah tangan wanita itu memegang kepala, dahinya berkerut. Ia tampak kesakitan dan bingung.
“Kamu tidak apa-apa?” Tanya Demian.
“Kepalaku...sakit” Suara wanita itu merintih.
Mendengar keluhan wanita itu Demian langsung celingukan mencari tempat duduk. Lalu ia melihat sebuah bangku di depan minimarket yang ia kunjungi tadi.
“Ayo, kita duduk dulu” Demian menuntun si wanita berjalan.
Seorang kakek dari dalam bus menatap kejadian itu dari balik kaca. Ia berbicara pada penumpang yang duduk di sebelahnya.
“Saat ini dunia memang kejam. Terlalu banyak manusia kehilangan akal sehat karenanya”