Menjadi murid yang tak terlalu mencolok itu ada untung dan ruginya. Tapi bagiku lebih banyak kerugian yang aku terima ketimbang keuntungan. Kesal dan sedih tentu aku rasakan namun aku tak bisa berbuat banyak karena itu adalah pilihanku. Aku memang tipe orang yang tidak mau ribet dan melakukan hal merepotkan.
Seperti saat ini, aku yang hanya duduk saja menyendiri sembari membaca buku novelku mendadak harus menjadi sasaran bully dari teman seangkatanku. Padahal aku merasa tidak membuat masalah dengannya dan aku juga tidak mengganggu mereka, tapi pada kenyataannya mereka entah kenapa suka sekali melakukan peploncoan padaku.
“Oi cupu...jangan sok cantik loe ya. Muka norak kayak loe itu merusak pemandangan saja! Jadi nggak usah sok-sok 'an deket-deket dengan Randy. Nggak pantes banget!” seru remaja putri yang seusia denganku namun dengan penampilan yang trendi dan riasan yang tidak sesuai dengan umurnya.
Aku menghela napas dalam diam. Kali ini apalagi yang membuat gadis itu marah padaku. “Apa!?” kataku datar. “Aku tidak mengerti apa yang kau katakan!” tambahku malas.
Gadis itu terlihat menggeram marah. "Cih, jangan sok polos deh loe. Sini ikut gue loe!,” katanya mendadak menarik tanganku.
Aku mengerjap kaget dan mau tak mau aku harus ikut. Cengkraman tangannya pada pergelangan tanganku sangat kuat hingga membuatku meringis sakit. Sebenarnya bisa saja aku meronta menolak namun aku memilih untuk tidak melakukannya karena pasti bakal membuat masalah baru dan lagi itu membuang-buang energi saja.
“Loe...apa-apan loe deket-deket dengan Randy kemarin,” tanyanya kasar sembari mengempaskan tanganku dengan kuat dan membuatku termundur kaget.
Aku sedikit meringis menyentuh pergelangan tanganku yang agak merah. “Aku sungguh tidak mengerti apa yang kau katakan Pisa,” jawabku datar. “Randy? Siapa dia?” tanyaku bingung. Tapi pada kenyataannya aku mengerti, namun memilih untuk berpura-pura tidak tau saja karena pasti bakal panjang ceritanya.
Bukannya menjawab gadis yang aku panggil Pisa itu langsung mendorong tubuhku hingga punggungku menabrak dinding belakang sekolah. Dentuman keras terdengar dan rasa sakit menjalar disekitar bagian belakang tubuhku.
“Dengar ini peringatan pertama dan terakhir dari gue. Jika aku melihat kau deket-deket dengan Randy lagi. Habis loe dengan gue. Ngerti cupu kampungan!” ancamnya menatap tajam diriku.
Aku mengedip tidak mengerti dengan kemarahan gadis seusiaku itu. "Ugh... memang apa salahnya sih aku mengobrol sebentar dengannya. Itu pun tak sampai dua menit. Lagian, setahuku Randy itu tidak sedang menjalani sebuah hubungan!." kataku dalam hati. “Dia ini terlalu berlebihan kalau tidak mau aku sebut idiot.”
Well, aku hanya bisa membalas dalam hati saja karena aku tau kalau aku melawan mereka malah semakin menjadi-jadi.
“Guys beri dia pelajaran agar ngerti posisinya” teriak Pisa tiba-tiba menyeringai lebar.
Tanpa sadar tubuhku menegang ngeri. Kalau sudah begini, aku sudah tau apa yang akan terjadi padaku. Meneguk ludah kasar, refleks aku bergerak untuk melarikan diri. Namun sayang, keberuntungan sedang tidak berpihak padaku. Akhirnya aku pun menjadi bulan-bulanan Pisa dan teman-temannya hanya karena aku tak sengaja mengobrol dengan lelaki yang aku yakini menjadi incaran gadis ber-make-up tebal itu.
***
Aku mengembuskan napas panjang sembari mengusap wajahku. Rasa sakit dan perih sesekali membuatku meringis. Seragamku tampak kotor dan basah. Pisa dan ketiga temannya sudah kelewatan mengerjai diriku. Jika begini aku malas pulang karena tidak mau membuat orang rumahku khawatir akan kondisiku. Sebaiknya aku menunggu matahari benar-benar tenggelam untuk pulang kerumah karena jam segitu biasanya orangtuaku berangkat bekerja.
“Selalu seperti ini,” kataku menghela napas lelah. “Setiap ada lelaki yang dekat dengaku, ada saja yang merasa terganggu. Memang tidak boleh aku dekat dengan anak-anak cowok” keluhku agak kesal. “Kalau yang aku dekati itu sudah ada pacar ya wajar tapi ini...Argghhh...aku tidak mengerti apa yang ada di dalam otak gadis-gadis itu.” Aku meracau menggerutu kesialanku ini.
“Yang salah bukan kaunya tapi lebih kepenampilanmu ini,” kata seseorang menimpali perkataanku.
“Kheh memang apanya yang salah dengan penampilanku? Selama aku tidak telanjang ya ok-ok saja,” jawabku mendengkus tidak suka.
Terdengar suara tawa geli sebagai respon dari perkataanku tadi. Mendadak aku tersentak mengejang tegang. Aku baru saja sadar akan suara yang mengajakku bicara itu. Seingatku tadi aku sendirian di taman belakang sekolah ini. Jikapun ada yang datang menghampiriku, tidak mungkin aku tidak merasakan hawa keberadaannya.
Refleks aku menoleh dan malah mendapati seorang remaja lelaki memakai seragam sekolah sama persis denganku tengah menatapku dengan senyun manisnya. Aku mengedip cepat untuk memproses apa yang sudah terjadi.
“Woah...sejak kapan kau ada disitu? Dan kau ini siapa hah!?” teriakku kaget dengan mata membola. Aku agak takut kalau yang disampingku ini bukan manusia karena sekolah sudah sepi dari para siswa sejak 3 jam yang lalu.
Remaja putra itu malah tertawa santai melihat reaksiku. “Sejak kau mengoceh tadi,”jawabnya kalem. Wajahnya teduh sekali dan senyumnya sangat manis.
Aku mengerutkan dahiku sedikit tidak percaya pada ucapannya itu. “Terserah” tukasku malas untuk membahasnya. Sepertinya apa yang aku pikirkan itu tidak benar, lelaki itu terasa nyata dan tampak tidak menunjukkan hal-hal aneh kecuali kemunculannya yang tiba-tiba itu saja.
Terjadi sedikit keheningan setelah aku bicara tadi. Lagian aku juga tidak tau harus bicara apa. Suasana pun menjadi sedikit canggung.
“Kau berantakan sekali. Sering di bully?” tanya remaja itu memecah keheningan.
Aku menoleh sekilas lalu mengangkat bahu tidak peduli. "Mungkin...tergantung dengan situasi dan kondisinya. Kalau tuh gadis-gadis lagi PMS ya sehari bisa tiga kali” selorohku cuek.
Lelaki itu mendengkus menahan tawa gelinya ketika mendengar ucapanku. “Kayak mau minum obat aja,”komentarnya pelan. “Tidak mau melawan apa? Aku lihat kau bukan gadis lemah.” Dia mengajakku bicara lagi meski nada suaraku tadi mengindikasikan mematikan pembicaraan.
Aku mengangkat alisku heran pada pertanyaannya itu. Sontak aku menoleh menatap tajam lelaki tersebut. “Darimana kau tau aku bisa melawan mereka? Itu berarti kau sudah mengawasiku sejak tuh gadis-gadis membully-ku 'kan!” sergahku tajam dan dingin.
Lelaki itu tampak tersentak lalu tersenyum malu menggaruk pelipisnya yang aku yakini tidak gatal. “Ugh...y-ya begitulah. Kenapa? Mau ngatain aku tidak punya hati karena hanya melihat saja kau di bully!.”
Aku mendesah pendek menggeleng sekali. “Tidak. Aku hanya tidak suka saja ada orang yang melihatku tampak lemah.”
“Um, kalau kau bisa melawan tuh gadis-gadis, kenapa kau hanya diam saja?” tanyanya ingin tau.
Aku terdiam sejenak sembari mengusap poniku sebelum menjawab. “Menghindari masalah baru” jawabku sekenanya.
“Ngh...?” gumannya tidak paham. “Maksudnya itu apa?.”
Aku berdecak kecil menyandarkan tubuhku di dinding sembari menatap lurus ke depan. "Melawan tuh gadis-gadis rese' buang-buang energi aja. Kalau aku membalasnya maka kasusnya bakal panjang. Bukan saja sekolah yang bakal terlibat tuh orangtua gadis-gadis, orangtuaku dan pihak-pihak lainnya juga kena imbasnya. Lalu kau tau sendiri itu bakal ribet dan merepotkan." jelasku dengan diakhiri embusan napas panjang. Berbicara panjang bukanlah gayaku.
Remaja putra yang aku yakini seusiaku itu terdiam kaku. Sepertinya dia tengah mencerna apa yang aku katakan tadi. Aku menatap dalam diam lelaki disebelahku itu. Wajahnya cukup tampan meski agak pucat, namun sesekali aku menangkap tatapannya itu kosong, tak ada sinar kehidupan disana, tentu itu membuatku sedikit heran.
Selain itu, aku tidak pernah melihat remaja ini. Kalau dia seusiaku maka seharusnya dia satu angkatan denganku namun aku benar-benar tidak mengenalinya. Meski aku murid yang tak terlalu mencolok, tapi aku suka mengamati teman-teman seangkatanku. Entah mereka dikelas IPA ataupun IPS. Kalau pun dia seniorku atau juniorku, rasanya tidak mungkin dia berada di gedung khusus kelas XI.
“Oi...kenapa kau malah melamun?” tegurku datar.
Dia tersentak lalu mengembalikan fokusnya padaku. Dia tersenyum kecil dan tanpa sadar membuat jantungku berdetak gugup. Aku mengedip kaget dan mendadak pipiku terasa panas. Entah mengapa ketika dia tersenyum, jantungku langsung berdetak tak nyaman. Aura yang aku rasakan dari lelaki itu sangat berkarisma sekali.
“Sekarang malah kau yang melamun. Oi...kau baik-baik saja? Mukamu merah tuh,” serunya menunjuk wajahku.
Reflesk aku menyentuh wajahku. Aku tidak menyangka kalau mukaku merona hanya karena senyumnya saja. “Te-tentu saja aku baik-baik saja” jawabku cepat dengan nada yang terdengar gugup. Dia malah menatapku aneh dan tidak percaya. "Da-dan lagi wajahku merah karena efek dari bully-an tadi,”lanjutku sesantai mungkin. "Si-sial kenapa aku malah jadi gugup hanya karena senyumnya. Sialan!.”
“Oi, malah balik ngelamun lagi.”
“Siapa yang melamun?” kataku datar. Lelaki yang aku tidak tau siapa namanya itu hanya menatapku dengan kilat mata humor. “Cih, terserah kau. Dan jangan panggil aku oi. Aku punya nama” tukasku sakartik. “Shely. Shely Arian Xanzani.”
Aku mengulurkan tanganku mengajaknya bersalaman. Lelaki itu terdiam menatapku dan uluran tanganku hingga tiga kali. Aku menunggu dengan perasaan bingung dan aneh. Mengapa dia tampak ragu untuk dan tak yakin. Namun, tak lama, dia menerima uluran tanganku dengan gesture sama sekali tidak menyakinkan.
“Aji. Rizkiaji Bayunxhi Zanendra.” Dia memberitahu namanya dengan nada suara hampa dan kilat mata sendu.
Tanpa sadar aku menegang kaget ketika tangan Aji menyentuh tanganku. Tangan besar dan putih itu terasa dingin dan ada sensasi hangat menyenangkan. Aku tanpa sadar mengeratkan jabatan tangan iu dan terdiam cukup lama untuk meresapi sentuhan ringan remaja yang bernama Aji itu.
“Ada apa?,” tanya Aji heran karena aku masih belum melepaskan jabatan tangan kami.
Aku mengedip sekali lalu tersenyum gugup melepaskan jabatan tangan itu. Berusaha untuk membuat ekspresi senetral mungkin. “Um, tidak. Maaf membuatmu tak nyaman” kataku kalem. Aji hanya menggeleng sambil tersenyum kecil. “Tanganmu dingin sekali. Apa kau sedang sakit? Wajahmu juga kalau aku perhatikan agak pucat.”
Aji tertawa mendengarnya lalu menggeleng sembari mengibas-ngibaskan tangannya di udara. “Sejak tiga tahun lalu suhu tubuhku memang begini. Apalagi wajahku. Kenapa? Aneh ya!” katanya tersenyum sedih.
Aku refleks menggeleng dan merasa tak suka pada senyum kosong itu. “Tidak kok. Kau cukup tampan dan manis” jawabku polos dan spontan.
Lalu sedetik itu juga aku langsung menyadari apa yang telah aku katakan itu sangat memalukan dan refleks aku menutup mulutku dengan punggung tanganku. “Argh...mulut sialan,” panikku dalam hati. “Memalukan sekali. Dia pasti mengganggapku aneh!.”
Aji terkekeh ringan mendengarnya lalu mendadak dia mendekatkan wajahnya pada wajahku. “Oh, terimakasih pujiannya. Kau juga cantik dan manis kalau tidak berantakan begini” balasnya lembut mengedipkan mata kirinya lalu tertawa geli.
Aku terbelalak kaget melihat wajah Aji yang dekat denganku. Tanganku yang menutup mulutku langsung jatuh karenanya. Sontak aku memundurkan kepalaku. “Ugh...itu pujian atau ejekkan sih,” kataku membuang muka kesamping. “Mengapa aku jadi gugup begini hanya karena melihat wajahnya dari dekat.”
“Tentu saja pujian dari lelaki yang kau sembut tampan ini,”candanya menyeringai lebar. “Apa kau merasa terhormat?” Dia mengerling jahil padaku.
Aku meringis malu karenanya. “Oh diamlah. Itu memalukan sekali,”ujarku gugup dan Aji malah tambah tertawa senang.
Hatiku tanpa sadar terasa hangat, perasaan kesal dan lelahku langsung hilang hanya karena bicara dengan remaja misterius ini. Aku melirik Aji dalam diam yang tengah tersenyum menatap lurus kedepan dan tanpa sadar membuatku tersenyum tulus dan bahagia. Tapi aku juga merasakan keanehan lain ketika memandang Aji, entah mengapa aku merasa kalau dia itu seolah tidak nyata.
***
Terhitung sudah seminggu aku mengenal Aji. Sejauh ini aku merasa nyaman berada di dekatnya. Kami selalu mengobrol santai membahas berbagai macam topik. Kadang-kadang Aji menggodaku dengan sikap jahil. Rasanya sangat senang sekali. Setiap jam istirahat, aku selalu menyempatkan diri untuk mampir ke taman belakang gedung.
Lagian Aji juga tidak memberitahuku apakah dia anak IPA atau IPS, jadi aku tak tau harus mwnghampirinya dikelas mana. Namun bagiku itu tidak masalah karena bertemu dengannya di taman belakang itu sedikit mengurangi tatapan-tatapan aneh yang ditujukan padaku jika aku sedang dekat dengan laki-laki.
“Woah, kenapa dengan wajahmu?” kaget Aji ketika melihat wajahku.
Aku mengedip dua kali lalu menghela napas pelan sebelum menjawab. “Biasa salah satu teman sekelasku iseng” jawabku tidak peduli. “Apa masih terlihat nodanya?” tanyaku menyentuh ujung bawah pipi kiriku.
Tadi, saat pelajaran seni, salah satu teman sekelasku iseng menyiram cat air. Entah iseng atau sengaja, aku juga tidak tau yang jelas sekitaran pipiku tadi penuh dengan cat air berwarna biru. Tadi sih sudah aku bersihkan di toilet dan rasanya sudah bersih.
“Ya...” jawab Aji pelan. “Ada sedikit di sisi dagumu itu.”
Aku berdecak kesal karenanya. “Aish...rasanya tadi sudah bersih,”gerutuku sambil menggosok kuat pipiku. Mungkin aku tidak melihatnya karena terburu-buru ingin menemui Aji.
Tapi tanpa di duga, Aji menghentikan tindakanku yang tengah mengusap pipiku itu dan sukses membuatku kaget. “Jangab digosok begitu” serunya serius. “Kau bisa melukai pipimu. Ck dasar...kau ini wanita tapi sikapmu sembrono sekali” dengkusnya datar.
Aku terdiam menatap bingung Aji. Kenapa dia malah kesal begitu?. Mendadak aku tersentak membeku saat Aji mendekatkan tubuhnya dan menyentuh pelan ujung pipiku. Dia mengusapnya lembut saat membersihkan noda cat air yang menempel di pipiku.
“Wajah itu aset wanita jadi jaga baik-baik,”omelnya. “Sifat tak acuh dan sembronomu itu terkadang membuatku tidak habis pikir. Kau ini pintar tapi bodoh di saat yang sama.” Tampak Aji mengembuskan napas lelah.
Aku bergeming dengan menatap Aji penuh arti. Aku tidak tau harus merespon apa. Perbuatan dan perkataan Aji padaku begitu membuat hatiku bergetar senang. Rasa hangat menjalar diseluruh tubuhku dan aku harus menahan diriku agar tidak merona. Ini pertama kalinya aku diperlakukan manis oleh seorang laki-laki.
Aji sepertinya merasa kalau aku tengah menegang kaku, sontak dia menghentikan usapan lembutnya itu dan malah memandang wajahku dengan kilat mata serius. Entah datang darimana keberanian Aji itu, tiba-tiba dia semakin mendekatkan wajahnya padaku.
Aku mengerjap bingung gagal paham dengan tindakan Aji, namun entah mengapa aku merasa gugup. Tanpa di duga dia memiringkan sedikit wajahnya dan bibirnya dia benturkan pada bibirku. Sontak aku membelalakkan mataku syok. Bibir itu bergerak lembut melumat bibirku dengan penuh rasa sayang.
Aku masih terdiam membeku, tak tau harus berbuat apa. Bibirnya terasa dingin tapi manis disaat yang sama. Tanpa sadar aku memejamkan mataku, karena merasa nyaman dengan ciuman manis dan lembut Aji. Seharusnya ciuman ini terjadi mengingat kami baru kenal, tapi aku tidak bisa menolaknya, aku juga tidak tau kenapa.
Ketika Aji hendak memperdalam ciumannya dengan menekan tengkukku, aku pun tersentak sadar dan refleks melepaskan diri. Aku meneguk ludah gugup dan spontan menutup mulutku dengan punggung tanganku. Aku baru menyadari apa yang telah kami lakukan itu sangat memalukan sekali.
“Ka-kau...” kataku terbata. “A-apa? Kau!.” Aku tidak tau harus bilang apa.Aku benar-benar blank. Kejadian tadi begitu memalukan. Wajahku sontak memerah malu karena masih bisa merasakan dinginnya bibir Aji melumat bibirku. “Oh Tuhan apa yang telah dia lakukan padaku!.”
Aji hanya menatapku kosong dan membuat aku mengerut heran. “Aku tidak akan minta maaf karena aku tidak menyesalinya.”
“Ugh...” gumanku tidak mengerti.
Tak mau suasana semakin canggung dan aneh, aku berdiri menatap Aji sebentar lalu memutuskan untuk meninggalkannya. Aku sudah tidak tahan menahan rasa malu dan gejolak aneh ketika Aji menciumku. Aku tidak membencinya malahan suka sekali tapi rasanya bingung harus berbuat apa. Aku malu sekali dan wajahku pasti sudah sangat merah.
“Satu-satunya yang bakal aku sesali adalah membuatmu menangis nantinya,”lanjut Aji sedih. “Ini salah memang tapi aku tidak mau menyesalinya.”
Mendengar gumanan itu, aku sontak menghentikan langkah kakiku dan berbalik menatap Aji yang telah berdiri menatapku sendu. Entah mengapa melihat ekspresi itu, hatiku mendadak berdenyut nyeri. Aku merasa seolah Aji tidak bisa aku raih.
“A-apa maksdunya itu?,” tanyaku bingung dalam hati.
***
Tiga hari berlalu setelah insiden Aji menciumku. Selama itu aku tidak berani bertemu dengannya, bukan karena aku membenci perbuatannya tapi lebih ke aku yang malu bertatapan muka dengan remaja itu. Aku sangat suka dan nyaman dengannya tetapi aku bingung harus melakukan apa karena ini baru pertama aku merasakan rasa gugup, senang, malu dan jatuh cinta. Perasaan yang tengah aku rasakan ini bercampur aduk. Jadi susah untuk mengekspresikannya.
Tanpa sadar wajahku memerah malu ketika memikirkan aku sudah jatuh cinta dengan Aji. Refleks aku membenturkan dahiku di meja tempat dudukku. Aku sungguh tidak tau harus berbuat apa. Disatu sisi aku merindukannya tapi disisi lain aku malu untuk menemuinya. Kejadian kemarin itu menjadi pedang bermata dua bagiku.
“Ugh...sebaiknya aku menemuinya,” gumanku dalam hati. “Aku tidak mau dia salah paham dengan diamnya aku selama tiga hari” lanjutku dengan helaan napas panjang. “Ta-tapi aku malu...aish...kenapa malah jadi gini sih!.” Aku bermoonolog ria dan sesekali aku membenturkan kepalaku saking bingungnya harus melakukan apa.
“Shely bisakah kau membantuku menyerahkan laporan ini ke ketua OSIS?” tanya ketua kelasku mengagetkanku dan membuyarkan pikiranku akan Aji.
Aku menoleh kesamping mengerjap sekali lalu menggangguk mengiyakan. Aku pun berdiri dan mengambil map biru yang berisi laporan mengenai entah apa itu.
“Thank's,”katanya sopan.
“Hn” jawabku singkat.
Aku melangkah malas menuju ruang OSIS yang terletak agak jauh dari ruang kelasku. Biasanya jam istirahat begini aku menemui Aji. Mengingat pemuda itu wajahku kembali memerah, sangat susah sekali mengontrol reaksiku kalau teringat Aji karena aku pasti juga teringat ciuman itu.
“Permisi,” kataku membuka pintu ruang OSIS dan langsung masuk.
“Oh, Shely kah?,” kaget sang ketua OSIS yang merupakan teman satu angkatanku. Aku pernah satu kelas dengannya saat kelas 1. “Ada apa? Tidak biasanya kau berada disini?.”
Aku hanya menunjukan sebuah map pada lelaki yang memiliki nama Derry itu. "Kalau bukan karena memberikan ini, mana mau aku membuang energiku jauh-jauh kesini.”
“Cih, seperti biasa kau tidak pernah berubah.”
“Beubah? Mana mungkin bodoh,” ketusku malas.
Derry tampak tertawa mendengar gumananku. “Tuh letakkan saja di meja.”
Aku menggangguk dan langsung menaruh map di meja. Setelah selesai dengan urusanku, aku pun pamit untuk keluar dari ruang kelas. Namun mendadak langkahku terhenti ketika mataku tak sengaja menatap foto-foto yang terpajang diruang OSIS ini.
“Ada apa Ly?” tanya Derry heran melihatku yang berhenti tiba-tiba itu.
Aku terdiam dengan tubuh membeku dan mata membola sempurna. Betapa tidak, salah satu foto disana sangat mirip sekali dengan Aji. “De-Derry foto-foto apa itu?” tanyaku gugup. Entah kenapa jantungku berdetak tidak nyaman.
“Hm? Foto apa Ly?,”tanyanya bingung. Aku menunjuk foto yang ada diatas dinding sebagai jawaban. “Oh itu sih foto-foto ketua OSIS sekolah kita dari generasi pertama sampai genarasi kita. Kenapa memangnya?.”
“Ugh...perasaanku tidak nyaman. “Be-begitu...lalu foto itu...maksudku siapa nama yang ada di foto itu.”
“Yang mana?” ujar Derry tak mengerti.
“I-itu foto lelaki berambut jabrik hitam bermata cokelat gelap dan tahi lalat di atas pelipis kanannya.” jelasku cepat.
Derry tersentak kaget mengerenyit bingung dengan pertanyaanku. “Oh, dia” tukas Derry mengerti karena di foto-foto itu hanya ada satu foto siswa yang berambut jabrik. “Mantan KETOS empat tahun lalu. Rizkiaji Bayunxhi Zanendra.”
“Oh mantan KETOS empat tahun lalu?” beoku mengerti namun mendadak tubuhku membeku sadar. “Eh... em-empat tahun lalu berarti bukan siswa seangkatanku. Lalu kenapa dia ada disekolah ini kalau begitu?,” kataku dalam hati.
“Ne Ly,”panggil Derry pelan. Aku langsung menoleh menatapnya datar. Derry yang mengerti tatapanku langsung melanjutkan kalimatnya. “Darimana kau tau warna mata dan letak tahi lalat beliau? Dari jarak segini warna mata beliau terlihat hitam dan letak tahi lalat itu kecil nyaris tidak terlihat” tanya Derry bingung dan sontak membuatku kaget.
“Kenapa dia bertanya begitu?,”heranku pada nada bicara Derry.
“Ah, aku pernah bertemu dengannya,” jawabku santai namun anehnya Derry tampak kaget dengan wajah memucat horor.
“Itu tidak mungkin Ly,” sergahnya cepat. “Jangan membual.”
Aku mengerut mengangkat alis tidak mengerti. “Untuk apa juga aku membual Der,” sungutku kesal.
Derry mengerjap cepat sembari meneguk ludahnya paksa. “Ha-habisnya dia...Rizkiaji Bayunxhi Zanendra...dia dinyatakan hilang sejak 3 tahun lalu. Ada rumor yang mengatakan kalau dia sudah tewas karena menjadi korban bully.” Jelasnya gugup.
Aku mengejang syok mendengar penjelasan Derry. Aku ternganga tidak percaya pada ucapan temanku itu. Aku menggeleng cepat tidak terima dengan informasi tersebut. Bagaimana mungkin dia berkata seperti itu padahal jelas-jelas aku selama seminggu ini bersamanya dan berbincang santai dengannya.
“Jangan bercanda padaku Derry. A-Aji hilang? Tewas? Ck, bagus sekali leluconmu itu,” kataku sakartik. “Kalau kau tidak suka padaku bilang. Jangan berbicara yang tidak-tidak begitu!” sergahku kasar menatap dingin Derry.
Derry menggeleng tersenyum lemah. “Kenapa pula kau bilang begitu Ly? Aku ini temanmu,”sentak Derry kesal. “Dan juga itu kenyataannya Shely. Lagian untuk apa aku membuat lelucon seekstrim ini,” ujarnya sedih.
Aku meneguk ludah masih tetap tidak percaya. “Tapi Der, aku benar-benar bertemu dengannya. Selama satu minggu ini aku mengobrol dengannya dan dia...”
Mendadak aku terdiam ketika mengingat semua kejadian dari aku bertemu dengannya hingga saat ini. Dari Aji yang mengawasiku sejak awal ketika aku di bully dan tidak membantuku. Wajah pucat dan tatapan kosong nan sendu. Perasaan aneh seolah dia tak nyata yang aku rasakan. Rasa dingin yang kurasakan saat bersalaman dengannya. Semuanya aku pikirkan kembali pelan-pelan. Aku pun teringat akan perkataannya yang aneh waktu itu.
“Sejak tiga tahun lalu suhu tubuhku memang begini. Apalagi wajahku. Kenapa? Aneh ya!. Kalimat yang dia ucapkan ketika aku mengomentari tangan dan wajahnya.
“Satu-satunya yang bakal aku sesali adalah membuatmu menangis nantinya. Ini salah memang tapi aku tidak mau menyesalinya.”
Kata-kata terakhir Aji ketika aku pergi meninggalkannya setelah dia menciumku akhirnya aku mengerti. Sontak saja seluruh tubuhku lemas dan membuatku jatuh terduduk. Tanpa bisa dicegah, airmata mengalir deras dari pipiku. Aku menangis dalam diam. Aku sendiri tidak tau kenapa aku menangis tapi hatiku rasanya sakit sekali. Ketika menyadari satu fakta penting kalau aku mencintai hal yang tidak nyata.
“Astaga Shely,” kaget Derry spontan berdiri dan langsung berjongkok saat dia menghampiriku. “Kenapa kau menangis? Apa yang salah?.”
Aku menatap sedih Derry tak tau harus bilang apa. Tanpa di duga Derry malah memelukku. “Di-dia terasa nyata Der. Aku...aku...sialan! Hatiku kenapa sakit sekali.” Aku meracau tidak jelas sambil mencengkram erat baju depan Derry untuk melampiaskan rasa sesak yang aku rasakan saat ini.
***
Setelah aku mengetahui siapa Aji. Aku memberanikan diri untuk bertemu dengannya lagi. Aku tidak tau apakah dia masih ada disana atau tidak. Tapi aku harus meluruskan semuanya. Awalnya aku takut setelah tau kalau Aji itu bukan manusia, namun kebersamaan kami selama satu minggu itu membuatku sadar kalau meski bukan manusia aku sangat nyaman padanya dan fakta kalau aku juga sudah jatuh cinta padanya.
“Akhirnya kau muncul juga setelah lima hari berhibernasi ne,” seloroh Aji menatapku teduh. Wajahnya menyiratkan sebuah ketenangan dan itu agak mengusikku.
Aku meneguk ludah gugup melangkah mendekati Aji yang bersandar di sebuah pohon beringin tua. “A-Aji...” gumanku pelan.
“Jadi kau sudah tau,” ujarnya kalem. “Maaf. Apa kau takut dan merasa terganggu?.”
Aku menggeleng. “Sudah terlambat kalau mau bilang itu,” kataku sedih. Aku ingin sekali memeluknya, tapi ragu karena entah mengapa aku merasa ini akan menjadi perpisahan kami.
Kami terdiam cukup lama sampai Aji memecah keheningan. “Maaf karena sudah membuatmu menangis. Aku muncul memberikanmu kenyamanan tapi nyatanya juga memberimu rasa sakit,”katanya merasa bersalah. “Rasa cinta tumbuh namun membawa luka untukmu. Maafkan aku Ly.”
Aku menggeleng mengepalkan tanganku menahan perasaan sedihku. “Bo-bodoh...”
“Tapi seperti yang aku katakan. Kalau aku tidak akan menyesalinya. Mengenalmu dan mencintaimu meski tidak bisa bersama adalah anugerah terindah yang Tuhan berikan padaku” katanya lembut dan membuat hatiku berdetak nyeri.
Aku menggigit bibir bawahku. “Me-menyebalkan...”
Aji tertawa lembut lalu menarikku kedalam pelukannya. “Aku tidak tau kenapa Tuhan memberikanku kesempatan untuk bersamamu walah hanya sebentar. Tapi satu hal yang aku tau, rasa ini nyata seperti laiknya aku masih hidup. Aku tidak hanya sekedar muncul dihadapanmu tapi aku muncul untuk memberikanmu apa itu rasanya jatuh cinta dan rasa sakit. Tidak adil memang, tapi beginilah jika Tuhan sudah berkehendak.”
Akhirnya pertahananku runtuh. Aku menangis dengan rasa sesak yang membuncah. “Benar-benar tidak adil,”lirihku.
Aji melepaskan pelukannya lalu mengambil kedua tanganku. Dia gengam erat dan menatapku lembut dengan senyum tulus tersungging di bibirnya. “Shely...terimakasih karena sudah mencintaiku dan membuatku mencintaimu juga. Maafkan aku kalau pertemuan kita malah membuatmu terluka.”
Aku terisak-isak pelan sebelum menjawabnya. “Kau sangat egois dan menyebalkan. Setelah memberikanku perasaan nyaman ini. Aku harus menerima fakta kalau yang aku cintai tak lebih dari seorang roh. Bo-bodoh, ini mengerikan sekali.” Aku berusaha untuk tegar.
“Hei aku ini roh yang tampan dan manis 'kan,” gurau Aji membuatku mau tak mau tersenyum. Inilah Aji, laki-laki jahil yang hobi menggodaku.
“Ne, Ly boleh aku minta sesuatu padamu?.”
“Apa? Asal jangan memintaku menjadi roh juga bakal aku kabulin,” dengkusku datar.
Aji tersenyum lembut lalu menarikku lagi dalam pelukan hangatnya meski tubuhnya terasa dingin. “Bisakah kau membawaku pulang? Aku ingin orangtuaku dan keluargaku tau kalau aku ingin pulang pada mereka. Bisakah kau memberitahu mereka kalau aku tidak suka terus-terusan berada dibawah sini. Rasanya sepi karena tidak ada yang mengunjungimu.”
Dalam pelukan Aji itu, aku menegang kaku. Aku mengerti apa yang dimaksud oleh Aji dan aku menggangguk paham. Aku menahan diriku untuk tidak menangis lagi. “Haruskah secepat ini...” Aku benar-benar tidak rela berpisah dengannya.
“Ya Ly...aku dan kau sangat berbeda sekali.” Aku tersenyum getir mendengarnya. “Ne, Shely Arian Xanzani. Aku mencintaimu...sangat mencintaimu. Terimakasih karena sudah membuatku bahagia walau hanya sebentar. Rasanya bebanku dan perasaan janggal ini sudah hilang. Aku sudah bisa pergi dengan tenang sekarang.”
Aku mengeratkan pelukan kami. Dadaku sesak sekali dan sakit disaat yangik sama. “Sial! Ini salahmu! Sakit Ji. Sakit sekali.”
“Jadilah kuat dan lindungilah dirimu. Meski merepotkan, diam juga tidak akan menyelesaikan masalah. Melawan bukan berarti menciptakan masalah baru tapi untuk mempertahankan harga diri. Kau mengerti!” pesan Aji menepuk punggungku. “Dan Ly...ayo bertemu lagi suatu hari nanti. Aku mencintaimu” bisiknya lirih ditelingaku.
Setelah mengucapkan kalimat itu, Aji menghilang dari ketiadaan. Rasa hangat itu berganti hampa dan dingin. Aku jatuh terduduk mencengkram dadaku yang terasa sesak dan sakit. Aku menangis sejadi-jadinya hingga merasa airmataku telah habis terkuras.
“Bodoh...bodoh...bodoh...” gumanku terisak. “Kau lelaki paling bodoh menyebalkan dan merepotkan.” Aku memukul-mukul dadaku untuk meredam sesak itu. “Tapi terimakasih telah memberikanku pelajaran yang sangat berharga untukku. Mengajarkanku apa itu rasa cinta dan luka. Asal kau tau, aku pun juga mencintaimu...sejak pertama aku mengenalmu.”
***
Pasca perpisahanku dengan Aji, tanpa buang-buang waktu, aku segera melaporkan temuanku pada pihak berwajib. Walau aku sedikit mengarang ketika bercerita karena tak mungkin aku bilang roh Aji yang memberitahu jasadnya dikubur dibawah pohon beringin.
Benar saja, setelah di gali, polisi menemukan jasad Aji yang masih menggunakan seragam sekolah dan ajaibnya, jasad itu masih utuh dengan luka lebam menghiasi wajahnya. Aku menatap dengan penuh kesedihan, ketika jasad Aji dibawa pergi. Isak tangis keluarga membuat hatiku berdenyut nyeri.
Seminggu setelahnya, pihak kepolisian berhasil menangkap lima orang pelaku yang menyebabkan Aji tewas. Mereka semua mudah dibekuk karena Aji meninggalkan bukti jelas pada tubuhnya untuk menangkap sang pelaku. Dengan begini, Aji benar-benar bisa tenang dialamnya dan keluarga Aji nendapatkan keadilan.
***
Tak terasa dua tahun telah berlalu sejak kejadian yang menimpaku di SMA dulu. Meski rasanya seperti mimpi, tapi aku tidak pernah sekalipun melupakan Aji. Sekarang aku telah menjadi seorang mahasiswa. Aku cukup disibukkan dengan pekerjaan paruh waktuku dan pelan-pelan merubah diriku menjadi lebih baik.
Sekarang aku tidak pernah lagi di bully sejak aku melawan para pembullyku. Rasanya damai sekali setelah orang-orang yang suka membullyku tidak mau berurusan denganku. Memang benar kata Aji kalau diam saja maka aku tidak akan ada perkembangannya.
“Argh...ini salah Derry karena membuatku terlambat,” gerutuku berlari kencang.
Hari ini adalah upacara peresmian mahasiswa baru dan aku hampir terlambat karena Derry, bosku sekaligus teman satu angkatanku dulu menghambatku. Tak lama, akhirnya aku sampai di halaman kampusku Tak membuang waktu aku berlari menuju aula, tapi sayangnya karena buru-buru aku malah menabrak seseorang hingga tubuhku berada diatas orang yang aku tabrak. Sungguh memalukan sekali.
“Woah...maafkan aku. Aku tidak sen...”
Aku terdiam membeku saat aku melihat orang yang ada dibawahku itu. Mataku terbelalak tidak percaya pada seorang lelaki yang sangat mirip dengan Aji, bedanya tidak ada tahi lalatnya. Namun selebihnya persis sekali seperti dia.
“Ugh...bisakah kau menyingkir nona.”[ pintanya sopan.
Aku mengerjap kaget mendengarnya. “Ah, iya...maaf,"ringisku bangkit dari tubuhnya.
“Kau tidak apa-apa?” tanyanya ketika kami sudah berdiri. Aku menggeleng cepat, kejadian tadi memalukan sekali. “Syukurlah kalau begitu. Lain kali hati-hati jangan lari-lari. Tidak enak melihat seorang gadis berlarian di koridor.” Dia malah mengomel dan aku hanya bisa ternganga syok karena tingkahnya juga mirip dengan Aji. “Kau mahasiswa baru?.”
Aku menggangguk kaku dan dia hanya tersenyum kecil. “Ya, maafkan aku sudah menabrakmu...” kataku tersenyum malu sambil menggaruk pipiku.
“Tidak masalah,” katanya. “Rizkiaji Xanxan Wardhana, mahasiswa semester 4” katanya mengulurkan tangan mendadak mengajak kenalan.
Aku kaget tidak menyangka dia mengajakku berkenalan. Aku menatap uluran tangan itu dan pemuda tersebut merasa aneh, senang dan malu. Lalu aku pun menerimanya dengan senyum cerah. “Shely. Shely Arian Xanzani” jawabku manis.
SE:ESAI
bagus ceritanya Ryuu, jika berkenan tolong Like ceritaku juga ya https://tinlit.com/read-story/1436/2575
terima kasih , smoga sukses selalu :)