DUA PULUH DUA
Mataku menjelajah seluruh kelas, kosong. Sepertinya aku tertidur selama dosen menjelaskan tentang pajak dan teman-temannya. Aku mengusap mata secara kasar. Aku masih mengantuk. Saat ingin melanjutkan tidur, suara kencang membuat niatku terurung.
Ternyata ada seorang perempuan yang menabrak pintu. Perempuan itu mencoba mengatur napasnya yang terengah-engah, beberapa bulir keringat mengalir di dahinya. Matanya menyorot diriku dengan misterius. Aku meraih tas. Niatku untuk tidur sudah musnah. Sepasang mata hitam pekat itu terus mengamatiku. Aku bergidik, merasa punggungku ditembus olehnya.
"Kau siapa?" tanyaku ketika dia menghalangi pintu.
Perempuan itu memiringkan kepalanya. Rambutnya yang panjang terurai menambah kesan misterius dalam dirinya. Aku mendorong tubuhnya untuk bergerak, tapi tubuhnya tidak beranjak seinci pun. Astaga, aku benar-benar ketakutan sekarang.
"Kau siapa?!" tanyaku lebih keras. Ingat, aku laki-laki. Aku tidak boleh takut pada perempuan sinting ini.
"Apa kau yang namanya Rion? Kau harus diselamatkan. Harus, jika tidak, nyawamu tidak terselamatkan." Tangan perempuan itu saling bermain. Matanya menatapku tajam.
Aku memelototkan mata. "Apa maksudmu? Aku baik-baik saja. Kau salah orang." Aku berusaha untuk menyingkirkan tubuhnya, tapi perempuan itu berpegangan pada daun pintu erat-erat.
"Aku tidak mungkin salah orang. Dunia hantu semakin kacau. Kau harus diselamatkan, kau harus diselamatkan." Mulut perempuan itu komat-kamit.
Aku menghela napas panjang. Ini akan jadi urusan yang panjang jika aku tidak mengakhirinya. "Maaf, tapi aku ingin pulang sekarang."
Saat aku berhasil menyingkirkan tubuhnya, tanganku dicekal. "Kau harus diselamatkan. Berapa umurmu sekarang? Kapan ulang tahunmu? Jika kamu berumur dua puluh dua, tamat sudah riwayatmu. Hantu akan menggiringmu ke neraka."
Aku menangkis tangannya dengan kasar. Perempuan ini gila. Aku cepat-cepat berlari keluar kampus. Hantu? Itukan hanya khayalan belaka. Mereka tidak ada di dunia ini. Mungkin dia pikir aku anak kecil yang percaya hantu, dan akan berlari ketakutan seakan puluhan hantu mengejarku. Cih! Aku tidak akan percaya.
**
Nyatanya aku tidak bisa tertidur. Mataku tetap menyala. Ruangan kamar tidurku terasa sangat dingin. Kaus tebal yang aku pakai tidak bisa menangkis udara. Aku memeluk tubuhku sendiri. Ini sungguh konyol. Aku merasa ketakutan sekarang. Apa aku harus pindah ke kamar temanku?
Aku tinggal di kos, mengembara ke pusat kota dengan harapan dapat menimba ilmu. Tapi ini tidak semudah yang kubayangkan. Uang jajanku telanjur habis terlebih dahulu sebelum ayahku mengirimnya kembali. Aku terpaksa bekerja di minimarket. Siang belajar di kampus, malam bekerja. Begitu terus setiap hari tanpa henti. Terkadang aku berpikir, jika nasibku sama sepert temanku. Kaya, tampan, pintar, baik hati. Itu sungguh sempurna untuk menjadi pangeran tampan.
Aku melenguh panjang. Tidak ada gunanya memikirkan hal-hal lain. Aku harus tidur sekarang. Mataku menatap jam dinding, pukul dua belas kurang sepuluh menit. Ah, tiba-tiba aku teringat hari ulang tahunku. Besok aku berumur dua puluh dua tahun. Tepatnya beberapa menit lagi umurku bertambah. Aku kembali memikirkan perkataan perempuan tadi. Aku menarik selimut hingga menutupi kepala. Ini benar-benar mengerikan. Entah mengapa, rasa takut seperti akan membunuhku hidup-hidup.
Aku mengintip melalui celah selimut. Lengang, tidak ada apa-apa, semuanya normal. Aku mengembuskan napas kuat-kuat. Tiba-tiba suara hentakan kaki terdengar dengan keras. Suara itu terdengar berulang kali, seperti ribuan orang sedang berlari menuju kamarku. Aku terburu-buru membuka pintu. Ingin melihat apa yang sedang terjadi. Pemandangan tidak terduga mengejutkan diriku. Aku mengedipkan mata berulang kali untuk memastikan. Di sana, di depanku beberapa langkah, tampak puluhan atau bahkan ribuan manusia berjejal-jejalan berlari menujuku.
Mereka bukan manusia. Mereka semua hantu. Aku melihat di antara mereka kehilangan satu bola mata, darah memenuhi pakaian, rambut mereka tampak berlendir oleh darah. Aku menutup pintu kembali. Tapi mereka berhasil menembusnya dengan mudah. Aku sungguh ketakutan. Tatapan mereka seperti ingin memakanku hidup-hidup. Aku berjalan mundur hingga salah satu kakiku terselandung kaki ranjang. Tubuhku langsung ambruk, seluruh tubuhku gemetar. Mereka berkumpul di sekitarku seperti kawanan zombie. Tubuh mereka saling menimpa, kehilangan keseimbangan.
“Tolong! Tolong!” Aku berteriak hingga pita suaraku nyaris putus.
Tangan mereka dengan kuku-kuku yang tajam mencoba meraihku dan berhasil melukai wajahku. Aku beringsut mundur dan mencoba menemukan apa saja yang bisa aku lempar. Ini mengerikan, semua benda yang kelempar menembus tubuh mereka. Sebentar lagi aku akan mati. Tidak ada celah bagiku untuk keluar dari kamar kos. Kamarku yang sangat sempit seluruhnya sudah padat oleh mereka, kawanan hantu.
Aku mendengar ponselku berbunyi nyaring. Dengan susah payah aku mencoba meraihnya. Aku berhasil menggenggam ponsel itu walaupun tanganku penuh dengan luka yang dalam. Aku mengangkat telepon tanpa melihat siapa yang memanggil.
“Aku tidak berhasil menahan mereka, Rion. Aku melihat biodatamu di perpustakaan. Hari ini ulang tahunmu, seharusnya para hantu sudah memburumu saat ini.” Terdengar suara perempuan dengan intonasi datar.
“Tolong aku. Bagaimana cara mengehentikan mereka?” tanyaku dengan nada bergetar.
“Tidak ada cara untuk menghentikannya,” jawab perempuan itu tenang.
Aku memejamkan mataku erat-erat ketika hantu terdekat dengan diriku membuka mulutnya lebar-lebar. Sial! Perempuan ini sama sekali tidak bisa diandalkan. Aku mungkin sudah mati sekarang, tapi tidak ada rasa sakit di tubuhku. Dengan penuh rasa takut, aku membuka mata perlahan-lahan.
“Mereka berhenti. Mereka berjalan meninggalkanku!” seruku lega sembari memerhatikan para hantu yang terburu-buru keluar dari kamar kosku.
Aku membaringkan tubuhku di lantai. Aku menghapus bulir-bulir keringat di dahiku. Aku hampir mati.
“Aku sudah mengiranya. Aku memasukkan kalung di tasmu tadi siang. Mereka takut itu. Besok temui aku di kantin kampus.”
Setelah itu, panggilan terputus. Aku memasukkan kepalaku di celah kaki. Sebenarnya apa yang sedang terjadi?
**
Aku menatap nasi goreng tidak selera. Tubuhku terasa lemas setelah kejadian tadi malam. Aku mengusap wajahku kasar. Mengapa ini semua terjadi denganku? Aku jadi teringat dengan ayah di rumah. Jika aku meninggal, pasti ayah sangat sedih. Ibuku telah meninggal lebih dulu, tepatnya saat aku berumur dua belas tahun. Aku menurunkan kepala hingga bertubrukan dengan meja kantin. Aku benar-benar kehilangan semangat hidup.
Dari pagi hingga saat ini, aku selalu melihat hantu yang mendekatiku dengan buas, lalu saat beberapa langkah di dekatku, mereka akan mundur. Ini semua karena kalung yang diberi perempuan aneh itu. Sejujurnya aku sungguh takut mengalami ini semua. Dari kecil, aku percaya bahwa hantu itu tidak ada. Hantu adalah khayalan manusia yang bodoh. Saat menonton film horror pun aku tidak betah. Bagiku semuanya adalah khayalan. Khayalan yang menyesatkan manusia atas ketakutan berlebihan pada hantu.
“Maaf, aku terlambat menemuimu.” Sosok perempuan aneh itu tiba-tiba duduk di hadapanku. Pakaiannya serba hitam, sangat sepadan dengan sepasang matanya. Rambutnya kali ini dibiarkan terikat anggun, menampakkan leher jenjangnya.
“Apa penjelasanmu akan kejadian semalam? Dan juga apa yang bisa kulihat sekarang ini.”
Aku bisa melihat para hantu dengan wajah yang menyeramkan mencoba mendekatiku. Mereka seakan menginginkan sesuatu dariku, yaitu jiwaku saat ini. Mereka ingin memakanku hidup-hidup. Selain itu, aku bisa melihat hantu lain dengan aura putih bersinar. Wajah mereka tidak menyeramkan. Contohnya hantu laki-laki yang berdiri di pintu kantin. Dia hanya berjalan mondar-mandir dengan sebuah sapu di tangannya. Pakaiannya cukup lusuh, berwarna biru muda dengan corak garis-garis.
“Kau berbeda dengan manusia yang lain. Aku bisa melihat tubuhmu bersinar kuning. Saat umurmu dua puluh dua, warna kuning itu semakin menguat. Itu artinya, tubuhmu bisa digunakan untuk membangkitkan orang mati.” Perempuan itu menjelaskan dengan tenang. “Lebih tepatnya, hantu akan menggunakan tubuhmu untuk hidup kembali. Dengan wajah dan identitasmu sekarang. Dan jiwamu sendiri akan mati. Sekali saja hantu memasuki tubuhmu, jiwamu akan lenyap. Tidak terselamatkan.”
Bulu kudukku terangkat. Ucapan perempuan itu sungguh tidak masuk akal. Tapi mau tidak mau aku harus percaya padanya.
“Mengapa aku bisa berbeda dari yang lainnya? Bagaimana cara menghentikan ini semua?” Aku menatapnya gamang. Otak dan tubuhku terasa lelah. Terbayang jika tubuhku dikuasai oleh hantu dan jiwaku akan mati. Hanya ada kedinginan yang bisa kurasakan. Kedinginan dan kehampaan yang membawaku pada kematian yang sesungguhnya. Atau yang lebih buruk, aku akan merasakan api neraka.
“Aku tidak tahu mengapa kau bisa dilahirkan berbeda. Dan untuk menghentikannya, kau harus mencari hantu yang berwarna kuning sepertimu. Itu tidak akan mudah. Kau harus menembus dunia hantu. Sekali kau menembusnya, kau akan susah untuk keluar. Bisa jadi jiwamu terperangkap selamanya. Aku hanya bisa membantumu dengan kalung.”
Aku mencengkram celana yang kupakai dengan erat. “Kau tidak bisa membantuku lebih lanjut?”
Perempuan itu menyeringai. “Kemarin siapa yang mati-matian menolakku? Sekali menolak, aku tidak ingin melakukan apa-apa lagi. Hanya ini yang bisa aku jelaskan padamu. Sampai jumpa.”
Lalu, perempuan itu berlalu dari hadapanku sembari memasang kembali tas abu-abunya. Sial! Perempuan itu sungguh mengesalkan. Aku bahkan tidak tahu namanya siapa.
**
Aku kembali melalui jalan terkutuk ini. Gang sempit dengan aroma yang tidak menyenangkan. Selama empat tahun belakangan, aroma ini seolah sudah menyatu dengan tubuhku. Kali ini, aku tidak mempermasalahkan aroma got dan sampah yang campur aduk. Tapi sesosok hantu yang tiba-tiba muncul dari simpangan gang. Rasanya aku ingin menangis dan berteriak marah. Sosok itu sangat mengerikan. Kedua bola matanya sudah hilang, perutnya robek hingga ususnya terlihat. Bau darah yang anyir tercium pekat di rongga hidungku.
Aku memejamkan mata dan berjalan seolah tidak melihat apa-apa. Bau darah semakin tercium. Karena rasa penasaran yang mendera, aku membuka mata. Spontan aku berteriak keras saat menemukan sepasang lubang bola mata yang kosong. Aku berjongkok dan menutup mata dengan kedua tangan. Aku mengacak rambutku frustrasi. Rasa takut seolah membunuhku perlahan-lahan.
Saat suara tawa terdengar, aku menoleh. Aku melihat perempuan sinting itu sedang menyandarkan tubuhnya di tembok gang sembari melipat tangan.
“Hanya melihat hal seperti itu kau ketakutan? Bagaimana denganku yang sudah melihatnya sejak kecil?” Perempuan itu mendekat ke arahku dan ikut berjongkok. “Rion, kau harus melihat hal-hal yang tidak kau inginkan agar kau bisa lebih besyukur. Setidaknya kau masih bisa hidup di dunia ini tanpa kekurangan oksigen.”
Aku menatap lekat kedua bola matanya. Aku baru menyadari bahwa matanya indah. Seperti melihat gerhana matahari yang menakjubkan. Jemarinya yang mungil berusaha keras meraih tanganku yang jauh lebih besar darinya. “Jangan takut lagi. Jika takut, kau tidak akan bisa menghadapi dunia. Dunia lebih mengerikan daripada perkiraan kau.”
Aku tersenyum tipis. Walaupun perempuan ini menghiburku, dia tidak tersenyum. Wajahnya tetap datar seolah sudah disetel untuk terlihat seperti itu.
“Ngomong-ngomong, apa ini bau tubuhmu?”
Aku melepaskan tangannya dengan kasar. “Bau badan kamu yang belum mandi.” Aku menepuk-nepuk lututku. Lumayan pegal juga jongkoknya, sepertinya aku kurang olahraga.
Tiba-tiba terdengar bunyi perut. Aku yakin itu bukan milikku.
“Kamu lapar?” tanyaku sembari melihat dia yang memegang perutnya. Dia mengangguk sekilas. “Kalau mau makan, aku tidak punya uang. Aku bisa masak mi instan kalau kau mau.”
Dia mengangkat bahunya tidak acuh. “Nggak masalah. Aku makan apa saja.”
**
Aku memindahkan mi instan dari kuali ke mangkuk kecil. Entah otakku berada dimana, bisa-bisanya aku mengajak perempuan aneh ini ke kamar kosku. Di ruang sempit seperti ini, hanya berdua saja, pasti banyak setannya. Ya, iya, buktinya banyak hantu yang datang ke kamar kosku untuk memburu tubuhku.
“Namamu siapa?” Perempuan itu sedang melamun. Terbukti dari dia yang tidak bereaksi apa-apa ketika aku mengajaknya bicara. “Nama kamu siapa?”
“Eh?” Perempuan itu mengerjap-ngerjapkan matanya bingung. “Nama, ya? Orang-orang memanggilku dengan sebutan Krea. Kau juga boleh memanggilku seperti itu.”
“Krea, ya,” gumamku. Namanya cukup indah.
Krea mulai memakan mi yang dibuatku. Gerakannya tergesa-gesa seperti orang yang kelaparan. Aku menggeleng-gelengkan kepala.
“Memangnya sudah berapa hari kau tidak makan?” Aku duduk di sebelahnya, memerhatikan Krea makan.
“Entahlah. Aku tidak ingat. Tugas yang menumpuk membuatku lupa segalanya.” Krea mengusap bibirnya ketika makanannya telah kandas. “Kau tidak makan?”
“Aku tidak napsu.”
Setelah itu, kami terdiam lama. Seolah kami menikmati bagaimana kesunyian tercipta. Aku mengangkat kepala tinggi-tinggi, memikirkan bagaimana kehidupanku selanjutnya. Tiba-tiba suatu pertanyaan melintas di otakku.
“Bagaimana jika aku memakai kalung ini terus? Hantu tidak akan berhasil mendekatiku, kan? Jadi aku tetap bisa selamat.” Tanganku meraih kalung yang selalu aku pakai dari semalam. Kalung berbentuk lingkaran yang terbuat dari semacam batu. Aku tidak yakin jenis batu apa persisnya.
Krea menatapku yakin dan menggeleng. “Enggak bisa. Semakin bertambahnya usia, warna kuningmu juga akan semakin terang. Hantu-hantu akan semakin memburumu. Mereka tidak akan takut lagi pada kalung itu.”
Aku terkejut mendengarnya. Ini sama saja seperti hidupku di ambang kematian. Aku menggeleng keras-keras. Setitik air mata mengalir di pipiku. Rasanya sungguh menyesakkan.
Mata hitam Krea kali ini menatapku tidak yakin. Aku sempat bingung, biasanya perempuan ini hanya menatapku datar. Setelah sepasang lengan melingkari pinggangku, baru aku mengerti tatapan itu.
“Jangan sedih lagi, ya,” ucapnya kecil. “Kamu pasti selamat. Kalau kamu nggak menyebalkan, aku akan bantu kamu. Aku pikir, kamu cukup baik. Selama ini, enggak ada yang memikirkan aku lapar atau tidak. Kamu yang pertama kalinya peduli padaku.” Jemarinya yang mungil mengusap bahuku pelan.
Hatiku cukup tenang, seolah aku dipeluk oleh ayahku saat kecil dulu. Jantungku bergetar kencang. Aku membalas pelukannya dan menatap sosok hantu tanpa lengan yang menyeringai padaku. Lihat saja, aku tidak akan takut lagi pada mereka. Tanganku menyentuh rambut Krea yang terasa lembut, seketika detak jantungku semakin menggila. Aku menyukai sensasi ketika tubuh mungil ini jatuh ke dalam pelukanku. Aku melepas pelukan, mencegah pikiran-pikiran aneh semakin menguasai otakku.
Aku menatap bola matanya dalam-dalam. Membiarkan diriku terhanyut akan keindahan sepasang mata itu. “Terima kasih atas kehadiranmu. Aku sudah lebih baik.”
Krea mengangguk. “Aku harus pergi sekarang. Terima kasih makanannya.”
**
Mau seberapa keras mencoba, mataku tetap jatuh pada perempuan yang duduk sendiri di pojok kantin. Tangannya dengan santai menyendokkan makanan, matanya tetap fokus pada bakso di hadapannya. Lama-lama aku bisa mati penasaran mengenai Krea. Segala tindakannya seolah menarik diriku. Aku melilitkan mie goreng ke garpu dengan lesu. Aku ingin sekali duduk di sebelah Krea, berbincang dengannya tentang apa saja.
“Lo kenal cewek itu nggak?” tanyaku pada laki-laki di sebelahku. Namanya Joran, satu-satunya sahabatku. Aku mengenalnya di bangku SMP.
Joran mencoba menebak perempuan mana yang aku tunjuk. “Yang badannya bongsor itu?”
“Bukan. Yang pake kaus hitam polos, rambutnya diikat satu,” jelasku.
Joran mangut-mangut dengan gayanya yang tengil. “Krea, kan? Masa lo nggak kenal? Dia kan satu SMA sama kita dulu.”
Aku terkejut mendengar informasi itu. Mengapa aku baru mengetahuinya? “Yang benar? Kok gue nggak tau?”
Tangan Joran yang dilapisi bumbu kacang menoyor kepalaku. Aku melotot padanya. Apa dia nggak tahu kalau tangannya kotor?
“Makanya jadi orang jangan kuper-kuper banget.”
Memang sih, waktu SMA aku jarang bergaul dengan yang lain. Beda dengan Joran yang punya teman segudang. Joran lebih cenderung ramah ke semua orang, sementara aku terkesan cuek.
“Dia emang orangnya pendiam gitu?” Mendapati tatapan Joran yang bingung siapa yang aku maksud, aku kembali menjelaskan. Memang susah jika berbicara dengan Joran. “Krea maksud gue. Dari kemarin gue perhatikan, dia sering sendirian.”
Alis tebal Joran terangkat sebelah. “Lo suka sama dia?”
“Bukan gitu. Cuman penasaran aja.”
“Dia emang dari dulu kayak gitu. Orang-orang juga malas ngomong sama dia.”
Aku mengangguk paham. Setelah makananku sudah habis, aku mengirim pesan pada Krea untuk mengajaknya keluar kantin. Aku bisa melihat dengan jelas saat Krea membaca pesanku dan menyapu pandangannya ke seluruh ruangan kantin. Mata kami bertabrakkan. Perempuan itu mengangguk sekilas dan berjalan keluar.
“Gue ke toilet bentar,” ucapku pada Joran dan hanya ditanggapi dengan anggukkan malas.
Setelah kami tiba di tempat yang sepi, aku menghela napas sebentar. Mata Krea menatapku canggung. Aku hanya menebak, mungkin dia malu karena aksi pelukan kami kemarin. Begitu pun dengan aku. Aku hanya menatap tanah selama beberapa menit.
“Kamu mau ngomong apa?” tanya Krea lengkap dengan nada datarnya.
Setelah mengumpulkan keberanian, aku mengangkat wajahku. Mataku menatap bola matanya yakin. “Aku mau menembus dunia hantu.”
Ucapanku dibiarkan mengambang beberapa detik. Krea menatapku dengan alis berkerut. Anak rambutnya beberapa mencuat ketika angin kencang berembus. Sejenak aku memandangi wajahnya yang tampak indah dari sisi ini.
“Kamu yakin? Mungkin kamu nggak bisa keluar lagi.”
“Hanya mungkin, kan? Kalau nggak dicoba, nggak akan bisa tau.”
Krea berpikir lama. Matanya menyorotku dengan khawatir. Setelah memejamkan mata lama, Krea berkata. “Temui aku nanti malam. Lokasinya akan aku kabari.”
**
Tepat tengah malam, kami sudah sampai di tengah-tengah hutan. Aku mengeratkan jaketku terus-menerus. Penampakan hantu yang beraneka ragam membuatku merinding. Suara daun yang diinjak semakin memperburuk suasana, belum lagi suara hewan yang melolong. Setiap kami melangkah, hanya kegelapan yang menyapa. Sepanjang mata memandang, aku hanya bisa melihat batang-batang pohon yang berjejer.
“Kamu nggak salah alamat?” tanyaku pada Krea yang tampak tenang.
“Tidak. Kamu takut?”
Krea menatapku dengan alis terangkat. Beberapa bulir keringat menghiasi dahinya. Sepertinya dia kelelahan berjalan. Aku mengeluarkan sapu tangan yang memang selalu aku bawa.
“Pakai ini. Kamu tampak kelelahan,” ucapku sembari menyodorkan sapu tangan berwarna biru muda.
Krea menerimanya tanpa pikir panjang. “Sebentar lagi sampai. Di hutan ini pusat dunia hantu. Jika malam hari baru bisa ditembus.”
Aku menggigit bibir bawah. Mataku menatap nyalang langit yang bertaburan bintang. Kegundahan melandaku tiada henti. Aku memikirkan bagaimana jika aku tidak bisa kembali ke dunia ini. Bagaimana jika aku tidak bisa melihat lagi wajah ayahku. Apa lebih baik aku berhenti sekarang?
“Kamu yakin ingin melanjutkan ini?” tanya Krea. Perempuan itu menghentikan langkahnya. Tangannya menyentuh lenganku, memaksaku berhenti melangkah.
Aku menatapnya gamang. Bagaimana jika aku kehilangan kesempatan untuk melanjutkan hidup? Aku mengusap wajah dengan kasar.
“Kenapa aku harus menjalani ini semua?” Aku mulai menyalahkan keadaan. Tubuhku merinding ketika jemari hantu meraba leherku. Aku benar-benar benci ini.
“Sebenci apapun dengan kehidupan, jangan pernah menyalahkannya. Karena ini memang takdir kita, Rion. Dari kita masih berada di kandungan, takdir kita sudah tertulis.” Krea membuang napasnya. “Jika kamu mau berhenti, kita bisa kembali sekarang.”
Aku menahan tubuh Krea yang ingin beranjak. “Aku mau melakukannya.”
“Di gua itu dunia hantu bisa ditembus.” Tangan Krea menunjuk gua yang terlihat gelap gulita. “Setelah melalui gua itu, kamu berada di dunia hantu. Jangan pernah berbicara dengan hantu sekali pun, mau bagaimana pun wajahnya. Yang perlu kami cari hanya hantu berwarna kuning. Ingat, jangan pernah berbicara dengan mereka.”
“Mengapa?”
“Karena mereka mencari teman. Mereka kesepian. Jika mereka berbicara denganmu, mereka akan menahanmu lebih lama lagi.”
Aku mengangguk mengerti. “Baik. Aku akan pergi sekarang.”
Kakiku melangkah perlahan ke arah gua itu. Hawa yang dingin berhasil menembus jaket tebalku. Jiwaku ketakutan. Aku tidak tahu apa yang akan kutemui di depan sana. Mataku menatap wajah Krea lamat-lamat. Sebuah senyum menenangkan terbit di wajahnya. Aku memejamkan mata erat.
“Aku pikir, aku mencintaimu, Krea. Ini terlalu cepat, aku tau. Aku tidak yakin bisa bertemu denganmu setelah ini atau tidak, jadi aku mengatakannya sekarang.” Mataku tetap terpejam. Aku membalikkan badan dan berjalan semakin dalam menembus sesuatu yang tidak kasat mata.
Aku tidak tahu balasan Krea. Aku tidak bisa menatap wajahnya lagi. Aku tidak menyesal, karena aku tidak ingin tahu apakah perasaanku terbalas atau tidak. Yang penting, aku mempunyai perasaan padanya.
Saat kegelapan yang pekat menyelimutiku, tubuhku gemetar. Tubuhku mati rasa. Kedinginan yang membunuh semakin terasa. Mataku terpejam erat, mengalirkan bulir air mata. Rasa sakit yang teramat sangat membuat tubuhku ambruk ke bawah, menghantam tanah basah. Tanganku meraung-raung saat rasa sakit ini tidak kunjung reda. Aku kelelahan, napasku tersengal-sengal dengan hebat. Waktu bergulir begitu lambat. Yang bisa kulihat hanyalah kegelapan. Mungkin aku telah mati sebelum berhasil masuk ke dunia hantu.
**
Cahaya yang menyilaukan menembus kelopak mataku. Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Aku memegang kepala yang terasa sangat berat. Tubuhku terasa lemas. Dengan seluruh kekuatan, aku mencoba bangkit. Mataku menelisir keadaan sekitar. Aku berada di halaman kampus. Matahari bersinar denga n terik. Tampak banyak mahasiswa yang sedang duduk di pinggir halaman. Bukan hanya itu saja, aku dapat melihat puluhan atau mungkin ratusan hantu memenuhi halaman ini.
Aku meringis saat tubuhku terasa sakit. Mataku tanpa sengaja menangkap Joran yang sedang meminum es teh kesukaannya. Aku mendekatinya dengan semangat. Di samping Joran ada Heri, salah satu teman kampusku.
“Lo udah coba hubungi Rion lagi?” tanya Heri sembari mengisap rokoknya.
“Gue di sini,” ucapku cepat. Tapi mereka tidak mendengarnya. Mereka berlaku seolah aku tidak ada di tempat ini. Seketika aku tersadar, bahwa aku berada di dunia hantu.
“Udah, nggak diangkat. Dia nggak kenapa-napa, kan?” Joran tampak khawatir. Matanya terus menatap layar ponsel.
Aku duduk di sebelahnya. Mengetahui ada seseorang yang mengkhawatirkanku membuat hatiku menghangat. Mataku membesar ketika melihat hantu menyentuh wajah Joran. Kali ini wajah hantu itu tidak terlihat mengerikan. Aku masih dapat melihat wajahnya secara utuh, seorang perempuan kira-kira seumuran denganku. Hanya saja wajahnya tampak pucat, seolah tidak dialiri darah. Bibirnya membiru.
“Ngapa lo liat-liat gue?” tanya hantu itu sinis.
Tubuhku terlonjak kaget. Dia berbicara denganku? Aku mengingat pesan Krea untuk tidak berbicara dengan hantu. Jadi aku hanya menatapnya dengan sama-sama sinis.
“Pergi sana. Cowok ini pacar gue,” ucap hantu itu. Aku melongo. Ada juga hantu tidak waras, ya?
Aku buru-buru meninggalkan hantu itu. Bisa-bisa aku bertambah gila. Keadaan ini saja sudah merenggut sebagian kewarasanku. Aku memejamkan mata saat tidak sengaja melihat hantu yang sedang duduk di halte. Mulutnya robek dengan darah yang menetes terus-menerus. Matanya hanya menatap kosong ke depan. Jujur saja, aku belum terbiasa dengan ini semua.
Terkadang aku berpikir, apa yang terjadi pada mereka, apa yang bisa membuat mereka mati tidak tenang. Memikirkan itu membuatku bersyukur. Setidaknya aku masih hidup di dunia ini, walaupun sekarang aku berada di dunia hantu.
Aku merogoh jaketku. Mencari selembar kertas yang diberikan Krea sebelum kami menelusuri hutan. Krea bilang aku harus membuka ini setelah aku berada di dunia hantu.
Ini tentang cara menemukan hantu bersinar kuning. Aku pernah membacanya di buku. Kamu harus mencarinya di tempat pusat penghentian hidup manusia.
Alisku mengerut. Mengapa Krea tidak langsung saja? Pusat penghentian hidup manusia, gumamku. Apa ini maksudnya kuburan? Kakiku bergerak dengan penuh tidak kepastian. Aku menelusuri kuburan hingga kelelahan. Tidak ada hantu berwarna kuning, yang ada hanya hantu mengerikan.
Aku duduk di tanah basah. Menikmati angin yang tidak bisa kurasa. Aku menenggelamkan kepala di lekukan kaki. Rasanya sangat menyakitkan. Aku merasa kesepian di dunia ini. Saat suara isakan tangis terdengar, aku mendongakkan kepala. Sebuah peti mayat dimasukkan ke dalam tanah. Suara tangis penuh dengan sarat kehilangan terus menusuk telingaku. Tiba-tiba air mataku menetes. Aku teringat dengan ibuku. Perempuan yang telah melahirkanku dengan mempertaruhkan nyawanya. Bersedia merawatku tanpa imbalan apapun.
Tapi sayangnya, ibuku meninggal karena penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Aku masih ingat, setiap hari tubuh ibuku hanya berbaring di rumah sakit. Wajahnya pucat, tapi bibirnya masih tersenyum indah padaku. Aku terisak keras. Tanganku mencoba memukul dada untuk menghilangkan rasa sakit.
Tiba-tiba suatu pikiran merasuki otakku. Pusat penghentian hidup manusia. Apa itu maksudnya rumah sakit? Kakiku yang tidak menapak tanah langsung melayang menuju rumah sakit tempat ibuku dirawat. Entah mengapa, instingku mengarah ke sana.
“Apa yang kau cari di sini?” Bisikan itu berhasil menembus telingaku. Aku bergidik ketika menemukan hantu laki-laki sedang menyeringai.
Aku menahan diri untuk tidak berteriak. Kakiku melayang semakin cepat ketika hantu itu mengejarku. Napasku terengah-engah. Aku ketakutan. Hawa dingin membuat bulu kudukku meremang.
“Kau tidak bisa menemukannya di sini,” bisik hantu itu lagi. Hantu itu telah kehilangan satu tangannya. Darah terus menetes memenuhi lantai rumah sakit.
Demi Tuhan, apa yang diinginkan hantu ini? Aku mengerut kesal ketika kami sudah lima kali mengelilingi lantai dasar rumah sakit. Maafkan aku Krea, tapi aku akan bicara dengan hantu keras kepala ini.
“Aku ingin menemui hantu bersinar kuning.”
Gerakan hantu yang mengejarku langsung berhenti. Wajahnya yang penuh luka dalam terlihat dengan jelas. Aku menahan rasa mual.
“Kalau itu, bukan kehendakku. Silakan mengelilingi rumah sakit ini. Jika tidak bertemu, langsung tinggalkan tempat ini. Para hantu tidak menyukai kedatangan tamu.”
Setelah itu, hantu itu langsung meninggalkanku. Aku mengelilingi lantai dasar sekali lagi, lalu melayang di atas tangga untuk mencapai lantai berikutnya, begitu terus hingga lantai paling atas. Hasilnya nihil. Aku menembus pintu ruang inap terakhir. Rasa putus asa menerpaku. Tapi semua rasa itu langsung sirna ketika melihat cahaya kekuningan yang bersinar terang. Tampak sesosok hantu yang sedang memunggungiku, menatap jendela dengan tenang.
Jantungku berdetak menggila. Aku telah berhasil menyelesaikan misi ini.
“Permisi,” ucapku ragu.
Hantu itu menoleh ke arahku, dan detik itu juga aku terkejut. Wajah penuh kesabaran itu, senyum tulus yang sangat indah, dan mata lembut yang terus menyorotku.
“Ibu,” ucapku dengan suara gemetar. Aku mendekatinya hingga tubuh tembus pandang kami bersentuhan secara tidak langsung. “Mengapa ibu bisa di sini? Seharusnya ibu sudah berada di atas sana?” Air mataku berhamburan. Aku tidak bisa mengungkapkan perasaanku sekarang dengan kata-kata. Rasa sesak yang teramat sangat memenuhi rongga dadaku. “Seharusnya ibu sudah bahagia, bukannya terjebak di sini.”
“Ibu bahagia, Sayang. Ibu telah menunggumu di sini bertahun-tahun. Kau harus pergi secepatnya.”
Aku menggeleng kuat-kuat. “Aku ingin terus di sini.”
Wajah ibuku penuh dengan kekecewaan. “Jangan menjadikan ibu sebagai alasan untuk tinggal di dunia ini, Sayang. Kau berhak bahagia.”
“Tapi aku rindu ibu,” tolakku tegas.
“Bagaimana dengan ayah? Kau tidak memikirkannya, Rion? Ibu juga merindukanmu, sangat. Tapi jangan seperti ini, Nak.”
Aku termenung. Benar, bagaimana dengan ayah?
“Sampaikan pada ayah, jika ibu akan terus mencintai kalian.” Air mata menetes dari mata lembut ibu. “Bahagialah, Nak.”
“Aku juga mencintai ibu.”
“Ibu tau, Rion.” Ibu mengangguk dengan air mata yang luruh. “Sekarang tutup matamu.”
Aku menuruti perintah ibu, menutup mataku. Lalu, detik selanjutnya, aku kehilangan kesadaran.
**
Tubuhku terbangun dengan terlonjak kaget. Napasku terengah-engah hebat. Aku berpikir, jika selama ini aku bermimpi, tapi mendapati Krea yang sedang menatapku khawatir, aku yakin yang kujalani adalah kenyataan. Ada juga Jonar yang sedang memandangku dengan lega. Lalu ayah yang menggenggam tanganku erat.
“Akhirnya lo sadar juga, Yon. Bisa gila gue mikirin lo yang pingsan di kamar kos.” Jonar tersenyum cerah.
Aku memandangnya dengan aneh. Jadi tubuhku ditemukan di kamar kos?
“Makanya jangan capek-capek kamu, Yon. Jadi pingsan gitu,” ujar ayah dengan raut tidak suka. “Ayah nggak suka kalau kayak gini caranya. Kamu harus pintar membagi waktu.”
“Maaf,” gumamku pelan. “Aku mau bicara dengan Krea. Bisa tinggalkan kami sebentar?”
Wajah ayah berubah menjadi tambah kesal, sementara Jonar menggodaku. “Sudahlah, jangan ganggu orang pacaran,” kata ayah sembari keluar.
“Kau berhasil,” ucap Krea langsung saat kamar ini hanya tinggal kami berdua. Wajah Krea cerah, sebuah senyum kebahagiaan terpancar. “Kau kembali.”
“Terima kasih telah menungguku, Krea.”
“Tidak masalah, asal kau membalas budi padaku.” Krea memandangku dengan tajam. Aku menelan ludah. “Bisa-bisanya kau menyatakan perasaan dan langsung pergi ke gua. Kau tidak tahu jika aku terus memikirkan ucapanmu.”
Aku memalingkan wajahku yang terasa panas. “Jadi apa jawabanmu? Sekarang aku sudah yakin dengan perasaanku sendiri, bahwa aku mencintaimu.”
“Aku juga,” gumam Krea pelan. “Aku mencintaimu.”
Lalu senyuman lebar terbit di wajah kami berdua. Dan aku, mulai menjalani hari yang indah. Aku tidak bisa melihat penampakan hantu lagi.
bagus ceritanya, jika berkenan tolong Like ceritaku juga ya https://tinlit.com/read-story/1436/2575
terima kasih , smoga sukses selalu :)