MOONLIGHT
Part I
Lampu taman yang meredup. Laki-laki dengan kulit putih, hidung mancung, badannya yang tinggi dibalut switter hitam. Tangannya memegang leher gitar dipangkuannya. Jari jemarinya perpindah kesana kemari memetik senar. Nada pilu dengan pandangan kosong.
"Lagu apa yang kau suka?" Ryan tak menghiraukannya, alhasil perempuan itu mendengus kesal.
"Baiklah aku akan mulai bernyanyi untukmu, jangan pura-pura tak mendengarnya yaa..." senyum yang manis, ia memetik gitarnya. Suaranya memenuhi ruangan, seperti angin yang menggelitik. Tubuh Ryan merinding dengan arti lagu yang dinyanyikannya.
"Ryan! Ryan!" seseorang menyadarkan akan lamunannya.
"Apa ada yang salah denganmu?" Natha, laki-laki yang duduk di kursi membaca kertas diary.
"Aku menganggapmu telah mati, jadi jangan pernah muncul dihadapanku lagi...." Natha membaca tulisan paling akhir yang ada dalam diary itu. Ryan hanya mengerutkan keningnya, sepertinya ia ingin marah tapi menahanya.
"Apa kau menemuinya? Dia menghindarimu?" Ryan hanya menggeleng lemas.
"Lalu untuk apa kau menulisnya?" Ryan masih tak membuka mulutnya, ia memandangi buku yang dipegang temannya.
"Kau menutup dirimu sendiri, bahkan padaku? Apa membencinya hal yang terbaik?" Natha menyunggingkan bibirnya. Sekarang kau mengikuti kebiasaannya, apa ini yang disebut kebencian? Gumam Natha dalam hati.
"Kau membencinya? Kau tak harus mengutuknya kan? Kau hanya perlu waktu, jangan memaksakan dirimu untuk membencinya, hal ini hanya akan menyiksamu" kata-kata itu membuat Ryan membeku, seperti pisau yang mencabik-cabik hatinya. Apa yang dikatakan Natha itu benar, bahkan sekarang ia merasa semakin terluka karena memaksakan diri untuk membenci seseorang.
****
Suasana kantin ramai, semua siswa berkumpul mengisi waktu dan perut mereka. Di ujung, sebuah meja kosong menjadi tujuan Ryan, dengan buku berisikan beberapa lirik.
"Daylight" bisik seseorang di sampingnya.
"Sejak kapan kau duduk di sini?" kata-kata Ryan membuat Natha tersinggung, secara tidak langsung ia mengusir Natha, tapi Natha tak peduli dengan yang ia ucapkan. Natha mengambil bukunya dan mencoba melihat isinya. Natha membolak balikan setiap kertas yang semuanya berisi lirik lagu.
Ryan tersenyum dan mencoba mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan menu makan hari ini, ketika Natha berbalik Ryan meninggalkannya dengan terburu-buru.
"Aku segera kembali..." Teriaknya keras sambil berjalan mundur.
Saking terburu-burunya saat ia berbalik ia menabrak seorang perempuan. Buku yang di bawa perempuan itu berhamburan. Ryan memungut buku itu dan Twilight? Tanyanya dalam hati. Matanya mencoba melirik seorang siswa yang ia tabrak dan memberikan bukunya.
"Terimakasih..." suara lembut disertai senyum manis keluar dari mulutnya. Ia memalingkan badanya dari Ryan dan mulai meninggalkanya.
"Tunggu!!" cegah Ryan mendekatinya. Kau menyukai twilight? tanya Ryan sedikit lancang. Perempuan itu berbalik dan mengangguk.
"Apa kau juga menyukainya?" tanya perempuan itu, mencoba lebih akrab.
"Ah...mmm..." Ryan mengangguk dengan ragu. Ia ingin menjawab ya, tapi sebenarnya ia tak menyukainya. Lebih tepatnya karena seseorang menyukainya.
"Siapa namamu? Apa kita bisa bertemu lagi?" entah kenapa pertanyaan itu keluar dari mulut Ryan, tapi seperti bukan keinginanya.
"Ya tentu. Apa kau ingin membahasnya lain kali?" perempuan itu tersenyum.
"Sepertinya aku harus pergi sekarang, jam pelajaran segera di mulai. Kita pasti bertemu lagi dan namaku Rysa. Dah..." gadis itu melambaikan tangannya dan perlahan menghilang dari pandangannya. Twilight? Gumam Ryan dalam hati.
****
Part II
"Twilight lagi? Sudah berapa kali kau membacanya? Tak pernahkah berpikir untuk mencoba yang lain? Aku tau kau gadis yang setia, tapi…" Ryan melihat perempuan yang sedari tadi mengacuhkannya.
"Kau lebih menyukainya, kau hanya tertarik pada vampir? Di dunia ini banyak hal yang belum kau lihat" Ryan mencoba menarik perhatian perempuan itu, ia merasa bosan dengan apa yang setiap hari ia bahas bersamanya hanya vampir dan vampir. Tapi perempuan itu sama sekali tak berpaling dari bukunya.
"Sheill!!" sedikit membentaknya.
"Kau melupakan dirimu sendiri, kau harus makan. Kau bahkan mengacuhkanku, aku membawakan ini untuk kau makan" Sheilla sedikit terganggu dengan perkataan Ryan, menutup bukunya dengan kesal.
"Apa ini sebuah ancaman? Kau datang hanya untuk itu?" Sheilla meremas kepalan tangannya, "pulanglah! Kau tak datangpun aku masih bisa hidup!" Sheilla kesal dan bicara semaunya.
"Ralat ucapanmu!" Ryan tak peduli dengan yang dikatakan Sheilla, "cepatlah makan!" Lanjutnya.
Meskipun Sheilla ingin menunjukan amarahnya pada Ryan, tapi tak bisa. Ia mengalah dengan duduk di depan bubur yang sudah hampir dingin, ia tahu Ryan berkata benar. Ryan tersenyum penuh kemenangan.
"Bubur ?" Sheilla heran, kenapa harus bubur. Bubur tanpa rasa.
"Kau sedang sakit, bubur baik untukmu" Sheilla mendengus kesal, sudah sakit, pergi ke sekolahpun tak sanggup. Tapi masih bisa marah-marah, dasar. Gumam Ryan dalam hati sedikit mengangkat bibirnya dan Sheilla melihatnya.
"Apa ini terlihat lucu? Kau tersenyum" Sheilla menghentikan suapannya.
"Tidak. Sudah cepat habiskan!" Sheilla menyuapkan buburnya.
"Apa cara makanmu seperti itu" Ryan melanjutkan pembicaraannya, memperhatikan cara Sheilla makan. Sheilla memakan bubur yang berada di sisi mangkuk, dan sediki-sedikit memutar mangkuknya dan menyisakan bubur yang ada di tengah mangkuk. Setelah bubur yang di pinggir mangkuk habis, ia baru menyentuh bubur yang berada di bagian tengah mangkuk.
"Entahlah" jawab Sheilla singkat. Dasar aneh.
Selesai makan, Ryan memberikan segelas air putih padanya, membantunya berdiri dan menuntunnya ke kasur. Sheilla menyandarkan tubuhnya di kasur, Ryan menyelimutinya dan memungut buku yang berserakan di tempat tidur.
"Kenapa buku-bukumu selalu berantakan?" ini bukan kali pertama Ryan bertanya, tapi buku-buku itu selalu seperti ini setiap kali ia kesana. Aku mencari buku yang berisikan laguku yang belum terselesaikan. Tebak Ryan dalam hati.
"Aku mencari buku yang berisikan laguku yang belum terselesaikan." jawabnya sedikit menekuk wajahnya. Aku sudah tahu jawabanmu, sudah berapa kali ku menanyakanya dan jawabnya selalu sama, apa dia tak menyadarinya. Gumamnya dalam hati sedikit tersenyum memikirkan temanya yang terlihat lucu karena ia menganggapnya sedikit konyol.
"Ohh, baiklah. Apa kau mau ku ceritakan kisah vampir?" Ryan mencoba menghibur Sheilla.
"Apa kisah romantis?" Sheilla memegang tangan Ryan.
"Haruskah romantis?" tanya Ryan sedikit kesal, padahal aku ingin menceritakan hal yang menyeramkan agar ia tak tertarik lagi dengan vampir. "Umurmu baru enam belas" Ryan mencari alasan lain untuk tak menceritakan kisah romantis.
"Memangnya berapa umurmu? Kau pikir sudah berapa lama aku hidup?" bagaimana bisa ia dibilang sakit jika mulutnya masih tajam. "Apa salahnya jika kau menceritakan kisah romantis, diberi bunga semerah darah, meminum darah bersama dan..." Ryan membekap mulut Sheilla, ya tidak kuat lagi dengan ocehannya.
"Aish... anak ini. Bisakah kau diam? Apa kau mau lehermu digigit vampir?" Ryan melepaskan tangannya secara perlahan.
"Ahhh...tidak..." Sheilla menjerit, menutup telinganya.
Ketakutan? Sepertinya berhasil. Gumamnya dalam hati menahan tawa kemenangan. Tapi tiba-tiba saja Sheilla tersenyum, entah apa yang ia pikirkan.
"Bukan ide yang buruk, apa lagi jika vampir itu kau dengan tulus aku memberikannya. Kau mau yang kiri atau kanan" Sheilla mengedip nakal. Wanita gila.
"Jangan berharap aku mau menjadi vampir wanita gila! Ryan tertawa melihat wajah Sheilla yang berubah seketika ketika ia bilang 'wanita gila' seperti biasa ia langsung memukul pundak Ryan dengan tulus.
"Aku seorang gadis bukan wanita, wanita itu tua" Ryan yang masih tertawa memegang pundak Sheilla dan mendorongnya agar ia tertidur.
"Tidurlah gadis, sebaiknya kau tutup mulut dan matamu" Ryan tersenyum lalu melanjutkan pembicaraannya, "hidupku akan tenang jika kau tidur!" perintahnya memaksa Sheilla untuk tidur,
Sheilla selalu marah jika Ryan mengatainya gila dan jawaban yang selalu Sheilla berikan "Kenapa kau mau berteman denganku, kalau kau menganggapku gila?" tapi Ryan menjawabnya "Karena aku ingin menyembuhkan kegilaanmu padaku" dan jawabanya selalu membuat Sheilla tersenyum.
Ryan tersenyum setelah beberapa saat ia terjebak dalam kenangan, kenangan manis tapi sesuatu terasa seperti mencengkram jantungnya. Membenci sesuatu yang pernah dan terlalu ia cintai. Wanita gila itu mungkin mengutuknya bahkan menjebaknya dalam bayang-bayang semu. Membenci seseorang seperti dia, dengan semua kenangannya ? Bukan hal yang mudah.
****
Awan kelabu menggantung di luasnya langit, seolah mengatakan 'kita sama'. Hujan?, hujan membuat Ryan ingat dengan Sheilla. Kenyataannya ia belum bisa lepas "Ini waktu yang tepat untuk bermain gitar" yang biasa Sheilla katakan untuk membujuk Ryan bermain gitar di saat hujan. Hujan yang mereda, Ryan mengusap embun di jendela lalu menutupnya.
"Aku bertemu dengan seseorang yang menyukai twilight" Ryan memberanikan diri membuka mulutnya setelah beberapa lama membiarkan temannya.
"Sheilla?" tebaknya serius. Ryan menggeleng membuat Natha menghela nafas.
"Kenapa kau tak coba membuka hatimu? Ini sudah lama sejak ia pergi. Aku berharap kau mempunyai hari yang tak seperti sekarang" Ryan tertunduk haruskah ku katakan? Sheilla masih menahanku disini.
"Tak salah jika kau memulainya lagi, kau tak boleh sembunyi menghindari cahaya seperti ini. Biarkan dirimu yang penuh canda seperti dulu" Natha ingin sahabatnya bangkit dari kehidupan yang ia rasa suram, terjebak di masa lalu.
Sheilla, perempuan yang slalu mengikuti Ryan kemanapun pergi. Ia anak yang jahil, sikapnya yang kekanak kanakan dan ceroboh. Hanya Ryan yang sanggup menjadi pawangnya. Ryan mengenalnya sedari kecil, hingga mereka selalu berada disatu sekolah yang sama. Entah sejak kapan Ryan mulai menyukainya, dan entah sampai kapan ia akan menunggunya.
****
Ryan bertemu dengannya, mungkin lebih tepat menemuinya. Perempuan yang menyukai twilight, lorong kelas mempertemukannya.
"Kau bisa memainkannya?" menunjuk ke arah gitar yang bersandar di dinding, Ryan tersenyum merasa janggal dengan pertanyaan yang Rysa lontarkan.
"Ooh pertanyaan bodoh" Rysa tersenyum, ia menyadari kesalahannya, "kalau begitu mainkan satu lagu untukku, daylight" Ryan terkejut dengan yang dikatakan Rysa, kata-kata itu tak asing.
"Kau tak tau lagunya? Kita dengarkan dulu bersama." menyodorkan sebelah headset untuk Ryan, dia tahu lagu itu. Bahkan hafal, tapi ia tak menolak saat ditawari mungkin karena terlalu terkejut.
Mereka semakin dekat, Ryan mencoba untuk membuka hatinya. Meskipun kebiasaan dan hal yang Rysa lakukan selalu sama dengan Sheilla, seperti membaca dongeng yang sama. Ryan mulai melupakan Sheilla tanpa membencinya, hal yang lama ia tinggalkan kini ia memulainya lagi.
"Udaranya dingin, jadi aku memesan bubur" kata Rysa menunjuk pada meja yang ada didepanya, Ryan tak menyentuh sama sekali bubur yang disodorkan. Ia hanya memperhatikan cara Rysa memakannya. Ryan tertunduk sejenak, lalu memandang Rysa.
"Aku? tidak tahu..." Rysa tersenyum saat menjawab pertanyaan Ryan mengenai cara makannya. Apa aku semakin gila? Aku bahkan tidak bisa membedakan siapa yang ada di depanku. Hatinya terasa sangat berisik, seolah-olah sedang terjadi pertarungan.
****
Derasnya hujan menutupi suara-suara di sekitarnya bahkan suara jantungnya. Hari ini ia ada janji dengan Rysa. Apa jika itu bukan Rysa ia tak akan merasakan ini lagi? Ryan memasukan tangannya yang terasa dingin kedalam saku celana. Kini di depannya berdiri seorang perempuan dengan bunga kertas di tangannya.
"Aku tau ini bukan valentain ataupun ulang tahunmu, tapi aku tidak punya waktu untuk itu" Ryan menahan gemetar di tangannya.
"Hmm...lalu kenapa bunga kertas?" Ryan mengambil bunga yang di pegang gadis itu, melihatnya dengan dalam.
"Karena, bunga kertas tak akan pernah layu, jadi kau bisa menyimpanya selamanya, dan kau tak bisa membuangnya" memberikan lagi bunga itu. "Tapi jika aku memberikanmu bunga sungguhan, apa setelah layu dan mengering kau akan membuangnya?" perempan itu tersipu malu, rambutnya sedikit bergoyang tertiup angin.
"Aku...sebenarnya aku…" kata-katanya tercekat, ini tak semudah yang ia coba.
"Ryan! Ryan!" Rysa mengejutkannya. "Bisakah kita jalan sekarang? Ini sudah terlalu lama menunggu" Rysa memegang tangan Ryan, Ryanpun hanya mengangguk bingung. Mereka berjalan, Rysa terus menggenggam tangan Ryan. Mungkinkah sekarang waktu yang tepat? Haruskah sekarang? Sesaat sebelum mulutnya terbuka, Ryan melihat bayangan itu.
"Sheilla!!" ia beteriak dan berlari mengejarnya. Ia yakin bahkan dari belakang ia bisa membedakannya. Gadis itu lari menghindarinya, seperti yang selalu ia lakukan. Sheilla memasuki sebuah rumah dan dengan cepat menutup pintunya. Ryan menggedor pintu itu dengan keras.
****
Part III
"Ryan! Ryan!" Rysa mengejutkannya. "Bisakah kita jalan sekarang, ini sudah terlalu lama menunggu" Rysa memegang tangan Ryan, Ryanpun hanya mengangguk bingung. Mereka berjalan, Rysa terus menggenggam tangan Ryan. Mungkinkah sekarang waktu yang tepat? Haruskah sekarang. Sesaat sebelum mulutnya terbuka, Ryan melihat bayangan itu.
"Sheilla!!" ia beteriak dan berlari mengejarnya. Ia yakin bahkan dari belakang ia bisa membedakannya. Gadis itu lari menghindarinya, seperti yang selalu ia lakukan. Sheilla memasuki sebuah rumah dan dengan cepat menutup pintunya. Ryan menggedor pintu itu dengan keras.
"Sheill! Keluarlah! Apa hal yang kau lakukan padaku? Kau tahu...ini menyakitiku" dibalik pintu Sheilla menahan tangisnya, mendengar nafas Ryan di balik pintu. Entah itu lelah atau tangis, Sheilla tak bisa melihatnya.
"Aku di sini, kali ini aku tak akan membiarkanmu pergi. Bicaralah!" Ryan menundukan badannya, masih di depan pintu. Ia tak mempedulikan Rysa yang ia tinggalkan begitu saja. Kenyataannya ia masih tak bisa lepas.
Sheilla memberanikan diri membuka pintu, ia mengira Ryan pergi. Salah, Ryan menunggunya. Air mata yang tak tertahankan, tumpah perlahan di hadapan Ryan. Sheilla menyelimuti Ryan. Ia duduk di samping Ryan dan menyandarkan kepalanya pada bahu Ryan.
"Selama inikah kau menungguku? Sedalam inikah lukamu, kenapa? Kenapa kau tak membenciku? Apa yang telah ku lakukan padamu? Menyakitimu, menyiksamu, meninggalkanmu" Sheilla mengatakanya dengan air mata mengalir di pipinya.
"Apa kau ingat? aku pernah bertanya padamu, jika vampir ada apa kau mau menerimanya kau menjawab tidak, jawabanmu membuatku tersenyum. Lalu jika makhluk seperti vampir ada, apa kau akan menerimanya? Kau juga menjawab tidak. Dari jawabanmu yang terbaik adalah seperti ini" Sheilla memeluk Ryan dengan hangat dan menyeka air matanya.
Sinar matahari menerobos jendela rumah, membuat Ryan terbangun dari tidurnya. Sheilla kata pertama yang ia ucapkan. Ryan melihat selimut ditubuhnya dan sebuah kertas di sampingnya, inikah akhirnya ia membacanya.
Kau mengatakan kalau ku tak ada, hidupmu akan tenang,
Tapi...
Setelah ku pergi kau malah menderita,
Apa maksud dari ucapanmu waktu itu?
Aku tahu,
Kau tak akan menerimaku apa adanya,
Kau akan tersakiti setelah kau tahu semuanya
Aku juga mencintaimu itu jawabanku yang pernah kau tanyakan...
Sheilla
Ia berdiri dan melihat sekeliling, dengan cepat ia masuk ke dalam rumah itu. Kemana dia? Dia tertunduk di depan kamar dengan meja dipenuhi semua barang-barang yang pernah ia berikan. Bunga-bunga kertas itu, lengkap dengan aroma Sheilla.
"Kau tau? Kenapa aku membenci vampir. Karena ku lebih menyukainya dibanding aku" menghembuskan nafas berat "Kenapa hubungan kita serumit ini, tak bisakah dengan cukup aku mencintaimu. Kau masih menyimpannya..." Ryan melihat rangkaian bunga yang mengering di samping bunga kertas itu dan sebuah notebook.
"Lagu yang tak pernah kau selesaikan karena… Kau sendiri tak tahu akhirnya"
****
"Aku tau ini bukan valentain ataupun ulang tahunmu, tapi aku tidak punya waktu untuk itu" Ryan menahan gemetar di tangannya.
Malam itu, Ryan mengajak Sheilla pergi kesebuah taman. Ryan memaksa Sheilla untuk mengenakan dress yang sebelumnya Sheilla tak pernah mengenakannya. Dan rencananya, Ryan ingin mengungkapkan perasaannya pada Sheilla saat itu juga.
"Hmm...lalu kenapa bunga kertas?" Ryan mengambil bunga yang di pegang Sheilla, melihatnya dengan dalam.
"Karena, bunga kertas tak akan pernah layu, jadi kamu bisa menyimpanya selamanya dan kau tak bisa membuangnya" memberikan lagi bunga itu.
"Tapi jika aku memberikanmu bunga sungguhan, apa setelah layu dan mengering kau akan membuangnya?" Sheilla tersipu malu, rambutnya sedikit bergoyang tertiup angin.
"Aku... sebenarnya aku…." kata-katanya tercekat, ini tak semudah yang ia coba. Ryan menatap Sheilla dalam begitu lama. Baru kali ini ia melihat sisi lain dari Sheilla yang terdiam manis tak seperti biasanya. Ryan memejamkan matanya mencoba menekan keberaniannya untuk mengucapkan beberapa kata yang sudah lama ia ingin ungkapkan.
"Aku suka kamu Sheill" dengan lantang Ryan mengucapkan kata kata itu. Saat ia membuka matanya, Sheilla sudah ambruk ditanah.
Malam itu, adalah malam terakhir Ryan melihat Sheilla. Sheilla berjanji akan mengungkapkan perasaannya dihari ulang tahun Ryan. Tapi sampai saat itu tiba, Sheilla tak pernah mengunjunginya. Mungkin hal itu yang paling mengecewakan bagi Ryan, karena Sheilla telah melanggar janjinya dan meninggalkannya tanpa sebab.
Ryan hanya mendapatkan sebuah surat dari Sheilla.
Aku tahu kau hanya bercanda Rayn. Mana mungkin kau menyukai gadis sepertiku yang selalu membuatmu kesal. Kamu jangan berharap lebih padaku, karena mungkin saja aku akan meninggalkanmu dan menyakitimu saat ini juga...
Isi surat itu sungguh mencabik hati Ryan. Sheilla berjanji akan pergi jauh dari hidupnya dan berjanji takan kembali. Ryan selalu memikirkannya dengan keras, alasan apa yang membuat Sheilla meninggalkannya. Ryan rasa ia tak melakukan kelasahan besar yang bisa menyakiti Sheilla. Jawaban yang Ryan dapatkan adalah karena mungkin Sheilla membencinya. Bahkan sampai saat ini Rayn masih menunggunya.
****
Ryan duduk di meja taman sekolah dengan penampilan yang begitu berantakan. Kejadian semalam sanggup membuatnya seperti ini, kembali gila. Sampai saat ini, kepalanya masih memikirkan Sheilla. Hatinya kembali terluka dengan permainan Sheilla yang tak sanggup Ryan pahami.
"Ryan! Kenapa semalam kamu pergi begitu saja?" Suara Rysa membuyarkan lamunan Ryan yang entah sudah sejak kapan Rysa duduk disampingnya. Ryan menatap wajah Rysa fokus. Mungkinkah Ryan mengharapkan orang di depannya sekarang adalah Sheilla.
"Ryan! Kamu melamun?" Rysa menggoyangkan tubuh Ryan yang tak bereaksi sama sekali sejak ia mengajaknya berbicara.
"Ah...maaf...." Ryan membuka mulutnya, "semalam aku melihat seseorang yang sudah lama menghilang dan dia berarti dalam hidupku" Ryan tak bisa menyembunyikannya lagi dari siapapun. Hatinya terlalu rapuh untuk menerima dan menanggung semuanya.
Setelah Ryan menceritakan semuanya pada Rysa, ia mendapat telpon dari seseorang yang ia kenal, Sheilla.
"Sheill!" Ryan mengangkat telponnya dengan cepat. Berharap bisa mendengar suaranya kembali setelah sekian lama.
****
Part IV
Ryan segera pergi diikuti Rysa setelah mengangkat telpon dari Sheilla, lebih tepatnya ibunya. Ibunya meminta Ryan untuk pergi kerumah Sheilla secepatnya, Sheilla yang memintanya. Dengan senang hati Ryan segera pergi. Berharap bisa bertemu kembali dengan Sheilla masih menuntut penjelasan.
Dilihatnya rumah itu yang sudah lama tak ia kunjungi. Tanpa membuang waktu, Ryan langsung masuk kerumah orangtua Sheilla. Dilihatnya pemandangan yang tak pernah terbayangkan oleh Ryan. Dihadapannya hanya terpajang satu foto Sheilla dengan ponytailnya, tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang rapih. Ryan hanya terdiam merasa sesak, didalam sana seperti tanpa sebuah oksigen disusul dengan isak tangis Rysa cepat mengerti dengan keadaan dirumah itu.
Ryan menatap lurus kedepan, dengan tatapan kosong, memandang foto Sheilla yg terletak rapi diatas meja dan dihiasi bunga. Suasana duka menyelimuti ruangan, tiap orang memakai pakaian hitam duduk berbaris didepan peti mati dengan foto Sheilla diatasnya, dupa mulai dinyalakan dan doa doa mulai dilantunkan untuk menemani kepergiannya.
Ryan masih tidak percaya dengan kejadian yang dialaminya sekarang, semuanya seperti mimpi. Padahal kemarin baru saja ia kembali bertemu dengan Sheilla. Semuanya masih belum Ryan mengerti. Ryan berjalan kedepan peti mati. Mengangkat tangannya dan mulai berdoa untuk Sheilla
Aku memang telah menganggapmu mati, tapi melihat kamu benar benar mati sekarang, aku singguh tak bisa mempercayainya. Rasanya begitu menyakitkan lebih dari apapun Sheill...gumam Ryan dalam hati mulai meneteskan air matanya.
Selesai berdoa, peti matipun mulai ditutup, dan dibawa ketempat pembakaran. Tubuh Sheilla dimasukan kedalam mesin pembakaran hingga menjadi serpihan debu. Dan debu Sheilla diberikan kepada Ryan.
Keesokan harinya, Ryan brangkat ke puncak ditemani Natha dan Rysa. Tempat pertama kali mereka bertemu. Ryan mulai mengingat kenangan pertama kali mereka bertemu. Saat itu Sheilla duduk dibawah pohon sedang menulis sesuatu dibukunya. Sheilla mengenakan dress putih selutut yang terlihat pas dikenakannya.
"Disini tempat pertama kita bertemu dan aku ingin disini jadi tempat peristirahatan terakhir kamu Sheill" Ryan mulai membuka bungkusan dan membiarkan debu Sheilla terbang di udara.
Ryan masih tak bisa melepaskan Sheilla meskipun ia sudah meninggal satu tahun lalu. Orangtua Sheilla meminta maaf pada Ryan karena telah menyembunyikan hal yang penting bagi Ryan. Sheilla mengidap penyakit kanker stadium akhir dan sudah sebulan lebih dirawat dirumah sakit. Tapi Sheilla meminta kepada orangtuanya untuk merahasiakannya dari Ryan. Sugguh tamparan yang keras bagi Ryan. Bagaimana mungkin seorang gadis yang cerita, pembuat onar, bawel dan galak sepertinya mengidap penyakit yang siap merenggutnya kapan saja.
Kamu bohong Sheil. Kamu bilang, rasa sakit yang slalu kamu rasakan itu hanya shyndrome biasa...
Sejak dulu, Sheilla selalu merasa sakit dibagian dada kirinya. Rasa sakit itu sering tiba tiba muncul dan menghilang. Ryan khawatir dengan Sheilla, tapi Sheilla mengatakan itu hanya Precordial Catch Shyndrome. Sindrom yang menyerang pada anak anak dan remaja. Dokter belum menemukan penyebabnya, namun sindrom itu tidak berbahaya. Dengan penjelasan Sheilla yang begitu rinci, membuat Ryan mempercayai kata-katanya.
Sheilla dirawat dirumah sakit diwaktu yang lama. Sheilla meminta agar dibawa kerumah sakit yang jauh dari rumahnya. Ia tak ingin Ryan menemuinya apalagi dengan keadaannya yang seperti itu terbaring lemah dirumah sakit. Tapi tiba tiba saja Sheilla menghilang dari kamarnya. Semua orang sudah mencari Sheilla kemana-mana, namun tak pernah ditemukan.
Setahun kemudian, polisi menemukan mayat yang sudah tak berdaging yang tak lain adalah Sheilla. Dipergelangan tangannya masih mengenakan gelang yang terukir namanya 'Sheilla Dara' yang tak lain pemberian dari Ryan. Tak aneh jika di peti mati itu hanya tinggal kerangka Sheilla.
Ryan membawa semua barang berharga Sheilla kerumahnya. Hanya itu yang ditinggalkan Sheilla untuknya. Natha dan Rysa ikut membantu membereskan barang kedalam kardus.
"Moonlight?" Rysa menemukan sebuah buku berjudul Moonlight bercover blue moon itu. dengan segera Rysa mengambilnya.
"Sheilla Dara..." Rysa membaca lembar terakhir buku tersebut, lalu menatap Ryan ingin memastikan sesuatu.
"Itu adalah novel Sheilla, dia yang membuatnya sendiri. Sheill berjanji akan memberikannya hanya pada Ryan. Dan novel itu hanya dua" Natha menjawab pertanyaan Rysa.
"Aku juga mempunyai novel ini"
"Mungkin dia memberikannya padamu Rys" Natha tahu betul seperti apa Sheilla. Mereka sudah berteman dekat diwaktu yang cukup lama.
"Kamu tahu Rayn, dibuku ini mengisahkan dua orang yang tak bisa bersatu. Gadis yang dicintainya meninggal dalam kecelakaan. Dia masih belum siap meninggalkan lelaki yang dicintainya. Dia meyakini bahwa saat bulan mati, jiwanya dapat berwujud dan dapat dilihat mata manusia. Hingga akhirnya dia menemui kekasihnya disetiap malam bulan mati. Selama setahun lebih ia melakukannya sampai kekasihnya sembuh dari lukanya dan melupakannya. Tapi semakin hari, semakin berat ia meninggalkan kekasihnya. Sampai kekasihnya sudah dekat dengan gadis lain, ia belum meninggalkan bumi. Gadis itu berdoa kepada tuhan, ia meminta satu permintaan. Ia ingin jiwanya dilenyapkan dalam pelukan kekasihnya disaat gerhana bulan."
Ryan terdiam. Ia ingat malam itu adalah bulan mati, matanya tak salah jika melihat Sheilla malam itu. Memang dia adalah Sheilla yang masih ingin menemani Rayn.
Apa malam ini dia akan menemuiku?
****
Part V
Satu tahun lalu,
Sheilla terbaring menatap keluar jendela, menikmati indahnya matahari terbenam. Ia tak memperdulikan penyakit yang terus menggerogoti tubuhnya. Sheilla hanya memikirkan Ryan yang tak menemaninya. Sheilla merasakan kerinduan yang teramat dalam pada Ryan.
Apa Ryan akan membenciku setelah membaca surat dariku? Sheilla bertanya pada dirinya sendiri. Menutup matanya dengan tangannya. Matanya mulai terasa panas. Sheilla tak ingin melukai Ryan, tapi menurutnya yang terbaik untuk Ryan adalah seperti ini.
Siang pun berganti malam. Sheilla turun dari jendela kamarnya, meninggalkan rumah sakit tanpa izin dari dokter. Ia terus berjalan menaiki bukit yang tak jauh dari rumah sakit. Sheilla tak ingin tinggal dirumah sakit lebih lama lagi, karena ia tahu semuanya akan berakhir sia sia.
Tengah malam seperti itu tak akan ada kendaraan yang melintas, memaksa Sheilla berjalan. Ryan aku ingin menemui. Aku ingin menempati janjiku untuk membalas perasaanmu. Aku ingin merayakan ulangtahunmu juga...tekad itu yang membuat Sheilla nekad pergi dari rumah sakit dan berjalan meskipun tubuhnya mulai lemas dan dadanya terasa sakit. Rasa sakitnya mulai menyebar luas keseluruh tubuhnya. Tak bisa lagi menahan rasa sakitnya, Sheilla menarik tubuhnya untuk bersandar dipohon. Ia merasa kecewa pada dirinya sendiri karena tak bisa bertahan lebih lama lagi.
"Padahal aku ingin mati dalam pelukan Ryan," gumam Sheilla tersenyum, meneteskan air matanya, "maaf Ryan, karena tak bisa menempati janjiku" air matanya berlinang. Ia tak menyangka jika dia akan mati seperti ini. Mati ditempat gelap dan sepi, tanpa ditemani seorangpun.
Sheilla memejamkan matanya, mengingat semua kejadian dalam hidupnya menunggu malaikat mencabut nyawanya.
****
"Ryan!"
Suara yang ia kenal membangunkannya, apa aku baru saja mulai bermimpi...? Setengah sadar Ryan membuka matanya, meski belum melihat dengan baik tapi ia yakin.
"Kau menyelesaikan lagunya...?" Sheilla membaca bagian akhir yang tak sempat ia selesaikan, Ryan tersenyum ia senang Sheilla tak menghindarinya.
Entah ini bangun dari mimpi atau Ryan baru saja memulai mimpinya. Cahaya bulan purnama memasuki celah jendela kamar yang terbuka. Apa yang ia lihat, lorong sekolah, ia yang berlari melihat Sheilla berdiri di belakang Rysa. Tangan dingin yang ia pegang, Sheilla selalu mengikuti Rysa. Jadi bukan hal yang salah jika aku mengira itu dia.
"Jadi, kau selalu ada di dekatku" Ryan memeluk Sheilla.
"Jadi waktu itu kau muncul dihadapanku hanya untuk menariku supaya bertemu dengan Rysa? Dan aku merasa nyaman bersamanya, itu semua karenamu?"
"Kau melihat semuanya? Itu jawaban dari pertanyaanmu" Ryan tak menyangka jika semua itu karena Sheilla, semuanya untuk Ryan. Selama ini ia ada di sisinya, tanpa ia ketahui.
"Tapi dia juga menyukaimu, itu perasaanya sendiri aku tak melakukan apa-apa untuknya. Aku hanya membantumu bertemu dengannya" menuntunmu menuju cahaya lain bisik hatinya.
"Haruskah ku katakan? Ini menyakitiku, berapa kali lagi kau lakukan ini. Kau harus dengar, aku bisa menerima semuanya. Tak bisakah kau tetap bersamaku?" Ryan tak ingin melepaskan pelukannya.
"Maafkan aku..." peluknya semakin erat, punggung Ryan terasa hangat. Air mata itu masih mengalir. Diam, bisakah kau diam wanita yang membuatku gila.
"Kau tak ingin mendengar suaraku untuk yang terakhir kalinya?" Sheilla mengusap air matannya.
"Aku puas sekarang" Sheilla tersenyum, menatap wajah Ryan. Jadi kau datang hanya untuk mengucapka selamat tinggal?
"Dengar? aku mencintaimu sampai kapanpun" Ryan tak menjawab perkataanya, hanya pelukannya yang semakin erat.
"Kamu tak ingin berciuman denganku seperti dimoonlight? Kekasihnya melepaskan gadisnya dimalam gerhana bulan dengan ciuman. Apa kau tak ingin melakukannya?" Sekali lagi Sheilla menggoda Ryan, menghibur Ryan tepatnya.
"Diam!" Hanya kata itu yang sanggup Ryan katakan. Saat ini, Ryan tak bisa meladeni candaan Sheilla. Ryan selalu ingin membuat Sheilla tertawa. Meskipun sekarang ia melihat Sheilla tertawa dengan lepas, tapi itu sungguh menyakitkan jika harus menjadi yang terakhir.
"Masih tak ingin melepaskanku?" Tanya Sheilla menatap Ryan
"Apa kamu mau pacaran dengan hantu yang terus menghantuimu? Hahahaha.....itu lucu Ryan...semuanya tak masuk akal hahaha......hiks...." diakhiri dengan tangisannya. Sheilla menangis untuk pertama kalinya didepan Ryan, "aku tak ingin meninggalkanmu...sungguh"
Ryan mendekap Sheilla erat, ia tak ingin melihat air mata itu, sungguh menyiksanya. Sheilla menangis dalam pelukan Ryan. Peluknya semakin erat, karena ia tahu akan segera pergi. Gerhana, sedikit demi sedikit cahaya bulan tertutup. Saat itulah Sheilla menghilang dari pelukan Ryan bersamaan dengan tertutupnya cahanya bulan.
Kali ini dia benar-benar pergi
End
****
bagus ceritanya, jika berkenan tolong Like ceritaku juga ya https://tinlit.com/read-story/1436/2575
terima kasih , smoga sukses selalu :)