DINDING HANA
“ Berapa lama lagi?”. Kaktus hancur dengan lumuran salju yang tak bisa dikendalikan lagi. “ Tolong jangan pernah menatapku” berharap tidak akan pernah dikatakan. Tetes-tetes air merah kental dari telinganya, sungguh membuatku kagum. Begitu indahnya ku hidup dalam selimut air selama itu.
“ Pergi Kau dari pandanganku!! Sungguh jika ada kelopak mawar putih yang hadir ditangan maka kaulah penyebab runtuhnya ke elokan dia”. Tak pernah ku dengar bisik-bisik yang begitu dalam. Begitu menyesakkan dada, terpaku hanya bisa berucap “ betapa kejamnya pisau itu jika kau yang membawa”.
“ Hana, Hana, Hana, hahahahah!!.” Tawanya sungguh membuatku sangat muak dan ingin ku lempar sebilah belati ditanganku. Namun Dia bukanlah yang sesungguhnya,maka apa yang akan jadi penghalang. “ Hanaku sayang, begitu bencikah dirimu padaku? Begitu dalam tusukkanmu sehingga ku menjadi sangat terpesona”. Bukan karena Dia adalah Dia yang lain.
“ Hana, dimana kamu?” teriakan kakakku memecahkan semua suasana yang sangat mencengkam itu dengan kerasnya. “ Disini” jawabku yang sangat lemah bagai daging tanpa tulang. “ Bagaimana bisa kamu menyelimuti diri dengan keraguan seperti itu?”. Betapa egoisnya, diriku yang diselimuti keraguan yang membuatku rapuh akan kehidupan ini. Baiklah jika ini maumu maka lakukanlah tanpa ragu.
Terik matahari yang lembut membuka angan baru dimana kesedihan akan diganti dengan keraguan maupun kebahagiaan yang palsu. Bagiku hari – hari selanjutnya tidak akan sama karena kejutan yang sangat konyol. “ Pagi – pagi sudah melamun” tepukan keras tangannya yang mendarat tepat di punggungku membuatku terkejut. “ Melamun atau tidak bukan urusanmu” sungguh hari yang buruk. Ku hiraukan Dia dan kulangkahkan kakiku untuk menikmati semilir daun yang saling bercengkrama tepat di sebelah danau.
“ Disinilah Kau yang sesungguhnya” betapa sakit hati ini melihat daun cemara yang jatuh itu. Ku buka catatan kecil kuno yang pernah ku lipat dengan Dia hingga saat itu sudah tidak ada yang menyentuhnya lagi. Terisak akan tusukan belati itu, hingga tangan ini sudah terluka karena irisan kertas . Tak sanggup untuk ku teruskan lagi. “ lembah akan semakin gelap ketika hujan tak kunjung berhenti, Hana” suara lembut yang kurindukan bertahun-tahun membuatku tak bisa bernafas karena ketidak percayaan ini. Dia kekasih yang ku dambakan untuk bersama dalam kehidupan ini. Betapa ku menangis semakin menjadi, sentuhan lembutnya seakan masih terbayang dalam benak ini. Tutur kata yang begitu khas menjadi jati dirinya, ketidakadilan perasaan ini sungguh membuatku marah. Mengapa hanya diriku yang merasakan kepahitan kerinduan, yang setiap orang tidak akan pernah tahu akan bisikan mengerikan itu.
“ Jangan hanya berdiam dan menetap dalam gua itu, Aku tahu bahwa kau sudah tinggal di gua yang tak pernah tersinari oleh sinar matahari itu cukup lama, Hana berlarilah dan carilah cahaya itu maka Kau akan tersenyum kembali” tutur kata seorang lelaki dewasa. “ Sudah cukup, bualan apa yang ingin kau bual di sini wahai laki-laki, bisakah kau tarik perangai hitam ini dariku? Bisakah kau menyiratkan cahaya ini untukku? Bukankah bualan indahmu itu sungguh ringan untuk dilontarkan? Hah.. nasi sudah menjadi bubur, biarlah gua itu menjadi tempat bersemayamku, sungguh ini adalah harapanmu akan diriku jauh dilubuk hatimu” sahutku dengan kesal dibuat oleh Dia. Ku beranjak dari tepi danau itu dan mulai berlari kedalam ketidakraguanku, yaitu kamar berdinding biru yang tak lain adalah perasaanku sendiri.
Sejak kejadian itu, aku tak pernah menatap langit lagi untuk beberapa hari. Tak tahu bagaimana langit mau meminjamkan ladangnya untukku. Bukan hanya itu saja, Dia kini sama sekali belum pernah menampakan batang hidungnya lagi. Pernah terselip di benakku bahwasanya mereka itu sama, tapi apakah mereka itu ada dua. Namun tutur katanya sungguh membuatku bingung kareana tidak pernah sejalan. Selalu bertolak belakang yang teramat jauh.
***
“ Pagi kak” sapa senyum termanis buat kakak tercinta. “ Kau berangkat dengan siapa hari ini, sama si Riko lagi yah Han?”. “ Saat keingintahuan sedang melanda kakak tercintaku, bagiku adalah kebahagiaan yang tak ternilai” ledekan pagi hari yang sering terjadi anatara kita berdua. “ Dasar, kalau pakai motor jangan ngebut – ngebut” saut kakakku itu. Riko adalah anak yang entah bagaimana aku bisa mengenalnya, bagaimanapun dengan kepribadianku ini sangat sulit untuk di dekati oleh anak seusiaku.
“ Han, pagi ini kamu mau ngapain?” tanya Riko kepadaku. “ melangkahkan kaki ini ke tepi duri, namun duri beranjak dari sana yang membuatku semakin menjadi ingin berjalan” tipis senyum yang terukir dalam bibirku. Pagi yang sejuk menusuk tulang, namun tak sakit disertai dengan sinar mentari yang hangat menyelimuti pohon – pohon tinggi. “ Nikmat yang luar biasa untuk hari ini, benarkan Riko?” ku tepuk pundak bidang Dia. “ Rindu terkasih. Ia akan tinggal, menetap, lalu pergi bagaimanapun kita tidak harus berorientasi pada lintasan kita sendiri, benarkan Hana?” sambil melirik ke spion sepeda. “ Benar banget, kita tuh juga tahu bahwasanya bumi mengalami rotasi kan”
“ Stop!!” seorang kakek tua menghentikan kami. “ Permisi, kek kalau saya boleh tahu ada apa ya?” begitu bingung aku dibuat oleh kakek tua itu. “ Ketika jembatan tua mulai patah, dengan siapa kamu akan berpegang” tutur katanya yang penuh tanda tanya. “ Maksud dari perkatan kakek apa? Saya tidak tahu makna sebenarnya dari kata itu” sungguh hal ini membuatku kebingungan. “ Kalau kakek tahu sesuatu, tolong beri tahu”. “ Berpeganglah dengan sesuatu yang nyata bukan yang kamu ilusikan dengan pikiran alam bawah sadarmu wahai anak muda, karena kamu tahu pikiran alam sadarmu belum tentu akan mengantarkanmu kepada apa yang kamu butuhkan saat itu namun sebaliknya berwaspadalah pada apa yang kamu pikirkan saat itu dengan akal mu” jawaban dari kakek tua itu sungguh penuh teka teki.
“ Riko, kamu tahu apa maksud dari omongan kakek tua itu?” tanyaku kepada Riko penuh penasaran n. “ Bagaimanapun perkataan kakek itu, penuh dengan makna yang sangat mendalam untukmu jadi ingat baik – baik kata itu dan simpan dipikarnmu, mungkin suatu saat kamu akan membutuhkan pernyataan itu untuk masalah yang akan datang dimasa depan”. Perkataan Riko seakan tahu akan sesuatu hal yang akan menimpaku. Memang benar apapun nasihat yang kita terima, suatu saat akan berguna bagi kita untuk kedepannya.
“ Sudah sampai” dengan menghentikan motornya di samping pohon tepi jalan di hutan yang rimbun. “ Sebenarnya kamu mau nunjukin apa, sampai harus bawa alat tulis segala, juga harus pakai penanda pita merah” berapa kali aku bertanya kepadanya apa alasan Dia membawaku kesini namun Dia tak pernah menjawab. “ Disinilah Hana, pasang pita merah itu di depan pagar besi tua, cepat Hana!! Jangan buang – buang waktu lagi” sontak suara Riko untuk yang pertama kalinya kepadaku. “ Kamu bukanlah sebuah pohon yang hidup tanpa sinar, namun bukan berarti kamu hidup dengan penuh kegelapan hanya saja kamu butuh pion untuk melihat”. Suara itu lagi – lagi datang dengan penuh teka teki. Setelah mengenal Riko banyak sekali kejadian yang menimpaku,aku lebih sering mendengar suara – suara yang sungguh pesannya mengandung makna yang sangat membingungkan. “ Riko sebenarnya apa yang kamu sembunyikan dariku, tingkahmu seakan – akan mengetahui sesuatu, sungguh aku sangat benci dengan duri yang menusuk dari bunga mawar” entah aku hanya bicara yang ada dipikiranku tanpa memikirkan sedikitpun perasaannya. “ Bahkan bila melati yang indah menjadi pembunuh karena keindahannya sendiri, akupun juga begitu aku hanyalah pion sementara untukmu jadi jangan pernah berharap apapun terhadapku karena aku bersifat sementara” jawaban yang menyakitkan.
Kata sementara yang keluar dari mulutnya itu sungguh menusuk. “ Ayo, kita lanjutkan lagi sebelum matahari mulai menghindar dari penglihatan”. Hawa dingin yang ada, membuat langkah kakiku menjadi sangat lemah, ku lihat sekeliling hutan ini begitu banyak hal yang ganjil mulai dari aroma hutannya sekaligus aura hutan ini sendiri. “ Hana coba lihat batu di ujung sana, bukankah itu sama dengan lukisan yang ada di rumahmu” Dia menunjuk ke arah batu itu. “ Sama persis, eh.. tapi aku penasaran, bagaimana kamu bisa tahu bahwasanya batu itu mirip dengan lukisan yang ada di rumahku, padahal kamu tidak pernah sekalipun masuk kedalam rumahku” tanyaku padanya menggunakan mata pisau mulutku. “ Bagaimana mungkin aku hanya menebak saja”. “ Riko, jangan kira aku adalah wanita yang bodoh, sebenarnya kamu siapa dan apa maksud dari semua tujuan ini? siapa yang telah mengirimmu? Sungguh kamu telah membuat lubang dalam air” kemarahanku yang begitu luar biasa, dengan semua pertanyaan yang aku lontarkan tak ada satupun jawaban yang keluar dari mulutnya itu.
Aku hanya bisa berlari menuju jalan yang aku lewati tadi, anehnya satupun tak ada yang aku ingat dimana jalan yang aku lewati. “ Taruhlah harapanmu kepada siapa yang akan menjaminmu, bukan pada air yang akan menyirnakan semua harapan” lagi – lagi suara itu. “ Jika kamu memang berniat baik kepadaku, tunjukkan jalan kemana aku harus pergi, beri jawaban atas semua ini, cepat dimana kamu sekarang? Mulutmu penuh dengan kata teka teki yang tak bisa ku pecahkan sampai sekarang” hari ini sungguh sangat melelahkan.
Entah dari mana asal muasal mereka itu. Dari pada memikirkan apa yang masih dalam keraguan lebih baik melangkahkan kakiku untuk pergi dari hutan ini. “ Apakah nona tersesat?” tanya seorang laki – laki berparas tampan kepadaku. “ Kalau boleh mengutarakan, Aku sedang tersesat dalam hutan ini” jawabku dengan penuh mata belas kasih. “ Izinkan saya untuk mengantarkan Nona keluar dari hutan ini”. “ Apakah Aku bisa percaya kepadamu? Lantang diriku menanyakan hal tersebut kepadanya.” Ambil sebilah belati ini dan berjalanlah di belakangku, jika diriku ini bermacam – macam maka tusukkan belati ini kepadaku” tatapan matanya sangat meyakinkanku untuk mengambil belati itu. Bagaimanapun juga aku harus waspada dengan orang yang baru ku kenal.
“ Kalau di izinkan untuk bertanya, dari manakah asal Nona dan bagaimana bisa Nona berada pada hutan ini?”. “ Aku menyetujuimu untuk mengantarku bukan berarti kau bisa seenaknya bertanya!” jawabku dengan kesal . “ Baiklah, jika berkenan perkenalkan namaku adalah Bimo, rumahku berada tepat di belakang danau hijau” sambil menunjuk kearah danau. “ Kalau begitu, air susu tak mungkin ku balas dengan air tuba, namaku Hana dan aku tinggal tepat di depan danau hijau juga” sebenarnya orang ini cukup bisa dipercaya juga. “ Kamu sekarang sekolah, kuliah atau kerja?” tanyaku padanya dalam pikiranku tersirat bahwa Dia mungkin sudah kerja. “ Saya mahasiswa semester enam jurusan managemen dan bisnis di kampus kota Petra, kalau Nona sendiri bagaimana?”. “ Saya mahasiswa semester empat di kampus yang sama denganmu juga berada di jurusan yang sama pula, tapi belum pernah ku lihat batang hidungmu sama sekali” jawabku dengan meliriknya. “Ah.. memang Aku bukanlah mahasiswa yang terkenal, sudah jangan dipikirkan lagi, mari saya antar biar lebih cepat sampai sebelum senja mulai menampakkan diri”. “ Ok!”.
“ Setelah ini kamu tinggal lurus saja, hanya tinggal 10 menit lagi untuk berjalan menuju jalan raya, jangan sampai tersesat lagi Nona” sambil menunjukkan arah jalan kepadaku. “ Sebelumnya, saya mengucapkan terima kasih banyak kepadamu” ku tinggalkan Dia dan menuju jalan yang di tunjukkan. Sesampaiku di rumah, baru ku sadari bahwasanya aku meninggalkan Riko di dalam hutan sendirian. “ Bodoh amat lah, kan Dia duluan yang ngajak berantem nggak jelas”gumamku dalam hati.
Capek rasanya, setelah berjalan lumayan jauh. Jika dipikir kembali Aku masih penasaran, bagaimana bisa Riko membenarkan omongan kakek tua tadi dengan yakin tanpa keraguan sedikitpun. “ Yasudah dari pada dipikir terus menerus lebih baik aku istirahat dulu” pikirku dalam hati.
Esoknya Aku mendapati sebuah keanehan, nomor Riko yang biasanya ku gunakan untuk menghubunginya tidak bisa. “Apakah ini aneh, mungkinkah Riko itu bukan seorang manusia atau jangan- jangan dia adalah alien, tidak – tidak kenapa aku berpikiran seperti itu terhadapanya” gumamku dalam hati. Tapi sudah tiga hari berlalu semenjak insiden di hutan itu, Dia tidak pernah menghubungiku sama sekali. Bukan hanya itu saja, Aku sudah jarang mendengar suara – suara aneh itu lagi. Berasa kosong, karena Aku merasa ada yang hilang dan tidak seperti biasanya.
“ Hana… kamu dimana?” teriak kak Sinta dari bawah. “ Aku lagi di kamar, ada apa mencariku?” sautku dari dalam kamar. “ Kakak mau ajak kamu berlibur ke kampung halaman teman kakak, gimana mau?” ajakan kak Sinta kepadaku. “ Emangnya ke daerah mana itu?” dibuat penasaran namun hanya sedikit saja. “ Kalau kamu penasaran turun dong kebawah sambil makan siang, kamu pasti belum makan siang kan” sambil menyiapkan makanan di meja makan. “ Iya kak, tunggu sebentar ya”.
Sesampai ku dibawah, Aku melihat kak Sinta tidak seperti biasanya.” Bunga lagi bermekaran, siapa kira yang tahu bahwsanya sudah ada yang mengambil” sindirku terhadap kak Sinta. “ Bagaimanapun bunga bermekar, masih saja teringat dalam tangkainya” saut kak Sinta dengan wajah yang sedih. “ Sudahlah kak, yang penting kita sudah tau semuanya, Dia bukanlah laki – laki yang baik, masih banyak seseorang diluar sana yang bisa mencintai kita dengan tulus” kata- kataku yang kurasa dapat menghibur kak Sinta. Siang itu kami bercengkrama dengan senangnya tanpa disadari, Aku lupa akan sesuatu hal.
“ Kak, berangkat dulu ya” sambil memakai sepatu di depan pintu. “ Mau kemana Han, sore – sore gini, jangan lupa bawa handphone dan jangan malam- malam pulangnya” sungguh cerewet sekali. “ Aku mau ke danau belakang rumah kok Kak” sautku sambil berlarian. Ada suatu hal yang harus ku pastikan. Keingintahuanku memaksa untuk tetap ke danau, walaupun itu adalah pantangan keluarga kami, bahwa jika sudah menjelang sore kami tidak diperbolehkan kesana. Namun apa daya, jika rumput mulai menjalar maka akan sulit untuk dihilangkan oleh ketajaman parit. Aku mulai menelusuri di tepi danau untuk mencari sebuah bangunan yang mengisyaratkan akan rumahnya. Memang benar sangat sulit bagi diriku untuk menemukan bangunan itu.
“ Aku rasa kemarin Dia bilang bahwa rumahnya ada di sekitar sini, tapi dimana tepatnya rumah itu”. “ Hana..” suara lembut yang menyejukkan. Sepertinya Aku mengenal suara ini. “ Bimo, bagaimana bisa kamu ada disini” tanyaku penuh dengan penasaran. “ Seharusnya Aku yang bertanya seperti itu” dengan tatapan penuh. “ Em.. Aku hanya berjalan saja dan Aku juga tidak tahu bisa sampai sini” sahutku dengan gelisah. “ Begitu..” senyum tipis dari bibirnya. Sungguh, betapa malunya diriku. “ Menagapa Dia harus senyum dalam keadaan begini” gumamku dalam hati.
Keheningan menyelimuti kami berdua, tiada kata yang dapat memecah kecanggungan ini. “ Sejujurnya, Aku hanya penasaran tentang rumahmu” kalimat yang keluar dari mulutku dengan sendirinya. “ Mari ikut, akan tunjukan tempat tinggalku” sambil mengulurkan tangannya kepadaku. “ Bagaimana kamu bisa tahu, kalau Aku akan ikut” tanya sinisku terhadapnya. “ Aku juga tidak tahu, terkadang Aku juga kagum pada diriku” sambil tertawa tipis melihatkan lesung pipinya yang manis. “ Dasar narsis” ku jentikkan jariku kepadanya. Kami berdua mengobrol dengan akrabnya seakan sudah mengenal sejak lama. Tapi, perasaan nyaman ini memang muncul dengan sendirinya. “ Inilah rumahku, rumah yang sederhana ini terlihat di depan penuh dengan kehangatan, namun di dalamnya penuh dengan kedinginan yang sangat menusuk” tersirat wajah yang penuh dengan kesepian.
“ Bahkan mentaripun enggan menyapa rumah sederhana ini, begitukah maksudmu Bimo?” pertanyaanku yang langsung pada intinya. “ Bukan begitu Hana, dulu mentari sering menyapa rumah ini, namun ada saat dimana sang mentari dilarang untuk menyapanya atau tepatnya telah ditinggalkan” sambil mengerutkan kedua alisnya yang tebal itu. “ Maaf “ . mungkin Aku telah membuka luka lamanya itu. “ Tidak perlu meminta maaf, Aku tahu kamu adalah seorang gadis yang dipenuhi dengan beribu pertanyaan” jawabnya dengan lembut.
“ Masuklah, pintu itu terbuka lebar untukmu” dibukanya pintu rumah itu. Di dalam terkesan sangat menakutkan, tapi sebenarnya rumah ini hanya perlu untuk di bersihkan sedikit saja mungkin sudah terlihat rapi. Di setiap sudut rumah itu banyak sekali sarang laba-laba, menandakan bahwasanya rumah ini sudah lama tidak ada yang menempati. “ Bimo, apa kamu yakin bahwa ini benar rumahmu? Tanyaku karena penasaran. “ Benar, ini adalah rumahku”. “ Tapi, mengapa terlihat seperti ini. Seperti tidak berpenghuni”.
“ Memang, Aku tidak pernah menempati rumah ini Hana, ha ha..” tawanya yang sedikit menakutkan. “ Bim, jangan tertawa seperti itu, sungguh menakutkan” merinding ku di buatnya. “ Aku tinggal di sini Hana” sambil menunjukkan sebuah meja besar di depan lukisan. “ Wah, emang kamu muat di situ. Ho ho kamu jangan melucu yah..”. “ Lihat apa yang akan terjadi” sambil memindahkan meja besar itu. Hanya selang beberapa menit lukisan itu jatuh ke bawah dan membuka sebuah pintu kecil itu tepat di lantai pojok kanan. “ Hana lihat kearah jam 2, itu adalah pintu masuknya” sambil merapikan meja besar tadi. Aneh sekali rumah ini. Setelah ku masuk, Bimo menekan sebuah bingkai lukisan. Kami disambut dengan tangga yang amat kecil dan curam. Sekeliling lorong itu terlihat menyeramkan. Jika dihitung kelebarang lorong itu hanya berukurang satu kaki orang dewasa.
Ada lima puluh anak tangga yang harus kita lewati. Pada tangga ke Sembilan ada lukisan seorang anak kecil berusia sekitar enam tahun. Tangga ke dua puluh tujuh ada lukisan seorang remaja laki – laki bersama seorang perempuan, namun wajahnya tidak begitu jelas. “ Siapa mereka, hmm lukisan yang aneh begitu juga dengan pemiliknya” gumamku. “ Ada yang ingin kau tanyakan” seraya menatapku dengan mengharap sesuatu.
Selang beberapa detik mata kami berdua saling menatap dengan cukup lama, tanpa ku sadari jantungku bagaikan tabuhan gendang yang ada di kampung nenekku. “ Sadar Hana, kamu harus sadar” pikirku . “ Kenapa Hana?” Dia terus menatapku. “ Bimo, dimana orang tua mu, lagi bepergian?” . “ Memangnya kita begitu dekat hingga Aku harus menjawab semua pertanyaanmu itu?” tampak kekesalan di raut wajahnya itu. “ Aku hanya bertanya, maaf jika ucapanku menyinggungmu”. Tak habis pikir Dia menjawabku dengan pernyataan yang seperti itu.
Jam dinding berdegup sangat jelas, seperti mengetahui keadaan hati kita masing – masing yang saling takut untuk memulai pembicaraan yang baru. Kami hanya berkeliling melihat koleksi lukisan dinding pada setiap ruas rumah sederhana ini. Sesekali terbesit dalam pikiranku untuk melontarkan pertanyaan. Namun teringat kembali akan perkataannya itu. Pikiranku bagaikan bank soal ujian SMA yang dipenuhi oleh beribu pertanyaan. “ Lukisan siapa itu” Aku hanya ingin menyampaikan apa yang dipikiranku.
“ Itu adalah lukisan yang menggambarkan seseorang” menundukkan wajahnya dengan penuh kesedihan. “ Lukisan dengan beda latar belakang, ada siang dan malam sekaligus dipenuhi dengan perbedaan yang kontras akan keduanya. Apa maksud dari lukisan ini Bim?”. “ Tidak ada yang spesial dalam lukisan ini Hana. Namun, ada suatu keadaan yang menggambarkan sesuatu hal sehingga membuat lukisan ini terlihat sangat berkesan”. Dia mencoba menerangkanku dengan teliti namun tak ada yang bisa ku pahami. “ Kadang kita juga harus berbicara komunikatif kan Bim?” seraya menjangkau pundak bidangnya. “ Em.. begitukah” terlihat sekali kalau Dia sedang gugup. Aku tersenyum melihat tingkahnya.
Sekitar tiga puluh menit kami mengelilingi rumah sederhana . Banyak keganjilan yang di dapati. Namun, pikiranku terfokus pada lukisan di lorong anak tangga. Layaknya embun dalam kabut. “ Hana, sekarang senja sudah semakin menghilang, apakah kamu tidak pulang ke rumahmu?”. “ Oh..senja mulai menghilang yah” Aku masih tenggelam dalam lamunanku. “ Pulanglah Hana, Aku berpesan kepadamu nanti kalau kamu bertemu seorang anak kecil menangis, janganlah kau mendekati anak itu. Terus fokus pada jalan pulangmu. Apakah kamu mengerti apa yang sedang Aku bicarakan?”. “ Hiraukan anak kecil kan, Em.. Aku semakin penasaran” godaku pada Dia. “ Aku sudah memperingatkanmu” nadanya dengan sinis.
Perkataan Dia memang tak kupedulikan. Senja sudah mulai meninggalkan, sedang badan lagi dalam perjalanan pulang. Butuh waktu sedikit lama untuk sampai dirumah. Bagaimana bila kakakku sedang mengkhawatirkanku dan mulai mencariku. Kakakku adalah seseorang yang pelupa, bagaimana jadinya bila Dia mencariku dan tidak tahu jalan pulang. “ Perasaan tadi Aku menaruh senter dalam tasku, sekarang kok nggak ada” ku merogoh tasku namun tidak ada. Tersentak Aku terdiam, suara tangisan anak kecil itu membuatku terdiam tanpa berkata apapun. Kakiku mulai gemetaran karena ketakutan. Tapi, Aku ingin mencari asal suara tangisan itu.
“ Kak tolong Aku, kakiku tertimpa oleh pohon, kak Aku sangat kesakitan”suara rintihannya sangat menyentuh. Aku tidak tega mendengarnya. Dia terdengar sangat kesakitan, namun Bimo berpesan agar tidak mendekati anak itu.” Bagaimanapun juga Aku masih memiliki hati nurani sebagai perempuan, eh.. tapi Aku juga takut untuk mendekatinya, menoleh apa nggak yah” ragu untuk mendekat tapi diriku sangat kasihan terhadapnya. Sebaiknya, Aku menuruti perkataan Bimo saja.
Selang beberapa menit, Aku sudah sampai dirumah dan benar dugaanku bahwasanya kakakku juga tersesat saat mencariku. Pria disamping kakakku itu sangat tidak asing, dengan bahu yang lebar, mata yang bulat tajam serta perawakan yang tinggi. Dia adalah Riko. Kawan lamaku yang sudah tidak terlihat lagi batang hidungnya saat insiden di hutan sebelumnya. “ Apa yang sedang terjadi kak?” tanyaku dengan khawatir. “ Kakak hanya tersesat saja kok, kamu kemana saja, kakak khawatir sama kamu Hana, untung ada Riko yang membantu kakak untuk pulang ke rumah kalau tidak ada Dia mungkin kakak akan sulit untuk kembali”. “ Aku hanya bermain-main sebentar sebelum pulang kak, maafkan sudah membuatmu khawatir”. “ Yasudah, kamu mandi dulu”. “ Oke kak,Aku mandi dulu setelah ini kamu bicara sebentar denganku Riko” sambil berjalan ke kamar dengan lirikan yang tajam.
Setelah bersih diri, Aku masih terusik dengan perkataan Bimo tentang keluarganya. Mungkinkah, Aku bertanya kepada Riko tentang masalah ini. Entah bagaimana Aku harus menyikapinya. Sebaiknya Aku jangan bertanya pada Riko dulu.
“ Kemana Riko kak?” .” Dia ada di depan, lagi nungguin kamu”. Aku langsung menuju ke depan namun keberadaannya tak ku temukan.” Apa yang ingin kamu bicarakan Hana?” Dia keluar dari bilik tembok rumahku. “ Kemarin waktu di hutan, sebenarnya apa maksudmu?”. “ Aku hanya menunjukkan sesuatu kepadamu, tidak ada maksud lain”. “ Tapi, sedikitpun tidak ada yang bisa dimengerti”. “ Aku hanya menghawatirkan tentangmu, jangan terlalu berlebihan”. “ Siapa kemarin yang berlebihan, bukanya kamu”. “ Aku nggk suka berdebat denganmu, kamu tadi ke rumah laki-laki yang ada di seberang danau kan?”. “ Itu bukan urusanmu”. Sepertinya perkataanku membuatnya tersinggung. Dia langsung beranjak dari obrolan kami berdua. “ Aku peringatkan, bunga mawar itu cantik diluar tapi kamu harus tahu akan sakitnya duri mawar itu sendiri” tanpa menoleh sedikitpun Dia langsung pergi.
Keesokan harinya, ada sebuah surat di atas meja. “ Surat siapa ini, untuk Hana adikku tersayang, wah Aku tidak pernah tahu kalau kakakku sangat lebay” sambil ku buka surat itu. kakakku ternyata jadi pergi liburan tanpa diriku. Seperti anak kucing yang ditinggal induknya. “ Kakak sekarang pergi, Aku harus lebih sering mengunjungi Bimo untuk menguak misteri yang ada dalam rumahnya” hal tersebut sangat mengasyikan.
“ Senter ada, gunting ada, korek api ada, pisau ada, roti dan minuman sudah ada, oke waktunya berangkat” sambil mengecek barang – barang yang ada di tas. pukul jam dua siang Aku berangkat menuju rumah Bimo. Tapi, sang langit sedikit kurang bersahabat saat ini. Terlihat amarah yang luar biasa , siap- siap untuk dimuntahkan kepada sang korban. Apalagi dengan jeritan yang hampir memecahkan telinga. “ Hutan ini sedikit menyeramkan kalau sedang dalam cuaca seperti ini, serasa Aku akan terkurung di sini untuk waktu yang lama” gumamku dalam hati. Akhirnya sampai juga di rumahnya, ku langkahkan kakiku dengan penuh keberanian dan mencontoh cara Bimo untuk masuk ke rumahnya. “ Jangan Kau ambil belati untuk dirimu, wahai gadis muda, pulanglah sebelum kau mulai tertusuk” suara seorang kakek tua yang pernah kutemui di hutan bersama Riko.
Tanpa berpikir panjang Aku langsung masuk kedalam untuk mencari Bimo. “ Hana, apa yang sedang kamu lakukan” Dia langsung muncul di hadapanku. Tatapannya seperti mendapati seorang yang akan mencuri. “ Bagaimana bisa kamu muncul begitu saja,tanpa ku dengar suara langkahmu dan nafasmu Bimo, betapa terkejutnya Aku melihat dirimu yang bagikan hantu” ledekku terhadapnya. “ Apa yang kau inginkan Hana?”. “ Aku hanya ingin mengajakmu main sebentar, memangnya kenapa? Aku nggak boleh kesini”. “ Bukannya begitu tempat ini berbahaya, Hana”. “ Daripada kita bingung disini lebih baik kita ke danau, cari suasana yang baru, toh langit sekarang sudah bersahabat kembali”. “ Tapi Hana..”. “ Sudahlah tak perlu ragu, ayo kita coba sesuatu yang baru” sambil menarik tangan Bimo seraya memaksakan untuk keluar dari rumah itu.
“ Sekarang sudah mulai dekat dengan danaukan Bimo, kita duduk di bawah pohon cemara itu ya, Aku juga banyak bawa camilan sekaligus minumnya”. “ Iyah Hana” wajahnya sedikit merasa khawatir. Kita duduk dengan santainya, Aku mulai gelisah terhadap sikapnya. “ Hal apa yang membuatmu seperti ini?”. “Hana, lain kali kamu jangan pernah ke rumahku, kalau bukan Aku yang menyuruhmu atau menjemputmu sendiri”. “ Memangnya kenapa?”. “ Lebih baik kamu tidak perlu tahu, dan turuti perkataanku Hana”. “ Aku harus mencari tahu, ada apa dibalik semua ini” pikirku. “ Hana, keingintahuanmu yang besar itu bisa saja akan mencelakaimu”. Aku terdiam.
“ Hana, apakah kamu tahu, kamu adalah seorang wanita yang pertama kali datang kerumahku” Dia tersenyum padakau.” Ehh.. mana mungkin, jika dilihat lagi sebenarnya kamu sedikit tampan dan berkharisma, suaramu juga lembut sekaligus kamu sangat sopan kepada seorang perempuan, sedikit ragu kalau Aku adalah wanita pertama yang masuk kerumahmu, tapi kalau dilihat lebih dekat kamu mirip dengan temanku loh Bim, apakah kamu punya adik ataupun kembaran?”. “ Kamu kalau bicara, Apakah tidak pakai bernafas?” semakin lebar senyum Dia. Dia begitu tampan dengan senyumnya yang menawan itu. “ Apa ini, mengapa jantungku berdetak kencang, kendalikan Hana jangan malu – maluin” gumamku.
“ Ada apa Hana?”. “ Oh.. tidak mungkin”. “ Apanya yang tidak mungkin?”. “ Aku bicara kepada diriku sendiri” jawabku dengan malu. “ Hahaha… Hana, kamu sangat imut kalau lagi gugup” sambil memegang pipiku dengan lembutnya. Kami bertatapan sangat lama, tangan Bimo yang begitu besar dan hangat masih menempel di pipiku. Kenyamanan dalam hati mulai bersemayam.
“ Maaf” suara lembutnya. Aku hanya bisa tersenyum tipis. “ Kamu adalah orang pertama yang menatapku dengan lama, Bimo” sembari merapikan makanan dan minuman. “ Apa yang membuatmu begitu yakin?”. “ Mungkin karena kepribadianku yang sedikit aneh, sejujurnya kamu adalah teman keduaku setelah Dia, selama ini Aku selalu menyendiri”. “ Begitukah? Mungkin Aku berpikiran bahwa kamu adalah orang yang menanam kenyamanan ini, Aku berterima kasih karena memberi kehidupan selayaknya manusia pada umumnya” Dia memandangku kembali. “ Terkadang Aku masih sangat penasaran denganmu, namun mungkinkah ini sudah cukup untuk membuktikan semuanya tanpa harus mendalami lagi”. Kami hanya saling memandang kembali sembari membalas senyum satu sama lain.
Percakapan kami sore itu berakhir dengan indahnya. Perasaan tak karuan ini membuatku semakin berani untuk menyelidiki rasa diriku terhadapnya. Tidak pernah terpikir dalam hidupku akan kedatangannya. “ Perasaan ini berbeda saat bertemu dengan Riko, tapi mereka memiliki kemiripan satu sama lain” mungkin hanya sekilas diriku berpikir seperti itu.
Hari – hari yang ku lalui berbeda dari yang kemarin, waktuku kini lebih banyak ku habiskan dengan Bimo. Mendaki gunung, mengunjungi hutan, dan masih banyak lagi . “ Selamat siang” suaranya seperti Riko. “ Masuk aja nggak dikunci kok pintunya”. “ Hana, ada hal yang perlu kusampaikan kepadamu” tatapannya begitu serius. “ Kalau memang ada perlu disampaikan yah sampaikan saja, tidak perlu seperti itu juga”.
Kami berdua menuju ke danau untuk mengobrol, memang kami berdua dekat namun tidak pernah sejalan. Di danau Riko memberiku sebuah buku kecil berwarna hitam Dia menyuruhku untuk membukanya setelah Dia pergi. “ Oke.. kalau begitu, jika kamu diberi dua pilihan dan kamu hanya bisa memilih satu pilihan saja, pilihan pertama kamu mati dengan hidup atau hidup tanpa kematian, kamu pilih yang mana?”. “ Kamu pikir Aku akan menjawabnya, oke Aku hidup tanpa kematian”. “ Terima kasih atas jawabanmu, Aku mencintaimu sehingga lupa akan diriku, jangan terlalu dekat dengannya” suara lembutnya yang tidak pernah kudengar. Dia langsung pergi tanpa menoleh sedikitpun.
Mengapa pembicaraan Riko sangat membuat hatiku gelisah. Bila dipikir kembali sudah tiga hari Bimo tidak berkunjung kerumahku. Apakah ada hubungannya denga Riko. Tapi mungkin hanya perasaanku saja. “ Bagaimana kalau aku berkunjung ke rumah Bmo sembari melihat keadaanya”.
Sore itu ku bermaksud untuk mengunjungi rumah Bimo. “ Wahai anak muda bukankah, Kau sudah diperingati untuk tidak bermain- main dengan alam bawah sadarmu, sungguh celaka karena kau telah mengabaikan pesan” bisikan suara itu mulai terdengar sejak lam Dia pergi. Ku hiraukan semua itu dan ku semakin ingin pergi. Anehnya jalan yang biasanya ku lalui tidak sama dengan biasanya. “ Apakah Aku tersesat” pikirku.
“ Hana” suara lirih seorang laki – laki yang ku kenal. “ Bimo apa yang sedang terjadi kepadamu?, siapa yang melukaimu?” tanyaku penuh kekhawatiran. “ Hana, pergilah kamu dari sini dan jangan pernah datang kesini”. “ Ada apa dengan semua ini, sebaiknya kamu diobati terlebih dahulu”. “ Aku bukanlah seperti yang kamu kira, Aku adalah seorang pecundang yang mengerikan, apa kamu lihat pada dinding itu adalah lukisan keluargaku yang Aku bunuh sendiri dan wanita itu adalah kamu Hana, kamu adalah korban yang terakhir”. “ Kamu bicara apa sih Bim, sudahlah ini bukan waktunya untuk bercanda”. “ Kamu tahu Riko kan, Dia adalah orang yang sangat peduli terhadapmu”. “ Biarlah Aku sudah tidak berhubungan dengannya, sekarang yang Aku pedulikan dan Aku kasihi adalah kamu”.” Cinta ataupun kasih sayang… hahahah Hana selama ini kamu tidak meninggal itu, karena Riko yang selalu menggantikanmu”. “ Apa maksudmu? Jelaskan sungguh Aku tidak suka duri dalam bunga mawar”. “ Oh.. sayangku Hana, ingatlah siapa yang kamu temui waktu di hutan adalah Aku yang sebenarnya, tapi yang ada dalam rumah adalah Riko”. “ Bagaimana bisa dua orang dalam satu tubuh”.
“ Jika bukan Riko yang memasuki tubuh ini, mungkin kamu sudah kulahap seperti yang lainnya, yang selama ini bersamamu adalah Riko bukanlah Aku, Aku hanyalah makhluk yang haus akan kehidupan jiwa manusia begitulah Aku bertahan hidup Hana”. “ Mengapa Dia melakukan semua ini dan mengapa kamu sangat menginginkanku?”. “ Hana, kamu tahu ketika Riko memasuki tubuh ini maka Dia adalah roh yang hidup dengan penuh kesakitan yang tak berujung, Dia disebut sebagai mati tak di inginkan dan hidup yang mematikan, sungguh bodoh laki – laki itu yang mencintai seorang sepertimu” Dia tertawa hingga ku muak mendengarnya.
“ Dimana Riko? Aku tanya padamu Riko ada dimana?”. “ Dia hanya sembunyi di suasana dindingmu yang begitu celaka Hana dan bodohnya dirimu memilih untuk hidup tanpa kematian karena pilihanmu adalah takdir untuknya, terima kasih Riko dan sungguh malang dirimu”. Aku tidak pernah membayangkan ini semua, kakiku terasa lemas, jantungku sangat lemah, air mataku sungguh tidak mau keluar. “ Hana, cepat pergi dari sini dan carilah pagar yang berpita merah, bukalah pagar itu maka kamu akan terbebas darinya” suara lelaki itu Dia adalah Riko. “ Maafkan Aku”. “ Pergilah Hana selagi Aku bisa menahannya, jangan pedulikan Aku”.
Aku berlari dengan penuh rasa bersalah sampai tak mampu untuk menatap kedepan. Tak jauh dari tempatku, Aku sudah menemukan pita itu. Ku buka pagar itu dan semuanya kembali seperti semula yaitu kediamanku. “ Ternyata seperti ini” terisak tangis yang sangat mendalam. “ Hana dindingmu adalah penghubung kita, tidak pernah menyesal sedikitpun dalam hatiku, karena sungguh aku mencintaimu dengan tulus”. Seorang laki – laki yang penuh dengan kedinginan berhasil menghangatkan hatiku yang berdinding es. Mawar penuh dengan duri adalah Aku Riko. Kini, Aku mencintai sosok Riko yang penuh kehangatan dalam hatiku.